Minggu, 13 April 2014

SM Kartosoewirio: Pejuang Syariah Yang Teguh

Perjuangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau lebih dikenal dengan Kartosoewirjo dianggap ‘kontroversial’. Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, Kartosoewirjo di satu sisi dianggap ‘pemberontak’ dan di sisi lain justru dianggap sebagai ‘pejuang’. 

Pria yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu ini sejak tahun 1923, sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB), Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya pada agamanya. Melalui dua organisasi inilah dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.1

Pria yang merupakan suami dari Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, Pemimpin PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur) Malangbong, sangatlah risau dengan kondisi rakyat Indonesia waktu itu. Kerisauannya tampak dalam tulisannya yang dimuat oleh surat kabar Fadjar Asia (12 Februari 1929). Dalam tulisan itu dia bertutur, “Moelai beberapa tahoen jang laloe hingga kini beloem djoega ada berhentinja orang memperbintjangkan tentang soe’al “Punale Sanctie” keadaan perboedakan dan perhambaan, tentang artikel2 jang kita anggap sebagai randjau dalam perdjalanan kita menoedjoe dan mentjapai angan2 kita jang tinggi dan moelia itoe dan akan beberapa fasal lainnja jang mengikat tangan dan kaki kita. Tidak djoega perloe di sini kita terangkan bagaimana djeleknja nasib koeli2 kontrakan, bagaimana nasib kaoem pergerakan jang dalam melakoekan kewadjibannja telah berboelan2 atau bertahoen2 meringkoek di teroengkoe, dan betapa nasib saudara2 kita jang soedah diasingkan dan baroe dalam perdjalanan ke tanah pengasingan. Berpoeloeh2, beratoes2 orang, bahkan beriboe2 orang terpaksa meninggalkan tanah toempah darahnja, roemah halamannja dan ladang-sawahnja, dan bertjerai dan anak bininja, sanak keloearganja, karena …. mendjadi koerban dari peratoeran2 jang berlakoe di atas tanah toempah darah kita Indonesia ini.”2

Pria yang pernah menjadi orang kepercayaan HOS Cokroaminoto yang terkenal itu dan pernah menjabat sekjen Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 19313 ini, tatkala melihat potret buram rakyat Indonesia selanjutnya berpikir, solusi apa yang bisa diberikan untuk menyelesaikan problem yang membelit itu. Dalam tulisannya di surat kabar Fadjar Asia (12 Februari 1929), ia menegaskan bahwa untuk mengubah kondisi masyarakat Indonesia menjadi lebih baik maka solusinya adalah kembali pada syariah Islam. “Dengan singkat dapatlah nasib ra’iat Indonesia di ‘ibaratkan sebagai orang2 jang sedang berlajar di Samoedera jang loeas dan tedoeh, jang terserang oleh ombak2 jang besar dan tinggi dan angin taufan jang hebat, sehingga nasibnja hanjalah tergantoeng kepada Allah Soebhanahoe wa Ta’ala, Jang Mengoeasai sekalian ‘Alam ini. Kita katakan, tjoema kepada Dianjalah nasib Ra’iat Indonesai tergantoeng, sebab tidak ada pertolongan, tidak ada persandaran, melainkan dari Allah (La haoela wa la qoeatta ila billah). Apa dan bagaimana djalannja kita akan mentjari dan memperoleh pertolongan dan persan-daran dari pada Dia itoe, adalah oeroesan lain. Bagi kita ialah menoeroeti perintah2Nja sampai sesempoerna2nja dan mendjaoehkan diri pada segala apa jang dilarangNja, pendek kata melakoekan Agama kita Islam, agama Kebangsaan kita dengan soenggoeh2. Itoelah sjarat jang pertama2 boeat memperbaiki nasib kita.4

Bahkan Kartosoewiryo menegaskan agar dalam memperjuangankan dan mempertahankan wilayah Indonesia dari agresi Belanda saat itu senantiasa bersandar pada spirit Islam. “Kalau hendak mendjadi oemmat jang tinggi deradjatnja dan moelia; oemmat jang sempoerna dan berkoeasa memerintah tanah toempah darah sendiri: Bergeraklah pada djalan Allah. Djalankanlah perintah2 Allah dan djaoehilah larangan-larangannja. Tegoehkanlah Imanmoe dan tebalkanlah Tauhidmoe. Itoelah sjarat2nja.”5

Spirit perjuangan Kartosuwiryo terlukis dalam semboyannya, “Dengan Islam Kita Hidup dan dengan Islam Pula Kita Mati.”

Dengan semboyan inilah Kartosuwiryo selanjutnya menegaskan bahwa setiap orang Islam, atau yang Islam hanya dalam pengakuannya sekalipun, mesti berani bersedia untuk menjadi korban untuk membela agama Allah, agama Islam; untuk menjunjung derajat sebagai umat; untuk memakmurkan tanah tumpah darahnya. Itulah kewajiban orang Islam Indonesia. Itulah kewajiban umat Islam Indonesia. Itulah kewajiban umat Islam sedunia.6 [Gus Uwik]


Catatan kaki:
1 SM Kartosoewirjo: Pemberontak Atau Mujahid?, Redaksi swaramuslim.net, 16 Agustus 2003 dalam http://swaramuslim.net/more.php?id=565_0_1_27_M
2 Rakyat dan Nasibnya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 12 Februari 1929 dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856)
3 K.H. Firdaus A.N, Jejak Jihad SM Kartosuwiryo, November 11, 2009
4 Rakyat dan Nasibnya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 12 Februari 1929 dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856)
5 Ibid
6 Islam Terancam Bahaya, Tulisan SM Kartosoewiryo pada harian Fadjar Asia, 9 Februari 1929, dalam http://www.facebook.com/pages/Sekarmadji-Maridjan-Kartosuwiryo/65525067861?v=app_2347471856.




Sumber

KH Mas Mansyur: Kontributor Kongres Khilafah

Perjuangan KH Mas Mansyur dalam memperjuangkan Islam dan syariahnya sangatlah besar. Pemahaman umat Islam di Indonesia saat ini tentang ajaran Islam yang benar tidak luput dari andil dakwah beliau. Putra dari KH Mas Ahmad Marzuqi, seorang pionir Islam—ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya—ini yakin betul bahwa makhluk harus terikat dengan aturan Sang Khalik. Bahkan secara tegas, KH Mas Mansyur menyatakan, “Mereka yang tidak mau tunduk pada syariat telah dipengaruhi oleh hawa nafsu sehingga mereka mengabaikan begitu saja perintah dan larangan agama.”1

Oleh karena itu, pria yang lahir pada Hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 Masehi di Surabaya ini menganggap bahwa asumsi Islam itu agama yang salah, penghambat kemajuan, pembenci dunia, adalah keliru sama sekali.2 Ini terjadi karena mereka menilainya dari sudut pandang yang salah. Mereka menilai dari sudut pandang pemeluknya, bukan dari sudut pandang sebenarnya, dari ‘mata air agama itu sendiri’. 

