Selasa, 28 Januari 2014

Snouck Hurgronje : Demokrasi adalah anti thesisnya Islam.

Snouck Hurgronje menyatakan: "Islam has never favoured democratic tendencies", artinya Islam itu sendiri tidak akan sesuai dengan kecenderungan demokrasi. Dalam arti kata bahwa Demokrasi adalah anti thesisnya Islam. 

Dalam berapa pemikirannya Snouck mempunyai kesimpulan dikarenakan Islam tidak cocok dengan demokrasi, maka diusahakanlah umat Islam untuk mengambil Demokrasi (dan otomatis akan meninggalkan Islam). Maka dia menyarankan pemerintahan Belanda untuk mendidik para elite Indonesia dengan pendidikan Barat yang mana mereka akan mengadopsi pemikiran barat (kebebasan di dalam menentukan hidup sendiri aka demokrasi). Tertulis sebagai berikut

He advocated increased autonomy through western education of the indigenous governing elite. In 1923 he called for"one has to break with the concept of moral and intellectual inferiority of the natives" and allow them "free and representative democratic bodies and optimal autonomy" 

Dia (Snouck) memberikan saran untuk meningkatkan otonomi/kebebasan menentukan pendapat (tidak lagi tergantung kepada Syari'at Islam) melalui pendidikan barat untuk para elite pribumi yang di pemerintahan. Pada tahun 1923 dia mempropagandakan "Harus diusahakan untuk mendobrak konsep moral dan kekalahan intelektual pribumi (umat Islam) dengan cara mereka mempunyai sebuah badan demokratis yang merdeka, yang memutuskan sendiri nasib mereka secara optimal."

Agar umat Islam tidak meninggalkan keIslamannya Snouck menyarankan agar pemerintahan Belanda, membedakan antara ibadah dengan urusan politik. Urusan ibadah seperti haji, percaya kepada hari kiamat adalah urusan kepercayaan yang tidak berbahaya, sementara masalah syari'at pemerintahan adalah masalah yang harus ditentang. Sebagaimana tertulis:

Snouck therefore advised the Dutch government to distinguish between what he termed the “real core of dogma” of Islam, such as praying, Hajj, belief in the Day of Judgement, et cetera, which according to Snouck were all harmless matters of belief; and “everything that is political or could eventually become political”. become political”. The “real core of dogma”, or what Snouck would sometimes call “the purely religious”, should be left completely free. But the government should forcefully act against political Islam. 

Komentar:
Ikhwan fillah, sesungguhnya kesimpulan yang sangat jelas sekali dari apa yang dikatakan Snouck Hurgronje.

Islam tidak sesuai dengan Demokrasi, agar umat Islam meninggalkan Islam maka suruh mereka mengambil pemikiran Demokrasi. Islam itu diatur dengan Syari'at Islam, Demokrasi, mereka itu otonomi, bebas mengatur diri mereka sendiri tanpa harus terikat dengan syari'at Islam, atau bahasa syari'at nya mengikuti hawa nafsu.

Saya pribadi mempunyai kesimpulan bahwa pemikiran yang sangat merusak umat Islam setelah filsafat adalah pemikiran demokrasi ini, yaitu kebebasan untuk menentukan bertingkah laku, kebebasan untuk berpendapat, dalam arti kata kebebasan untuk membuat syari'at sendiri dalam kehidupan. 

Sungguh bagi seorang Muslim, tidak ada yang namanya kebebasan dalam berpendapat dan menentukan Syari'at / aturan sendiri dalam kehidupan yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala kepada mereka. Allah lah yang mempunyai alam semesta bahkan manusia itu sendiri, dan Allah lah yang memberikan kehidupan bagi manusia, manusia hanyalah makhluk ciptaanNya, dan Allah pula yang lebih mengetahui bagaimana syari'at yang terbaik bagi makhlukNya tersebut. Tidak ada pilihan bagi manusia selain mengikuti aturan dan pendapat Allah Ta'ala di dalam kehidupan ini sebagaimana firmanNya:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. "
(Al Ahzab 36)

Karena mengadopsi prinsip kebebasan (Demokrasi) inilah sebahagian umat Islam tidak lagi menyadari hakekat siapa sesungguhnya diri mereka. Mereka merasa mereka mempunyai hak untuk menentukan pendapat mereka sendiri di dalam kehidupan ini. Kata-kata tidak ada yang bisa menilai agama seseorang sesungguhnya adalah kata-kata yang berlandaskan konsep kebebasan ini. Yang intinya jangan paksakan syari'at Islam kepada kami. 

Dengan pemikiran ini, mereka memandang adanya aturan sebagai suatu bentuk kediktaktoran, keotoriteran, mereka melihat aturan yang datang dari Tuhan mereka sendiri sebagai pengekang terhadap kebebasan mereka di dalam bersikap dan bertingkah laku.

Ikhwan fillah, sesungguhnya tidak ada yang namanya kebebasan itu sendiri, ketika manusia menjauh dari aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala yaitu syari'at Islam, maka sesungguhnya dia terkukung kepada aturan manusia, aturan-aturan yang lemah yang dibuat berdasarkan hawa nafsu manusia yang rendah. Dan itulah yang dikatakan oleh Allah Ta'ala manusia manusia yang mengikuti hawa nafsu semata. Dan manusia yang terperangkap kepada aturan hawa nafsunya sendiri sesungguhnya bukanlah manusia yang merdeka, karena hawa nafsu tidak mempunyai batas di dalam keinginan-keinginannya. Lihatlah manusia yang terperangkap oleh hawa nafsunya, tidak pernah bahagia, karena tidak pernah bisa merdeka dari hawa nafsu mereka sendiri. 

