Minggu, 23 Maret 2014

Ritual Pengorbanan Anak di Chili


Sekelompok ilmuwan yang dipimpin Haagen Klaus, antropolog Utah Valley University, menemukan kerangka puluhan anak yang menjadi korban dalam upacara ritual suku Muchik di utara Peru.

Menurut Klaus, ini adalah bukti pertama tentang ritual sejenis yang melibatkan proses mutilasi anak di wilayah pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Bersama kerangka itu, mereka juga menemukan Nectandra, sejenis tanaman halusinogen yang berfungsi melumpuhkan sistem tubuh dan mencegah pembekuan darah. Ini menunjukkan anak-anak itu terlebih dahulu dibius sebelum tenggorokan mereka digorok dan dada mereka dibelah.

Pisau perunggu yang tajam digunakan dalam ritual tersebut. Salah satu kerangka menunjukkan bekas 25 potongan. Beberapa kerangka menunjukkan tangan dan kaki mereka terlebih dulu diikat dengan tali.

“Ini melebihi tindakan yang sesungguhnya dibutuhkan untuk membunuh manusia. Benar-benar mengerikan,” ujar Klaus kepada National Geographic News. “Tapi kita harus memahami ini dalam konteks waktu itu, bukan saat ini.”

Sejak 2003, sebanyak 82 kerangka suku Muchik, termasuk 32 kerangka yang masih utuh, ditemukan di situs Cerro Cerrillos di Lembah Lambayeque, wilayah pantai utara Peru yang tandus.

Tak jelas mengapa dada korban harus dipotong. Namun, menurut Klaus, mungkin tindakan itu dilakukan untuk mengeluarkan jantung mereka.

“Masyarakat suku Muchik menawarkan darah (keturunan) mereka sendiri… Mereka memberikan persembahan untuk arwah nenek moyang mereka dan gunung-gunung,” ujar Klaus yang temuannya diterbitkan dalam jurnal arkeologi Antiquity edisi Desember 2010.

Klaus menambahkan, dalam budaya masyarakat di pegunungan Andes, anak-anak mungkin dianggap sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural. Selain itu, dalam kosmologi masyarakat Muchik, anak-anak belum dianggap sebagai manusia.

“Ketika suku Muchik mengorbankan anak-anak, dalam pandangan mereka, mereka tak mengorbankan manusia. Kedengarannya memang aneh,” tulis Klaus dalam sebuah email.

Setelah upacara persembahan, jasad anak-anak itu dibiarkan menjadi mumi secara alami oleh udara gurun setidaknya selama satu bulan. Pupa lalat ditemukan di antara tulang-belulang, yang menunjukkan belatung memakan daging mereka selama proses pembusukan. Dalam kepercayaan purba, lalat dipercaya membawa jiwa anak dan melambangkan proses pemakaman yang terhormat.

Sisa tubuh llama juga ditemukan bersama kerangka itu. Menurut Klaus, ini menunjukkan bahwa pemakaman jasad korban dilakukan dalam sebuah upacara perayaan “khidmat dan serius” dengan (hidangan) daging llama. Kepala dan kaki llama dipersembahkan kepada yang mati –mungkin sebagai bekal mereka di alam arwah.

Lebih dari 80 ritual pengorbanan darah dari tahun 900 M hingga 1100 dilakukan masyarakat Muchik, yang menempati pantai utara Peru setelah kejatuhan suku Moche.

Suku Moche sebuah masyarakat agraris yang bebas dan terlebih dulu bermukim di sana tahun 100 M hingga 800. Ideologi politik dan religius suku Moche mulai runtuh sekira 550 M akibat bencana El Nino yang mengubah iklim wilayah itu secara dramatis.

Namun beberapa budaya Moche bertahan dalam masyarakat Muchik, termasuk ritual pengorbanan manusia. Ritual pembunuhan terhadap tawanan perang menjadi ritual penting dalam masyarakat Moche untuk menyenangkan arwah nenek moyang dan alam. Suku Muchik tampaknya mengembangkan ritual itu dengan mengorbankan anak-anak, ujar Klaus.

Sejak 900 M, masyarakat Muchik dikuasai suku Sicán yang berasal dari etnis berbeda, namun ini tak mencegah mereka untuk mengembangkan dan melaksanakan ritual mereka sendiri. Suku Sicán juga punya ritual serupa, namun metode dan tatacaranya berbeda dengan Muchik.