Pria yang pernah lama belajar di Mesir dan Makkah ini selanjutnya menegaskan, “Kalau memang agama itu adalah agama yang benar, kita harus membongkar terlebih dahulu pada undang-undang yang dibawanya. Kalau undang-undang yang dibawanya itu mencocoki sunnatullah uluhiyah maka itulah agama yang benar, agama sejati, agama yang bersumber pada Zat Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT.”3

Mas Mansur juga mengingatkan, hendaknya tidak melupakan apa yang disebut sebagai “pendidikan sejati dalam Islam”, yaitu tatkala kekuatan telah dimiliki maka janganlah merasa paling kuat sendiri sehingga timbul hawa nafsu dan lupa kepada Allah. Jadi, “Semuanya harus dengan ‘tidak ada daya dan upaya dan tidak ada kekuatan melainkan dari Allah SWT yang Maha Tinggi.’”4

Dari apa yang diyakini inilah, suami dari Siti Zakiyah, putri dari Haji Arif ini konsisten memperjuangkan Islam dan syariahnya. Berbagai uslub dakwah untuk mensyiarkan Islam telah banyak di tempuh. Di antaranya adalah dengan membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik hingga perjuangan melawan penjajah. Berbagai tulisan dakwahnya pun banyak tersebar di berbagai media cetak waktu itu. Di antaranya dimuat di Majalah Siaran dan Majalah Kentungan di Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. 

Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.

Oleh karena itu, tatkala ada upaya untuk mengembalikan persatuan umat seluruh dunia dalam naungan Khilafah Islamiyah, KH Mas Mansur pun ikut berperan aktif. Tatkala diadakan Kongres Khilafah pada tanggal 1 Juni 1926 di Makkah, beliau bersama H.O.S Cokroaminoto berperan aktif menjadi salah satu utusan dari Mu’tamar Al-‘Alamul Islami Far’ul Hindish Syarkiyyah (MAIHS), Kongres Islam Sedunia Cabang Hindia Timur (yang semula bernama Konggres Al-Islam).5

Sepulang dari Kongres Khilafah ini Mas Mansur merasa bahwa beban tanggung jawab dakwah untuk lebih menyuarakan syariah dan Khilafah lebih terasa berat. Beliau pun berujar, “Pada tahun 1926 yang telah lalu Dunia Islam pernah mengadakan konggres bertempat di Tanah Suci Makkah. Tiada ketinggalan, perhimpunan kita Islam sama membentuk badan persatuan yang bernama Mu’tamar Al-‘Alamul Islami Far’ul Hindish Syarkiyyah (MAIHS). Badan mana yang mengutus mendatangi akan ajakan konggres Dunia Islam yang bertempat di pusat kelahiran Islam yang terkenal itu ialah di Makkah. Salah satu utusan umat Islam Indonesia adalah saya dan almarhum J.M H.O.S Cokroaminoto. Dalam penutup Kongres di Makkah tadi terasalah berat tanggungan kita menerima amanat yang penting tetapi masih sulit pula diamalkannya dalam ‘alam Islam Indonesia.”6 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Darul Aqsha, K. H. Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Erlangga Surabaya, 2005.
2 Ibid.
3 Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta, 1979.
4 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Kumpulan Karya Tulis, Jakarta, 1399 H.
5 Darul Aqsha, K. H. Mas Mansur, 1896-1946 : Perjuangan dan Pemikiran, Erlangga Surabaya, 2005.
6 Haikal, Meniti Jejantas Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekuler (Sekilas Biografi Mas Mansur 1896 – 1946, Jebat 20, 1992.





Sumber

KH Abdul Wahab Hasbullah: Inisiator Konferensi Khilafah

Membicarakan KH Abdul Wahab Hasbullah seharusnya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan beliau dalam penegakan kembali Khilafah yang dihancurkan oleh Mustafa Kemal Attaharturk pada tahun 1924 dan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). 

Karel A. Steenbrink menulis, pada tahun 1924 Kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekular dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama yang dia lakukan adalah sekularisasi, yakni penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan Kekhalifahan, menyusul digantinya syariah Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki. Namun, ini tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri.1

Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu Kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, dibuatlah sebuah komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.2

Namun, kongres di Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz saat Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Namun, dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.3

Ibnu Sa’ud selanjutnya berinisiatif mengundang kaum Muslim di Indonesia untuk menghadiri Kongres Khilafah di Makkah. Atas undangan ini umat Islam membicarakan di Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di Kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). 

Di dalam Komite Khilafah ini, dalam perkembangannya ternyata muncul ‘friksi’ antara ‘golongan pembaru Islam’ dan ‘kalangan tradisionalis’. Munculnya ‘friksi’ diakibatkan oleh adanya ‘perbedaan pandangan’ terkait masalah-masalah ibadah. Hal ini tampak dari kedua Kongres Al-Islam di atas yang didominasi oleh golongan pembaru Islam. Bahkan sebelum kongres di Bandung diadakan satu rapat terlebih dulu antara organisasi-organisasi ‘pembaru’ di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) dan memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah, meninggalkan KH Abdul Wahab Hasbullah untuk mengikuti kongres.

Pada Kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat dan ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. 

Karena terdapat ‘friksi’ dalam masalah inilah maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini, sehingga beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite Khilafah tersebut di atas. 

KH Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah kehancuran Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat itu memutuskan untuk tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran utama.4 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Lihat: Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988,II/733.
2 Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925.
3 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, hlm. 242-243.
4 Deliar Noer, Ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hlm. 9.




Sumber

Ki Bagus Hadikusumo: Gigih Memperjuangan Islam Sebagai Dasar Negara

Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu tokoh Muhammadiyah penting yang cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Pria yang lahir pada tanggal 24 November 1890, yang merupakan putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan  (pejabat) agama Islam di Keraton Yogyakarta ini1 bahkan memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin, dengan mengajukan pendapat bahwa ‘Islam Sebagai Dasar Negara’2 dalam sidang-sidang di BPUPKI. Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan, sehingga berbunyi: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.

Dari sini terjadilah perdebatan sengit di antara ke dua kubu. Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.

Bahkan dalam pembahasan UUD terutama Pasal 28 Bab X tentang agama, yang berbunyi, “(1) Negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing,” terjadilah perdebatan yang cukup sengit. Ki Bagus Hadikusumo berulang-ulang meminta kepada pimpinan rapat untuk menjelaskan arti anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” secara pasti.3 Agar tidak terjadi salah tafsir.

Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kyai Masykur mempertanyakan dengan nada retorika: 

…Kalau dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?

Ketegangan semakin memuncak tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan pendapatnya untuk mempertegas pendapat Kyai Masykur. Ia bahkan sampai menggebrak meja.

Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan:

Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.4

Ulama besar yang pernah menjadi ketua Majelis Tabligh (1922), ketua Majelis Tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) ini termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk menginstutisionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis dan juga intelektual. Ini tampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi, Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang pemberlakuan hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931.5 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 http://www.muhammadiyah.or.id
2 Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta, GIP, 1996.
3 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 2004
4 Ibid.
5 http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 106&Itemid=139





Sumber

Kasman Singodimejo: Singa Podium, Penuntut Islam Sebagai Dasar Negara

Kasman Singodimejo adalah orang yang diperintahkan oleh Soekarno untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariah Islam.

Ksatria salih dari Purworejo, Jawa Tengah ini merasa ‘bersalah’ atas keberhasilan lobinya tersebut. Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata.1

Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo”, tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut Islam sebagai dasar negara.

Dalam pidatonya di sidang Konstituante, Kasman menuntut: 

Saudara Ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.

Saudara Ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.

Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih  hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini….

Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan  menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam  di Dewan Konstituante  sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!2

Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah ‘penebusan kesalahan’ yang sangat luar biasa. Dalam pidato-pidatonya di Konstituante itu, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan menantang golongan/kelompok lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila. Dengan adu argumen ini akan terlihat mana yang benar dan solutif.

Bagi Kasman, Islam adalah sumber mataair yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya  untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sebaliknya, Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil-diangsur, digali dari “mataair” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.3 [Gus Uwik]

Catatan Kaki:
1 Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono, SH, Jakarta: Penerbit Media Dakwah, 1993.
2 Artawijaya, “Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta,” dalam http://islam-insyafku.blogspot.com/2009/08/oleh-artawijaya-mohammad-natsir.html
3 Ibid.



Sumber

Tuanku Imam Bonjol; Pejuang Syariah dan Pahlawan Islam

Membicarakan Tuanku Imam Bonjol tak bisa dilepaskan dengan pembahasan Perang Padri. Perang Padri terjadi di kawasan Kerajaan Pagaruyung antara tahun 1803 hingga 1838.1 Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan (yang menyalahi aturan Islam) dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.2
 
Perang Padri merupakan peperangan yang meninggalkan kenangan heroik sekaligus usaha penegakkan syariah Islam di Ranah Minang. Pada awalnya, timbulnya peperangan ini didasari oleh adanya keinginan para ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariah Islam sesuai dengan Manhaj Salaf. Kemudian pemimpin para ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) untuk mengajak Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah, beserta Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Seiring itu, di beberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung muncul gejolak. Puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman (nantinya bergelar Tuanku Lintau) menyerang Kerajaan Pagaruyung, dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Muning Alamsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan.3

Suasana peperangan ini selanjutnya diperkeruh oleh campur tangan Belanda. Karena terdesak dalam peperangan, pada 21 Februari 1821 Kaum Adat meminta bantuan Belanda di Padang4, dengan kompensasi penyerahan beberapa wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian ini dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang kemudian diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang karena “diundang” oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.5 Serangan ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda membangun benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen. Adapun Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.6 Pada 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau. Namun, Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui Residen di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825.7 Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah (termasuk daerah Kabupaten Tanah Datar sekarang) yang mewujudkan consensus: Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah [al-Quran]).

Dari perjanjian inilah, sejak awal 18338 perang berubah menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Padri melawan Belanda. Kedua pihak telah bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya Gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan syariah Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya mempunyai tujuan politik yang sama, yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu: berdirinya Negara Islam.9 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Jeanne Cuisinier, (1959), Archives de sociologie des religions, chapter: La guerre des Padri (1803-1838-1845), Centre national de la recherche scientifique.
2 a b Sejarah, Yudhistira Ghalia Indonesia, ISBN 978-979-746-801-9.
3



Sumber

Ciri-ciri Harta Penuh Berkah

“Sesungguhnya Allah Maha baik, dan tidak menerima kecuali yang baik…” (HR. Bukhari Muslim).

HADIST ini menjelaskan bahwa harta yang berkah adalah harta yang disenangi Allah. Ia tidak harus banyak. Sedikit tapi berkah lebih baik dari pada yang banyak tetapi tidak berkah. Untuk mendapatkan keberkahan harta harus halal. Karena Allah tidak mungkin memberkahi harta yang haram.

Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 100 dijelaskan bahwa tidaklah sama kwalitas antara harta haram dengan harta halal, sekalipun harta yang haram begitu menakjubkan banyaknya. Sekali lagi tidaklah sama antara harta halal dengan harta haram. Harta haram dalam ayat di atas, Allah sebut dengan istilah khabits.

Kata khabits menunjukkan sesuatu yang menjijikkan, seperti kotoran atau bangkai yang busuk dan tidak pantas untuk dikonsumsi karena akan merusak tubuh: secara fisik maupun mental. Tidak ada manusia yang mau memakan kotoran dan yang busuk. Sementara harta halal disebut dengan istilah thayyib, artinya baik, menyenangkan dan sangat membantu kesehatan fisik dan mental jika dikonsumsi.

Secara mentalitas dan psikologis harta mampu mempengaruhi hati manusia. Harta haram apapun bentuknya yang diperoleh dari hasil mencuri, merampok, menipu, korupsi, illegal loging, riba, suap dan lain sebaginya, hanya akan menuntun pemiliknya untuk menjadi rakus dan kejam. Mengalami kebutaan hari nurani karena tidak mampu lagi membedakan mana harta yang baik dan tidak baik. Hanya hewanlah yang berperilaku demikian, memakan apa saja yang ada di hadapannya tanpa peduli siapa pemilik dari makanan tersebut. Seorang yang terbiasa mengkonsumsi harta haram jiwanya akan meronta-ronta. Merasa tidak tenang, tanpa diketahui sebabnya. Kegelisahan demi kegelisahan akan terus menyeretnya ke lembah yang semakin jauh dari Allah. Lama kelamaan ia tidak merasa lagi berdosa dengan kemaksiatan. Berkata bohong menjadi akhlaknya. Ia merasa tidak enak kalau tidak berbuat keji. Karenanya tidak mungkin harta haram -sedikit apalagi banyak- mengandung keberkahan. Allah sangat membenci harta haram dan pelakunya. Seorang yang terbiasa menikmati harta haram doanya tidak akan Allah terima: Rasulullah SAW pernah menceritakan bahwa ada seorang musafir, rambutnya kusut, pakaiannya kumal, menadahkan tangannya ke langit, memohon: yaa rabbi yaa rabbi, sementara pakaian dan makanannya haram, mana mungkin doanya diterima (HR. Muslim)

Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari berbagai kejadian dalam kehidupan yang menunjukan harta telah menjadi musibah dan ujian bagi pemiliknya. Amat sangat mudah bagi Allah mengambil apa saja yang ada pada diri kita. Sebab semua yang kita miliki hari ini adalah titipan Nya belaka. Tidak ada gunanya menyombongkan diri memiliki uang yang banyak, harta benda, kendaraan dan keturunan yang cantik karena bagi Allah semua adalah titipan dan sekaligus ujian. Dengan kehendaknya Allah dapat membuat seseorang yang kaya raya menjadi bangkrut dengan menimpakan sakit yang mematikan. Hartanya tak mampu membantu dan habis dengan sendirinya. Orang yang pamer kendaraan mendapat ujian kecelakaan atau kendaraan tersebut rusak tanpa diketahui sebabnya. Ataupun memiliki anak cantik tetapi perbuatannya memalukan keluarga.

