Pada
 masa pemerintahan Sultan Muhammad II, Kerajaan Usmani sudah mulai 
mengembangkan senjata meriam. Teknologi meriam yang dikembangkan pada 
era kejayaan Usmani tersebut terbilang paling mutakhir. Senjata 
meriamnya sudah bisa dibagi menjadi dua bagian. Sehingga, memudahkan 
saat di bawa ke medan perang.
Pada
 abad ke-15 hingga 16 M, negara-negara Eropa belum memiliki meriam 
secanggih itu. Meriam berukuran besar itu secara khusus diciptakan pada 
1464 M atas pesanan Sultan Mehmet II. Sang Penakluk – begitu Sultan 
Muhammad II dijuluki – sengaja memesan meriam berukuran raksasa yang 
belum ada sebelumnya.
Berat
 meriam raksasa yang dikenal dengan Meriam Mehmed II itu mencapai 18 
ton. Panjangnya sekitar 5,23 meter dan diameternya mencapai 0,635 meter.
 Panjang larasnya mencapai 3,15 meter dan tempat mesiunya berdiameter 
0,248 meter. Selain itu, pasukan artileri (bagian meriam) yang dimiliki 
Sultan Muhammad juga diperkuat oleh sederet desainer dan insinyur yang 
mumpuni di bidang teknologi persenjataan. Beberapa ahli meriam yang 
termasyhur yang bergabung dalam tim artileri itu antara lain, Saruca 
Usta dan Muslihiddni Usta.
Tak
 sedikit pula non-Muslim bergabung dalam kelompok artileri. Mereka 
adalah orang-orang miskin yang tak puas dengan kebijakan Bizantium. Saat
 menaklukkan Konstantinopel, — ibu kota Bizantium — pasukan tentara Usmani mengepung dan menjebol benteng pertahanan musuh dengan meriam tercanggih, di zamannya.
Senjata
 meriam raksasa yang diciptakan pada masa kejayaan Daulah Usmani itu 
memiliki daya jangkau dan daya ledak yang terbilang luar biasa. Dalam 
Pertempuran Dardanelles, meriam itu mampu menenggelamkan enam kapal Sir 
John Ducksworth. Jangkauan Meriam Mehmet II mampu melintasi selat sejauh
 satu mil.
Meriam raksasa itu kini berada di Fort   Nelson Museum. Konon, meriam itu dihadiahkan Sultan Abdulaziz kepada Ratu Victoria sebagai hadiah. Pada saat berkuasa Sultan Abdulaziz sempat diundang oleh Ratu Victoria. Setahun kemudian, meriam bersejarah itu pun dihibahkan kepada sang ratu.
Para
 sarjana Islam menemukan dan mengembangkan bubuk mesiu serta senjata 
peledak mulai awal abad ke-12. Pengembangan teknologi senjata itu 
dilakukan menyusul terjadinya Perang Salib I. Saat itu umat Islam 
terutama Turki berperang melawan pasukan tentara Salib (crusader).
Pengembangan senjata berdaya ledak serta bubuk mesiu dikembangkan di Syria, khususnya Damaskus. Pemerintahan Turki yang menguasai wilayah itu banyak mendirikan sekolah. Para sarjana Islam pun bergelut menciptakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak untuk roket.
Dalam
 kitabnya berjudul Kitab alfurusiya val-muhasab al-harbiyaI dan Niyahat 
al-su’ul val-ummiya fi ta’allum a’mal al-furusiya, insinyur Islam, Hasan
 ar-Rammah Najm al-Din al-Ahdab, pada abad ke-13 M, merumuskan dan 
menciptakan bubuk mesiu, persenjataan. Selain itu, untuk pertama 
kalinya, Hasan ar- Rammah mengungkapkan tentang torpedo yang digerakkan 
sistem roket.
Dalam
 kitab yang ditulis pada tahun 1275, Hasan ar-Rammah, mengilustrasikan 
sebuah torpedo yang diluncurkan sebuah roket yang berisi bahan peledak. 
Selain itu, umat Islam juga memiliki buku tentang persenjataan dan 
militer penting lainnya, seperti Kitab anåq fi’l-manajniq yang khusus 
ditulis untuk Ibnu Aranbugha Al-ZardkÉsh, komandan pasukan Ayyubiyah. 
Namun, penulis kitab itu tak dikenal.
Buku
 tentang persenjataan lainnya yang ditulis sarjana Islam adalah Kitab 
al-hiyal fi’l-hurub ve fath almada’in hifz al-durub (roket, bom, dan 
panah api) ditulis oleh Komandan Turki Alaaddin Tayboga Al-Umari Al-Saki
 Al-Meliki Al- Nasir. Kitab lainnya yang mengupas tentang roket ditulis 
Ibnu Arabbugha berjudul Kitab Ål anik fil manajik kitab Ål hiyal fil hurub
 fi fath.
Barat juga kerap mengklaim bahwa roda terbang atau mesin terbang pertama kali diciptakan Leonardo da Vinci. Sesungguhnya, 
da Vinci itu banyak terpengaruh oleh karya-karya sarjana Islam bernama 
Al-Hazen. Selain itu, yang patut diketahui umat Islam adalah tulisan 
tangan karya-karya insinyur Islam bernama Ahmad bin Musa masih berada di
 perpustakaan Vatikan.
Peradaban
 Islam-Turki tercatat sebagai perintis dunia penerbangan jauh sebelum 
dunia Kristen-Eropa. Seorang sajana Turki bernama Sayram telah meneliti 
hubungan antara permukaan sayap burung dengan berat badannya untuk 
menemukan sebab-sebab burung bisa terbang. Penemuan itu membuat horizon 
baru dalam bidang aerodinamis.