Masyarakat Sicán yang kemungkinan besar punya kaitan dengan wilayah yang kini menjadi Ekuador selatan, ”datang di tengah kekosongan kekuasaan saat disintegrasi masyarakat Moche mencapai puncaknya. Dan dalam waktu seratus tahun mereka membangun ekonomi yang kuat, setara dengan ekonomi masyarakat Inca 400 tahun kemudian,” ujar Klaus.

Para pemimpin masyarakat Sicán fokus pada perdagangan dan ahli dalam bidang metalurgi, perikanan, pertanian, serta peternakan llama. Menurut Klaus, fokus pada ekonomi inilah yang memberikan peluang pada suku Muchik untuk mengembangkan ritual mereka sendiri.

Kolinialisme yang dijalankan Sicán sama sekali berbeda dengan apa yang dijalankan dalam sistem Barat, ujar Klaus.

Edward Swenson, arkeolog Universitas Toronto, Kanada, yang mempelajari suku Moche punya anggapan sedikit berbeda. Meski argumen Klaus dan timnya bahwa pengorbanan suku Muchik berakar pada ritual Moche amatlah menarik, Swenson mempertanyakan argumen bahwa ritual mengerikan itu murni sebuah evolusi dari ideologi Moche saat Sicán berkuasa.

“Arkeolog punya kecenderungan mengecilkan makna ritual menjadi… kontrol politik atau perlawanan,” tulisnya dalam sebuah email.

“Padahal jelas sekali, agama punya banyak sisi, bukan sekadar sebuah ideologi politik.





Sumber

Pengertian Perang ARMAGEDDON


Armageddon, berasal dari bahasa Ibrani Ar-Ma-Ged-Don, yang artinya “Puncak dari Megido”. Sedang arti Megido adalah “Tempat Pemusatan Bala Tentara”. Jadi, arti Armageddon adalah “Puncak dari Pemusatan Bala Tentara”. Berarti, Armageddon punya tiga arti yang saling berkaitan.

Pertama, berbicara tentang tempat atau lokasi, yatu di Megido. Kedua, Armageddon juga berarti situasi kondisi (sikon). Ketiga, yang mirip dan berkaitan dengan yang kedua tadi, yaitu peristiwa, yang dinubuatkan akan terjadi di ujung Akhir Zaman.

Jadi, dengan kata lain, arti yang tersirat di balik nama Armageddon adalah : Perang besar-besaran yang akan terjadi di Ujung Akhir Zaman, yang melibatkan banyak negara / bangsa dalam rangka menghabisi Israel, di mana pemusatan pasukan itu akan terjadi di Megido.


Pemusatan Bala Tentara dari banyak negara dan bangsa merupakan suatu peristiwa yang luar biasa dan menimbulkan situasi-kondisi (sikon) yang menegangkan, khususnya / terutama bagi bangsa Israel.

SEJARAH DAN LETAK MEGIDO.

Dulu kala, Megido adalah sebuah kerajaan kecil di tanah Kanaan. Nama Megido adalah nama raja / kerajaan dan juga nama kota, bukit, serta lembah.

Ketika bangsa Israel di bawah pimpinan Yosua memasuki Tanah Perjanjian, mereka menaklukkan 31 raja / kerajaan. Salah satunya adalah Megido. Dalam pembagian wilayah dari suku-suku Israel, Megido akhirnya menjadi milik bani Manasye, dari suku / keturunan Yusuf.

Sejarah terus berjalan. Orang Megido akhirnya dijadikan pekerja rodi oleh suku Manasye.

Thothmes III adalah seorang peneliti kerajaan-kerajaan kuno. Ia berkata : “Megido adalah seharga ribuan kota.” Lembah Megido juga disebut lembah Yosafat.

Secara harfiah, arti Yosafat adalah : yang dihukum oleh Yehova ! Secara geografis, Megido terletak (±) 10 km di selatan gunung Karmel, 15 km di sebelah timur Laut Tengah dan 50 km di utara kota Yerusalem. Sisa-sisa / reruntuhan kota Megido masih ada sampai hari ini, walau sudah ribuan tahun berlalu ! 

AWAL BENCANA.

Di ujung Akhir Zaman, kita tahu kapan tepatnya akan terjadi, mungkin di awal atau bulan muda tahun 2014, para pemimpin Israel akan dipaksa untuk mau duduk di meja perundingan dengan Palestina. Hampir semua butir-butir keputusan dari Perjanjian Damai itu lebih menguntungkan pihak Palestina.