Begitu juga dengan pemikiran demokrasi, ketika negara diatur dengan konsep kebebasan hawa nafsu manusia ini, lihatlah bagaimana hancurnya negara ini , aturan-aturan yang dibuat tidak mampu untuk tidak mengeksploitasi alam, tidak mampu untuk tidak membuat undang-undang yang hanya memberikan keuntungan para pengambil keputusan, tidak mampu untuk menghentikan tindak korupsi dan kejahatan, dan seterusnya. Dan sesungguhnya tidak ada yang namanya kemerdekaan. 

Sesungguhnya yang dahulu bagi Snouck Hurgronje adalah sebuah ide untuk menjauhkan umat Islam dari Islam sendiri dengan diharuskan adaya usaha dan tindakan dengan menyuruh pemerintahan untuk mengajarkan para elite umat Islam dengan ide kebebasan/ otonomi/ demokrasi agar mereka mengadopsinya, sekarang ide kebabasan ini diambil dengan sukarela oleh umat Islam di seluruh dunia, tidak hanya para elite, tetapi juga oleh orang awam. 

Tulisan ini saya buat setelah berdiskusi dengan seorang Doktor tamatan Islamic Study (studi orientalis) di Universitas Exeter di Inggris. Kita sampai berbicara apakah dia mati Muslim atau kafir, tetapi salah satu info yang menarik yang saya dapatkan tentang Snouck Hurgronje ini, adalah bahwa dia mengalami sakratul maut berbulan bulan sebelum kematiannya. 
Wallahualam bishawwab




Sumber

AS ancaman terbesar bagi perdamaian Dunia

Seperempat penduduk dunia menganggap Amerika Serikat adalah ancaman terbesar untuk perdamaian dunia, menurut survei internasional.
Dalam laporannya BBC London (30/12) mengutip hasil survei penduduk dunia yang dilakukan oleh WIN/Gallup International menunjukkan pendapat terkait Amerika sebagai ancaman terbesar itu ditemukan di Timur Tengah dan sebagian besar Eropa Barat.
Survei tahunan itu dilakukan dengan wawancara 67.000 orang di 55 negara.
Jajak pendapat itu menyebutkan 13% warga Amerika sendiri juga berpendapat negara mereka merupakan ancaman.
Namun, dalam survei itu juga terungkap bahwa  merupakan tujuan paling populer bagi mereka yang mencari tempat tinggal di negara lain.
Amerika memang dikenal sebagai sosok negara Amerika yang haus perang. Moris Berman, dalam buku Dark Ages America: The Final Phase of Empire (2006), menggambarkan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengeskpor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata.
Dalam catatan Jamil Salmi, dalam bukunya, Violence and Democatic Society, Amerika telah melakukan intervensi ke negara lain antara 1798-1895 M sebanyak 103 kali, antara tahun 1896-1945 sebanyak 57 kali, dan dalam rentang tahun 1945-2001 sebanyak 218 kali. Amerika juga menjadi Otak Kudeta Berdarah di: Iran (1953), Guatemala (1954), Kuba (1961 dan 1971), Brazil (1964), Indonesia (1965), Yunani (1967), Chili (1973), Angola (1974-1975), Jamaika (1975), Grenada (1983), Nikaragua (sejak 1984).
Hampir semua medan perang di kawasan dunia saat ini seperti Irak, Afganistan, Yaman, Sudan dan Suriah tidak bisa dilepaskan dari permainan negara adidaya ini. Untuk mengalihkan opini, seperti biasanya, Amerika malah menuduh kelompok Islam sebagai teroris!



