Tampilkan postingan dengan label Arkeologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arkeologi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 November 2014

Misteri 50 Ribu Pasukan Persia Hilang Di Gurun Pasir



Masih banyak misteri mesir kuno yang belum terungkap, salah satunya adalah menghilangnya 50 ribu pasukan Persia di gurun pasir Mesir sekitar tahun 524 SM. Profesor Olaf Kaper dari Leiden menggali teka-teki misteri sejarah yang sampai saat ini belum terpecahkan.

Badai pasir seperti yang diceritakan Herodotus, tentang kisah Raja Persia Cambyses yang memasuki gurun Mesir dekat Luxor (Thebes) dengan membawa 50 ribu pasukan Persia. Pasukan ini dikabarkan tidak pernah kembali, mereka tertelan gundukan pasir. Kisah ini sudah lama menjadi subjek perdebatan dikalangan serjarawan dan egyptologis. Sementara itu, penemuan ini akan diumumkan pada tanggal 18-20 Juni 2014 di sebuah konferensi international 'Political Memory in and after the Persian Empire', Leiden University.

Misteri 50 Ribu Pasukan Persia Menghilang


Profesor Olaf Kaper yang juga sebagai egyptologis tidak pernah meyakini kisah itu. Sejak abad ke-19, banyak orang telah mencari pasukan yang hilang mulai dari pemburu amatir hingga arkeolog profesional. Beberapa diantaranya berharap menemukan fosil-fosil 50 ribu pasukan Persia disuatu tempat bawah tanah, tetapi sepanjang pencarian justru menunjukkan bahwa manusia jarang sekali mati disebabkan badai pasir, terlebih 50 ribu pasukan yang bersama-sama di gurun sangat tidak masuk akal.

Olaf Kaper justru mengedepankan penjelasan yang sama sekali berbeda, menurutnya 50 ribu pasukan Persia tidak menghilang, tetapi dikalahkan. Penelitiannya menunjukkan bahwa pasukan Persia tidak hanya melewati padang pasir, tetapi tujuan akhir perjalanan mereka ke Dachla Oasis, salah satu lokasi pemimpin pasukan pemberontak Mesir, Petubastis III. Saat itu dia disergap pasukan Persia kepemimpinan Cambyses, dengan cara ini Petubastis III mengatur strategi di Oasis untuk merebut kembali sebagian wilayah Mesir. Setelah kemenangan melawan tentara Persia dirinya dinobatkan menjadi Firaun di ibukota Memphis. 
Bagaimana nasib pasukan Cambyses? Mereka tetap tidak jelas dalam jangka waktu yang cukup lama karena Raja Persia Darius I mengakhiri pemberontakan Mesir dengan mengorbankan pertumpahan darah selama 2 tahun setelah kekalahan Cambyses. Darius I dikaitkan dengan kekalahan memalukan para pendahulunya, dengan manipulasi efektif ini selama 75 tahun setelah peristiwa kekalahan Persia, Herodotus membuat catatan sejarah tentang kisah 50 ribu pasukan persia yang hilang di padang pasir.

Olaf Kaper menemukan kisah ini secara tidak sengaja, dibantu oleh rekan-rekannyua dari New York University dan University of Lecce selama sepuluh tahun terakhir dalam penggalian arkeolog di Amheida, Dachla Oasis. Pada awal tahun ini, dia mengeluarkan hasil analisis yang menyinggung kisah Petubastis III di Kuil kuno. Pada saat itulah dia menemukan jawaban dari teka-teki pasukan Persia yang tak terpecahkan. 

Blok kuil yang ditemukan menjelaskan bahwa semua ini pasti benteng yang dibangun pada awal periode Persia. Setelah sejarawan menggabungkannya dengan informasi terbatas tentang Petubastis III, lokasi penggalian dan kisah Herodotus, akhirnya mereka mampu merekonstruksi kisah yang sebenarnya telah terjadi.

Referensi


Leiden Egyptologist unravels ancient mystery, 19 June 2014, by Leiden, Universiteit. The lost army of Cambyses II according to a XIX century engraving., image courtesy of Wikimedia Commons.

Sumber : http://www.isains.com/2014/06/terungkap-misteri-50-ribu-pasukan.html#ixzz3IVjv5cUZ
Follow us: @idsains on Twitter

Gobekli Tepe





Gobekli Tepe dianggap sebagai batu candi tertua di dunia terdiri dari serangkaian struktur megalitik yang didalamnya terdapat pilar cincin berbentuk T. Situs ini berada di punggung bukit gunung Turki tenggara berkisar 13 kilometer dari kota kuno Urfa, dekat dengan situs tradisional Taman Eden. 

Selama 10,000 tahun terakhir misteri Gobekli Tepe tetap tidak terungkap. Sebuah situs berbentuk bumi berukuran sekitar 330 hingga 220 meter, dimana pertanian dan peternakan hampir tidak dikenal ketika Gobekli Tepe dibangun. Untuk apa Gobekli Tepe dibangun? Kapan dan siapa yang membangun Gobekli Tepe?

Andrew Collins adalah salah satu penulis yang menyadari makna situs Gobekli Tepe yang semuanya tertuang dalam karya terbarunya yang dirilis pada awal Mei 2014, 'Gobekli Tepe: Genesis Of The Gods'. Selama hampir 20 tahun penelitiannya tentang asal-usul revolusi Neolitik dan hubungan Gobekli Tepe dengan tradisi Ibrani mengenai lokasi Taman Eden, dan kebenaran manusia di balik kisah Malaikat Penjaga yang tertulis dalam kitab Henokh. Dalam buku sebelumnya (From Ashes of Angels), dia menempatkan fakta baru mengenai asal-usul peradaban manusia misterius. 

Mengungkap Misteri Gobekli Tepe


Andrew Collins memberikan bukti kuat bahwa mitos para 'Malaikat Penjaga' yang tertulis dalam kitab Henokh, Anunnaki dari mitos Mesopotamia, dan legenda Gobekli Tepe, kesemuanya berdampak pada munculnya peradaban. Gobekli Tepe dibangun oleh populasi pemburu-pengumpul dimana pada waktu itu mereka masih dalam ketakutan setelah bencana dahsyat yang menghancurkan hampir seluruh dunia, sekitar 12900 tahun yang lalu gempa susulan berlangsung selama beberapa ratusan tahun sesudahnya. 

Tetapi tidak mungkin orang-orang yang berencana melawan rasa takut adalah penduduk asli, semua ini mungkin telah didalangi oleh budaya lain yang masuk terdiri dari sekelompok dukun, prajurit, pemburu dan alat batu spesialis berkekuatan besar dan berkarisma. Gobekli Tepe dan wilayah mereka memperdagangkan berbagai bentuk batu serta biji besi berwarna merah tua yang membentang dari gunung Carpathians hingga ke Rusia. 

Bukti anatomis yang ditemukan sedikit menjelaskan makhluk pemburu pengumpul dengan penampilan tinggi dengan kepala yang sangat panjang, tulang pipi tinggi, wajah panjang, rahang besar dan tulang terliaht alis menonjol. Beberapa kemungkinan dianggap sebagai bukti bahwa mereka adalah makhluk hibridaNeanderthal


Andrew Collins beranggapan bahwa orang-orang yang ikut terlibat dalam pembangun Gobekli Tepe berasal dari budaya Swiderian. Pertambangan di pegunungan Swietokrzyskie-Polandia adalah salah satu bukti paling awal adanya kegiatan penambangan terorganisir di dunia. Swiderian termasuk masyarakat maju yang berkembang di Eropa Tengah dan Timur sekitar tahun 10900 SM. 

Mereka telah membangun berbagai budaya Swiderian di era Mesolithic hingga ke utara Norwegia, Finlandia, dan Swedia, pegunungan Kaukasus selatan dan timur sungai Upper Volga di Rusia Tengah. Budaya Swiderian sangat maju termasuk diantaranya menguasai teknologi alat batu yang canggih berasal dari nenek moyang mereka. Nenek moyang Swiderian mungkin berasal dari Gravettian Timur yang berkembang antara tahun 30,000 hingga 19,000 SM yang saat ini dikenal sebagai Republik Ceko. 

