Selasa, 01 April 2014

kesultanan Bima (Situs) 2

naskah kuno Kesultanan Bima atau "Bo Sangaji Kai"
Sumber

Sejarah Perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin

Tokoh yang memegang peran utama dalam Perkembangan sejarah Bima pada awal abad XX adalah salah seorang putra sultan Ibrahim (Sultan XIII) dengan permaisurinya Siti Fatimah Binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Lahir di Bima pada tanggal 15 Zulhijah 1306 H (14 juli 1889), memiliki 11 orang saudara. Tiga saudara seayah seibu masing – masing bernama Abdullah (Ruma Haji), Abdul Qadim (Ruma Siso), dan Nazaruddin (Ruma Uwi). Saudara seayah terdiri dari Siti Hafsah, Abdul Azis, Sirajuddin (Ruma Lo), ibunda ketiganya bernama, Siti Aminah,  kemudian Siti Aminah (Ruma Gowa) ibundanya karaeng Bonto Ramba Putri, Karaeng Mandale, Siti Aisyah (Ibundanya bernama Baena), Lala Ncandi (Ibunya bernama Aisyah), Ahmad (Ibunya bernama Sakinah) dan La Muhammad (Ibunya bernama (Hamidah).


Sultan Muhammad Salahuddin menikah dengan Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, kemudian menikah lagi dengan Siti Aisyah, putri Sultan Muhammad Sirajuddin (Sultan Dompu) dengan permaisurinya Siti Maryam Binti Muhammad Qurays. Dari pernikahan pertama tersebut mempunya lima orang putri yaitu, Siti Fatimah, Siti Aisyah, Siti Hadijah, Siti Kalisom dan Siti Saleha. Sedangkan Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah putri Sultan Dompu memperoleh seorang putra bernama Abdul Kahir (Sultan Abdul Kahir II), Siti Maryam (Ruma Mari), Siti Halimah (Ruma Emi) dan Siti Jahara (Ruma Joha).


Mulai usia kanak – kanak Salahuddin telah mendapat pendidikan agama dan ilmu pemerintahan dari ulama dan pejabat istana. Sepanjang perkembangan umurnya, Muhammad Salahuddin menekuni ilmu tauhid, serta siasat (politik), dan sangat rajin mempelajari ilmu Al-Qur’an serta Hadits. Selain mendapat bimbingan dari ulama lokal, Salahuddin kecil berguru pada ulama yang didatangkan dari batavia(Jakarta) yaitu H. Hasan dan Syekh Abdul Wahab dari Mekah. Sultan Muhammad Salahuddin merupakan murid yang rajin dan cerdas serta rajin membaca. Di perpustakaan pribadinya mempunyai koleksi buku – buku bermutu karangan ulama besar seperti Imam Safi’i. Koleksi buku – bukunya masih dirawat dengan baik oleh anak cucunya. Muhammad Salahuddin juga gemar menulis, salah satu buku karangannya adalah “Nurul Mubin” diterbitkan oleh percetakan “Syamsiah Solo” sebanyak tiga kali dan penerbitan terakhir pada tahun 1942. Nama Nurul Mubin juga menjadi nama salah satu panti asuhan di kota Bima yang beralamat di jalan soekarno –Hatta depan Paruga Nae Kota Bima.

Berdasarkan kemuliaan akhlak dan ilmu pengetahuannya yang luas, akhirnya pada tanggal 2 November1899, diangkat menjadi “jena teke”(Putera Mahkota) oleh majelis Hadat. Untuk menimba pengalaman dalam menjalankan roda pemerintahan, maka pada tanggal 23 maret 1908 dianggkat menjadi jeneli Donggo(jabatan setingkat camat). Setelah ayahnya Sultan Ibrahim mangkat pada tahun 1915, Muhammad Salahuddin memegang tampuk pemerintahan, kemudian pada tahun 1917 secara resmi di tuha ro lanti(Dilantik) menjadi Sultan Bima XIV yang memerintah dari tahun 1915 – 1951 M, disamping sebagai Sultan, pada tahun 1949 diangkat menjadi pemimpin Dewan Raja – Raja se-pulau Sumbawa atas persetujuan sultan Dompu dan Sultan Sumbawa. Dalam bidang organisasi pergerakan, sultan Muhammad Salahuddin menjadi perintis, pelindung dan ketua berbagai organisasi yang bergerak di bidang agama, sosial dan politik.