Dari harta yang haram juga menyebabkan doa seseorang ditolak, sedekahnya pun ditolak. Ibn Hibban terkait dengan hal ini meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Orang yang mendapatkan hartanya dengan cara haram, lalu ia bersedekah dengannya, ia tidak akan mendapat pahala dan dosanya tetap harus ia tanggung”. Imam Adz Dzahaby menambahkan dalam riwayat lain: “Bahwa harta tersebut kelak akan dikumpulkan lalu dilemparkan ke dalam neraka Jahannam”. Maka tidak ada jalan lain untuk meraih keberkahan kecuali hanya dengan merebut harta halal sekalipun sedikit dan nampak tidak berarti.

Ciri utama harta berkah

Ada beberapa ciri yang menunjukan keberkahan harta

a. Menambah ketakwaan.

Firman Allah dalam Surat Almaidah ayat 100 “Tidak sama yang buruk (harta yang haram) dengan yang baik (harta halal), meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”

Dalam ayat ini, setelah Allah menegaskan pentingnya kwalitas harta halal, Alalah Yang Maha Kaya lalu memerintahkan, untuk bertakwa, suatu indikasi bahwa tidak mungkin harta haram akan membantu mencapai ketakwaan. Semakin banyak rezeki diperoleh seseorang semakin ia tunduk kepada Allah. Tidak merasa sombong sebagaimana dilakukan Far’aun dan Qarun yang keduanya melakukan pembangkangan terhadap Allah dengan menganggap diri mereka Tuhan dan mendapatkan kekayaan atas jerih keringat sendiri tanpa bantuan Allah. Sebagai jawaban atas kedurhakaan itu, keduanya Allah musnahkan. Firaun dengn memiliki bala tentara yang banyak, harta yang melimpah, istana megah akhirnya dibenamkan kedalam luat merah bersama dengan armadanya. Sangat mudah bagi Allah hanya dengan membelah lautan.

Adakalahnya kita temukan seseorang yang melimpah harta tetapi tetap rajin datang shalat berjamaah, pandangannya tunduk kepada orang lain tanpa ada terlihat kesombongan. Kesehariannya sederhana jauh dari keborosan. Kendaraannya digunakan di jalan Allah, anak-anaknya beriman dan menjaga auratnya. Setiap waktunya zakatnya dikeluarkan dengan memberikan kepada fakir miskin, orang tidak mampu dengan memberdayakan mereka sehingga lebih mandiri. Menyantuni anak yatim dan membela hak-hak orang lemah.

b. Memberikan rasa aman

Dalam surat Ibrahim ayat 24-26, Allah mengumpamakan setiap kebaikan (kalimatun tayyibah) termasuk di dalamnya harta halal dengan sebuah pohon yang kokoh, akarnya menghujam ke bumi, cabangnya menjulang ke langit, memberikan buahnya setiap saat. Sebaliknya setiap keburukan (kalimatun khabitsah) termasuk harta haram, akan menjadi seperti pohon yang goyah, akarnya hanya melingkar dipermukaan bumi, tidak berbuah serta tidak memberikan rasa aman bagi siapa saja yang berteduh dibawahnya.

c. Mengantarkan kapada amal shaleh

Hai para rasul, makanlah yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang saleh (QS, 23:51). Perhatikan hubungan harta halal dengan amal saleh.

d. Mendorong untuk bersyukur

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah. Di sini tergambar bahwa hanya harta halal yang bisa membuat seorang hamba pandai bersyukur.

Ibnu Hajar menulis bahwa terkadang suatu kehancuran terjadi pada hartanya, terkadang juga menimpa pemiliknya, dan terkadang pemiliknya dijauhkan dari amal shalih. Sebaliknya, barangsiapa menafkahkan hartanya dijalan Allah, maka hartanya akan diberkahi. Bahkan dalam sebuah hadits lain disebutkan barangsiapa menyedekahkan hartanya dengan baik, maka Allah SWT akan menjaga harta yang ditinggalkannya bahkan setelah kematiannya, ahli warisnya tidak merusak hartanya dan tidak membelanjakan hartanya untuk hal yang sia-sia.

Apabila harta tidak disedekahkan, pada umumnya harta itu akan mendatangkan akibat buruk kepada anak-anaknya setelah ia meninggal dunia. Bahkan sekiranya hak orang lain tersebut tidak kita keluarkan?. Maka Allah akan merampas dengan cara yang tidak kita sangka dan tidak kita sukai. Bagaimana Caranya?. Mari kita tanya diri kita masing-masing. Pernahkah kita mengalami peristiwa kehilangan barang berharga, atau barang kita rusak secara tidak wajar, atau kita terpaksa mengeluarkan biaya karena suatu peristiwa yang tidak kita duga?. Jika pernah, coba tanyakan lagi pada diri kita masing-masing, sudahkah kita keluarkan harta yang bukan menjadi hak kita tersebut?. Wallahu alam bishawwab. [Disarikan Tim Redaksi Buletin Mitra Ummat]





Sumber

Pangeran Diponegoro: Pahlawan ‘Perang Sabil’ Untuk Menegakkan Syariah Islam


Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ia tulis sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi untuk agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.1 Pemuda yang bernama Bendoro Raden Mas Ontowiryo sewaktu kecil ini mendapat gemblengan langsung dari neneknya (permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo) sehingga minat belajar Islamnya tinggi.2 Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuan-nya tentang Islam, ia juga secara tekun melaksanakan ketentuan-ketentuan syariah Islam. 
 
Berbicara tentang Pangeran Diponegoro pasti kita akan membahas ‘Perang Jawa’. Terkait Perang Jawa, menurut Carey (dosen di Trinity College, Inggris), ada faktor kembar yang mendorong Pangeran Diponegoro—seorang adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apapun—mendeklarasikan “perang suci” itu melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta. Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya, “Karemannya mangan minum/lan anjrah cara Welanda & apos (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda).3

Oleh karena itu, dalam memimpin “Perang Jawa” Diponegoro senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syariah Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi: “Surat ini datangnya dari saya, Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat, kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil, tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).4

Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasihat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam dalam perjuangan yang dia pimpin. Selain penasihat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum Perang Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro. Karena itu, tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya, Kiai GazaIi, dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro.