Sekitar tahun 10500 SM, populasi Swiderian pindah ke selatan, dari Timur Eropa ke timur Anatolia. Di sini mereka menguasai perdagangan regional berupa kaca vulkanik hitam, yang dikenal sebagai obsidian seperti di gunung Bingol Armenia dan gunung Nemrut Dag. Perdagangan ini membawa Swiderian kontak langsung dengan masyarakat yang kemudian membangun Gobekli Tepe sekitar tahun 9500-9000 SM.

Bukti pembangunan Gobekli Tepe mejelaskan bahwa budaya Swiderian memiliki kosmologi canggih yang sebagian diperoleh dari sepupu mereka, orang-orang Solutreans Tengah dan Eropa Barat. Mereka juga terkait dengan masyarakat Gravettian Timur, meyakini pohon kosmik yang memelihara Dunia Langit, perpecahan Bima Sakti disebabkan adanya debu dan puing-puing bintang sesuai dengan posisi di langit utara yang diduduki rasi bintang Cygnus (berbentuk angsa). Budaya Swiderian juga meyakini burung merupakan simbol pesawat astral dan hal ini merupakan cara dimana para dukun mampu mencapai Dunia Langit. 

Di Eropa, burung paling sering dikaitkan dengan kepercayaan dan praktek ini melibatkan angsa, sementara di Asia Barat Daya diwakili burung pemakan bangkai, simbol utama kematian dan transformasi pada zaman Neolitik Awal. Kedua burung diidentifikasi terkait dengan konstelasi Cygnus. Dengan menggunakan cara ini, seorang dukun bisa memasuki Dunia Langit untuk melawan tindakan makhluk supranatural yang dipandang bertanggung jawab atas bencana alam yang terjadi tahun 10900 SM. Mereka melawan makhluk kosmik yang digambarkan sebagai Serigala dan telah terukir pada bagian dalam pilar Gobekli Tepe. 

Simbol serigala juga dianggap sebagai Fenris yang menyebabkan Ragnorak, sebuah bencana besar dalam mitologi Norwegia. Berdasarkan kisah dari Poetic Edda dan Prose Edda, Fenris adalah putra Loki, ayah dari serigala Skoll dan Hati Hroovitnisson yang diramalkan untuk membunuh dewa Odin selama peristiwa Ragnarok. Tapi pada akhirnya terbunuh oleh putra Odin, Víoarr. Bahkan diseluruh Eropa dan Asia Barat Daya, ada mitologi dan supranatural terkait serigala yang telah berusaha untuk membahayakan pilar langit, suatu tindakan yang jika tercapai akan membawa kehancuran dunia.
Dengan menenangkan ketakutan masyarakat, sebuah potensi muncul dari para dukun kosmik yang menawarkan stabilitas akan dikembalikan ke dunia. Peran dukun dipandang sebagai kesatria, melawan serigala yang akan memasuki dunia langit dan melawan pengaruh buruk. Hal ini menjadi motivasi utama dalam pembangunan Gobekli Tepe. 

Relik Suci Rahasia Adam Tersimpan Di Gobekli Tepe


Cerita Adam dan Hawa di Taman Eden juga ikut menjadi mitologi dalam pembangunan Gobekli Tepe. Menurut kitab Gihon, Gobekli Tepe terletak di empat sumber Sungai Surga. Tiga diantaranya diidentifikasi sebagai sungai Efrat, Tigris dan Araxes, yang semuanya berasal dari Anatolia Timur. Sungai Eufrat dan Araxes juga mengalir disekitar gunung Bingol, salah satu sumber utama obsidian terletak 325 kilometres dari Gobekli Tepe.

Tradisi lokal menyatakan bahwa Bingol merupakan sumber sungai keempat surga (Pison), sementara catatan kuno menyebutkan bahwa sumber sebenarnya dari Tigris berada di wilayah yang sama. Tradisi Armenia juga berbicara tentang gunung Bingol yang menjadi tempat para Dewa dan puncak dunia, dimana muncul empat sungai besar yang membawa air kehidupan ke setiap wilayah dunia. Semuanya mengarah ke gunung Bingol, tak hanya sebagai tempat kelahiran Anunnaki tetapi juga sebagai situs Gunung Surga dan tempat turunnya para Malaikat Penjaga seperti yang tertulis dalam kitab Henokh (Nabi Idris).

Dalam tulisan Gnostik, salah satunya traktat yang ditemukan di sebuah gua Nag Hammadi-Mesir pada tahun 1945. Dijelaskan berulang kali tentang rahasia Adam yang ditulis anaknya (Seth) sebelum kematian Adam. 
Seth disebutkan telah mencatat rahasia Adam dalam bentuk buku atau pada tablet, ataupun pilar yang disebut prasasti. Parasasti tersebut disembunyikan di gunung suci yang ada di sekitar Surga Terestrial, sehingga mereka bisa bertahan hidup dari bencana kebakaran dan banjir. Rahasia Adam disebut dengan sebagai Charaxio, Seir, atau Sir, dimana gunung ini terkait dalam tradisi Kristen Awal dengan situs yang dihuni generasi Adam selanjutnya.
Apa sebenarnya rahasia Adam? Apakah ada hubungannya dengan Gobekli Tepe dibangun untuk mengurangi ketakutan yang merebak di masyarakat? Apakah mungkin rahasia Adam telah diberikan kepada manusia pemburu pengumpul kelompok Swiderian? Apakah tradisi kosmologi mereka masuk kedalam kisah para malaikat yang disebut 'malaikat penjaga' seperti yang tertulis dalam kitab Henokh dan terkait dengan Dewa Anunnaki seperti yang disinggung dalam tradisi Mesopotamia? Dan di mana keberadaan Charaxio atau Gunung Seir? 
Relik suci ini mengungkap Rahasia Adam, di mana manusia bisa kembali memasuki surga dan hidup seperti Adam sebelum diturunkan ke Bumi. Gobekli Tepe adalah tempat yang menyimpan sebuah prasasti ditulis Seth yang berisikan Rahasia Adam. 
Gobekli Tepe ditemukan di Timur Pegunungan Taurus, sebuah biara Armenia yang menghadap situs tradisional Taman Eden. Sebelum kehancurannya, pada saat genosida Armenia tahun 1915, para biarawan mengawetkan tradisi kuno Taman Eden dan keberadaan peninggalan suci agama yang luar biasa. Kehadiran relik suci di biara pada abad ke-7 telah diberi keputusan khusus kekebalan dari serangan, yang ditandatangani oleh Nabi Muhammad.

Referensi


Gobekli Tepe: Genesis of the Gods, by Andrew Collins and Graham Hancock, Publisher: Bear & Company (May, 2014). Gobekli Tepe (Turkey): a panoramic view of the southern excavation field, image courtesy of Wikimedia Commons.


Sumber : http://www.isains.com/2014/05/gobekli-tepe-menyimpan-prasasti-seth.html#ixzz3IVhmQOl7
Follow us: @idsains on Twitter

Sabtu, 10 Mei 2014

Migrasi Polinesia Ke Benua Amerika Dibuktikan Dari Tulang Ayam


Bagaimana kisah migrasi Polinesia ke benua Amerika, apakah mereka lebih dahulu menginjakkan kaki di Amerika Selatan sebelum penjelajahan Colombus? Berdasarkan analisa DNA tulang ayam purba yang ditemukan, kisah migrasi orang-orang Polinesia juga menyebarkan dan mengembang biakkan ayam yang mereka bawa. Dalam sejarah, Polinesia merupakan kelompok yang mendiami daratan Asia Tenggara termasuk didalamnya Filipina, Indonesia, Malaysia, dan kepulauan Pasifik.
Penelitian University of Australian Centre Adelaide - Ancient DNA menerbitkan makalah dalam Proceedings of The National Academi of Science (PNAS), mereka mengungkap klaim keberadaan migrasi Polinesia awal di Amerika Selatan berdasarkan dari hasil terkontaminasi, studi ini mengidentifikasi penanda genetik unik pada ayam Polinesia asli yang hanya terdapat di Pasifik dan Pulau Asia Tenggara.