Masalah Israel dengan Palestina yang terutama adalah batas wilayah negara. Palestina misalnya, menuntut bahwa Yerusalem timur menjadi ibukota mereka. Lalu batas kekuasaan atas laut di tepi barat negara. Juga penguasaan sumber air, seperti danau Galilea dan sungai Yordan. Kemudian bahan mineral yang terdapat dalam kandungan air asin dari (danau) Laut Mati, yang kini dikelola secara damai antara Israel di sisi barat dan Yordania di sisi timur. Berikutnya adalah Kota Tua Yerusalem dan Dataran Tinggi Golan, dll.

Menurut hasil survey atau jajak pendapat, 52% rakyat Israel lebih condong taat kepada Obama. Hanya 47% masih mau dengar PM mereka, Benyamin “Bibi” Netanyahu. Sedang 1%nya abstain.

Di samping itu, satu-satunya pendukung Israel, yaitu Amerika Serikat, sudah berbalik arah. Sedangkan Eropa dan Uni Eropa (27 Negara) sudah lebih dahulu telah menyatakan, bahwa mereka tidak mendukung Israel.

Artinya, Israel di masa itu hanya berdiri seorang diri. Just alone ! Dengan kata lain, tekanan politik bagi para pemimpin Israel amat berat. Akhirnya, mereka “terpaksa” menutupi dengan dusta, atau yang sering disebut dengan pembohongan publik.

Itulah awal dari bencana. Karena tidak bersandar pada perlindungan Allah, tapi lebih memilih berlindung di balik Perjanjian Damai.

Namun suatu hari nanti, Israel akan dikhianati ! Perjanjian Damai yang sudah cukup memberatkan bangsa Israel itu dilanggar secara sepihak dan semena-mena.

Kita tidak tahu apa sebenarnya yang telah dirundingkan di balik layar, atau di kantor / ruang tertutup antara Antikris dengan pihak pemimpin Palestina. Namun yang tampil di permukaan, Perjanjian Damai itu dilanggar.

Akibatnya, Israel marah besar ! Israel mengamuk ! Israel lalu mengadakan serangan balasan secara lebih besar dan dengan kekuatan senjata mutakhir. Hal ini membuat banyak bangsa di dunia marah.

Hingga dengan mudah Antikris berhasil mengkoordinir banyak negara untuk mengepung dan “menghukum” Israel



Sumber

Perubahan Cuaca di Athena Menurut Naskah Drama Yunani Kuno


Studi baru yang diungkapkan Dr Christina Chronopoulou dari University of Athens menggambarkan keadaan iklim Mediterania dari naskah drama Yunani kuno. Menggunakan pengamatan sejarah dari karya seni dan drama, peneliti menyelidiki fenomena meteorologi yang dikenal sebagai Halcyon Days, dimana pada waktu itu para penikmat teater terbuka Dionysus di Athena menyaksikannya ditengah musim dingin.

Bagaimana kondisi cuaca Athena dimasa lalu? Perubahan cuaca pernah terjadi di Yunani, dimana para filsuf kuno mengungkap kondisi cuaca yang tertuang dalam naskah drama Yunani kuno. Kondisi cuaca memungkinkan orang-orang Athena di era klasik menonton pertunjukan teater terbuka selama pertengahan musim dingin. Para peneliti bertujuan mengumpulkan dan menafsirkan fenomena yang terjadi di abad ke-5 dan ke-4 SM.

Naskah Drama Yunani Kuno Ungkap Perubahan Iklim Athena

Dalam sejarah dunia, kota Athena memiliki teater terbuka Dionysus di selatan Acropolis dan mungkin penduduk kota menonton drama Yunani kuno ditengah musim dingin antara 15 Januari dan 15 Februari. Ilmuwan beralih meneliti naskah 43 drama, diantaranya 7 naskah dari Aeschylus, 7 dari Sophocles, 18 dari Euripides dan 11 naskah dari Aristhopanes. Dalam naskah drama Yunani kuno, ilmuwan menemukan referensi yang mengungkap keadaan cuaca Athena.


Menurut Dr Chronopoulou, drama Arsitophanes sering memohon datangnya hari-hari tenang. Fakta ini ditemukan dalam naskah yang tertulis diantaranya dalam naskah drama Lenaian Acharnian sekitar tahun 425 SM, Arstophanes menuliskan:

"Dan apa yang saya katakan akan mengejutkan, tapi benar. Kali ini Cleon tidak akan menuduh saya memfitnah kota dihadapan orang asing, karena diri kita sendiri, melainkan kompetisi Lenean, dan tidak ada orang asing disini, tidak ada upeti maupun tentara yang tiba dari kota-kota sekutu. Kali ini, diri kita sendiri. Aku menghitung orang asing sebagai dedak dari rakyat kami."

