Minggu, 12 Januari 2014

Filled Under:

Imperium Britania (6)

Kemerdekaan domini

Keinginan para domini untuk memerdekakan diri dari Inggris ditanggapi dengan diadakannya Konferensi Imperial 1923.[147] Permintaan Inggris atas bantuan militer dalam menghadapi Krisis Chanak pada tahun sebelumnya ditolak oleh Kanada dan Afrika Selatan. Kanada juga menolak isi Perjanjian Lausanne tahun 1923.[148][149] Setelah adanya tekanan dari Selandia Baru dan Afrika Selatan, Inggris menyelenggarakan Konferensi Imperial 1926 dan mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan bahwa "semua domini merupakan komunitas swatantra dalam Britania Raya, sama dalam kedudukan, dengan tiadanya yang lebih rendah antara satu dengan lainnya dalam tiap aspek urusan dalam maupun luar negerinya, meski dipersatukan oleh kesetiaan umum pada Raja, dan secara bebas terhubung sebagai anggota negara-negara Persemakmuran Britania".[150] Deklarasi ini disahkan secara hukum dalam Undang-Undang Westminster 1931.[120] Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, Negara Bebas Irlandia dan Newfoundland akhirnya menjadi negara yang merdeka dan memiliki parlemen yang bebas dari kontrol legislatif Inggris. Mereka tidak lagi terikat kepada undang-undang Inggris dan Inggris tidak boleh mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan negara-negara tersebut tanpa mendapat persetujuan mereka.[151] Newfoundland kembali menjadi koloni Inggris pada tahun 1933 akibat kesulitan keuangan selama masa Depresi Besar.[152] Sedangkan Irlandia menjauhkan diri dari Inggris dengan mengesahkan konstitusi baru pada tahun 1937 dan berdiri sebagai negara republik serta berusaha melepaskan diri dari semua pengaruh Inggris.[153]

Perang Dunia II

Keputusan Inggris dalam menyatakan perang terhadap Jerman Nazi pada bulan September 1939 juga mengikutsertakan seluruh koloninya, namun tidak secara otomatis menyertakan domininya. Australia, Kanada, Selandia Baru dan Afrika Selatan memilih untuk menyatakan perang terhadap Jerman, namun Negara Bebas Irlandia memilih untuk tetap netral secara legal selama perang berlangsung.[154] Setelah pendudukan Jerman atas Perancis pada tahun 1940, Inggris dan imperiumnya berdiri sendiri dalam melawan Jerman, sampai masuknya Uni Soviet ke dalam kancah peperangan pada tahun 1941. Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill berhasil melobi Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt agar mengirimkan bantuan militer bagi Inggris, namun Roosevelt belum siap melibatkan Amerika Serikat dalam peperangan.[155] Pada bulan Agustus 1941, Churchill dan Roosevelt mengadakan perundingan dan menandatangani Piagam Atlantik, yang menyatakan bahwa "hak bagi semua bangsa untuk memilih bentuk pemerintahan tempat mereka tinggal harus dihormati" (hak untuk menentukan nasib sendiri). Namun kata-kata ini bermakna ambigu, entah yang dimaksudkan itu mengenai penjajahan Jerman atas Eropa atau penjajahan negara-negara Eropa atas negara-negara lainnya. Pada akhirnya, kata-kata ini diinterpretasikan secara berbeda oleh Inggris, Amerika Serikat, dan gerakan nasionalisme negara-negara terjajah.[156][157]
Pada bulan Desember 1941, Jepang dengan cita-cita Asia Timur Raya-nya secara berurutan melancarkan serangan terhadap koloni Inggris di Malaya, Hong Kong dan pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor. Amerika Serikat pun kemudian ikut serta dalam peperangan. Reaksi Churchill atas masuknya Amerika Serikat dalam kancah peperangan adalah bahwa sekarang Inggris yakin akan kemenangan dan keberlangsungan imperiumnya di masa depan,[158] namun cara Inggris yang cepat menyerah memberi kesan buruk bagi kedudukan dan statusnya sebagai penguasa imperial.[159][160] Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang pada tahun 1942 adalah kekalahan yang paling memalukan bagi Inggris karena Singapura dianggap sebagai benteng pertahanan Inggris yang tak tertembus dan setara dengan Gibraltar di Mediterania.[161] Sadar akan posisi Inggris yang tidak mampu lagi mempertahankan imperiumnya, Australia dan Selandia Baru yang semakin terancam oleh Jepang kemudian menjalin hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat. Hubungan ini selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Pakta ANZUS pada tahun 1951 antara Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat tanpa melibatkan Inggris.[156]

 Menyerahnya tentara Inggris pada tentara Jepang dalam Pertempuran Singapura, 1942.