Langkah yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi, “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya, datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.”
 
Seruan ini disebarluaskan di seluruh Tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah, dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!5

Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo. Ia datang bersama barisan santrinya, menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro. Ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu di bawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. ‘Perang Sabil’ menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh Tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.

Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19 saat daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan dukungan kuat dari rakyat. Para penguasa kolonial Belanda terus-menerus berkonfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk mempersatu-kan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Islam; sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum.6

Pangeran Diponegoro, dengan tipudaya licik dari Belanda, akhirnya bisa ditaklukkan dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal di sana. Namun demikian, tampak bahwa Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan mendirikan negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syariah Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda, serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di Tanah Jawa.7 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
2 http://yudhitc.wordpress.com/2008/10/27/biografi-lengkap-pangeran-diponegoro/
3 Ibid.
4 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda), Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.




Sumber

NU : Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah

Ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah NU perlawanan terhadap penjajahan, perjuangan syariah dan khilafah. Nahdlatoel Oelama lahir pada 31 Januari 1926 M./16 Rajab 1344 H. di Surabaya yang dipimpin oleh Rais Akbar Choedratoes Sjech KH. Hasjim Asj’ari. Nama Nahdlatoel Oelama merupakan kelanjutan dari nama gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdlatoel Wathan pada 1335 H./1916 M. di Surabaya.

Kehadiran Nahdlatoel Oelama pada periode Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia mempunyai kesamaan dengan organisasi Islam yang sezaman. NU berjuang ingin menegakkan kembali kedaulatan umat Islam sebagai mayoritas. NU ingin pula menegakkan syari’ah Islam. Kebangkitan Nahdlatoel Oelama merupakan jawaban terhadap Politik Kristenisasi penjajah pemerintah kolonial Belanda yang berusaha menegakkan Hukum Barat.

Tantangan imperialis Barat, dengan Politik Kristenisasi dan upaya memberlakukan Hukum Barat, menjadikan seluruh organisasi Islam, Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Persatoean Oemat Islam, Matla’oel Anwar, Persatoean Islam, Nahdlatoel Oelama, Perti, Al-Waslijah, serta Djamiat Choir dan Al-Irsjad, berjuang menuntut Indonesia Merdeka dan menegakkan Syariah Islam.(Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah)

Perjuangan NU juga tidak bisa dilepaskan dari cita-cita besar menjadikan Islam sebagai agama negara , menjadi dasar negara , menuju sebuah negara Islam . KH Wahid Hasyim memang memanfaatkan rancangan Pembukaan yang diusulkan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu negara Islam. “Kalau presiden adalah seorang Muslim, maka peraturan- peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan besar pengaruhnya. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagai pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.”, tegas KH. A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh NU terkemuka (BJ. Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia” (1985)

Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo

Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi .

Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa’ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan . Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.( Bandera Islam, 16 Oktober 1924 ; Noer, Deliar (3 Maret 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES) (Salman Iskandar,Mediaumat.com )




Sumber

Penjajah Belanda: Hentikan Khilafah!

Koran-koran Belanda periode 1850-1930 memperjelas rencana pemerintah Belanda tentang apa yang akan dilakukan dalam rangka menangani pemberontakan dan membawa Indonesia kembali di bawah kendali. Sebagai contoh, Belanda membuat rencana aturan dan undang-undang untuk melarang orang-orang Indonesia pergi Haji. Koran Het Nieuws van den Dag menulis pada tahun 1884, “Pada masa lalu, kami memiliki peraturan yang dibuat untuk membatasi perjalanan haji ke Makkah sebisa mungkin.”
Koran-koran itu mengacu pada peraturan Haji tahun 1859, di antaranya para calon jamaah harus memenuhi tuntutan keuangan tertentu; mereka pun harus melapor kepada konsulat Belanda di Jeddah pada saat kedatangan mereka sehingga pemerintah Belanda bisa mengawasi mereka. Namun demikian, keinginan untuk pergi haji tetap kuat di antara orang Indonesia, dan pengaruh motivasi dari para peziarah yang kembali untuk melawan Belanda tetap kuat. Laporan dari koran Het Nieuws van Dag pada tahun 1904 menyebutkan: “Tidak butuh waktu lama atas pengaruh perjalanan ke tempat-tempat yang aneh itu dan apakah itu yang dirasakan menetap sebentar atau lama di Makkah. Gerakan pan-Islam adalah konsekuensinya. Ada suatu masa ketika orang-orang memandang berlebihan pengaruh haji ini. Namun pada hari ini, orang-orang meremehkan mereka (jamaah haji). Karena mereka adalah seperti bahan bakar, yang menjadi berbahaya ketika ada seseorang yang menyalakannya. Pemerintah harus mengawasi hal ini.”
Karena Belanda tidak bisa begitu saja melarang haji—yang pasti itu akan menyebabkan pemberontakan massal di Indonesia—sebagian analis menyarankan pemerintah Belanda untuk memastikan kontrol yang lebih kuat atas mereka yang pergi haji. Koran Nieuws van den Dag pada tahun 1884 menerbitkan sebuah opini yang menyarankan pemerintah Belanda mengirim mata-mata bersama dengan orang-orang yang pergi Haji: “Bukanlah di masjid, atau di langgar benih-benih kebencian keagamaan dan fanatisme sedang ditaburkan, benih-benih itu ditaburkan di desa-desa dan kampung-kampung dan rumah-rumah terpencil dari penduduk pribumi. Itu adalah tempat dimana ibadah haji membuat permainan liciknya. Penduduk Indonesia Eropa yang bisa diandalkan, yang berbicara bahasa Java, Melayu, Soenda atau bahasa Madoera, harus dikirim ke tempat-tempat (Makkah, Madinah) oleh pemerintah sebagai polisi rahasia.”
Tahun 1885 pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan seorang orientalis terpentingnya, yakni Christiaan Snouck Hurgronje, ke Makkah untuk memata-matai umat Islam Indonesia untuk mengikuti nasihat ini.
Begitu mereka kembali ke Indonesia, pemerintah Belanda berusaha membatasi pengaruh haji ini. Pada tahun 1889, sebuah opini di surat kabar Algemeen Handelsblad menyarankan pemerintahan kolonial untuk mengkontrol masjid dan madrasah sedemikian rupa sehingga pelajaran-pelajaran yang diajarkan tentang Islam berada di bawah kendali: “Hal ini tidak bisa dipahami. Mereka melihat kejahatan. Mereka memperingatkan tentang hal itu dari berbagai sudut. Namun, mereka tetap tumbuh! Ini telah menjadi sikap pemerintahan kolonial kami selama beberapa tahun terakhir terhadap ajakan untuk memberontak yang berasal dari pan-Islamisme. Mister Van den Berg meyakinkan kita bahwa ceramah-ceramah yang dibacakan di masjid-masjid ‘merupakan ruh paling jahat terhadap kekuasaan Kristen’. Oleh karena itu, kami mempertimbangkan kontrol yang layak atas ide-ide yang sedang diajarkan dan yang merusak aturan hukum kita. Hal ini perlu.”
Rasa takut dan benci atas Islam dan Negara Islam sedemikian kuatnya sehingga pemerintah kolonial Belanda mengambil saran seperti yang satu ini, dan setiap Muslim yang berbicara tentang Khilafah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara: “Undang-undang bagi pribumi mengancam setiap pemimpin agama dengan kerja rodi mulai dari tiga bulan sampai lima tahun, jika dalam ceramah umum ia mengkritik pemerintah atau menyeru kebencian terhadapnya, atau memotivasi masyarakat untuk melawan atau memberontak.”
Namun, menurut sebagian analis, langkah ini belum cukup. Dalam koran Het Nieuws van den Dag, pemerintah disarankan untuk menjadikan pembicaraan tentang Negara Islam sebagai tindakan pengkhianatan: “Barangsiapa menghidupkan kepada penduduk pribumi gagasan yang sesat yang ada hubungannya dengan Khalifah Turki, pada dasarnya melakukan suatu tindakan pengkhianatan terhadap kekuasaan kami.”
Untuk jelasnya, hukuman yang ditetapkan untuk jenis pengkhianatan ini adalah hukuman mati. Jadi saran apakah yang pemerintah Belanda benar-benar terpanggil, tidak lain membunuh semua orang yang berani berbicara tentang Khilafah.
Siapa saja yang menghidupkan di antara penduduk pribumi gagasan sesat yang ada hubungannya dengan Khalifah Turki, pada dasarnya melakukan tindakan pengkhianatan terhadap kekuasaan kami”. Sebuah opini di Koran Het Nieuws van Dag voor Nederlandsch-Indië, tanggal 10 Juni 1915