Sumber

Pembantaian Shabra dan Shatila

Oleh: Rashied Hasan
George Gollawai (tahun lalu) mengenang luka dalam memperingati 30 tahun kejahatan paling kejam sepanjang jaman ini “Shabra dan Shatila” yang tidak akan terlupakan. Ia mengingatkan kesaksian orang-orang yang mati dan orang hidup dan mengungkap pementasan kejahatan itu secara sempurna.Saksi mata-saksi mata yang melihat pembantaian yang hampir tidak mereka percayai. Dunia berada di depan tanggungjawab tiga sekutu segitiga yang terlibat dalam pembantaian tersebut; Amerika Serikat, Israel dan pasukan Libanon. Namun ketiga terlepas dari sanksi hukum. Sehingga ini mendorong mereka untuk melanjutkan kejahatan demi kejahatan.
Amerika melepaskan diri dari semua jaminan-jaminan (kewenangan) yang diberikan kepada komisonernya Fhilip Habeb kepada Arafat untuk menjaga kamp-kamp perkemahan Palestina di Libanon setelah pasukan PLO menarik diri dari sana. Maka battalion Italia menarik diri dari wilayah sekitar dua kamp pengungsi Palestina Shabra dan Shatila setelah dua hari. Sementara pasukan Israel mengepung dua kamp pengungsi itu dan melarang warga di sana untuk masuk atau yang mau keluar. Di malam hari, kamp pengungsi diterangi. Untuk selanjutnya, pasukan dan milisi Libanon pimpinan Habeqah dan Ja’ja’ melakukan pembantaian di abad ini. Mereka membunuh anak-anak, wanita, kakek dengan kampak, pisau. Sementara penjahat Sharon mengomandoi eksekusi kejahatan itu. Selama dua hari pembantaian, lebih dari 5000 warga sipil tewas. Sementara ratusan warga kamp pengungsi itu masih hilang hingga kini gak tahu rimbanya.
Produser film Shabra dan Shatila, Monica Brugman yang melakukan pertemuan wawancara dengan sejumlah pelaku pembunuhan berhak untuk mencatat data untuk ditunjukkan kepada dunia seluruhnya karena dialah yang membuat film itu. Dia yang menjadi saksi atas kedengkian dan tindakan fasis yang tidak pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan, sejarah perang, pembantaian dan kejahatan. Para pembunuh itulah, setelah sembila tahun berlalu dari pembantaian itu, tidak menunjukkan penyesalan atas kejahatan itu. Mereka menjawab dengan tanpa beban dosa, “Ya kami membunuh anak-anak, karena mereka akan menjadi pejuang dan pasukan Palestina!!” Keberanian sedemikian rupa karena memang tidak ada sanksi dan hukuman terhadap pelaku kejahatan itu setelah dikeluarkan amnesty bagi seluruh yang terlibat dalam perang saudara Libanon. Namun itu mengungkap tindakan fasis dan semangat dendam yang tidak masuk akal yang yang merasuk ke dalam darah pasukan Libanon dan battalion yang terlibat. Mereka itulah yang diwakilah seorang di parlemen Libanon yang pernah mengatakan, “Kami hancurkan kamp Tel Za’tar dan membunuh apa yang di dalamnya karena kami takut mereka akan menjadi warga negara.
Dunia orang-orang kuat dan jahat telah membuat konspirasi menghapus kejahatan itu dan menjaga para pelakunya dari sanksi yang tegas. Semua usaha menyeret penjahat dari elit Israel, pasukan Libanon ke pengadilan internasional gagal, terutama Sharon, Elly Habekah, Samir Ja’ja’ yang sampai saat ini bebas bergerak di Libanon setelah keluar amnesty khusus untuknya.
Dalam konteks ini, perlu disinggung keputusan presiden Libanon Amin Al-Jamil yang menggantikan saudaranya Basyir yang memutuskan tiga hari setelah pembantaian Shabra agar tak menyebut-nyebut lagi kejahatan itu di media massa Libanon setelah dilakukan investigasi formalitas dan tidak menetapkan seorang pun sebagai tersangka. Mereka mengkerdilkan jumlah korban yang gugur hanya 200 orang saja. Tak disebutkan pasukan Libanon terlibat dalam kejahatan itu. Namun tetap saja yang menjadi jargon pengungsi Palestina di Shabra dan Shatila, dan seluruh warga Palestina di manapun bahwa “Tak ada seorang pun melupakan pembantaian itu…tak ada sesuatu yang bisa mampu melupakan kami akan hal itu.” Sampai para pelaku kejahatan itu dihukum dengan setimpal.
Penulis pernah bekunjung bersama wartawan Audah Audah ke kamp Shabra dan Shatila 10 tahun setelah pembantaian. Kami dikejutkan melihat bekas kejahatan yang masih ada. Bekas-bekas itu berbicara tentang keberingaasan itu.Keluarga korban masih menunggu anak-anak mereka yang hilang yang diculik oleh milisi pasukan Libanon.
Namun pembantaian Shabra dan Shatila tak akan membunuh spirit dan nyawa perjuangan perlawanan Palestina dan Libanon. Bahkan darah itu menjadi amunisi perlawanan sampai menggapi kemenangan yang agung.




 Sumber

Masjid Baiturrahman

Saksi Pergolakan Rakyat Aceh Mempertahankan Syariah

Masjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Makkah. Mulai dari masa Kesultanan, perlawanan terhadap penjajahan Belanda hingga bencana tsunami, rumah ibadah ini menyaksikan semuanya.


Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman Kesultanan .Masjid ini didirikan pada abad 17, yakni pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Nama Baiturrahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.1
Selain sebagai tempat ibadah, pada masa penjajahan, Masjid Raya Baiturrahman berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874). Di masjid ini, sering pula diadakan musyawarah besar untuk membicarakan strategi penyerangan dan kemungkinan serangan tentara Belanda terhadap Kesultanan Aceh.2
Saat Pemerintah Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di Bumi Aceh pada 1873, Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah menolak mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut.Penolakan ini membuat pihak Belanda tersinggung dan murka. Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap Kesultanan Aceh.
Karena posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda. Pertama: pada 10 April 1873, yaitu ketika pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler. Belanda langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman.Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Dalam serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Pada saat itu terjadi pertempuran besar: tentara Aceh melawan tentara Belanda. Gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan Prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti ada di bawah pohon Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Kedua: pada 6 Januari 1874. Meskipun masjid ini dipertahankan mati-matian oleh seluruh rakyat Aceh, karena keterbatasan dan kesederhanaan persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus merelakan masjidnya jatuh ke tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat bersamaan, Belanda juga mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah berhasil ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Namun, untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden.3
Belanda dalam upayanya ‘menundukkan dan meredam’ pergolakan perjuangan masyarakat Aceh menggunakan berbagai macam taktik. Salah satunya, taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz. Saat itu dibentuk pasukanmaréchaussée yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan.Pasukan ini telah mampu menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik Belanda berikutnya adalah penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh.Misalnya, Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902).Van der Maaten menawan putra Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali. Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putra Panglima Polim, Cut Po Radeu, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya.
Akibatnya, Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) yang menewaskan 2.922 orang, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir, menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, yang masih melakukan perlawanan secara gerilya. Akhirnya, Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
Selama Perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (Korte Verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Surat pendek penyerahan diri itu berisikan: Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda; Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.4 []
Catatan kaki:
1         http://idaylum.wordpress.com/2009/08/03/dibalik-cerita-masjid-baiturrahman-saksi-sejarah-aceh/
2         http://gayonusantara.blogspot.com/2013/05/masjid-baiturrahman-saksi-sejarah-kisah_1.html
3         idem
4         http://www.pbanyak.com/2011/03/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda.html
 