Pada tahun 1921, Muhammad Salahuddin mulai mencanangkan sistim pendidikan moderen dengan mendirikan HIS di kota Raba . Kemudian pada tahun 1922, mendirikan sekolah kejuruan wanita ( kopschool ) di Raba .Untuk memimpin sekolah itu, sultan Muhammad Salahuddin mendatangkan seorang keturunan Indonesia yang berjiwa nasionalis dari sulawesi selatan bernama SBS Yulianche. Guna pemerataan pendidikan , pada tahun 1922 Sultan Muhammad Salahuddin mendirikan sekolah agama dan umum di seluruh kejenelian(Sekarang kecamatan). Mulai saat itu di desa – desa tertentu dirikan sekolah agama setingkat ibtidaiyah yang bernama”Sakola kita” (Sekolah Kitab) dan sekolah umum yang bernama “Sekolah Desa” yang kemudian berkembang menjadi “Sekolah Rakyat”yang setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang.

Pada tahun 1931 Ruma Bicara (perdana Menteri) Abdul Hamid bersama Abdul Wahid Karim Muda tokoh Muhammadiyah kelahiran sumatera Barat,mendirikan “Madrasyah Darul Tarbiyah” di kota  Raba. Keberadaan sekolah ini disambut positif oleh Sultan Muhammad Salahuddin, dengan memberikan bantuan berupa dana serta sarana pendidikan pada tahun 1934, Sultan bersama ulama dari Batavia bernama Syekh Husain Sychab mendirikan “Madrasah Darul Ulum” di kampung Suntu Bima. Dua lembaga pendidikan Islam ini, berhasil mencetak kader Islam yang kelak menjadi tokoh – tokoh yang berani baik pada masa pergerakan maupun pada era revolusi kemerdekaan.

Pada tahun 1931, pengembangan kualitas dan kuantitas sekolah agama serta rumah ibadah (masjid dan langgar), oleh sultan diserahkan kepada “Lembaga Syara Hukum” Lembaga yang sebelum tahun 1908, merupakan lembaga resmi pemerintah Kesultanan yang bernama “Lembaga Sara Hukum” pada tanggal 16 Maret 1968 lembaga ini berubah statusnya menjadi “Yayasan Islam Bima”. Sumber dana berasal dari “Dana Molu” (sawah Maulud) sebanyak 200 Ha.

Pada awal pelaksanaan sistim pendidikan modern, Sultan mengalami banyak kendala. Masyarakat yang terkenal taat pada agama, curiga dengan sistim pendidikan yang berasal dari orang Belanda yang dianggap”Dou kafi”(orang kafir). Untuk mengantisipasi kecurigaan masyarakat, Sultan berusaha mendatangkan guru – guru yang beragama Islam dan berjiwa nasionalis dari berbagai daerah luar,antara lain dari makasar dan Jawa. Guru – guru non Islam tetap berjiwa nasionalis diusahakan untuk mengajar di sekolah umum. Akhirnya kehadiran guru – guru tersebut disambut baik oleh masyarakat. Semangat persatuan yang tidak dibatasi oleh suku dan agama mulai terjalin. Hal ini mulai pertanda tumbuhnya semangat kebangsaan di Bima. (M. Hilir Ismail, 2002). Guru – guru yang didatangkan dari luar daerah, antara lain Muhammad Said dan SBS Yulianche dari Makasar. Muhammad Said akhirnya menikah dengan gadis Ngali Bima dan memperoleh anak antara lain Prof. DR. Muh. Natsir (Alm).

Salah satu kebijakan Sultan Muhammad Salahuddin  yang patut dihargai ialah memberikan beasiswa kepada pelajar yang berprestasi untuk belajar ke Makasar dan kota – kota besar di Jawa, bahkan ada yang di kirim ke timur tengah. (Ibid, 2002). Pelajar yang diberi beasiswa benar – benar berdasarkan prestasi dengan tidak mempertimbangkan status sosial dan jenis kelamin. Setelah kembali ke Bima, mereka  tampil sebagai pemimpin dan tokoh perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan.