Apakah yang pemerintah Belanda dan para pemimpinnya inginkan untuk mencapai opini ini agar semua orang jelas melihatnya. Mereka ingin menghentikan setiap kontak antara Negara Islam Khilafah dan melarang ide Khilafah dari pikiran kaum Muslim Indonesia.[]



Sumber

Dokumen Penting Hubungan Nusantara dengan Khilafah

Sejarah Islam Nusantara saat ini sangat susah mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya bahwa Nusantara adalah wilayah ke Khalifahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap. Berikut bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani, berikut isi suratnya;
 
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.

Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.

Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.

Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.

Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.

Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).

Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :

  • Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
  • Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
  • Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
  • Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.

Janji Allah SWT akan datangnya nubuah berdirinya ke-Khalifahan jilid 2 yang sesuai dengan manhaj kenabian adalah pasti, dan Nusantara dahulu adalah bagian resmi ke-Khalifahan Islam maka sudah sewajarnya dan seharusnya kita ummat Islam di Nusantara menyongsong hal tersebut. Ibarat kita mencari sesuatu yang hilang dan susah di cari jejaknya, kini sudah terkuak satu demi satu untuk semakin meyakinkan bahwa dakwah untuk tegaknya syariah dalam bingkai khilafah adalah suatu kenyataan dan kebenaran mutlak yang harus diyakini. Sambutlah Khilafah. Sambulah Khilafah.( A. Yusuf Pulungan, ST, MSc)



Sumber

Isu Harta Karun Memberi Bukti Baru Sejarah Islam?

JAKARTA- Tak banyak bantahan soal masuknya Islam ke Indonesia. Mayoritas sejarawan mengungkapkan, Islam masuk di bumi Nusantara ini sejak abad ke-13 M. Pembawanya adalah para pedagang dari Gujarat, India.

Sambil berdagang, mereka menyebarkan Islam ke penduduk yang mereka singgahi. Adapun wilayah yang pertama kali disebut-sebut menerima Islam di Indonesia adalah Samudra Pasai dan Perlak di Aceh. Benarkah demikian? Pada tahun 1961, Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akrab dipanggil dengan Buya Hamka, pernah menggugat masalah ini.

Menurut Buya Hamka, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Makkah (Arab Saudi) pada abad ke-7 Masehi atau permulaan Hijriah, yang kemudian diikuti oleh pedagang Gujarat (India) abad ke-13 M, maupun Cina pada abad ke-10 M. Mereka (Arab, Gujarat, Persia, maupun pedagang Cina). Mereka bukanlah anggota misi penyebaran Islam, namun mempunyai kewajiban untuk mengenalkan Islam pada wilayah yang mereka datangi, termasuk Indonesia.

Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, menyatakan, pendapat Hamka tersebut lebih menekankan pada peranan utama dari para penyebar Islam di Indonesia. Pendapat Hamka ini, sejalan dengan pernyataan TW Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of the Propagantion of the Muslim Faith, dan JC van Leur dalam Indonesian: Trade and Society, serta Bernard HM Vlekke dalam Nusantara : A History of Indonesia, serta sejarawan dan tokoh Muslim lainnya seperti Crawfurd, Niemann, de Holander, Fazlur Rahman, dan Alwi Shihab.

“Sedangkan abad ke-13 itu, masuknya Islam lebih bercorak pada persoalan politik,” tulis Mansur Suryanegara, mengutip pernyataan Buya Hamka. Adapun mayoritas sejarawan, banyak mengutip pendapat Pijnapel yang kemudian diikuti oleh Snouck Hurgronje, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Hurgronje, seorang misionaris, mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut teori ini, pedagang dari Gujarat yang berperan besar menyebarkan Islam ke Nusantara. Teori Gujarat ini masuk ke Indonesia dapat dilihat dari kesamaan ajaran dengan mistik yang ada di India.

Menurut Hamka, masuknya Islam ke Pulau Jawa bersamaan dengan masuknya Islam ke Sumatra, pada abad ke-7 M. Pandangan ini didasarkan pada berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh ini, menurut Hamka, adalah Raja Arab dan khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Peristiwa ini terjadi saat Muawiyah bin Abu Sufyan melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy dalam Social Structure of Islam memberikan jumlah angka kapal yang dimiliki Muawiyah pada tahun 34 Hijriah atau 654/655 M sebanyak 5.000 kapal.

Sedangkan bukti terbaru yang bisa dilacak dari masuknya Islam ke Indonesia adalah ditemukannya sejumlah harta karun di perairan Cirebon oleh PT Paradigma Putera Sejahetara (PPS) sebanyak 200 ribu benda bersejarah dari badan muatan kapal tenggelam (BKMT). Dari beberapa artefak yang ditemukan tersebut, terdapat sejumlah simbol keislaman berupa cetakan teks Arab bertuliskan khat Naskhi (model Mushaf Usmani) dan lainnya.