Sumber

Indonesia Merdeka Karena Perjuangan Ulama

Wawancara dengan Prof. Mansyur Suryanegara

Tak banyak tahu bila kemerdekaan bangsa ini atas pengorbanan dan jerih payah para ulama kita. Mereka tidak hanya berjuang melawan penjajah secara fisik, tapi juga harta benda. Tak hanya itu mereka pula yang menyusun dan merancang konsep kemerdekaan Negara ini.
Untuk mengetahui lebih jauh, eramuslim menemui sejarawan Mansur Suyanegara. Inilah kutipannya:
 
Kolonialisme seolah tak pernah berhenti di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia. Bagaiamana Anda melihat hal ini?

 
Perjuangan nasionalisme menentang penjajah itu tokohnya adalah ulama dan santri. Sehingga, Thomas S. Raffles, dalam bukunyaThe History of Java, di situ menjelaskan ulama itu tidak melakukan kerjasama dengan sultan. Bahkan tidak mungkin kaki tangan penjajah aman di Indonesia, kendati jumlah ulama dan santri hanya sepersembilan belas dari populasi penduduk di Jawa pada waktu itu. Jadi, adanya penjajahan itu dimulai 1494, dari Paus Alexander ke VI. Paus inilah yang memberikan kewenangan kepada kerajaan Katholik Portugis untuk menguasai belahan dunia timur, dan kerajaan Katholik Spanyol menguasai belahan Barat. Lalu sampailah ke Indonesia orang-orang Portugis itu pada tahun 1511 dengan menguasai Malaka.

 
Dari mana kaum penjajah menguasai wilayah Islam?
Sejak itulah ada serangan dari kesultanan Demak terhadap Malaka. Kenapa menyerang Malaka? Karena kuatnya Islam itu tergantung pada penguasaan pasar dan pengusaan maritim. Karena Nabi sendiri, sejak umur delapan tahun sebelum diangkat sampai menjadi Nabi seorang wirausahawan. Di dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat yang berbicara tentang perniagaan dan maritim. Di dalam Al-Qur’an ada 40 ayat yang berbicara tentang maritim. Inilah yang tidak dikuasai para ahli sejarah pada umumnya.
Mereka sering menggambarkan Rasulullah hanya dengan padang pasir dan onta. Tidak ada orientasi pada kelautan. Padahal, Islam itu kuat karena menguasai laut. Dan jazirah Arabia itu sendiri berarti wilayah yang dikelilingi laut. Karena kita dikuasai sejarah Barat, informasi kelautan itu hanya dimiliki Inggris.

 
Jadi mereka memakai metode Nabi Saw?
Inggris itu meniru Islam. Maka saya angkat kembali bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai laut terbesar di dunia, tidak ada negara yang punya laut seluas Indonesia, maka kalau perhatian pada lautnya kurang, kita tidak tahu informasi sejarah Rasulullah menguasai dunia.

 
Bukankah Indonesia dulu juga diperjuangkan para ulama kita?
Setelah Indonesia ini merdeka, ada dua kekuatan yang disepelekan masyarakat. Setelah perang selesai, ada dua kekuatan, yaitu ulama dan militer yang tidak dianggap berperan dalam menegakkan NKRI. Padahal ulama dan militer adalah satu kesatuan. Karena PETA, pasukan bentukan Jepang, sewaktu mengikuti Indonesia, yang terdiri atas 68 batalyonnya, semuanya ulama. Jadi pada masa Jepang ulama diberi kesempatan untuk memimpin organisasi kesenjataan (kemiliteran). Maka umat Islam mempunyai kekuatan yang dahsyat. Saya katakan dahsyat, karena di kalangan NU diberi kewenangan untuk membina 50 batalyon Hizbullah. Anda bisa bayangkan ketika Proklamsi kekuatan militer dari Islam itu luar biasa besarnya. Bung Karno sendiri ketika pidato Proklamasi tanggal 9 Ramadhan 1364 H/ 17 Agustus 1945, kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani.

 
Kenapa begitu?
Karena tanggal 6 dan 9 Agustus ada dua bom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki. Tidak ada bangsa yang bisa menghancurkan bangsa, yang sampai flora dan faunanya hancur mati, kecuali hanya AS. Itulah kenapa Yahudi dianggap kejam. Padahal tidak pernah flora dan fauna Yahudi yang dihancurkan. Tapi kalau AS, orang yang sedang sakit sampai rumah sakitnya dihancurkan. Dalam kondisi demikian Jepang, tanggal 14 Agustus, bertekuk lutut. Lha kenapa Indonesia berani memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17? Itu karena Bung Karno didukung oleh ulama.