Studi Migrasi Polinesia Berdasarkan DNA Tulang Ayam

Polinesia adalah sub regional dari Ocenia yang terdiri lebih dari 1000 pulau tersebar di Samudera Pasifik. Masyarakat asli mendiami pulau-pulau Polinesia, berbagi sifat, budaya, keyakinan dan bahasa. Dalam sejarah disebutkan, nenek moyang Polinesia adalah pelaut yang menggunakan bintang sebagai navigasi dalam penjelajahan mereka.
Orang-orang Polinesia merupakan keturunan genetik subset Austronesia, asal usul bahasa menjelaskan keturunan Taiwan. Penduduk asli tiba melalui Cina Selatan sekitar 8000 tahun lalu, mereka orang-orang yang berbeda dan bahasa yang tidak terkait dengan Cina Han, yang pada saat ini membentuk mayoritas Cina dan Taiwan. Sekitar tahun 2000 SM, bahasa Austronesia mulai menyebar dari Taiwan ke Pulau Asia Tenggara.
Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebaran manusia melintasi Pasifik ke Polinesia, diantaranya diutarakan Kayser. Antara tahun 3000 hingga 1000 SM, perluasan dari Taiwan melalui Filipina, Indonesia Timur dan Barat Laut, dari New Guinea ke Pulau Melanesia, terjadi sekitar tahun 1400 SM. Diperkirakan penyebaran manusia mencapai Polinesia Barat sekitar tahun 900 SM.

Bukti yang ditemukan pada genetik ayam asli Polinesia mengungkap pergerakan awal dan pola perdagangan di Pasifik. Menurut Dr Vicki Thomson, ilmuwan mampu melacak asal usul garis keturunan yang berasal dari Filipina dan memberi petunjuk tentang sumber populasi ayam Polinesia.
Sebenarnya banyak teori yang mengungkap koloni manusia purba di Pasifik, rute mereka terlihat jelas melakukan kontak dengan daratan Amerika Selatan. Seperti yang terlihat pada hewan domestik, dalam hal ini ayam, pada awal penjelajahan telah meninggalkan catatan genetik dan bisa ditelusuri untuk memecahkan misteri migrasi Polinesia ke benua Amerika. Tim ilmuwan dibawah proyek Profesor Alan Cooper telah memeriksa kembali tulang ayam yang digunakan dalam studi sebelumnya, dikaitkan dengan migrasi Pasifik kuno dan ayam Amerika Selatan. 
Dalam analisis kontak migrasi Polinesia awal telah ditemukan beberapa hasil terkontaminasi dengan DNA ayam Modern, dan tidak ada bukti yang menjelaskan adanya kontak DNA ayam domestik pra-Colombus.
Garis keturunan ayam Polinesia asli sampai saat ini bertahan di beberapa pulau Pasifik yang terisolasi, meskipun pengenalan ayam domestik Eropa pernah menyebar di Pasifik selama beberapa ratus tahun terakhir. Garis keturunan asli Polinesia sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi industri unggas mungkin akan berkurang keragaman genetik dan bisa menjadi nilai komersial dimasa mendatang.

Referensi

Chicken bones tell true story of Pacific migration, 18 March 2014, by University of Adelaide. Journal Ref: Using ancient DNA to study the origins and dispersal of ancestral Polynesian chickens across the Pacific. PNAS, March 2014 DOI: 10.1073/pnas.1320412111. Map of expansion of Austronesian languages, image courtesy of wikimedia commons.



Sumber

Senin, 14 April 2014

Masjid Tua Palopo


Kota Palopo, Sulsel ada Masjid Tua Palopo yang dibangun sejak tahun 1604. Masjid berumur 4 abad ini dibuat dari bebatuan tebal yang direkatkan oleh putih telur. Hingga sekarang, masjidnya masih berdiri tegap.
Masjid Tua Palopo merupakan peninggalan Kerajaan Luwu yang didirikan oleh sang Raja, Sultan Abdullah Matinroe. Masjid ini sudah berusia 4 abad lebih dan bagian lantainya sudah mengalami pemugaran.
Lokasinya tepat berada di Lapangan Merdeka Palopo. Masjid itu memang tak begitu mencolok keberadaannya. Di kelilingi gedung-gedung yang cukup besar, masjid tersebut tampak kecil. Maklum saja, ukurannya hanya 15×15 meter.
Namun di dalamnya, banyak sejarah yang terukir termasuk untuk kota Palopo. Di tengah-tengah masjid tersebut terdapat sebuah pohon Palopo. Tak hanya sebagai penyanggah bangunan, pohon itu juga dipercaya menjadi asal muasal nama kota tersebut. Apalagi, pembangunan masjid ini pada zaman dulu juga menggunakan putih telur.
Masjid ini, batunya adalah campuran batu alam dan kapur. Perekatnya pakai putih telur. Ada juga mimbar yang dipercaya didatangkan langsung dari Vietnam, sebagai hadiah untuk sang raja kala itu. Mimbar berwarna cokelat itu memiliki beberapa anak tangga. Terdapat sebuah pintu masuk mimbar berbentuk seperti gapura dengan ukiran-ukiran khas Vietnam. Keren!
Ada beberapa sejarah yang terukir di masjid ini. Salah satunya adalah sebuah bedug yang hingga kini masih bisa dipukul. Bedug itu usianya 300 tahun, 100 tahunan setelah masjid ini dibuat.
Hingga kini, ada beberapa kegiatan keagamaan di Masjid Tua Palopo. Setiap sore ada pengajian anak-anak, beberapa kegiatan juga dilakukan masyarakat di sini. Tertarik berkunjung ke Masjid Tua Palopo?




Sumber

Minggu, 13 April 2014

Dokumen Penting Hubungan Nusantara dengan Khilafah

Sejarah Islam Nusantara saat ini sangat susah mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya bahwa Nusantara adalah wilayah ke Khalifahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap. Berikut bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini berupa surat resmi dari sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani, berikut isi suratnya;
 
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.

Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.

Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.

Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.

Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.

Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).

Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :

  • Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
  • Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
  • Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
  • Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.

Janji Allah SWT akan datangnya nubuah berdirinya ke-Khalifahan jilid 2 yang sesuai dengan manhaj kenabian adalah pasti, dan Nusantara dahulu adalah bagian resmi ke-Khalifahan Islam maka sudah sewajarnya dan seharusnya kita ummat Islam di Nusantara menyongsong hal tersebut. Ibarat kita mencari sesuatu yang hilang dan susah di cari jejaknya, kini sudah terkuak satu demi satu untuk semakin meyakinkan bahwa dakwah untuk tegaknya syariah dalam bingkai khilafah adalah suatu kenyataan dan kebenaran mutlak yang harus diyakini. Sambutlah Khilafah. Sambulah Khilafah.( A. Yusuf Pulungan, ST, MSc)



Sumber

Isu Harta Karun Memberi Bukti Baru Sejarah Islam?

JAKARTA- Tak banyak bantahan soal masuknya Islam ke Indonesia. Mayoritas sejarawan mengungkapkan, Islam masuk di bumi Nusantara ini sejak abad ke-13 M. Pembawanya adalah para pedagang dari Gujarat, India.

Sambil berdagang, mereka menyebarkan Islam ke penduduk yang mereka singgahi. Adapun wilayah yang pertama kali disebut-sebut menerima Islam di Indonesia adalah Samudra Pasai dan Perlak di Aceh. Benarkah demikian? Pada tahun 1961, Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akrab dipanggil dengan Buya Hamka, pernah menggugat masalah ini.