 Orang-orang Yunani menggunakan ramalan dengan tampilan tanda-tanda Diosimies, fenomena yang disebabkan oleh Zeus. Kalender meteorologi disebut Parapigmata yang pada waktu itu beredar di Agora (tempat pengumpulan dan pasar) sejak abad ke-5 SM. Para filsuf saat itu mengamati cuaca pegunungan seperti Mithimna, Idi dan Lycabettus, Menggabungkan astronomi dengan pengetahuan empiris dari meteorologi lokal untuk menyusun Parapigmata, semacam laporan perkiraan empiris di Agamemnon. Seperti yang terlihat pada naskah Aeschylus di Agamemnon pada tahun 458 SM menuliskan:


"Saya telah menghabiskan malam di atap Atreides beristirahat seperti anjing, dan mengetahui secara menyeluruh kerumunan bintang malam, dan juga penguasa terang, mencolok dalam langit, yang membawa musim dingin dan musim panas untuk umat manusia, beberapa set dan lain-lain meningkat." 

Dalam menikmati Halcyon Days, orang-orang Yunani kuno mengamati musim panas dan dingin sehingga mereka memutuskan untuk memasukkan festival drama Yunani kuno di Lenaia, salah satu dari empat perayaan untuk menghormati Dionysus. Tiga dari empat perayaan digabungkan dengan festival dramatis di Kota Dionysian, Rural Dionysian dan Lenaia, yang berhubungan dengan tarian Bacchus.

Konteks dramatis dimasukkan selama bertahun-tahun setelah perayaan dan menunjukkan bahwa pada bulan musim dingin, Gamelion menawarkan dan mengizinkan penduduk kota Athena menonton drama Yunani kuno. Teater drama yang diadakan pada pertengahan musim dingin tanpa ada indikasi pasca-ponement, dan referensi naskah drama Yunani kuno tentang cuaca cerah dan musim dingin ringan di Attica. Lukisan yang ditemukan juga menunjukkan bahwa pakaian yang dikenakan di Lenaia dan pakaian upacara pernikahan tidak dirancang untuk musim hujan pada abad ke-5 SM. 




Sumber

Pemisahan Superbenua Gondwana Tenggelamkan Sahara Samudera Atlantik

Bagaimana bentuk superbenua Gondwana sekitar 130 juta tahun yang lalu? Superbenua Gondwana merupakan daratan luas, selama ratusan juta tahun benua Amerika Selatan, Afrika, Antartika, Australia dan India tergabung menjadi satu daratan. Geoscientists dari University of Sydney dan GFZ German Research Centre for Geosciences telah menunjukkan bukti melalui penggunaan lempeng tektonik dan pemodelan numerik tiga dimensi, Sahara Samudera Atlantik Tenggelam akibat aktifitas tektonik pada saat pemisahan Superbenua Gondwana.

Superbenua Gondwana terbentuk sebelum Pangea, kemudian menjadi bagian Pangea hingga akhirnya terpecah. Gondwana diperkirakan menjadi satu antara 570 hingga 580 juta tahun yang lalu sehingga East Gondwana bergabung dengan West Gondwana. Supebenua ini terpisah dari Laurasia 200 hingga 180 juta tahun yang lalu (Era pertengahan Mesozoikum), selama terpecahnya Pangea bergeser jauh ke selatan.


Aktifitas Tektonik Superbenua Gondwana

Benua besar termasuk Inti Crotons di Amerika Utara (Laurentian), Baltica dan Siberia bergabung menjadi satu membentuk superbenua Pangea pada periode Permian. Ketika memasuki periode Jurassic, superbenua Pangea terpecah menjadi dua bagian yaitu superbenua Gondwana dan Laurasia.

Amerika Selatan mulai terpisah secara perlahan ke arah Barat dan membuka Samudera Atlantik sekitar 110 juta tahun lalu. Gondwana Timur mulai memisahkan daratan sekitar 120 juta tahun lalu, pada saat itu India mulai bergerak perlahan ke Utara. Australia terpisah dari benua Antartika sejak peride Kapur Akhir 80 juta tahun lalu, tetapi pemekaran dasar laut terjadi 40 juta tahun lalu selama Epos Eosen periode Paleogen. Sementara New Zealand mungkin terpisah dari Antartika anatar 130 hingga 85 juta tahun lalu.