Dekolonisasi dan keruntuhan (1945–1997)

Walaupun Inggris dan imperiumnya berhasil memenangkan Perang Dunia II, efek dari konflik yang terjadi mempengaruhi Inggris baik di dalam maupun luar negeri. Hampir keseluruhan kejayaan negara-negara Eropa - benua yang mendominasi dunia selama berabad-abad lamanya - berada di ambang keruntuhan, digantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang tumbuh sebagai kekuatan global baru. Inggris sendiri terpuruk dan mengalami kebangkrutan, dan baru bisa diselamatkan setelah mendapat pinjaman sebesar $3,5 miliar dari Amerika Serikat; negara adidaya baru yang dulu pernah menjadi koloninya.[162] Pinjaman itu sendiri baru berhasil dilunasi oleh Inggris pada tahun 2006.[163]
Pada saat yang sama, gerakan anti-kolonial berkembang di negara-negara koloni Eropa. Situasi ini makin diperumit seiring berlangsungnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada prinsipnya, kedua negara tersebut sama-sama menentang kolonialisme Eropa, namun pada kenyataannya sentimen anti-komunis lebih diutamakan ketimbang anti-imperialis sehingga Amerika Serikat tetap mendukung keberlangsungan Imperium Britania.[164]
Istilah "angin perubahan yang berhembus di negara-negara koloni Inggris" berarti bahwa kejayaan Imperium Britania sudah berada di ambang keruntuhan. Inggris mulai menggunakan cara aman untuk menghadapi keruntuhannya, yaitu dengan memberikan kemerdekaan pada satu-persatu negara koloninya jika mereka sudah stabil serta tidak condong pada paham komunis. Cara ini berbeda dengan negara-negara Eropa lain seperti Perancis, Belanda dan Portugal, yang mengobarkan perang berbiaya mahal untuk tetap mempertahankan koloninya namun pada akhirnya gagal menjaga keutuhan imperium mereka. Antara periode 1945 sampai 1965, jumlah penduduk yang berada di bawah kekuasaan Inggris (di luar Britania Raya) merosot dari angka 700 juta ke angka 5 juta, dan 3 juta di antaranya berada di Hong Kong.[165]

Awal kemunduran

Kemerdekaan India

Partai Buruh yang pro-dekolonisasi berhasil memenangkan Pemilihan Umum Inggris 1945. Clement Attlee, pemimpin Partai Buruh yang terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris segera bertindak cepat untuk menyelesaikan isu penting negara yaitu kemerdekaan India.[166] Dua organisasi pergerakan kemerdekaan India; Kongres Nasional India dan Liga Muslim India telah mengampanyekan kemerdekaan India berdekade-dekade lamanya, namun tidak menemui kesepakatan soal bagaimana pelaksanaannya. Kongres menginginkan India yang bersatu namun Liga menginginkan negara yang terpisah bagi penduduk Muslim karena takut akan adanya dominasi oleh mayoritas Hindu. Meningkatnya kerusuhan sipil dan pemberontakan dari Angkatan Laut India pada tahun 1946 membuat Attlee menjanjikan kemerdekaan bagi India paling lambat tahun 1948. Namun situasi yang makin mendesak dan ancaman akan adanya perang sipil membuat Louis Mountbatten; Maharaja India yang baru dilantik (sekaligus yang terakhir) memproklamirkan kemerdekaan India lebih awal pada tanggal 15 Agustus 1947.[167] Perbatasan yang dibuat oleh Inggris untuk membagi India ke dalam kawasan untuk penduduk Hindu dan Islam tidak menghiraukan nasib berpuluh-puluh juta minoritas di India dan Pakistan.[168] Akibatnya, jutaan Muslim kemudian menyeberang dari India ke Pakistan dan Hindu ke arah sebaliknya, dan bentrokan yang terjadi antar dua komunitas tersebut menyebabkan lebih dari dua ratus ribu nyawa melayang. Srilanka dan Myanmar, yang merupakan bagian dari Kemaharajaan Britania, memperoleh kemerdekaan pada tahun 1948. India, Pakistan dan Srilanka selanjutnya bergabung menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran, namun Myanmar memilih untuk tidak bergabung.[169]

Status Palestina

Mandat Inggris atas Palestina, tempat mayoritas Arab tinggal berdampingan bersama minoritas Yahudi juga menimbulkan masalah yang sama dengan India.[170] Hal tersebut makin dipersulit dengan sejumlah besar pengungsi Yahudi yang menginginkan tempat tinggal di Palestina setelah peristiwa Holocaust, sementara komunitas Arab menentang pembentukan negara Yahudi. Frustrasi atas kerumitan masalah tersebut dan diserang oleh organisasi paramiliter Yahudi serta meningkatnya biaya untuk mempertahankan militernya di Palestina, Inggris mengumumkan pada tahun 1947 untuk menarik diri atas kasus Palestina dan menyerahkan perkara tersebut pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk diselesaikan.[171] Majelis Umum PBB kemudian menyikapinya dengan Rencana Pembagian Palestina menjadi dua bagian, yaitu negara Arab dan negara Yahudi.[172]