Sebagai reaksi penolakan isi perjanjian Linggar Jati yang ditanda tangani oleh Sultan Syahrir pada tanggal 23 Maret 1947, dan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Sultan Muhammad Salahudin bersama tokoh pemuda, pada tanggal 23 Maret 1948, mendirikan organisasi lokal “Ikatan Qaum Muslimin Indonesia” (IQAM). Dengan susunan pengurus H. Usman Abidin (ketua) dan wakil ketua M. Idris Jafar, Sekretaris I M. Saleh Bakry dibantu sekretaris II Jafar AR, Bendahara Abdullah Amin Teta Hafsah dengan pembantu masing – masing Nasaruddin dan M. Hasan. Pada tahun 1949, pengurus IQAM menghadiri kongres Al Islami di Yokyakarta untuk memperjuangkan pemerintahan pusat menolak pembentukan negara RIS.
Munculnya organisasi “ Rukun Wanita” (RW) yang dirintis oleh permaisurinya Siti Aisyah pada tanggal 11 September 1949 mendapat respon positif dari Sultan Muhammad Salahuddin. Organisasi lokal ini diketahui oleh SBS Yulianche, ketua muda putri Siti Maryam Binti Muhammad Salahudin, sekretaris I Nurbani Abidin Ishak, sekretaris II Siti Maryam guru sekolah rakyat Raba dan Siti Aisyah Nasruddin sebagai bendahara. Sejak awal pemerintahannya, Sultan memperhatikan kepentingan wanita. Karena itu Sultan Muhammad salahuddin juga mendukung sepenuhnya Aisyah Bima yang dirintis oleh Ibu Sulastrti.  Secara resmi berdiri pada tahun 1938, dengan susunan pengurus yang diketuai oleh Ibu Jaenab AD Talu dan wakil ketua Oleh Ibu Kartini M. Amin.

NU (Nahdatul Ulama) yang semula merupakan organissasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan pada tahun 1950, berubah statusnya menjadi organisasi politik, ikut direstui oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Begitu pula lahirnya partai Masyumi pada tanggal 5 januari 1950, mendapat dukungan dari Sultan Muhammad Salahudin. Walaupun semula dirinya mengharapkan agar tokoh – tokoh islam tetap berada dalam IQAM.

Kehadiran organisasi yang tidak berazaskan Islam, seperti Parindra tahun 1939, PIR tahun 1949 dan PNI pada era yang sama, tetap disambut baik oleh Sultan Muhammada Salahuddin. Kendati secara pribadi dirinya adalah seorang tokoh nasional Islam yang berjiwa Demokrat. Sultan Muhammad Salahuddin tetap menghargai keragaman misi, selama visi kedepan tetap satu, yaitu merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah.

Pada tanggal 22 November 1945, Sultan Muhammad Salahuddin mencestukan pernyataan jiwa seluruh lapisan masyarakat Bima, yang sangat mencintai negara kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pernyataan cinta setia kepad negara kesatuan RI, yang dikeluarkan pada tanggal 22 November 1945 terkenal dengan “Maklumat 22 Novenber 1945”, yang isinya adalah sebagai berikut :
  1. Pemerintah kerajaan Bima, adalah suatu daerah istimewa dari negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia.
  2. Kami menyatakan, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam pemerintahan kerajaan Bima terletak di tangan  kami, oleh karena itu sehubungan dengan suasana dewasa ini, maka kekuasaan – kekuasaaan yang sampai sekarang ini tidak ditangan kami, maka dengan sendirinya kembali ke tangan kami.
  3. Kami menyatakan dengan sepenuhnya, bahwa perhubungan dengan pemerintahan dalam lingkungan kerajaan Bima bersifat langsung dengan pusat Negara Republik Indonesia.
  4. Kami memerintahkan dan percaya kepada sekakian penduduk dalam seluruh kerajaan Bima, mereka akan bersifat sesuai dengan sabda kami yang ternyata di atas.
Maklumat 22 November 1945, semakin mempersulit posisi Jepang. Karena sesuai dengan perjanjian sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, semua masalah di daerah bekas jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu. Hal ini sudah berkali –kali diperingatkan oleh Mayor Jenderal Tanaka, namun Sultan bersama KNI, TKR dan API tidak pernah mengindahkannya.