Sisa-sia superbenua Gondwana saat ini bisa terlihat pada daratan bumi selatan, termasuk Antartika, Amerika Selatan, Arfika, Madagaskar, dan benua Australia, sementara Semenanjung Arab dan India bergeser ke utara. Beberapa organisme dikenal telah bertahan hidup sejak adanya superbenua Gondwana misalnya tanaman Proteaceae, flora Antartika. Berbagai macam flora fauna hidup selama jutaan tahun, hutan Laurel di Australia, New Caledonia dan New Zealand terpisah oleh pergeseran benua 85 juta tahun lalu tetapi masih mempertahankan tanaman dan hewan peninggalan superbenua Gondwana.

Akibat aktifitas tektonik, retakan sepanjang Equator Atlantik lebih besar daripada retakan Afrika Barat. Hal ini menyebabkan wilayah itu punah (tenggelam) menghindari pecahnya benua Afrika.


Mengapa Sahara Samudera Atlantik Tenggelam?

Sampai saat ini, penyebab fragmentasi superbenua Gondwana masih diperdebatkan, superbenua pertama terpecah sepanjang pantai Afrika Timur dan Barat sebelum terjadinya pemisahan Amerika Selatan dan Afrika. Sekarang, tepi kedua benua sepanjang samudera Atlantik Selatan dan struktur bawah permukaan laut memberikan wawasan penting bagaimana proses terbentuknya Afrika dan Amerika Selatan.

Mengapa Atlantik Selatan membentuk cekungan raksasa dan berbeda dengan bagian Atlantik Utara? Menurut Sascha Brune, perpanjangan disepanjang Atlantik Selatan dan sistem retakan di Afrika Barat telah membagi benua Amerika dan Afrika menjadi dua bagian yang hampir sama, menghasilkan Atlantik Selatan dan Sahara Samudera Atlantik.

Model numerik kompleks memberi penjelasan sederhana yaitu, semakin besar sudut antara tren retakan dan arah ektensional (perpanjangan) maka semakin banyak kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan sistem retakan (Rift). Retakan Afrika Barat menampilkan orientasi hampir Orthogonal sehubungan dengan adanya perpanjangan ke arah barat superbenua Gondwana.

Sisa-sia superbenua Gondwana saat ini bisa terlihat pada daratan bumi selatan, termasuk Antartika, Amerika Selatan, Arfika, Madagaskar, dan benua Australia, sementara Semenanjung Arab dan India bergeser ke utara. Beberapa organisme dikenal telah bertahan hidup sejak adanya superbenua Gondwana misalnya tanaman Proteaceae, flora Antartika. Berbagai macam flora fauna hidup selama jutaan tahun, hutan Laurel di Australia, New Caledonia dan New Zealand terpisah oleh pergeseran benua 85 juta tahun lalu tetapi masih mempertahankan tanaman dan hewan peninggalan superbenua Gondwana. 




Sumber

jejak astronomis candi Borobudur

Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6. 


Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.

Penelitian selama 2,5 tahun yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung, menunjukkan, stupa utama candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).

Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8, dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.

"Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa)," kata Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang.

Tim beranggotakan satu dosen dan empat mahasiswa Astronomi ITB, satu mahasiswa Matematika ITB, dan seorang peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Temuan mereka dimuat dalam prosiding 7 International Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010.

Bayangan lurus stupa saat Matahari berada di garis khatulistiwa (garis 0 pada grafik lintasan awal musim). Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik timur garis dan terbenam tepat di titik barat garis. Hasil ini menunjukkan posisi candi Borobudur sesuai arah mata angin. Posisi itu ditentukan nenek moyang kita ketika meletakkan fondasi candi tanpa bantuan alat penentu posisi global (GPS).

Penelitian lebih lanjut adalah untuk melihat apakah posisi stupa atau bayangan stupa memiliki hubungan dengan prediksi gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Konfigurasi situs megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan waktu, baik kalender maupun prediksi gerhana.

Sejumlah relief di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan.

Untuk mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi yang panduan utamanya adalah bintang-bintang di langit.

Posisi bintang ini terlukis dalam relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke empat Borobudur di sisi Utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit.

Salah satu bintang penunjuk adalah bintang Polaris. Sebelum tahun 800, Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Namun kini Polaris berada dibawah horizon karena gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari) sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari Nusantara.

Apabila penelitian lebih mendalam dapat membuktikan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah mampu membuat peta bintang dan penentuan musim serta waktu gerhana, maka bangsa Maya bukan satu-satunya bangsa kuno yang menguasai ilmu perbintangan. Sejarah dunia perlu ditulis ulang, dan nama bangsa Indonesia patut diperhitungkan dalam peta sejarah dunia sebagai bangsa yang pernah mencapai kebudayaan yang tinggi dalam ilmu astronomi.

 Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi masyarakat saat itu ditunjukkan oleh gambar relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke-4 Borobudur di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit yang dipastikan simbol bulan.

Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar (punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya pinggang— karena posisi di pinggang beruang.



Irma menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang terbuka ini sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta krttikã yang menunjuk kluster bintang yang sama.

Kluster (kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda dimulainya waktu tanam.



Sumber

Manusia Berekor di Hutan Kalimantan?

Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong Norwegia kelahiran Kopenhagen, Denmark. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Sebelum berjejak di Kalimantan, dia telah menjelajah di pedalaman Sumatra pada 1878. Lukisan karya Hans Christian Olsen. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)


“Pada Minggu, 20 Juli 1879, saya memulai perjalanan dari Samarinda dengan dua perahu ke Tangaroeng [Tenggarong],” ungkap seorang lelaki muda di buku catatannya, “jaraknya sekitar 30 mil perjalanan lewat sungai.”

Lelaki itu adalah Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong kelahiran Kopenhagen, Denmark. Meskipun lahir di Denmark, Bock mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, Norwegia. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selama enam bulan. Ketika itu usianya masih 30 tahun.

Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.

Hasil penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi.

Dalam bukunya yang sensasional itu dia berkisah tentang peradaban Dayak dan kanibalisme antar-suku.

“Bock memberi kita informasi yang padat tentang suku Dayak dari Kalimantan Selatan,” ungkap Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan penjelajah asal Inggris, beberapa bulan setelah buku itu terbit.

“Kesan umum dari deskripsinya yang didukung potret kehidupan menunjukkan adanya kesamaan nan indah antara semua suku di pulau besar ini, baik dalam karakteristik fisik dan mental,” demikian ungkap Wallace, “meskipun ada banyak spesialisasi dalam kebiasaan.”

Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai, Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, “Orang Bukkit” dari Amontai, dan Dayak Tring.

Dia juga menuturkan upayanya dalam menyingkap kisah lama dari warga setempat tentang manusia berekor.

Seorang abdi kepercayaan dari Sultan Kutai A.M. Sulaiman bersaksi pernah menjumpai sosok itu dan menjulukinya dengan “Orang boentoet”.

“Saya berhasil menyelesaikan perjalanan ini, saya menjelajahi rute dari Tangaroeng ke Bandjermasin, sejauh 700 mil, melewati serangkaian bahaya dan kesukaran di suku Dayak,” ungkap Carl Bock.

Keingintahuan Carl Alfred Bock soal ‘rantai kerabat yang hilang’ itu nyaris membuat perseteruan dua kesultanan. Benarkah manusia berekor itu ada?

Pencarian Ras Manusia Berekor di Kalimantan

Sembari menikmati durian dalam jamuan makan malam di atas rakit, Carl Bock berbincang dengan Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan kerabatnya tentang keberadaan ras manusia berekor. Konon, mereka menghuni permu****n Kesultanan Pasir dan tepian Sungai Teweh.

Percakapan itu membuat Bock berpikir tentang keberadaan “tautan kerabat yang hilang” yang disuarakan pendukung teori Darwin.

Tjiropon, seorang abdi kepercayaan Sultan, meyakinkan Bock di depan Sultan dan para Pangeran. Sang abdi itu beberapa tahun silam pernah menjumpai sosok manusia berekor di Pasir, dan menjulukinya dengan “Orang-boentoet”.

Menyeberang Sungai Benangan di pedalaman Kalimantan. Litografi oleh C.F. Kelley berdasar lukisan karya Carl Bock. Bock menjelajahi Kalimantan timur dan selatan, dari Kutai ke Banjarmasin. Tentang pengalamannya, dia menulis sebuah buku “The Head Hunters of Borneo” yang terbit pada 1881.


Sang abdi bahkan mampu melukiskan sosok manusia berekor dengan kata-kata. Kepala suku mereka, ujarnya, berpenampilan sangat luar biasa, berambut putih, dan bermata putih.

Mereka memiliki ekor sekitar lima hingga sepuluh sentimeter. Uniknya, mereka harus membuat lubang di lantai rumah untuk tempat ekor, sehingga mereka dapat duduk nyaman.

Sultan Kutai pun turut takjub dengan kisah abdinya. Dia pun memberangkatkan Tjiropon bersama sebuah surat yang memohon Sultan Pasir untuk mengirimkan sepasang manusia berekor.
Carl Alfred Bock-penjelajah-kalimantan-02

Sejatinya Bock sedikit ragu soal mitos manusia berekor di pedalaman Kalimantan.