 
Misalnya siapa dari ulama itu?
Umpamanya Syekh Musa, itu ulama dari Sukanegara, Cianjur Selatan. Lalu dari Bandung ada Drs. Sosrokartono, kakaknya RA. Kartini. Lalu ada Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan dari NU KH. Hasyim Asy’ari. Mereka inilah yang memberi tahu bahwa Jepang tidak akan mengganggu Indonesia lagi. Dan Hasyim Asy’ari waktu juga bilang bahwa presiden pertamanya adalan Bung Karno, dan itu disetujui angkatan laut Jepang.

 
Bisa dijelaskan lebih lanjut?
Jadi ketika tanggal 10 Ramadhan tau 18 Agustus, Pancasila yang merumuskan itu tiga orang. Yakni, KH Wahid Hasyim dari NU, Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, dan Kasman Singodimedjo, juga dari Muhammadiyah. Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila itu sebagai ideologi, UUD 45 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI tidak akan mampu, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula Bung Karno diangkat jadi presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jadi negara ini yang memberi kesempatan proklamasi seperti itu adalah ulama.
Dan ketika ada gerakan separatis APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), KNIL, RMS (Republik Maluku Selatan), lalu dibuat negara kesatuan. Itu atas perjuangan dan usaha M. Natsir dari Masyumi dan Persatuan Islam. Jadi kita bisa melihat sumbangan ulama itu sangat besar.

 
Sekarang ini ulama dilupakan?
Iya dilupakan. (dina)





Sumber

ABDURRAUF SINGKEL Qadi Malik Al-‘Adil dari Serambi Makkah

Oleh : Gus Uwik

Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105/1615 1693), yang Nama lengkapnya adalah 'Abd al-Ra'uf bin 'Ali al-jawi al-Fansuri as-Sinkili adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (Singkel) di wilayah pantai barat laut Aceh. Ayahnya adalah seorang Arab bernama Syaikh Ali. Hingga saat ini, tidak ada data pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya.

Al-Sinkili kecil telah belajar agama di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya maupun dari para ulama setempat lainnya, hingga pada sekitar tahun 1642. Selanjutnya ia mengembara untuk menambah pengetahuan agama ke Tanah Arab. Di Tanah Arab, selama 19 tahun al-Sinkili belajar agama pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-Faqih dll. Dengan bekal pengetahuannya ini, al-Sinkili menjadi seorang ulama yang mumpuni, baik dalam ilmu-ilmu batin, yakni tasawuf, maupun ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fikih, hadis, dll. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat mempengaruhi sikap keilmuan al-Sinkili kelak, yang sangat menekankan perpaduan antara syariah dan tasawuf.

Sepulangnya dari Arabia, Abdurrauf dipercaya oleh Sultanah untuk memegang jabatan Qadhi Malik al-‘Adil. Menurut A. Hasjmy (1975), jabatan ini dalam struktur Kerajaan Aceh saat itu merupakan posisi terpenting kedua setelah kepala negara yang bergelar Sultan Imam ‘Adil: yakni seorang mufti yang bertanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan. Pola hubungan penguasa dengan tokoh intelektual keagamaan di Aceh sejak awal memang menarik, karena "hubungan mesra" itu—seperti diisyaratkan A. Hasjmy (1977)—telah mendarah daging, menjadi bagian dari filsafat hidup dan filsafat politik. Pola hubungan istana-ulama semacam inilah yang menjadikan penyebaran Islam pada masa-masa awal, khususnya di Aceh, menjadi fenomena Istana. Istana Kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi para Sultan atau Sultanah.

Secara umum, Abdul Rauf memang dikenal sebagai ulama tasawuf. Namun menurut pemahamannya, harus ada harmoni antara syariah dan sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariah. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariahlah seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati.

Dalam pandangannya, tasawuf harus dilakukan seiring dengan dan berada di bawah kontrol syariah. Sebagai penganut aliran neo¬sufisme, al-Sinkili menekankan pentingnya hadis-hadis Nabi saw. dalam praktik keagamaan Muslim. ia menulis dua buah karya di bidang hadis: yakni penafsiran atas Hadis Arba'in karangan al Nawawi dan al-Mawaa'izh al-Badi'ah. Yang terakhir ini bersisi koleksi hadis-hadis qudsi¬ wahyu Tuhan yang disampaikan melalui kata-kata Nabi saw. sendiri.

Penekanannya tentang pentingnya syariah dalam tasawuf muncul dalam Mirat at-Tulab fi Tashil Ma'rifah al-Ahkam asy-Syar'iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Pemahaman atas Hukum-hukum Syariah dari Tuhan—bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariah. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadah, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan dan hukum tentang jinayat atau kejahatan.

Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual-beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Adapun jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain. Karya tulis yang cukup lengkap inilah yang semakin mempertegas bahwa beliau bukanlah sekadar seorang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia, namun lebih dari itu, seorang yang lebih tepat dikatakan zuhud terhadap dunia dan sangat peduli terhadap permasalahan-permasalahan umat.