Menurut Buya Hamka, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Makkah (Arab Saudi) pada abad ke-7 Masehi atau permulaan Hijriah, yang kemudian diikuti oleh pedagang Gujarat (India) abad ke-13 M, maupun Cina pada abad ke-10 M. Mereka (Arab, Gujarat, Persia, maupun pedagang Cina). Mereka bukanlah anggota misi penyebaran Islam, namun mempunyai kewajiban untuk mengenalkan Islam pada wilayah yang mereka datangi, termasuk Indonesia.

Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, menyatakan, pendapat Hamka tersebut lebih menekankan pada peranan utama dari para penyebar Islam di Indonesia. Pendapat Hamka ini, sejalan dengan pernyataan TW Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of the Propagantion of the Muslim Faith, dan JC van Leur dalam Indonesian: Trade and Society, serta Bernard HM Vlekke dalam Nusantara : A History of Indonesia, serta sejarawan dan tokoh Muslim lainnya seperti Crawfurd, Niemann, de Holander, Fazlur Rahman, dan Alwi Shihab.

“Sedangkan abad ke-13 itu, masuknya Islam lebih bercorak pada persoalan politik,” tulis Mansur Suryanegara, mengutip pernyataan Buya Hamka. Adapun mayoritas sejarawan, banyak mengutip pendapat Pijnapel yang kemudian diikuti oleh Snouck Hurgronje, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Hurgronje, seorang misionaris, mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut teori ini, pedagang dari Gujarat yang berperan besar menyebarkan Islam ke Nusantara. Teori Gujarat ini masuk ke Indonesia dapat dilihat dari kesamaan ajaran dengan mistik yang ada di India.

Menurut Hamka, masuknya Islam ke Pulau Jawa bersamaan dengan masuknya Islam ke Sumatra, pada abad ke-7 M. Pandangan ini didasarkan pada berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh ini, menurut Hamka, adalah Raja Arab dan khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Peristiwa ini terjadi saat Muawiyah bin Abu Sufyan melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy dalam Social Structure of Islam memberikan jumlah angka kapal yang dimiliki Muawiyah pada tahun 34 Hijriah atau 654/655 M sebanyak 5.000 kapal.

Sedangkan bukti terbaru yang bisa dilacak dari masuknya Islam ke Indonesia adalah ditemukannya sejumlah harta karun di perairan Cirebon oleh PT Paradigma Putera Sejahetara (PPS) sebanyak 200 ribu benda bersejarah dari badan muatan kapal tenggelam (BKMT). Dari beberapa artefak yang ditemukan tersebut, terdapat sejumlah simbol keislaman berupa cetakan teks Arab bertuliskan khat Naskhi (model Mushaf Usmani) dan lainnya.

“Bukti dari Cirebon ini akan mengoreksi waktu kedatangan Islam hingga 300 tahun ke belakang,” jelas Kurt Tauchman, profesor emeritus dari Departemen Antropologi Universitas Cologne, Jerman. Disebutkan, kapal yang tenggelam di perairan Cirebon ini diperkirakan terjadi pada 920-960 M. Karena itu, bukti sejarah ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Islam di Indonesia. (republika.co.id, 23/5/2010)



Sumber

Masjid Angke Al-Anwar: Tempat Rahasia Menyusun Strategi Perjuangan

Keberadaan masjid yang dulu disebut Masjid Angke ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke. Dia adalah seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, Dr. F. Dehaan, dalam bukunya, Oud Batavia, menuliskan bahwa Masjid Angke Al-Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tartar yang menikah dengan seorang pria Banten.1 Wanita tersebut bernama Ny. Tan Nio yang masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah.2

Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Karena itu dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al-Anwar tidak sedikit pun tergores oleh peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al-Mansur di Sawah Lio.3

Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Maka dari itu, di kompleks masjid ini para pemudanya sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk mengatur kegiatan menentang Belanda. Melalui khutbah-khutbah yang disampikan, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda.

Masjid ini juga dijadikan tempat penggemblengan para pejuang. Dari tempat yang agak tersembunyi ini disusun strategi perjuangan dalam menghadapi kekejaman serdadu-serdadu Belanda. Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini, Belanda tidak dapat mencium kegiatannya. Selamatlah masjid ini dari serbuan tentara Belanda.

Dalam kondisi demikian, Masjid Angke terus memenuhi peranannya sebagai tempat pengisian landasan perjuangan, benteng iman dan ketakwaan umat Islam dalam menghadapi penindasan penjajah Belanda.4

Masjid Angke Al-Anwar yang terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke ini juga berkait erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741). Beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda. Sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.

Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.

Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Di antaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syeikh Ja’far, tetapi tidak diketahui asal-usulnya. Di sebelahnya terletak juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syeikh Syarif Hamid al-Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya: “Meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 M”.5

Keberadaan batu nisan al-Qadri menunjukkan bahwa Masjid Al-Anwar menjadi basis perjuangan bagi pejuang yang dibuang dari daerah-daerah hingga akhir hayatnya. Adanya makam-makam di atas juga menunjukkan bahwa ternyata banyak pejuangan-pejuang daerah yang dalam perjuangannya dilandasi dengan Islam.  Mereka berjuang mati-matian di daerahnya masing-masing hingga akhirnya mereka di tangkap dan ‘dibuang’ ke Batavia.

Menurut sejarahwan Heuken dalam bukunya, Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia; sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.

Walaupun berukuran kecil—15x15m2 berdiri di atas lahan 200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. []




Sumber

Rabu, 02 April 2014

Prasejarah; Kapak Persegi

Nama kapak persegi berasal dari Von Heine Goldern berdasarkan penampang dari alat-alatnya yang berbentuk persegi panjang atau trapezium. Tempat penemuan kapak persegi di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Pembuatan kapak-kapak ini diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat lain.

Peningkatan tarap hidup manusia dalam hal memenuhi kebutuhan hidup selalu bersamaan dengan berkembangnya kemampuan dalam membuat alat-alat yang lebih maju. Peningkatan kemampaun dalam membuat peralatan ini terlihat dari hasil yang ditemukan pada masa bercocok tanam, ternyata lebih maju bila dibanding dengan masa berburu. Masa bercocok tanam di Indonesia dimulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam alat-alat batu serta dikenalnya pembuatan gerabah.  Tradisi mengupam alat-alat batu telah dikenal luas di kalangan penduduk kepuauan Indonesia. Bukti-bukti peninggalan memperlihatkan tingkat kronologis serta hubungannya dengan daratan Asia Tenggara dan Asia Timur.
 
Alat-alat yang pada umumnya diasah (diupam) adalah kapak dan kapak batu, yang di beberapa tempat pengupaman juga dilakukan pada mata panah dan mata tombak. Kapak dan kapak batu ditemukan tersebar di seluruh kepulauan dan sering kali dianggap sebagai petunjuk umum tentang masa bercocok tanam di Indonesia.

Penemuan di luar Indonesia 

Di luar Indonesia alat semacam ini ditemukan juga di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia. Pada umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus-halus, kecuali pada bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan, bagian bawah landai ke arah pinggir ujung permukaan atas. Dengan cara demikian diperoleh bentuk tajaman yang miring seperti terlihat pada tajaman pahat buatan masa kini. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam, bergantung pada penggunaannya. Yang terkecil ialah semacam pahat yang berukuran panjang kira-kira 4 cm dan terpanjang kira-kira 25 cm dipergunakan untuk mengerjakan kayu.

Di Indonesia

Nama kapak persegi itu berasal dari Von Heine Goldern, berdasarkan kepada penampang-alang dari alat-alatnya, yang berupa persegi panjang atau juga berbentuk trapezium. Yang dimaksud dengan kapak persegi itu bukan hanya kapak persegi saja, tetapi banyak lagi alat-alat lainnya dari berbagai ukuran dan berbagai keperluan; yang besar yaitu kapak atau pacul, dan yang kecil yaitu tarah, yang tentunya digunakan untuk mengerjakan kayu. Alat-alat itu semuanya sama bentuknya, agak melengkung sedikit, dan diberi tangkai yang diikat kepada tempat lengkung itu.