Lebih kurang sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 17 Desember 1945, di halaman depan Istana dilangsungkan upacara hari peringatan kemerdekaan. Pernyataan hari kemerdekaan Republik Indonesia, idealnya harus berlangsung pada tiap tanggal 17 Agustus. Untuk menunjukan kesetiaam terhadap Negara kesatuan RI, Upacara dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 1945. setelah upacara, diadakan pawai keliling kota, dan dilanjutkan dengan pertandingan  “sempa raga”  (sepak raga) salah satu jenis olahraga tradisional Bima. Pada malam hari di sekolah pertanian Lewi Rato dipergelarkan seni pertunjukan sandiwara.


Kunjungan Presiden RI Pertama Soekarno tercatat dalam sejarah Bima sebanyak dua kali. Kunjungan pertama dilakukan sebelum Indonesia merdeka  yaitu pada saat pembuangannya di Ende.   Dalam perjalanannya di Ende itulah Soekarno pernah singgah di Bima dan menginap di Istana Bima. Ruangan dan tempat tidur sang proklamator ini masih ada di Istana Bima di lantai dua bangunan bersejarah itu. Sedangkan kunjungan yang kedua dilakukan pada tanggal 3 Nopember 1950. Lima tahun setelah Indoenesia merdeka dan setelah lima tahun pula Sultan Muhammad salahuddin mengeluarkan maklumat untuk berdiri di belakang Republik Indoenesia.

Kecintaan Sultan muhammad Salahuddin terhadap negara dan bangsa tidak pernah pudar dan hilang. Jiwa nasionalis dapat dilihat dari getaran sukma dan sikap jiwanya ketika menyampaikan pidato resmi di hadapan presiden republik indonesia soekarno yang berkunjung ke bBma.Berikut kutipan pidato tersebut :

“ Paduka yang muila, rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika mana terbayanglah di muka kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang memproklamirkan kemerdekaan indonesia, lalu pada saat itu juga tertanamlah dalam jiwa rakyat disini arti proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan dan harus dimiliki itu, sehingga pada tanggal 22 Nopember 1945, kami di kesultanan Bima ini mengeluarkan peryataan bahwa daerah kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang Republik indoenesia.”

Dari  pidato tersebut, dapat dibuktikan betapa kecintaan dan kesetiaan sultan dan rakyat Bima terhadap negara dan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Kecintaaan yang tak pernah lapuk oleh zaman dan waktu, selama pemimpin negara menjalankan tugas dan kewajiban, sesuai dengan falsafah yang dikenal dan diakui oleh raktyat Bima sejak masa lalu akan taat kepada pimpinannya, selama raja dan sultan berbuat dan bertindak yang sesuai dengan falsafah “ Tohompara Nahu sura dou Labo Dana”.

Akibat dari sikap dan tindakan sultan Muhammad Salahuddin yang berdiri di belakang negara kesatuan Republik Indoesia, Pemerintah Jepang menekan sultan agar merubah sikapnya. Menurut Pemerintah Jepang nasib Bangsa Indoenesia tergantung dari hasil keputusan sekutu, karena berdasarkan isi perjanjian antara Jepang dan Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, segala  masalah yang berhubungan dengan masalah jajahan Jepang akan ditangani oleh sekutu. Tetapi penekanan ini tidak digubris oleh sultan Muhammad Salahuddin. Atas dukungan para pejuang dan rakyat, perlawanan terhadap penjajah terus dilakukan sampai Indonesia merdeka.

Demikianlah alur nampak lintas perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima XIII yang sangat dicintai hampir seluruh rakyatnya, dan  yang sangat tabah menghadapi badai perjuangan. Semua tantangan dan musuh dihadapi dengan tabah, keritikan – keritikan tajam dari kelompok lawan politiknya diterima dengan lapang dada.

Keinginan pemerintah pusat untuk memakamkan jenazah Sultan Muhammad Salahuddin  di Taman Makam Pahlawan KaliBata gagal dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan wasiat beliau. Menjelang akhir hayatnya, Sultan berpesan agar jenajahnya dikebumikan di perkuburan Rakyat. Akhirnya Jenazah  dimakakmkan di Tanah Abang jakarta. Sultan Muhammad Salahuddin  sudah tiada, meninggalkan rakyat dan negeri untuk selama – lamanya. Sesuai denga amal salehnya semasa hidup, oleh rakyat dianugerahi gelar “Maka Kidi Agama” yaitu Sultan yang menegakkan kebesaran agama Islam di persada Bumi Bima.