Karya penting lain yang dilahirkan al-Sinkili adalah Tarjumaan al-Mustafid, sebuah tafsir al-Quran dalam bahasa Melayu. Al-Sinkili adalah orang pertama di Melayu-Nusantara yang menulis tafsir al-Quran secara lengkap. Karena itu, tidak mengherankan bahwa karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Nusantara. Menurut Peter Riddell dan Salman Harun—masing-masing dari Australia dan IAIN Jakarta—Tarjumaan al-¬Mustafid merupakan terjemahan dari Tafsir julaalayn, kecuali pada bagian-bagian tertentu al Sinkili mengacu pada Tafsir at-Baydlaawi dan al Khazin. Hal ini dengan jelas membuktikkan bahwa al-Sinkili menulis Tarjumaan al-Mustafid berdasarkan sumber-sumber tafsir yang otoritatif karangan para ulama terkemuka. Ini sekaligus membuktikan bahwa al-Sinkili adalah seorang ulama yang telah memberi kontribusi penting dalam tradisi intelektual Islam di dunia Melayu Nusantara dan di Asia Tenggara umumnya.

Syaikh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di Kepulauan Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syaikh Jamaluddin al-Tursani dan Syaikh Yusuf al-Makasari.

Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti; Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai'ik al Huruf, dikutip dalam At-Tuhfa al-Mursala i1a Ruh an-Nadi, sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.





Sumber

Abdurrauf Singkil (Biografi)

Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda

Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili[1]. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tarekat Syattariyah

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas[2], syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.[3]

Pengajaran dan karya

Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan[4] bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
  • Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
  • Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
  • Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
  • Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
  • Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
  • Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
  • Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.

Wafat

Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.

Referensi

  1. ^ Rinkes, D.A., Abdoerraoef van Singkel: Bijdrage tot de kennis van de mystiek op Sumatra en Java. Ph.D. diss., Leiden, 1909.
  2. ^ al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Penyunting oleh Shirley Gordon. Singapore : Malaysian Sociological Research Institute, 1963.
  3. ^ Adan, Hasanuddin Yusuf. Melacak Gelar Negeri Aceh, dalam website The Aceh Institute © Copyrights - 2007.
  4. ^ Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Penerbit Kencana, Jakarta. Cetakan I, 1998.
Sumber