Namun demikian, dia setuju untuk tetap berupaya mencari “tautan kerabat yang hilang” itu.

Bahkan, dia pernah menjanjikan kepada Tjiropon uang sejumlah 500 gulden apabila berhasil membawa sepasang manusia langka itu.

Beberapa hari berlalu tanpa kabar. Bock melanjutkan perjalanan dari Tenggarong ke Banjarmasin. Ketika Bock berada di kota itu, Tjiropon menjumpainya.

Wajah sang abdi itu kecewa sambil berkata bahwa dia telah menyampaikan surat itu kepada Sultan Pasir, namun tidak mampu membawa ras manusia berekor pesanan Bock.

Tjiropon pun memberikan penjelasan yang berbelit-belit. Akhirnya, Residen Banjarmasin pun bersedia membantu Bock. Dia mengirim surat kepada Sultan Pasir yang isinya menanyakan sekali lagi soal keberadaan manusia berekor di wilayahnya.

Hampir sebulan berlalu, surat balasan dari Sultan Pasir sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Tampaknya ada salah paham: “Orang-boentoet Sultan di Pasir” adalah sebutan para pengawal pribadi Sultan Pasir.

Pantaslah Sultan Pasir marah besar hingga mengancam perlawanan terhadap Sultan Kutai dan mengusir Tjiropon.

Akibatnya, menurut Bock, mereka mendirikan kubu pertahanan dan bersiap berperang melawan Kesultanan Kutai. “Jika Sultan Kutai menginginkan Orang-boentoet saya,” ujar Sultan Pasir, “Biarkan dia ambil sendiri.”

 Gambar ilustrasi


Meskipun demikian, Tjiropon tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa manusia berekor itu nyata adanya. “Demi Allah saya pernah melihat Orang-bontoet beberapa waktu silam, dan berbicara kepada mereka , tetapi saya tidak bisa melihat mereka saat ini!” ungkapnya seperti yang dicatat Bock.

Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.

Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge. Dia melaporkan kepada Gubernur tentang peradaban suku-suku Dayak. Tak hanya itu, dia juga menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.

Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan para pengiringnya di depan kedaton, Tenggarong. Sang Sultan bertakhta di Kesultanan Kutai pada periode 1850-1899. Pada 1879, Carl Bock, seorang naturalis dan penjelajah asal Norwegia, pernah berbincang dengannya tentang “Orang-boentoet”—manusia berekor yang diduga mendiami Kalimantan. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)


Dari penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881.

Kisah lucu dan sungguh-sungguh terjadi dari pedalaman Kalimantan ini ternyata menarik perhatian Alfred Russel Wallace. Sang penjelajah sohor asal Inggris itu mengungkapkan, “Satu-satunya episode lucu dalam buku ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk menemukan kisah ‘manusia berekor’ yang kerap dibicarakan di Kalimantan.”

Apakah ras manusia berekor itu benar-benar ada di hutan Kalimantan? Entahlah. Bock tak pernah tertarik lagi menyelisik sosok misterius itu. Dia pun menyebut peristiwa pencarian ras manusia berekor di Kalimantan sebagai “kekeliruan yang menggelikan”.




Sumber

Teori Tiga Spesies Manusia

Dalam Kitab Perjanjian Lama menceritakan suatu kisah di mana Daud kecil mengalahkan Goliath si raksasa. Cuma dengan menggunakan sebuah ali-ali (tali pelontar menyerupai ketapel) guna membunuh lawan bertubuh raksasa, dan kemenangan ajaib ini menjadikannya sebagai raja orang Yahudi yang kedua.

Sementara itu tidak sedikit orang menganggap cerita tersebut hanya sebagai suatu metafora, akan tetapi temuan terbaru dari catatan tertua bangsa Filistin menyatakan bahwa Goliath benar-benar pernah ada.

Benda-benda peninggalan sejarah berupa suatu pecahan tembikar tanah liat kecil ini telah ditemukan di Israel pada tahun 2005 oleh Universitas bidang ahli arkeologi Tell es Safi

Di pecahan tembikar tersebut terlukis kata-kata "Alwt-and-Wlt" dimana menurut Professor Aaron Demsky tulisan tersebut berkaitan dengan Goliath si raksasa. Sebuah studi menguatkan bahwa ukiran tersebut telah dibuat kira-kira 950 tahun SM, dan dipercayai oleh para ahli injil kira-kira berbeda masa 70 tahun dari sejarah pertarungan ini.