Kapak persegi di Indonesia ini terutama ditemukan di wilayah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Bahan yang digunakan untuk membuat kapak persegi kebanyakan menggunakan batu api dan batu Kalcedon. Pembuatan kapak-kapak ini diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat lain. Hal ini berdasarkan pada tempat penemuan kapak persegi di beberapa tempat yang tidak memiliki bahan batu api, yang digunakan sebagai bahan pembuatannya, sedangkan di pusat pembuatannya banyak sekali ditemukan kapak persegi yang semunya telah diberi bentuk namun masih kasar atau belum dihaluskan. Hal ini menandakan kalau kapak persegi dihaluskan oleh pemakainya bukan pembuatnya. Adapun perkiraan pusat-pusat dari pembuatan kapak persegi antara lain di dekat Lahat (Palembang), dekat Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya (Jawa Barat), di daerah Pacitan (Madiun) dan lereng selatan Gunung Ijen (Jawa Timur). Di desa Pasirkuda dekat Bogor bahkan ditemukan sebagai batu asahan.

Tempat Situs Penelitian

Perhatian terhadap kapak dan kapak terupam halus di Indonesia mulai diberikan sekitar tahun 1850 oleh beberapa ahli dari Eropa. Waktu itu, bahan studi hanya berasal dari temuan lepas yang kurang jelas umur atau asalnya. Pengumpulannya diusahakan oleh sebuah perkumpulan swasta (antara 1800-1850) yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetwnschappen. Koleksi perkumpulan ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Hal tersebut sebenarnya diilhami oleh karangan terkenal G.E. Rumphius yang terbit pada tahun 1705 di Amsterdam, berjudul D Amboinsche Rariteitenkamer. Dalam buku tersebut terdapat bagian yang membicarakan alat-alat batu yang disangka buatan alam. Pendapat ini sama dengan anggapan orang kebanyakan pada waktu itu, dan juga sekarang di antara kalangan penduduk, yang menganggap kapak batu sebagai gigi kilat atau gigi guntur.

Setelah tulisan Rumphius itu, perhatian terhadap benda-benda prasejarah itu lenyap lagi. Berselang kira-kira satu setengah abad lamanya, barulah muncul beberapa pendapat dari C. Swaying dan W. Vrolik (1850), serta C. Leemans (1852). Buku karangan Leemans itu merupakan karya pertama yang menyajikan pemaparan yang baik terhadap alat-alat batu prasejarah di Indonesia. Pada waktu itu ia menjabat sebagai direktur museum barang kuno di Leiden. Karyanya didasarkan atas koleksi benda-benda prasejarah yang dikirimkan dari Indonesia oleh rekannya, Swaying. Hal seperti itu dilakukan juga oleh J.J. van Limburg Brouwer yang hasilnya terbit pada tahun 1872. Lima belas tahun berikutnya (1887), terbit karya C.M. Pleyte yang pada dasamya memberikan ikhtisar tentang zaman batu, terutama tentang kapak persegi dan kapak lonjong di Indonesia dan merintis pemikiran ke arah pelaksanaan klasifikasi dan distribusi jenis benda tersebut.

Dasar-dasar pemikiran inilah rupa-rupanya mengilhami karya dua orang sarjana kenamaan P.V. van Stein Callen-fels dan It von Heine Geldern dalam pembahasannya tentang distribusi dan kronologi kapak dan kapak lonjong di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1920-an. Sangat disayangkan bahwa usaha-usaha yang berharga dari Pleyte dan para peneliti sebelumnya itu hanya didasarkan pada sumber-sumber yang diperoleh tanpa melakukan penggalian arkeologis, tapi lebih mengandalkan pada temuan-temuan yang nampak di atas permukaan tanah. Selanjutnya, berkembanglah penelitian-penelitian berupa penggalian-penggalian yang intensif berkat jasa Stein Callenfels.

Stein Callenfels mencoba menyusun kronologi alat-alat batu dari masa bercocok tanam, terutama atas dasar tipe-tipe kapak dan kapak persegi. Atas dasar tersebut tercapailah empat tingkat perkembangan. Tiap-tiap tingkat diwakili oleh bentuk-bentuk tertentu. Tingkat yang paling tua mempunyai bentuk yang paling sederhana dan tingkat-tingkat selanjutnya menunjukkan perkembangan yang lebih maju. Tingkat yang paling akhir, menurut pendapatnya, dibawa oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Pendapat seperti ini, terutama pendekatan atas dasar tipologi, pada tingkat penelitian dewasa, kurang meyakinkan karena tidak disertai dengan kelengkapan data statigrafi.

Pengetahuan kita tentang masa bercocok tanam di Indonesia sebenarnya sangat terbatas karena data arkeologis belum terungkap secara lengkap. Penelitian berupa ekskavasi-ekskavasi baru dilakukan di beberapa tempat di Jawa dan Sulawesi. Dari tempat-tempat lain, bahannya hanya berupa temuan lepas yang berhasil dikumpulkan dari permukaan tanah pada waktu melakukan survei lapangan atau sebagai hasil pembelian dari penduduk. Pengolahan data menjadi sulit karena konteks asli dengan lapisan tanah yang mengandungnya ataupun hubungannya dengan tingkat budaya lain tidak dapat diikuti dengan tepat.

Penelitian di Sulawesi dilakukan di pinggir Sungai Karama di desa-desa Sikendeng, Minanga Sipakka, dan Kalumpang. Penggalian di Sikendeng (sebuah desa yang terletak beberapa kilometer dari muara) dilakukan oleh A.A. Cense dan Stein Callenfels pada tahun 1933.Hasil penggalian tersebut terdiri dari kapak-kapak persegi dan sejumlah kereweng polos (tak berhias). Selanjutnya, pada tanggal 25 September sampai dengan 17 Oktober 1933, Stein Callenfels meneruskan penelitiannva ke arah lulu Sungai Karama (93 km dari muara) di dekat Desa Kalumpang, di atas bukit kecil Kamasi. Stein Callenfels mencatat temuan berupa beberapa buah kapak persegi terupam halus, kereweng-kereweng polos dan dan ada pula yang berhias dalam jumlah cukup banyak, kapak-kapak setengah jadi (calon kapak), sebuah kapak bahu yang masih kasar, fragmen-fragmen gelang batu, mata panah yang terasah, pisau batu atau bilah-bilah pisau batu bertajaman miring yang menunjukkan persamaan dengan temuan di Tembiling (Malaysia), dan beberapa kapak perimbas.

Karena pentingnya penemuan di Kalumpang itu, HR. van Heekeren melakukan penggalian ulang di tempat yang sama pada tahun 1949 (23 Agustus-September 1949). Penggalian dilakukan pada lereng selatan bukit Kamasi, sedangkan Stein Callenfels melakukan penggaliannya di lereng timur. Dalam laporannya Heekeren mengatakan bahwa tempat tersebut telah hancur keadaannya sebagai akibat dari kegiatan pertanian yang berulang-ulang dilakukan oleh penduduk setempat. Lapisan tanah yang mengandung budaya prasejarah telah bercampur aduk dengan yang lainnya. Di sini ia menemukan tempat perpaduan tradisi kapak persegi dengan tradisi kapak lonjong, tetapi masa perkembangan tiap-tiap tradisi tersebut di Kalumpang belum dapat diketahui dengan pasti karena lapisan budaya yang mewakili kedua tradisi tersebut telah bercampur baur.” Selain jenis kapak persegi yang umum, di Kalumpang ditemukan pula jenis kapak berbentuk biola dan kapak batu sederhana. Kapak bentuk umum dibuat dari batuan rijang (chert) berwarna kelabu dan hijau, sedangkan kapak biola dari batu sabak. Ekskavasi Heekeren menghasilkan juga mata panah dan mata tombak yang diasah, calon-calon kapak, sebuah pemukul kulit kayu, dan sebuah bendy lambing phallus  dari terakota.