1. Riwayat Hidup Abdurrauf Singkel

Oleh: Ahmad Rivauzi, MA
Nama lengkap Abdurrauf Singkel adalah “Abd ar-Ra`uf  bin al-Jāwiyy al-Fansūriyy as-Sinkīliyy, selanjutnya disebut Abdurrauf Singkel. Ia adalah seorang Melayu dari pantai barat laut Aceh, tepatnya di Fansur, (Singkel). Ayahnya adalah seorang Arab yang bernama Syekh Ali. Hingga saat ini belum ada data pasti tanggal kelahirannya, namun menurut hipotesis Rinkes, yang juga dirujuk oleh Oman Fathurrahman, Abdurrauf dilahirkan diperkirakan sekitar tahun 1615.[1]  Perhitungan ini didasarkan dengan cara menghitung mundur dari saat kembalinya Abdurrauf dari tanah Arab yaitu tahun 1661.[2] Menurutnya, usia wajar seseorang mulai berkelana adalah dalam usia 25-30 tahun. Kalau perhitungan Ringkes itu dijadikan sebagai Referensi, maka Abdurrauf diperkirakan berangkat ke tanah Arab untuk menuntut ilmu pada usia 27 tahun. Dari data yang ada, Abdurrauf jelas tinggal di tanah Arab selama 19 tahun, [3] maka umur Abdurrauf saat kembali dari tanah Arab adalah pada usia 46 tahun. Dalam perkembangannya, menurur Azyumardi, perhitungan Rinkes ini dijadikan pegangan oleh para ahli.[4]
Menurut Hasjmi, nenek moyang Abdurrauf berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke 13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai barat Sumatera. Ayahnya adalah kakak dari Hamzah Fansuri, seorang tokoh tasawuf yang menyebarkan ajaran Wahdat al-Wujūd. Alasan Hasjmi ini didasari oleh karena pada sebagian karya Abdurrauf disebutkan dengan kata-kata : “yang berbangsa Hamzah Fansuri”. Azyumardi dan Oman meragukan keterangan Hasjmi ini, karena sebagaimana dijelaskan oleh Voorhoeve, pernyataan “ kang abangsa Hamzah Fansuri”  tidak berarti menunjukkan adanya pertalian darah dengan Hamzah Fansuri, baik pertalian keluarga maupun pertalian guru-murid, melainkan karena Fansur merupakan sebuah kota dagang yang sangat penting pada masa lalu, maka Fansur dipakai untuk penamaan seluruh wilayah pantai barat Sumatera. Atas dasar ini Abdurrauf dapat disebut dengan yang berbangsa Fansuri walaupun dia bukan berasal dari Barus. [5]
Pendidikannya dimulai dari ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia. Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Samudera Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Syamsuddin al-Sumatrani.[6] Setelah itu melanjutkannya ke Arabia. Dalam sumber lainya juga disebutkan bahwa Abdurrauf juga pernah belajar ilmu tasawuf kepada Nuruddin ar-Raniri,[7] sebelum keberangkatannya ke Arabia. Dari perkiraan angka dengan memperhatikan angka tahun di atas, dapat dipastikan bahwa Abdurrauf terlebih dahulu belajar kepada Syamsuddin al-Sumatrani baru kemudian belajar dan melakukan bai’ah tarekat Syathariyah kepada Nuruddin ar-Raniri, tepatnya setelah meninggalnya Syamsuddin al-Sumatrani pada tahun 1630 M. 
Abdurrauf berangkat ke tanah Arab pada tahun 1642 dalam usia 27 tahun. Menurut Azra, Abdurrauf meninggalkan catatan biografis mengenai studinya di Arabia ini. Hal ini didasari dari salah satu karyanya, ‘Umdat al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak al-Mufridīn’. Dalam karyanya ini, Abdurrauf menuliskan 19 orang guru yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang disiplin Islam, dan 27 ulama lainnya yang dengan mereka dia memilki kontak dan hubungan pribadi. Abdurrauf belajar di sejumlah tempat, yang tersebar sepanjang rute perjalanan haji, dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah. Di Dhuha dia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Dari sini dia melanjutkan pelajarannya di Yaman, terutama di Bayt al-Faqih (ibn ‘Ujayl) dan Zabid, meskiupun dia juga memiliki beberapa orang guru di Mawza’, Mukha, al-Luhayyah, Hudaydah, dan Ta’izz.[8]
Di Bayt al-Faqih, sebagai daerah pusat pengajaran Islam di wilayah Yaman ini, dia belajar terutama kepada para ulama dari keluarga Ja’man, seperti Ibrahim bin Muhammad bin Ja’man, Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man[9], dan Qadhi Ishaq bin Muhammad bin Ja’man[10].  Di samping itu, dia juga menjalin hubungan dengan Faqih al-Thayyib bin Abi al-Qasim bin Ja’man, mufti Bayt al-Faqih dan seorang Qadhi lain, Muhammad bin Ja’man. Keluarga Ja’man adalah sebuah keluarga sufi-ulama terkemuka di Yaman atau, sebagaimana dikemukakan al-Muhibbi, yang pada mulanya tinggal di Zabid sebelum akhirnya pindah ke Bayt al-Faqih. Sebagian ulama Ja’man adalah murid-murid Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Jaringan guru-guru Abdurrauf menjadi lebih kompleks ketika dia melanjutkan pelajarannya di Zabid. Di antara guru-gurunya adalah ‘Abd al-Rahim bin al-Shiddiq al-Khash, Amin bin Shiddiq al-Mizjaji, yang juga guru dari Ahmad al-Qusyasyi, Abd Allah bin Muhammad al-‘Adani (seorang yang disebut Qari), Abd al-Fath al-Khash, Sayyid al-Thahir bin al-Husayn al-Ahdal, Muhammad al-Baqi al-Mizjaji (seorang syekh Naqsyabandiyah termasyhur w. 1074/1664), Qadhi Muhammad bin Abi Bakar bin Muthayr (w. 1075/1664), Ahmad Abu al-Abbas bin Muthayr (w. 1075/1644) . Dalam rute perjalanan berikutnya, Abdurrauf belajar di Jeddah bersama ‘Abd al-Qadir al-Barkhali. Kemudian dia melanjutkannya ke Makkah, belajar kepada Badr al-Din al-Lahuri, Abd Allah al-Lahuri, dan ‘Ali bin Abd al-Qadir al-Thabari. Selanjutnya Abdurrauf juga melakukan kontak dengan ulama lainnya di Makkah yang tentunya juga ikut membentuk cakrawala sosio-intelektualnya. Mereka itu adalah, ‘Isa al-Magribi, ‘Abd al-‘Aziz al-Zamzami, Taj al-Din Ibn Ya’qub, ‘Ala’ al-Din al-Babili, Zayn al-‘Abidin al-Thabari, ‘Ali Jamal al-Makki dan ‘Abd Allah bin Sa’id Ba Qasyir al-Makki (1003-1076/1595-1665). [11]
Selama 19 tahun belajar di Arab, tahap terakhir dari perjalanan panjangnya ia belajar agama terutama tasawuf kepada dua orang tokoh sufi besar di Madinah yang memegang posisi penting dalam jaringan ulama di dunia Islam. Dua ulama besar tersebut adalah Syaikh Shafiuddin Ahmad al-Dajjani al-Qusyasyi ( + 1583-1660 M), seorang ulama besar Makkah dan satu orang lagi setelah meninggal al-Qusyasyi ia belajar selama satu tahun kepada murid al-Qusyasyi yaitu Syaikh Ibrahim al-Kurani (1616-1689 M) seorang ulama besar asal Madinah.[12] Menurut Abdullah, dari guru-gurunya ini dia menerima ijazah dalam perjalanan keshufian dan telah di izinkan memakai khirqah sebagai tanda dia telah dilantik menjadi mursyid dalam orde tarekat Syathariyah. Ini berarti ia telah boleh membaiat orang dan telah memiliki silsilah yang bersambung dari gurunya sampai kepada Nabi Nuhammad, Saw.[13] Selain dari tarekat Syathariyah, Abdurrauf juga belajar tarekat Qadiriyah dari al-Qusyasyi dan juga menurut Abdullah, Abdurrauf juga berafiliasi dengan tarekat Kubrawiyah, Suhrawardiyah, Naqsyabandiah dll.[14]
Dapat disimpulkan, karena selain dari dua ulama besar di atas, Abdurrauf yang juga belajar kepada ulama-ulama lain seperti ilmu di bidang fiqih, tafsir, hadits dan ilmu-ilmu agama lainnya yang mendiami daerah daerah seperti Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, dan lainnya,[15]  dapat diyakini bahwa Abdurrauf adalah seorang yang mumpuni dalam ilmu agama dan tasawuf sekaligus.
Abdurrauf kembali ke Aceh pada tahun 1661 M., yaitu satu tahun setelah al-Qusyasyi meninggal.[16] Pandangan-pangannya segera mendapat tempat dan merebut hati Sultan Safiyyatuddin, yang sedang memerintah Aceh, dan mengangkatnya sebagai Qadi Malik al-‘Adil,  atau mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah keagamaan.[17]
Abdurrauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di samping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala Sungai Aceh. Inilah sebabnya Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Teungku di Kuala.[18] Untuk mengabadikan kemuliyaan Abdurrauf, sebuah perguruan tinggi di Aceh diberi nama Universitas Syiah Kuala. [19] Kalau dipakai perhitungan Rinkes, maka dapat disimpulkan bahwa Abdurrauf meninggal dalam usia 78 tahun.