Meskipun penemuan tersebut dapat menyumbangkan kredibilitas baru terhadap kisah kuno itu, tetapi ia juga bisa menjadi bagian dari teka-teki lain yang lebih menarik. Mungkin saja orang akan berpikir meskipun pertarungan kuno ini benar-benar terjadi, postur tubuh Goliath tersebut tentunya sudah dibesar-besarkan untuk mendramatisir keadaan.

Namun dari bukti-bukti yang sudah terkumpul dari seluruh dunia semenjak abad lalu, mengungkapkan bahwa keberadaan manusia raksasa tidaklah dianggap aneh.


Pada kenyataanya, beberapa penemuan tersebut sudah membuat orang yakin bahwa manusia jaman dahulu terdiri dari tiga ukuran yang berbeda-beda, yaitu: manusia raksasa(tinggi dan besar), manusia seukuran kita dan hobbit (manusia kecil/kerdil) . Di musim semi tahun 2004 lalu, beberapa penyelidik yang bekerja di Indonesia menemukan sisa peninggalan ras manusia "hobbit" memiliki ukuran hanya 3 kaki lebih.

Peneliti dan ilmuwan menetapkan bahwa manusia kecil ini pernah hidup ber-dampingan dengan manusia seukuran kita kira-kira 13.000 tahun lalu. Team peneliti termasuk ahli paleoanthropologi dari Indonesia yaitu, Profesor T. Jacob memberi nama ras manusia kerdil tersebut dengan Homo Floresiensis.

Sama dengan nama pulau Flores yang ada di Indonesia tempat tulang belulang diketemukan. Beberapa orang mengatakan bahwa hobbit-hobbit ini masih berkeliaran di rimba belantara, hingga mendorong banyak pengunjung untuk mendatangi pulau tersebut pada tahun-tahun belakangan ini guna menyelidiki perwujudan dari kebenaran cerita tersebut. Bukti-bukti mengenai ras manusia raksasa bahkan lebih banyak lagi.

Beberapa sisa-sisa peninggalan manusia raksasa telah ditemukan diberbagai bagian dunia: Pennsylvania,Tunisia, Glen Rose, Texas, Syria, Gargayan di Filipina, Australia, Moroko, dan sepanjang pegunungan Urbasa di negara Spanyol.

Dan contoh yang paling terkenal serta diakui secara ilmiah adalah "Raksasa-Java," yang diketemukan di Tiongkok Selatan. Beberapa sisa peninggalan manusia serupa ditemukan dekat Tiongkok Selatan ternyata memiliki 6 jari pada setiap tangan dan kakinya.

Ciri-ciri khas lebih dari lima jari tangan dan kaki kelihatannya merupakan salah satu ciri tetap pada ras manusia ini, yang mana seperti yang telah terlihat pada contoh-contoh yang lain.

Di Soviet Georgia, diketemukan kerangka manusia yang tingginya antara 9 dan 10 kaki juga memiliki 6 jari pada kaki dan tangannya. Pada beberapa kisah yang menyebutkan keberadaan manusia raksasa, pun diceritakan fenomena enam jari ini.

Meskipun terdapat sangat banyak bukti tulang belulang, dan juga temuan perkakas dan gigi-gigi yang mana setidaknya membuktikan besarnya ukuran manusia raksasa dibandingkan ukuran manusia normal pada umumnya, tetapi kelihatannya masih tidak banyak ilmuwan mendedikasikan diri untuk meneliti fenomena yang satu ini.

Peradaban modern sering kali menyebutkan perihal ukuran ras manusia berbeda ukuran ini sebagai naskah kuno dan cerita rakyat, dimana banyak diceritakan dari berbagai kebudayaan berbeda-beda. Akan tetapi bagaimanapun juga dari banyak bukti sisa peninggalan yang ditemukan di berbagai penjuru dunia, mungkin saja kisah "dongeng" ini, adalah kisah nyata pada waktu itu.

Bila ras manusia berbagai ukuran ini benar-benar ada dan nyata, Lalu mengapa tiga ukuran dan kemanakah dua ukuran yang lain? Apa mungkin mereka mempunyai hubungan sosial yang baik atau bermusuhan dengan leluhur kita dulu? Apakah mereka saling tolong menolong satu sama lain? Atau saling tidak peduli bahkan bermusuhan? Lalu struktur sosial apa yang mereka punyai? Saat ini kita hanya bisa melihat pada cerita-cerita dari jaman yang sangat lampau dan mengira-ngira berapa banyak lagi mitos dengan bukti real yang akan terungkap.



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.