Kemerdekaan Malaya

Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, kemunculan gerakan perlawanan anti-Jepang di Malaya (Melayu) mengalihkan perhatian penduduk Malaya dari Inggris, yang dengan cepat merebut kembali kendali atas koloni Malaya, terutama karena menilai wilayah itu sebagai sumber karet dan timah.[173] Fakta bahwa gerakan gerilya yang terjadi di Malaya sebagian besar didukung oleh komunis Melayu-Tionghoa menandakan bahwa upaya Inggris untuk memadamkan pemberontakan itu didukung oleh mayoritas Melayu-Muslim, dengan pengertian bahwa setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan, kemerdekaan Malaya akan dikabulkan.[173] Kedaruratan Malaya diberlakukan dari tahun 1948 sampai tahun 1960. Namun pada tahun 1957, Inggris sudah merasa cukup percaya diri untuk memberikan kemerdekaan pada Federasi Malaya. Pada tahun 1963, 11 negara bagian Federasi Malaya bersama-sama dengan Singapura, Sarawak dan Borneo Utara bergabung untuk membentuk Malaysia. Namun pada tahun 1965, Singapura yang didominasi oleh komunitas Tionghoa keluar dari federasi menyusul ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Brunei, yang menjadi protektorat Inggris sejak tahun 1888 menolak untuk bergabung dengan federasi dan mempertahankan statusnya sampai memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984.[173]

Krisis Suez dan dampaknya

Pada tahun 1951, Partai Konservatif kembali berkuasa di Inggris di bawah kepemimpinan Winston Churchill. Churchill dan Konservatif percaya bahwa posisi Inggris sebagai kekuatan dunia bergantung pada keberlangsungan imperiumnya, dan hal ini ditentukan oleh Terusan Suez yang memungkinkan Inggris untuk mempertahankan posisi unggulnya di Timur Tengah meskipun sudah kehilangan India. Namun Churchill tidak bisa meremehkan Pemerintahan Revolusioner baru bentukan Gamal Abdul Nasser di Mesir yang meraih kekuasaan pada tahun 1952 dan berusaha mengusir Inggris dari Mesir. Pada tahun berikutnya, disepakati bahwa pasukan Inggris akan menarik diri dari Terusan Suez dan nasib Sudan akan ditentukan pada tahun 1955.[174] Sudan kemudian diberi kemerdekaan pada tanggal 1 Januari 1956.
Bulan Juli 1956, Nasser secara sepihak menasionalisasi Terusan Suez. Perdana Menteri Inggris yang baru, Anthony Eden, menanggapinya dengan membuat kesepakatan bersama Perancis untuk mengatur serangan dari Israel ke Mesir yang selanjutnya akan memberi alasan bagi Inggris dan Perancis untuk campur tangan dan merebut kembali Terusan Suez.[175] Tindakan Eden yang tidak meminta nasihat dari sekutunya, Amerika Serikat, menyebabkan Presiden AS, Dwight D. Eisenhower marah dan menolak mendukung invasi tersebut.[176] Eisenhower juga mencemaskan kemungkinan perang dengan Uni Soviet setelah Nikita Khrushchev menyatakan dukungannya pada Mesir. Eisenhower menerapkan opsi keuangan dengan mengancam akan menjual cadangan AS dalam poundsterling dan dengan demikian akan memicu kejatuhan mata uang Inggris. Walaupun invasi militer tersebut berhasil merebut kembali Terusan Suez,[177] adanya campur tangan PBB dan tekanan dari Amerika Serikat memaksa Inggris untuk menarik pasukannya dengan memalukan dari Terusan Suez dan diikuti dengan pengunduran diri Eden pada tahun 1957.[178][179]
Krisis Suez ini sangat terpublikasi dan dengan sendirinya memperlihatkan kelemahan Inggris kepada dunia dan menandakan kemerosotan kekuasaannya di pentas dunia. Krisis Suez juga menunjukkan kalau Inggris tidak boleh bertindak tanpa persetujuan atau dukungan dari Amerika Serikat.[180][181][182] Peristiwa Suez ini membuat Inggris "terluka" secara nasional. Seorang anggota Parlemen Inggris menggambarkannya sebagai peristiwa "Waterloo Britania",[183] dan menyatakan kalau Inggris sudah menjadi "satelit Amerika Serikat".[184] Margaret Thatcher kemudian mendeskripsikan pola pikir yang menimpa pendirian politik Inggris sebagai "sindrom Suez", sejak Inggris yang terpuruk sampai berhasil merebut kembali Kepulauan Falkland dari Argentina pada tahun 1982.[185]
Krisis Suez memang menyebabkan kekuatan Inggris di Timur Tengah melemah, namun imperiumnya tidak runtuh.[186] Inggris mengatur kembali pengiriman pasukannya ke Timur Tengah dengan intervensi di Oman (1957), Yordania (1958) dan Kuwait (1961), dan tentunya dengan persetujuan dari Amerika Serikat,[187] yang menjadi kebijakan luar negeri Perdana Menteri Inggris yang baru, Harold Macmillan, untuk tetap kuat bersekutu dengan Amerika Serikat.[183] Inggris mempertahankan kehadirannya di Timur Tengah selama satu dekade berikutnya dan baru menarik diri dari Aden pada tahun 1967 dan dari Bahrain tahun 1971.[188]



(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.