“Bukti dari Cirebon ini akan mengoreksi waktu kedatangan Islam hingga 300 tahun ke belakang,” jelas Kurt Tauchman, profesor emeritus dari Departemen Antropologi Universitas Cologne, Jerman. Disebutkan, kapal yang tenggelam di perairan Cirebon ini diperkirakan terjadi pada 920-960 M. Karena itu, bukti sejarah ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Islam di Indonesia. (republika.co.id, 23/5/2010)



Sumber

Rekayasa Sejarah dan Motivasi untuk Membendung Kebangkitan Umat Islam

Ahad pagi, 18 Mei 2008, sekitar 350 undangan memadati ballroom Hotel Bintang, Balikpapan. Mereka yang terdiri dari para perwakilan guru dan utusan sekolah tingkat SLTP dan SLTA se-Balikpapan, perwakilan serikat pekerja, tokoh masyarakat dan alim ulama, menghadiri acara Diskusi Panel yang digelar oleh HTI Balikpapan dalam rangka momentum seabad kebangkitan nasional. 

Forum ini menghadirkan Mas’ud Sujadi, SE – pakar ekonomi Kaltim – sebagai pembicara pertama, Ir. Moh. Topan – pengamat sejarah – sebagai pembicara kedua, dan Ir. Muklas dari HTI Balikpapan sebagai pembicara ketiga. Sebagai panelis adalah H. Mukhtar dari perwakilan pengusaha Balikpapan, H. Sugiyanto selaku pimpinan sebuah institusi pendidikan tinggi swasta di Balikpapan mewakili kalangan akademisi dan Ir. Tri Budi Lestari yang merupakan IT Manager dari salah satu perusahaan migas terbesar di Indonesia.

Pengkaburan Sejarah Dan Marginalisasi Islam

Sejarah itu ibarat ingatan, apa jadinya manusia tanpa ingatan ? Statement kritis yang dikutip dari Ahmad Mansyur Suryanegara, salah seorang pakar sejarah Indonesia, mengawali sesi pertama diskusi yang diisi dengan kajian kritis atas sejarah kebangkitan Indonesia, yang menampilkan Ir Moh Topan, pengamat sekaligus peneliti sejarah. Manusia tanpa ingatan yang benar akan kebingungan dengan masa lalunya dan kehilangan potensi besar yang mungkin dimilikinya. Ibarat sesosok manusia yang memendam harta berlimpah untuk tujuh turunan, namun tidak mengetahui dimanakah ia menyimpannya, bahkan tak pernah mengingat apakah ia memiliki kekayaan sebanyak itu. 

Demikian pula halnya dengan sebuah bangsa tanpa sejarah yang benar. Pesona gemilang bangsa tersebut di masa lalu bisa jadi tak terbaca oleh generasi sesudahnya. Rahasia sukses dan tahapan perjuangan yang dulu dirintis oleh para pendahulu kita mungkin tak bisa lagi ditelusuri jejaknya. Inilah target pengkaburan sejarah bangsa yang dilakukan oleh kaum kuffar, yang saat ini produknya masih terus dipelajari dan menjadi acuan bagi pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Walhasil, generasi masa kini yang menelan sejarah keliru tersebut tidak lagi memiliki kebanggaan sekaligus panutan yang benar, hingga akhirnya menjadi generasi ompong yang tidak punya nyali untuk memperjuangkan sesuatu yang hakiki.

Ir Moh. Topan mencontohkan mengenai penetapan awal masuknya Islam ke Indonesia. Teori pertama yang berasal dari Snouck Horgrounye menyimpulkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang Gujarat. Teori kedua menyatakan bahwa Islam datang pada abad yang sama, namun dibawa oleh orang Persia dengan alasan bahwa ada kesamaan kultur peringatan 10 Muharam. Kedua teori ini yang dipakai dalam penulisan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Padahal, Gujarat dan Persia adalah berpaham Syi’ah, sementara Islam pertama kali masuk di Samudera Pasai yang berpaham Ahlus sunnah wal jama’ah. Teori ketiga yang dikemukakan Ibnu Batutah justru tidak populer, dimana Islam datang pada abad ke-7, didukung fakta adanya perkampungan Arab Islam di Sumatera serta pernikahan yang telah terjadi dengan warga setempat. Hal ini menunjukkan upaya De-Islamisasi (mendahulukan yang tidak bersimbol Islam). Pembuat sejarah berupaya menanamkan bahwa yang mewarnai peradaban Indonesia adalah Hindu – Budha, padahal dari waktu awal masuknya hampir bersamaan (sama-sama abad ke-7). Dengan mengeset sejarah masuknya Hindu – Budha pada abad ke-7 dan Islam baru masuk 6 abad kemudian (abad ke-13) menunjukkan upaya pengkaburan sejarah untuk meminimalisasi peran Islam dalam sejarah Indonesia.

Pemateri pertama juga menunjukkan upaya pemusnahan data sejarah yang dilakukan oleh penjajah. Aksi pembakaran 70 jilid hikayat dan karya intelektual ulama di Riau hingga Kelantan dituliskan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Al Mansyi. Raffles juga merampas 300 judul hikayat karya para ulama saat itu. Atas intruksi Kardinal Gemenis, Portugis dan Spanyol juga melakukan pembakaran atas karya klasik umat Islam. Dengan pemusnahan data sejarah ini, para penjajah seakan melenyapkan ingatan bangsa jajahannya dan menggantinya dengan ingatan palsu yang dibuatnya sendiri sesuai dengan keinginannya.

Pemutarbalikan sejarah juga dilakukan dengan banyak cara. Diantaranya pembunuhan karakter, yang bisa kita lihat dengan jelas pada kasus Pangeran Diponegoro. Dalam buku sejarah, perjuangan Diponegoro dituliskan sebagai pemberontakan (konotasi negatif) dimana motivasinya adalah lantaran makam leluhurnya terkena proyek gusuran jalan raya. Cara lain adalah dengan pengalihan (penyelewengan) tujuan, seperti kita baca dalam penulisan sejarah tentang Kartini. Perjuangan Kartini digambarkan sebagai upaya penyamarataan derajat antara pria dan wanita (emansipasi). Upaya R.A. Kartini untuk mengentaskan wanita dari jahiliyah kepada Islam, serta upaya beliau mengkaji tafsir Al-Qur’an, mengkritik kebebasan wanita barat dsb, justru tidak pernah diangkat, seakan-akan perjuangan beliau tanpa ruh Islam sama sekali.

Dipilihnya Budi Utomo (20 Mei 1908) sebagai tonggak kebangkitan Indonesia dan bukan Sarikat Islam yang berdiri lebih awal (16 Oktober 1905) juga merupakan bagian dari desain sejarah yang dikehendaki oleh penjajah. Selain lebih awal tahun berdirinya, Sarikat Islam yang non-cooperative (tidak mau bekerja sama dengan penjajah) juga memiliki keanggotaan yang jauh lebih luas dengan 18 cabang di seluruh Indonesia yang anggotanya telah mencapai 2 juta orang lebih di tahun 1919. Namun politisasi sejarah telah membuat peran Sarikat Islam dikalahkan, yang berarti juga meminggirkan peran Islam dalam proses sejarah kebangkitan bangsa ini.