Berdasarkan hasil pengamatan dalam menelesuri alur perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin, dapat diketahui tentang prestasi yang telah diraihnya. Selain telah menggapai kesuksesan, sering pula mengalami kegagalan. Kesuksesan dan  kegagalan dalam perjuangan merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Makin luhur serta mulia tugas yang diemban, semakin banyak cobaan dan ujian yang akan dihadapi, jabatan Sultan sebagai Khalifah termaksud jabatan mulia yang sangat berat untuk dilaksanakan. Tugas mulia itu terus dirasakan  berat oleh Sultan Muhammad Salahuddin, karena pada masa pemerintahannya harus menghadapi kedholiman penjajah.

Atas Ijin Allah, Sultan bersama pimpinan rakyatnya, telah banyak mencapai kesuksesan terutama di bidang agama, pendidikan dan politik yang sampai sekarang masih dirasakan manfaatnya, selain keberhasilan, tidak sedikt juga kegagalan atau keberhasilan yang tertunda untuk terus diperjuangkan oleh kita dan generasi akan datang.

Di bidang agama melalui perjuangan yang sungguh – sungguh, telah berhasil meningkatkan kuallitas dan kuantitas iman dan takwa masyarakat. Bemodalkan iman dan takwa mereka tidak gentar menghadapi semua tantangan. Masyarakat Bima mampu mempertahankan identitasnya sebagai umat Islam yang taat dan tidak terpengaruh oleh agama dan faham yang diseberluaskan oleh penjajah. Pembangunan rumah ibadah seperti Mesjid dan Langgar sebagai pusat ibadah dan dakwah, terus ditingkatkan jumlahnya.

Hasil perjuangan atau karya besarnya yang patut  disyukuri ialah di bidang pendidikan. Beliau adalah tokoh pendidikan yang merintis palaksanaan sistem pemdidkan midern di Bima. Pada masa pemerintahannya, mulai didirikan sekolah agama dan umum. Pembangunan gedung sekolah bukan hanya di Kota, tetapi juga tersebar di seluruh kejenelian. Para siswa yang berprestasi diberikan beasiswa  untuk melanjudkan keluar daerah. Beliau mampu meningkatka kualitas iptek yang pada masa sebelumnya sangat jauh tertinggal.

Beliau juga mampu menanamkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, melalui organisasi pergerakan modern. Beragam organisasi pergerakan yang lahir pada masa pemerintahannya selalu mendapat dukungan. Melalui organisasi pergerakan, pemuda pelajar tampil sebagai sosok pejuang yang berani melawan penjajah. Para tokoh pemuda pelajar memiliki wawasan persatuan dan kesatuan yang luas, tanpadibatasi oleh bingkai suku dan agama. Mereka bersatu padu dengan pejuang dari suku – suku lain.

Peranan Sultan Muhammad Salahuddin yang tidak kalah pentingnya ialah di bidang politik. Beliau telah berhasil mewudkan cita – citanya mempertahankan keutuhan negara kesatuan RI. Dorongan semangat nasionalisme Islam yang tumbuh dalam jiwa Sultan bersama rakyat, tergambar secara utuh dan jelas pada maklumat 22 November 1945. kecintaannya kepada bangsa dan negara, melahirkan keberanian menghadapi penjajah Belanda, Jepang dan NICA.

Disamping keberhasilan pada bidang tersebut di atas, beliau jaga telah membangun bangunan yang merupakan monumen sejarah. Bangunan yang merupakan saksi sejarah perjuangan Sultan bersama rakyat, ialah dua Istana dan sebuah Masjid. Dua Istana yang didirikan beliau pada tahun 1927 yatiu Istana Kesultanan Bima dan Istana kayu yang bergaya arsitektur Mbojo bernama “Asi Bou”. Bangunan bersejarah itu sekarang sudah ditetapka sebagai benda Cagar Budaya. Salah satu dari sekian banyak Mesjid  yang beliau dirikan ialah “Mesjid Raya Bima” yang berada di sebelah timur Istana. Mesjid yang didirikan oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1947 itu, bernama Mesjid Raya Al Muwahiddin Bima. Penanggugn jawab pembangunan Mesjid diserahkan kepada H. Usman Abidin dan M. Jafar Idris, dua tokoh yang selalu membantu Sultan di bidang agama, pendidikan dan politik.