Heekeren juga menemukan sebuah situs lain yang cukup kaya akan penemuan prasejarah di Minanga Sipakka (1 km sebelah barat Kalumpang). Dari guguran tebing Sungai Karama di Minanga Sipakka, ia berhasil menemukan kapak-kapak lonjong, calon-calon kapak, sebuah pukul kulit kayu, dan sejumlah kereweng polos dan berhias. Penemuan ini terjadi ketika ia dalam perjalanan pulang dari Kalumpang. Heekeren menduga bahwa temuan-ternuan di Minanga Sipakka ini berasal dari masa yang lebih tua. Namun ternyata jenis kapak persegi tidak ditemukan di tempat ini.

Guna memperoleh keterangan tentang umur temuan-temuan di Kalumpang, W.F. van Beers telah melakukan penelitian geologi. Atas dasar hasil penelitian itu umur Kalumpang ditaksir amat muda, yaitu 1.000 tahun yang lalu. Heekeren menempatkan kira-kira paling sedikit 600 tahun yang lalu dan dianggap sebagai contoh retardasi budaya sebagai akibat dari sikap sosial yang terisolasi rapat dari dunia luar.

Penggalian di Jawa dilakukan oleh Heekeren terhadap sebuah situs Kendenglembu (Banyuwangi) pada tahun 1941. Tempat ini mula-mula ditemukan oleh W. van Wijland dan J. Buurman dalam tahun 1936. Karena hasil penggalian Heekeren serta catatan-catatannya telah lenyap akibat keadaan kacau ketika perang Dunia II, diputuskan untuk melakukan penggalian pada tahun 1969. Penggalian ulang tersebut dilakukan oleh Lembaga Purbakala dan peninggalan Nasional di bawah pimpinan RP. Soejono.”

Penggalian tersebut menghasilkan dua lapisan budaya yang batasnya agak jelas. Lapisan pertama (paling atas) mengandung lapisan historis yang temuannya antara lain terdiri dari uang kepeng, fragmen keramik, gerabah-gerabah berhias (dari masa Majapahit), dan pecahan bata. Lapisan kedua (di bawah lapisan pertama) mengandung kapak persegi, kereweng-kereweng polos berwama merah, sejumlah kapak setengah jadi, batu-batu asahan berhias, dan serpih-serpih batu yang pada urnumnya tidak dapat ditemukan sebagai alat. Benda-benda temuan dari lapisan kedua tersebut memberikan petunjuk tentang perbengkelan dan tempat tinggal masyarakat bercocok tanam.

Penyelidikan selanjutnya berupa penelitian lapangan di beberapa daerah penemuan serta penggalian percobaan. Penggalian percobaan pernah dilakukan di Leles (Kabupaten Garth, Jawa Barat) pada tahun 1968, dan di Kelapadua (Cimanggis, Kabupetan Bogor) pada tahun 1971. Leles tidak banyak menghasilkan kapak. Kapak dari Leles hampir semuanya berasal dari temuan-temuan lepas yang ditemukan pada waktu survei. Umur yang lebih menonjol berupa alat-alat obsidian yang menunjukkan banyak persamaan dengan alat-alat obsidian dari Bandung.

Lokasi temuan kapak persegi di DKI Jaya antara lain: di Kampung Kramat, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramat Jati; yang diteliti oleh tim Teguh Asmar, Dirman Surachmat, dan Made Sutavasa, pada tahun 1968. Penelitian ini kemudian dilakukan lagi pada tahun 1971, 1977, 1979, 1980, dan 1982. Temuan berupa kereweng, fragmen, kapak, serpih, batu asap, dan kapak persegi berjumlah 4 buah. Situs pejaten, Kelurahan Pejaten Kecamatan Pasar Minggu. Situs ini digali oleh Dinas Museum DKI pada tahun 1973 dan 1974. Hasil temuan berupa kereweng, fragmen dan kapak persegi utuh, fragmen cetakan kapak dari tanah liat yang dibakar, gelang dan cincin perunggu, fragmen alat besi, terak besi, dan bulatan dari tanah liat, fragmen cawan berkaki, batu asahan, dan serpih.

Situs Condet, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, diteliti oleh Dinas Museum DKI tahun 1976, 1977, 1979, dan 1980. Temuan berupa kereweng, batu asahan, serpih, fragmen kapak persegi, fragmen logam,dan bulatan tanah. Tanning Barat, Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, diteliti tahun 1983 oleh Dinas Museum DKI. Flash temuan berupa kereweng, serpih batu asahan, cetakan dari tanah liat, terak besi, moluska, dan sisa tulang binatang. Pondok Cina, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok. Penelitian dilakukan oleh Dinas Museum tahun 1984. Hasil temuan berupa serpih, dari penduduk diperoleh 5 buah kapak persegi.

Tempat penemuan di Klapadua yang terletak di tepi sungai Ciliwung ternyata telah hancur karena erosi dan akibat kegiatan pertanian oleh penduduk. Sisa-sisanya hanya sedikit yang ditemukan dalam ekskavasi. Sebagian besar benda temuan berasal dari permukaan tanah. Walaupun demikian, dapatlah dipastikan bahwa Klapadua pernah didiami manusia. Pecahan kapak ditemukan berserakan di permukaan tanah. Batu-batu asahan dan pecahan gerabah tak berthas ditemukan di permukaan tanah sampai ke tepi sungai. Tempat ini diduga sebagai perbengkelan dan tempat tinggal yang menghasilkan kapak-kapak. Ini yang terjadi di tempat¬-tempat lain di Jawa Barat, seperti di Purwakarta, Tasikmalaya, dan di sekitar Bogor.

Daerah pantai utara Jawa Barat, yang memanjang dari Tangerang hingga Rengasdengklok juga menghasilkan banyak kapak persegi. Koleksi dari daerah ini umumnya merupakan basil pembelian dari penduduk yang melakukan penggalian liar atau menemukan secara kebetulan ketika mengerjakan sawah, jalan desa, atau kebun.Tempat-tempat temuan di pantai Rengasdengklok terletak di sepanjang daerah aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparage. Unsur-unsur dari masa yang lebih muda lebih banyak memperlihatkan pengaruhnya di tempat-tempat tersebut dan kemudian mempengaruhi daerah pedalaman melalui keempat sungai tersebut.

Situs Pasir Angin, Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor diteliti sejak tahun 1971-1975, dan 1991-1995 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Temuan beragam berupa artefak logam, artefak batu, manik-manik, dan kapak persegi, fauna, arang, dan sebagainya.”

Situs Panumbangan, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, tahun 1954 Erdbrink pernah melakukan penelitian di wilayah ini dan menemukan panah, serpih, dan bor. Pada tahun 2000 dan 2003 tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah ini. Hasil temuan berupa serpih, colon kapak persegi, oleh penduduk ditemukan beberapa kapak persegi. Situs Cipari, Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, diteliti oleh T. Asmar tahun 1972-1978.Hasil temuannya berupa peti kubur batu, artefak logam, gerabah, gelang batu, dan kapak persegi. Situs Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1981-1983. Hasil temuannya berupa kapak persegi, calon kapak persegi, alat serpih, batu pukul, dan batu asah.

Tipar Ponjen, Kelurahan Ponjen, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, diteliti tahun 1984. Hasilnya berupa bahan gelang batu, fragmen gelang batu, fragmen calon kapak persegi, kapak persegi, batu asah, tatal batu, dan batuan.” Situs Ngerijangan, Desa Sooka, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, sejak awal abad ke-19 telah diteliti oleh para ahli, antara lain, Koeningswald, Marks, Flathe dan Pfeiffer, Verstappen, Balasz, Sartono, Soejono, Tweedie, Movius, Heekeren, dan Barstra. Penelitian terutama dilakukan di situs Padangan, Ngerijang, Sengon, dan Ngerijangan. Ratusan pecahan rijang sebagai produk buangan pembuatan kapak persegi dan mata panah ditemukan tersebar. Temuan utama dari situs ini adalah kapak persegi, calon kapak, mata panah, calon mata panah, dan serpih.