Diakhir paparannya, pembicara pertama mengakui bahwa Hizbut Tahrir adalah yang pertama dan satu-satunya diantara sekian banyak harakah dakwah yang peduli pada sejarah Indonesia dan yang berusaha meluruskan upaya pembelokan sejarah yang sengaja dilakukan oleh pihak barat.

Pembodohan Sistematis terhadap Umat

Mas’ud Sujadi, SE, GM Koperasi Kilang Mandiri PT Pertamina Balikpapan, yang menjadi pembicara kedua menyoroti fakta riil bangsa ini dalam kurun 100 tahun yang terus menunggu kebangkitannya. Berbagai pembodohan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya dikupas tuntas dan menelanjangi kebusukan para pemimpin negara ini yang tak henti-hentinya berkoar-koar mendengungkan kebangkitan sementara rakyatnya sedang tertatih menuju kebangkrutan.

Penghematan anggaran 25 triliun dari subsidi BBM yang katanya banyak menguntungkan orang kaya, sehingga selayaknya subsidi bagi orang kaya dihapuskan. Padahal mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang menikmati subsidi itu baik secara langsung (dengan memakai BBM) ataupun tidak langsung (melalui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga kebutuhan pokok) merupakan pihak yang paling banyak dirugikan. Inflasi dalam triwulan pertama saja sudah melebihi 4%. Daya beli masyarakat dipastikan akan makin turun. Sebaliknya, subsidi yang jelas hanya ditujukan bagi orang kaya (konglomerat) saja dalam bentuk bantuan dana likuiditas untuk perbankan justru dipertahankan. Padahal, negaralah yang harus membayar trilyunan bunganya dari pos anggaran yang ada.

Contoh lain adalah penyajian angka pendapatan perkapita yang sangat menyesatkan. Angka pendapatan rata-rata seolah-olah mencerminkan kemakmuran yang makin baik, padahal terjadi ketimpangan yang sangat jauh antara mereka yang berpendapatan ekstra lebih dengan mereka yang berpendapatan minim. Kekayaan para konglomerat cenderung naik tiap tahun secara fantastik, tercermin dari naiknya kriteria jumlah kekayaan pada daftar rangking orang terkaya di dunia. Sementara fakir miskin cenderung memiliki penghasilan yang tetap, padahal harga kebutuhan hidup cenderung makin naik. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, dan nilai rataan kedua golongan ini menghasilkan angka semu pertumbuhan pendapatan yang sepintas terlihat besar.

Pembodohan lain nampak jelas pada upaya meredam gejolak kenaikan harga BBM melalui BLT (bantuan langsung tunai). Standard pemberian BLT sangat meragukan. Orang miskin yang terkena dampak BBM, termasuk orang miskin baru, jumlahnya mencapai hampir separuh dari penduduk negeri. Sementara BLT hanya diberikan pada kurang dari 10% penduduk dengan mengacu pada data yang lama. Di sisi lain, cost yang ditanggung rakyat jumlahnya jauh lebih besar dari apa yang diterima melalui BLT. Upaya ini jelas seperti menggarami air laut, tidak berdampak signifikan dan sia-sia saja.

Wajarlah dengan berbagai pembodohan seperti ini, kebangkitan tak jua datang meskipun diperingati (secara seremonial) setiap tahunnya. Rakyat makin terpuruk dan tak berdaya dalam cengkeraman kapitalisme global yang menjajah di semua lini.

Di akhir paparannya, pembicara kedua mendukung upaya Hizbut Tahrir untuk merealisasikan penyatuan umat Islam sedunia. Suatu hal yang sangat mungkin dilakukan, sebagaimana masyarakat Uni Eropa bisa menyatukan mata uang mereka. Asalkan ada komitmen yang kuat, bukan mustahil konsep khilafah yang ditawarkan Hizbut Tahrir akan segera menjadi kenyataan.

Meraih Kebangkitan Hakiki

Pembicara ketiga, Ir Muklas, menanggapi pertanyaan sebagian besar peserta diskusi yang kebanyakan berlatar belakang guru yang risau dengan kenyataan sistem pembelajaran di sekolah. Apa yang mereka yakini kebenarannya, termasuk setelah mengikuti diskusi panel ini, berbeda dengan materi yang harus mereka sampaikan berdasarkan kurikulum, terkadang berbenturan dan menimbulkan kebingungan.

Ir. Muklas mencontohkan, di pelajaran pertama seorang siswa belajar agama Islam, dan diajarkan mengenai kebenaran Islam (sesungguhnya agama disisi Alloh SWT hanyalah Islam). Namun di pelajaran kedua ketika belajar PPKN, diajarkan bahwa semua agama benar. Paradoks ini memang membuat siswa memiliki pemahaman yang ambigu, namun demikianlah kenyataannya dalam sistem yang berlaku sekarang.

Ir. Muklas juga mengulas fakta keterpurukan ekonomi. Saat harga minyak melambung, harusnya Indonesia diuntungkan. Namun pada kenyataannya justru negara ini dibuat kelimpungan, sementara investor asing menari kegirangan. Ujung-ujungnya, alam semesta yang tidak dikelola berdasarkan aturan Alloh SWT menjadi penyebab kekacauan yang terjadi.

Resep jitu yang beliau tawarkan adalah dengan mengubah sistem jahiliyah yang merusak dan menggantinya dengan sistem Islam yang memberi kehidupan. Dicontohkan sebuah rumah yang atapnya bocor dan kemasukan air hujan. Meskipun lantai dibersihkan / dipel, ember penampung disediakan disana-sini, namun selama atap yang bocor tidak diperbaiki maka selamanya rumah akan kemasukan air hujan. Demikian pula bangsa ini. Tambal sulam disana sini tidak akan membawa bangsa ini dari keterpurukan menuju kebangkitan, selama sistem yang menyebabkan kerusakan tidak segera diganti.

Tak ada jalan lain untuk mengubah sistem kufur yang ada saat ini menjadi sistem Islam selain hanya dengan bangkit untuk berdakwah demi melanjutkan kehidupan Islam melalui diterapkannya syariah dan ditegakkannya Daulah. Hanya dengan cara itu umat ini akan bangkit dengan kebangkitan yang hakiki. Karena itu HTI menyerukan kepada segenap elemen masyarakat untuk berjuang dalam jalan dakwah dan mensinergikan kekuatan umat Islam dalam barisan yang kokoh demi terwujudnya izzul islam wal muslimin (/muqi)



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.