Demiianlah sekilas hasil akrya yang diukir oleh Sultan Muhannad Salahuddin selama masa pemerintahannya yang berlangsung 36 tahun. Hanya Allah jua yang mampu memberikan penilaian yang maha adil atas semua amal pernuatan Sultan Muhammad Salahuddin khilifah di muka bumi.

(Dikutip Dari Sejarah Perjuangan Sultan Muhammad Salahuddin, M. Hilir Ismail & Alan Malingi )




Sumber

Kesultanan Bima (Situs) 1

MAKAM DANA TARAHA

Makam ini terletak satu kilometer di sebelah selatan Istana Kesultanan Bima. Tepatnya di atas Bukit Dana Taraha. Terdapat makam Sultan Bima pertama yang merupakan penerima ajaran Islam pertama di Bima yakni Sultan Abdul Kahir atau raja terakhir dari Kerajaan Bima.
Disamping itu terdapat makam Putra H. Abdul Kahir Jena Teke/Raja Muda Kesultanan Bima sekaligus bupati pertama daerah kabupaten Bima setelah berakhirnya pemerintahan berdasarkan kesultanan ke sistem pemerintahan swapraja. Beberapa makam lainnya adalah makam kerabat kesultanan dan makam para pembesar agama Islam pada zamannya.
Tempat ini banyak dikunjungi oleh peziarah baik pada pagi, siang atau pun sore hari. Dari atas Bukit Dana Taraha, Anda juga dapat menikmati panorama sekitar Kota Bima dan Teluk Bima.
[Sumber: Kenali dan Cintai Bima]

MAKAM TOLOBALI


Makam Tolobali terletak satu kilometer ke arah utara Kota Bima, tepatnya di wilayah Tolobali. Terdapat makam beberapa Sultan Bima dan tokoh agama, antara lain :
  • Makam Sultan Abdul Kahir Sirajudin (Ruma Mantau Uma Jati) Sultan Bima II, dilahirkan pada bulan Ramadhan 1038 H (April 1627 M) yang menikah dengan adik dari isteri Sultan Makasar bernama Daeng Sikantu.
  • Makam Sultan Nurudin Abubakar Alisya (Ruma Mawa’a Paju) Sultan Bima III, lahir tanggal 5 Desember 1651 yang beristrikan Daeng Tamemang, saudara Karang Langkese, anaknya Raja Tallo. Deberi gelar Ruma Ma Wa’a Paju karena beliau memadukan payung jabatan raja berwarna kuning yang dikenal dengan Paju Monca.
  • Makam Sultan Jamaluddin (Ruma Ma Wa’a Rowo). Sultan Bima IV, lahir pada tanggal 8 Agustus 1673 M. Diberi gelar Ruma Ma Wa’a Romo karena beliau pAndai becara, tegas dan lantang.
  • Syekh Umar Albantani, ulama besar asal Banten sebagai guru dan penyiar agama Islam di Wilayah Kesultanan Bima.
Untuk menuju Makam Tolobali, dapat dijangkau dengan jalan kaki atau menggunakan Benhur (kereta kuda khas Bima).
[Sumber: Kenali dan Cintai Bima]

Masjid Kesultanan Bima

Masjid yang terletak di kampung Sigi atau di sebelah selatan lapangan Sera Suba ini adalah bukti sejarah keemasan kesultanan Bima. Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah dengan Wajir Ismail pada tahun 1737. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dengan merubah atap masjid tersbut menjadi bersusun tiga yang mirip dengan masjid Kudus.

Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan pernah hancur akibat pengeboman yang dilakukan oleh Sekutu pada perang dunia  II. Hanya mihrabnya yang tersisa sebagai sebuah kenangan sejarah. Kini masjid itu telah direnovasi kembali sesuai bentuk aslinya dan menjadi salah satu benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Kegiatan Ibadah di masjid ini cukup ramai pada setiap memasuki waktu shalat, maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti majelis taklim maupun kegiatan remaja masjid.
Pemugaran masjid itu dilakukan kembali oleh Sultan Bima terakhir, Sultan Muhammad Salahuddin. Sehingga sampai sekarang masjid itu diberinama Masjid Sultan Muhammad Salahuddin. Di sebelah barat Masjid terdapat kuburan sultan dan keluarga Sultan Bima, termasuk kuburan Sultan Abdul Kadim Pendiri masjid tersebut. Kini usia masjid itu telah memasuki 3 abad. Dia tetap menjadi saksi bisu pasang surut perkembangan dan kemajuan islam di Dana Mbojo.