Bentuk dan jenis
Berbicara mengenai sebuah peralatan, tentunya kita tidak akan terlepas dari yang namanya sebuah bentuk dasar, ada beberapa variasi yang kita kenal dari kapak persegi. Variasi yang paling umum ialah “belincung”, yaitu kapak punggung tinggi, karena bentuk punggung tersebut penampang lintang berbentuk segitiga, segi lima, atau setengah lingkaran. Belincung dan kapak pada umumnya dibuat dari jenis batuan setengah permata dan tergolong benda yang terindah dalam perbendaharaan kapak-kapak batu di dunia. Variasi ini biasanya ditemukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Belincung ditemukan pula di Semenanjung Malaya dan istilah yang digunakan untuk jenis benda ini ialah kapak paruh. Jenis kapak yang berpenampang lintang setengah lingkaran dengan garis dasar lebih kurang cekung itu oleh Heekeren digolongkan sebagai jenis “kapak perisai”, karena bentuknya menyerupai perisai lonjong. Jenis kapak ini terutama ditemukan di Jawa dan luar Indonesia. Bentuk semacam ini juga terdapat pula di Polinesia Timur. Variasi-variasi lain telah ditemukan di kepulauan Indonesia sebagai temuan-temuan lepas dan jumlahnya tidak begitu banyak.

Sudah dikatakan bahwa variasi yang paling umum dari kapak persegi adalah kapak yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan Bali. Selain itu, ada pula variasi-variasi lain seperti kapak bahu, kapak tangga, kapak atap, kapak bentuk biola, dan kapak penarah. Bentuk-bentuk variasi ini ditemukan di beberapa daerah saja dan jumlahnya pun sangat terbatas. Tempat-tempat penemuannya terutama di daerah utara dan daerah timur kepulauan Indonesia. Variasi-variasi kapak persegi merupakan instruksi dari luar dan bentuk-bentuknya menunjukkan persamaan dengan bentuk-bentuk di daerah luar Indonesia yang menyebar dari Cina melalui kepulauan-kepulauan di utara Indonesia ke arah Polinesia Timur. Variasi-variasi yang khas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Kapak bahu sederhana. Jenis ini khusus ditemukan di Kalumpang. Tangkainya dipersiapkan secara kasar dan tidak rapi, serta tidak sesimetris seperti pada tangkai kapak bahu yang umum tersebar di daratan Asia. Pengupaman dilakukan pada sebagian permukaan alat, terutama pada bagian tajaman. Jenis kapak sederhana ini juga ditemukan di Cina (Sechwan, Kwantung), Jepang, Taiwan, dan Filipina (Botel Tobago).

Kapak tangga hanya beberapa buah ditemukan di Sulawesi, tetapi di luar Indonesia jenis ini tersebar di Cina Selatan, pantai timur daratan Asia Tenggara, Taiwan, dan Filipina. Bagian pangkal pada permukaan alas alat dibuat lebih rendah, seakan-akan merupakan tangga turun setingkat, guna memperkukuh ikatan pada tangkai. Sebuah bentuk lain yang sangat jarang dan juga ditemukan di Sulawesi adalah kapak gigir. Sebuah gigir yang sejajar dengan garis lebar pangkal kapak dibuat di permukaan atas dengan cara memukul-mukul batu sampai tercapai bentuk gigiran tersebut. Variasi semacam ini telah ditemukan di pulau-pulau Taiwan, Hoifu (Hong Kong), Luzon, dan Selandia Baru.

Kapak atap tersebar di Jawa Timur, Bali, dan kepulauan Maluku. Di luar Indonesia jenisnya dijumpai di Polinesia Timur. Alat ini tebal dengan kedua sisi sampingnya miring ke arah permukaan bawah sehingga membentuk penampang lintang berbentuk trapesium.

Kapak biola ditemukan hanya di Kalumpang bersama-sama dengan kapak batu sederhana. Kedua sisi sampingnya cekung sehingga alatnya menyerupai biola. Bentuk penampang lintangnya agak lonjong. Pengupaman dilakukan sekadarnya pada permukaan alat, khususnya pada tajaman. Jenis alat ini terdapat juga di Jepang, Taiwan, dan Botel Tobago.

Kapak penarah. Bentuk alat ini panjang dengan penampang lintang persegi empat yang sisi-sisinya cembung atau penampang lintangnya hampir bundar, tajamannya cekung di bawah. Jenis kapak ini umumnya berukuran besar dan hanya beberapa berukuran kecil. Yang berukuran besar mungkin digunakan untuk menarah batang pohon guna membuat sampan. Alat ini ditemukan di Jawa Timur dan Bali. Jenis alat ini terdapat pula di Selandia Baru dan di Polinesia Timur.

Beberapa variasi lain yang menarik adalah kapak batu yang berbentuk khusus dan kapak persegi yang menerima pengaruh dari bentuk kapak perunggu. Kapak bahu yang berbentuk khusus itu mempunyai gagang yang panjang, bahu cekung, mata kapak yang pendek, dan tajaman yang berpinggiran cembung serta miring. Sebuah dari variasi ini ditemukan di daerah Bogor (Jawa Barat), yang berwarna cokelat kekuningan dan sebuah lain lagi ditemukan di Kalumpang, yang berwarna kehitaman. Kapak yang menerima pengaruh bentuk kapak perunggu memperlihatkan tajaman yang melebar, melebihi ukuran leher kapaknya sendiri. Variasi ini ditemukan terbatas di Jawa Barat (sekitar Tangerang dan Jakarta) dan di Jawa Tengah (Gunung Kidul).

Dari temuan-temuan lepas dapat diketahui persebaran kapak persegi, termasuk bentuk-bentuk variasinya di Sumatra (Bengkulu, Palembang, Lampung), Jawa (Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung, Surabaya, Madura, Malang, Besuki), Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Adonara, Ternate, Maluku, dan Sangihe Talaud. Di antara tempat-tempat tersebut ada yang dapat diperkirakan sebagai bengkel-bengkel kapak persegi seperti di desa Bungamas, Palembang (antara Lahat-Tebing Tinggi), di Karangnunggal (Tasikmalaya), di desa Pasir Kuda (Bogor), di daerah pegunungan Karangbolong dekat Karanganyar (Jawa Tengah), dan di Punung dekat Pacitan (Jawa Timur).

Kalau kita ikuti daerah penemuan kapak-kapak tersebut, dapat dikatakan bahwa jenis-jenis kapak persegi berkembang luas di Kepulauan Indonesia, terutama di daerah kepulauan bagian barat. Suatu hal yang harus kita ingat ialah bahwa kapak-kapak persegi telah dibuat sendiri di beberapa tempat yang daerahnya menyediakan bahan mentah. Punggung kapak pada umumnya memperlihatkan perimping-perimping dan patahan-patahan pada tajaman yang membuktikan penggunaan secara intensif. Kapak-kapak yang ditemukan dalam keadaan utuh diduga mempunyai fungsi magis atau digunakan sebagai benda tukar dalam sistem perdagangan sederhana.

Pemasangan pada tangkai

Apabila pada zaman paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat lain. Lain halnya dengan zaman neolitikum, mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal.

Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak persegi dan mudah dalam memegangnya.

Sumber Rujukan:
Bellwood, Peter, (2000). Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Driwantoro, Dubel, dkk, (2003). Potensi Tinggalan-Tinggalan Arkeologi di Pulau Nias, Prov. Sumatera Utara. Jakarta: Puslit Arkenas dan IRD (tidak diterbitkan).
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia jilid I (Zaman Prasejarah di Indonesia). Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono. (1990). “Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 1. Kanisius
Soejono, R.P. (ed.), (1990). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.




Sumber

Prasejarah; Periode Pleistosen

Perbandingan Bumi pada masa Pleistosen dan Saat ini. | earthobservatory.nasa.gov

Zaman Pleistosen terjadi antara 1,8 juta tahun lalu sampai dengan permulaan Holocene sekitar 10.000 tahun lalu. Kata Pleistosen berasal dari bahasa Yunani “Pleistos” (sebagian besar) dan “ceno” (baru).