[1] Oman Fathurrahman, Tanbīh al-Māsyī; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrahman Singkel di Aceh Abad 17,Jakaerta: Mizan,
[2] Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, Data ini juga dapat ditemui dalam, A.H. Johns, The Gift Addressed to The Spiritof The Prophet, (Canberra: Published by Australian National University,
[3] Ibid
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,  Bandung: Penerbit Mizan,
[5] Ibid, h. 26
[6] Syamsuddin al-Sumatrani wafat 1630 M. adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengajarkan paham wujūdiyah. Ia mendapatkan posisi penting di masa Sultan Iskandar Muda. Lihat, M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
[7] Nuruddin ar-Raniri  memiliki nama lengkap Nur ad-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad ar-Raniri. Silsilah keturunannya berasal dari India, keturunan Arab. Dipanggil ar-Raniri karena beliau dilahirkan di daerah Ranir ( Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/ 21 September 1658 M di India. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa tahun meninggalnya Nuruddin ar-Raniri adalah pada tahun 1666 Untuk pertama kalinya Nuruddin tinggal di Aceh pada Masa Sultan Iskandar Muda, kemudia ia meninggalkan Aceh karena tidak mendapatkan perhatian dari Sultan yang sedang berkuasa. Pada zaman Sultan Iskandar Sani, ia kembali ke Aceh untuk kedua kalinya dan baru mendapatkan perhatian dari Sultan. Dalam masa kembali yang ke dua ini ia tinggal di Aceh dari tahun 1637 sampai 1644 M. Ia akhirnya menjadi pelopor utama gerakan anti terhadap paham Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Lihat Hawash  Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: al-Ikhlash, Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa tahun meninggalnya Nuruddin ar-Raniri adalah pada tahun 1666. Lihat Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
[8] Azra,Ibid.,
[9] Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man (w. 1083/1672) adalah guru Abdurrauf dari keluarga Ja’man yang terpenting. Ulama yang satu ini dikenal sebagai seorang muhaddits dan Faqih. Dia adalah seorang pemberi fatwa yang produktif dan, karenanya, merupakan salah seorang ulama yang paling sering dicari untuk dijadikan tempat konsultasi. Menurut keterangan dari Abdurrauf sendiri, dia banyak menghabiskan waktunya dengan Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man untuk belajar  dengan yang dinamakan dengan ilmu al-Zhahir (pengetahuan eksoteris), seperti fiqih, hadits, dan lainnya. Berkatnyalah Abdurrauf beroleh berkat untuk berkhidmat kepada Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Lihat Azra, dan Abdurrauf dalam Umdat al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak al-Mufridīn.
[10]  Ishaq bin Ja’man (w. 1014-1096/1605-1685) adalah ulama utama lainnya dari keluarga Ja’man tempat Abdurrauf belajar. Dia dilahirkan di Zabid, mendapatkan pendidikan awalnya di Yaman, antara lain, dari pamannya, Ibn al-Thayyib bin Ja’man. Kemudian dia belajar di Haramayn bersama Ibrahin al-Kurani, ‘Isa al-Magribi, dan Ibn ‘Abd al-Rasul al-Barzanji. Setelah kembali ke Bayt al-Faqih, dia memperoleh kemasyhuran sebagai faqih dan muhaddits terkemuka di wilayah itu. Dia meninggal di Zabid. Lihat Azra,
[11]  Azra, Ibid.,
[12] Azra, Ibid.,
[13] Hawas Abdullah,
[14] Ibid.,
[15] Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid II, diterjemahkan dari De Atjehers  oleh Sutan Maimoen, Jakarta: INIS,
[16] Lihat, D.A. Rinkes, Abdoeraoef van Singkel’ Bijdrage tot de kennis van de mystiek op Sumatra en Java,  ( Heerenven: Hepkema, 1909), h.25, Hurgronje  Jilid II, , dan P. Voorhoeve , Bajan Tadjalli: gegevens voor een nadere studie over Abdurrauf van Singkel, TBG 85; terj: Aboe Bakar 
[17] Oman Fathurrahman,
[18]  Snouck Hurgronje,
[19] Oman Fathurrahman, 





Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.