Upaya penerbangan yang paling menarik dilakukan dua ilmuwan Muslim Turki, Hazarfan Ahmed Celebi dan Lagarå Hasan Celebi pada tahun 1630 M-1632 M pada masa pemerintahan Sultan 
Murad IV. Evliya Celebi yang  menyaksikan peristiwa bersejarah dalam 
dunia teknologi Islam itu menuturkan kesaksiannya.
‘’Hazarfan
 Ahmed Celebi, pertama kali mencoba terbang sebanyak delapan atau 
sembilan kali dengan sayap elang menggunakan tenaga angin,’’ ujar Evliya
 Celebi dalam buku catatan perjalannya yang masih tersimpan di 
Perpustakaan Istanbul.
Sultan
 Murad Han menyaksikan uji coba terbang itu dari bangunan besar bernama 
Sinan Pasha di Sarayburnu. Hazarfan Ahmed Celebi terbang dari puncak 
menara Galata dan mendarat di Dogancilar Square yang terletak di Uskudar dengan bantuan angin dari arah barat daya. Atas prestasinya itu, Sultan menghadiahinya koin emas.
‘’Hazerpan Ahmed Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan,’’ papar Sultan Murad. Insinyur sekaligus penerbang. Lagarå Hasan Celebi, juga tercatat terbang dengan 
menggunakan tujuh sayap roket dan mendarat dengan selamat di laut. Sosok
 Lagarå Hasan Celebi itu sangat patut mendapat tempat khusus dalam sejarah penerbangan.
Tangguh di Darat, Kuat di Laut
Hegemoni Kesultanan Usmani semakin menggurita tatkala Konstantinopel — ibu kota Kekaisaran Bizantium — pada 1453 M berhasil ditundukkan. Sejak itu, pemerintahan Usmani pun mengembangkan Istanbul (kota Islam) menjadi pusat pelayaran. Sultan Muhammad II pun menetapkan lautan dalam Golden Horn
 sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia menitahkan 
komandan angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang
 persenjataan laut. Tak hanya itu, pemerintahan Ottoman juga berhasil 
membangun sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Di bawah komando 
Gedik Ahmed Pasha (1480 M), Daulah Usmani membangun basis kekuatan 
lautnya di Istanbul. Tak heran, jika marinir Turki mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto.
Pada era kekuasaan Sultan Salim I (1512-1520), pusat persenjataan maritim di Istanbul
 dimodifikasi. Salim I berambisi untuk menciptakan Daulah Usmani yang 
tak hanya tangguh di darat, tapi juga kuat di lautan. Selain 
mengembangkan Pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan juga 
memerintahkan membangun kapal laut yang besar.
Tak
 heran, jika Salim I kerap berseloroh, ‘’Jika scorpions (Kristen) 
menempati laut dengan kapalnya, jika bendera Paus dan raja-raja Prancis 
serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena toleransi
 kami.’’
Salim
 I bertekad memiliki angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai 
lautan. Pembangunan dan perluasan pusat persenjataan maritim pun 
akhirnya dilakukan dari Galata sampai ke Sungai  Kagithane River
 dibawah pengawasan Laksamana Cafer dan tuntas pada 1515 M. Total dana 
yang dikucurkan untuk pembangunan pusat pertahanan dan persenjataan 
bahari itu menghabiskan 50 ribu koin. Sebanyak 150 unit kapal dibangun.
Dilengkapi
 dengan kapal laut terbesar di dunia, pada abad ke-16 M, Turki Usmani 
telah menguasai Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran,
 bila kemudian Daulah Usmani kerap disebut sebagai kerajaan yang 
bermarkas di atas kapal laut.
Sultan
 Selim I mulai kembali melirik pentingnya membangun kekuatan di lautan 
setelah kembali dari Mesir. Sebelumnya, kekuasaan Usmani Turki telah 
menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania, seperti Syiria dan 
Mesir. Pembangunan pelabuhan dan pusat persenjataan maritim terus  
dikembangkan oleh sultan-sultan berikutnya. Pada masa kejayaannya, Turki 
Usmani sempat menjadi Adikuasa yang disegani bangsa-bangsa di dunia baik 
di darat maupun di laut.
Bisnis Senjata di Era Usmani
Berniaga
 tak mengenal batas, begitu kata pepatah. Sekalipun Daulah Usmani 
bersitegang dan bermusuhan dengan Eropa, namun aktivitas perdagangan tak
 lantas berhenti. Pada era itu, perdagangan senjata di pasar gelap 
antara Turki dan Eropa masih terus berlangsung.
Padahal,
 penguasa di benua Eropa termasuk Paus melarang warganya untuk berbisnis
 dengan Usmani Turki. Larangan itu diberlakukan Paus Gregory XI pada 15 
Mei 1373 M. Pada pertengahan abad ke-14, persenjataan mulai berkembang 
ke negara-negara Eropa, sebagai teknologi militer baru. Namun, kala itu 
bisnis persenjataan belum begitu pesat.
Selain
 melarang berbisnis senjata dengan Daulah Usmani, Paus juga tak 
mengizinkan umat Kristiani untuk membeli kuda, besi, tembaga, dan 
barang-barang lainnya. Larangan berbisnis dengan Kesultanan Usmani 
diterapkan beberapa negara melalui undang-undang.
Larangan
 itu tak berdampak besar bagi Kerajaan Ottoman. Turki Usmani masih 
dengan mudah bisa memperoleh amunisi. Daulah Usmani tetap bisa memperoleh
 pasokan baja dan amunisi untuk kebutuhan militer dari Dubrovnik, 
Florence, Venicia, dan Genoa pada abad ke-14 M hingga 16 M. Bahkan, dua 
kota di Italia, Venicia dan Genoa hidup dari perdagangan.
(Republika; Rabu, 12 Maret 2008; heri ruslan) Sumber


