Kemelut Politik

 Oleh: Alan Malingi

Abad ke XVII merupakan momentum penting dalam perkembangan sejarah Bima. Pada masa itu terjadi peristiwa yang cukup dramatis mempengaruhi seluruh sendi kehidupan kenegaraan, politik, budaya dan agama di kerajaan Bima. Inilah masa transisi yang luar biasa dan membawa berbagai dampak yang berurujung lahirnya kesultanan Bima. Berawal dari ambisi dari Salisi  bergelar Mantau Asi Peka yang ingin merebut tahta kerajaan dari pewaris yang sah.  Berbagai intrik politik dijalankan dengan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap Raja dan Putera Mahkota.


Pembunuhan politik itu dilakukan terhadap keturunan Raja Mantau Asi Sawo yaitu Sarise, Sangaji Samara dan putera mahkota yang dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera atau yang dikenal dalam sejarah Bima dengan Ruma Ma Mbora Di Mpori Wera. Peristiwa itu direkam dalam Kitab BO sebagai sumber sejarah Bima sebagai berikut:

Setelah itu berawal mulanya, maka berkatalah orang dalam negeri itu mau mengangkat tuan kita Ma Mbora Di Mpori Wera. Maka didengar oleh tuan kita Mantau Asi Peka, maka disuruhnya Bumi Luma Rasanae untuk membuat perburuan di Mpori Wera itu. Setelah datang di Mopri Wera, maka disruhunya sekalian orang banyak membakar rumput itu, maka hilanglah Tuan kita (Jena Teke) ketika itu.” (Ibid, tahun 1070 H.)

Sasaran selanjutnya dari aksi pembunuhan poltik Salisi adalah Putera Mahkota La Ka’i yang baru berusia 9 tahun. Mendengar bocoran informasi itu, Panglima Perang Kerajaan Bima yang setia kepada keturunan Mantau Asi Sawo yang bernama Rato Waro Bewi beserta beberapa pejabat kerjaan terpaksa mengamankan La Ka’i dan dibawa ke Desa Teke. Di tempat pengasingan inilah La Ka’i terus dibina dan dilatih fisiknya terutama dalam kaitannya dengan taktik perang. Berawal dari sinilah, maka setiap putera mahkota kerajaan Bima dijuluki dengan Jena Teke. Hingga beberapa tahun lamanya, La Ka’i bersama sepupunya putera Mahkota Kerajaan Dompu yang bernama Manuru Bata dibina di desa Teke ini. Sebuah desa yang terletak di timur kecamatan Palibelo sekarang.

Salisi semakin berang, dia mencoba untuk terus menangkap La Ka’i dengan meminta bantuan kepada Belanda. Perjanjian lisan antara Salisi dengan Belanda terjadi di Ncake (Sekarang Cenggu  Bima) pada tahun 1605. Perwakilan Belanda yang  hadir di Cenggu saat itu bernama Stephen Van Hagen.  Karena Teke dalam incaran Salisi, Rato Waro Bewi membawa La Ka’i ke puncak Gunung Kalodu tepatnya di dusun Kamina desa Kalodu sekarang. Kalodu terletak di sebelah tenggara Bima merupakan puncak gunung tertinggi di Bima. Sejak saat itu Kalodu menjadi pusat persembunyian dan basis perjuangan La Ka’i yang mulai beranjak remaja untuk merebut kembali tahta kerajaan.

Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Ka’i bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan Raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621 ) Jena Teke La Ka’i bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I diganti dengan Abdul Kahir. Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin.

Sejak saat itu Abdul Kahir memerintahkan seluruh pejabat kerajaan dan seluruh rakyat Bima untuk memeluk Islam yang diawali dengan sumpah di atas sebuah batu yang berlokasi di Parapi (Bendungan Parapi Sape ). Sumpah itu juga dikenal dengan Sumpah “ Darah Daging “ karena mereka mengiris jari masing-masing kemudian darahnya diminum secara bersama-sama sebagai wujud kesetiaan terhadap Islam.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.

Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi  semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu  desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang  yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.

Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir  berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke  Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)   pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).

Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu  kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima.

(Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.