Pada permulaan Pleistosen, dunia memasuki periode yang lebih dingin karena perpindahan tahap glacial menuju ke tahap interglasial. Hemisphere Utara menunjukkan vegetasi Artik: tundra di dalam Lingkaran Artik dan taiga—hutan konifer. Tundra adalah dunia dari tanah yang membeku abadi, dengan musim tumbuh tanaman yang sangat pendek. Kebanyakan di antaranya merupakan lumut, liken, dan alang-alang. Di daerah yang lebih rendah dengan iklim yang lebih kering membawa jenis vegetasi gurun. Sememtara lapisan es yang menutupinya kemudian secara terpisah tersebar di bagian bumi yang lebih tinggi, terutama di Hemisphere Utara. Dengan luas wilayah besar yang mendekati Artik dan kemungkinan untuk menyalurkan glasier ke arah selatan Hemisphere Utara menjadi mesin pembuat es yang besar. Antartika, walau sama dinginnya dengan Artik, terpisah dari benua selatan dan oleh karena itu proses pembentukan glasier di Selandia Baru, Chili, dan Tazmania yang membentuk bukit glasier.

Waktu permulaan yang tepat dari proses pembentukan glasier Hemisphere Utara tidaklah pasti, namun beberapa catatan isotop oksigen menunjukkan waktu akhir masa Pliosen (sekitar 3 atau 2 juta tahun lalu). Variasi mikrofosil plankton yang berlimpah menunjukkan bahwa perubahan besar pada suhu permukaan laut yang terjadi sebelum 2,8 sampai 2,6 juta tahun lalu. Penemuan terkini, puing es dalam sedimen bawah laut di sekitar Greenland berumur sekitar 7 juta tahun dan menunjukkan kemungkinan penumpukan jumlah es di Hemisphere Utara selama masa Miosen.

Posil-posil Masa Pleistosen

Lukisan Gua Prasejarah Gua El Castillo, Spanyol Berumur lebih dari 40.000 tahun yang lalu| nationalgeographic.com

Lukisan Gua Tewet, Kalimantan, Indonesia. | wikipedia.org

Banyak penelitian para paleontologis pada fosil Pleistosen yang bertujuan untuk memahami iklim masa lalu. Zaman Pleistosen bukan satu-satunya masa ketika iklim dan temperatur berubah secara drastis; fosil dari zaman Pleistosen sering kali berlimpah, terjaga dengan baik, dan dapat diperkirakan umurnya dengan sangat tepat.

Fauna Pleistosen termasuk marsupial raksasa, seperti wombat berukuran seperti badak yang masih bersaudara dengan diprotodon, dan kadal monitor raksasa megalania. Burung raksasa Selandia Baru Dinornismaximus atau Moa adalah hewan herbivora dan memiliki tinggi sampai 3 meter.

Zaman Pleistosen juga menjadi saksi ekspansi dari spesies manusia, homo sapien, dan pada masa Pleistosen, manusia menyebar di seluruh dunia. Bukti penemuannya berupa Fosil rahang di Mauer, Jerman, dari Homo heidelbergensis berumur 500.000 tahun. 

Mereka menunjukkan karakteristik fisik manusia modern, dengan kapasitas yang lebih besar, gigi yang lebih kecil dan wajah berbeda dengan “nenek moyang” hominida lainnya. Sekitar 130.000 tahun lalu manusia modern menyebar ke Afrika, Asia Tengah, dan Eropa. Mereka memilki kerangka yang gracile, dan lebih tinggi, tengkorak yang lebih bundar dari pada “saudara” mereka dari Eropa, Neanderthal. Lukisan gua yang berumur 40.000 tahun menunjukkan bahwa mereka telah mengembangkan kebudayaan yang rumit; beberapa ahli merujuk fenomena ini dengan munculnya bahasa yang rumit.






Sumber

Prasejarah; Periode Holosen

Bumi Pada masa Holosen

Masa Holosen (8.000 tahun – sekarang). Zaman terakhir dari periode Kuaterner (Quaternary), mulai dari akhir masa Pleistosen (10.000 tahun lalu) sampai sekarang termasuk dalam zaman Holosen. Kata Holosen berasal dari bahasa Yunani “holos” (keseluruhan) dan “ceno” (baru), yang mengindikasikan bahwa zaman itu memiliki bentuk fosil yang benar-benar baru.

Bukti inti es menunjukkan bahwa zaman Holosen memiliki suhu yang relatif lebih hangat dan hanya memilki sedikit perubahan iklim. Masa Little Ice dimulai sekitar 650 tahun lalu (1350 M) dan hanya bertahan sekitar 550 tahun lalu. Beberapa peneliti menganggap bahwa kondisi suhu bumi pada masa yang hangat ini hanya bersifat sementara—bahwa secara sederhana kita berada dalam periode interglasial dari zaman es.
Zaman Holosen kadang-kadang disebut “zaman manusia”. Ini adalah penyataan yang salah: karena manusia modern muncul dan tersebar di seluruh planet sebelum masa Holosen dimulai. Namun bagaimana pun, sejak munculnya peradaban pertama—mungkin sekitar 12.000 tahun lalu—manusia telah memengaruhi lingkungan global berbeda dengan organisme yang lainnya.

Sementara semua organisme memengaruhi lingkungannya sampai beberapa tingkat tertentu, beberapa di antaranya bahkan mengubah dunia. Sebanyak 20% dari jumlah tanaman dan hewan masa kini akan punah pada tahun 2025 M. Dibutuhkan lebih banyak informasi untuk menentukan apakah level kepunahan yang ada sekarang berada dalam garis level alami dari pergantian spesies, ataukah proses ini dipercepat oleh kegiatan manusia, seperti; berburu, polusi, pengontrolan banjir, dan penggundulan hutan (deforestasi) yang kemudian menjadi sesuatu yang kita sebut “kepunahan massal keenam”. Kebanyakan peneliti setuju bahwa aktivitas manusia bertanggung jawab atas “pemanasan global,” berarti bahwa naiknya tempetatur dunia yang masih terus berlanjut sampai sekarang akan menimbulkan efek yang tidak terduga.

Namun sekarang masa Holosen juga telah menjadi saksi dari kemajuan pengetahuan dan teknologi manusia yang dapat dimanfaatkan—dan memang digunakan—untuk memahami perubahan yang kita ketahui, untuk memprediksi akibatnya, dan untuk menghentikan kerusakan yang terhadap bumi dan populasi manusia. Paleontologi merupakan bagian dari usaha untuk memahami perubahan global. Karena banyak fosil menyediakan data tentang iklim dan lingkungan masa lalu. Ahli palaentologi berkontribusi terhadap pemahaman kita tentang bagaimana perubahan lingkungan masa depan akan memengaruhi kehidupan bumi.




Sumber

Senin, 24 Maret 2014

Bangsa Viking Penemu Amerika?

Apa yang anda  bayangkan jika kalian mendengar kata “Viking”. Pasti yang ada dibenak kalian sebuah bayangan sosok pejuang yang mengenakan helm perang yang bertanduk. Perampok dan pelaut ulung yang ditakuti dan terkenal kejam. Mungkin seperti itulah kira-kira yang akan muncul dalam bayangan kalian.

Namun perlu diketahui, bahwa Bangsa Viking itu sebenarnya tidak seperti yang kalian bayangkan dan yang sering digambarkan saat-saat ini. Penggambaran Viking yang identik dengan helm bertanduk itu adalah salah. Dan ini jadi stigma soal bangsa Viking.

Nyatanya, helm bertanduk hanya digunakan pada periode-periode awal dan khusus saat melakukan upacara keagamaan mereka saja. Jadi, ketika berperang dan menjelajah laut, helm mereka biasa saja tanpa tanduk yang mengerikan.

Bangsa Viking memang dikenal sebagai kaum penakluk di dataran Eropa sekitar abad ke-8 hingga 11 Masehi. Battle of Hasting di tahun 1066 tercatat dalam sejarah sebagai perang besar terakhir bangsa ini - walau tak menutup kemungkinan ada perang lain bila bukti arkeolog ditemukan. Selama periode tersebut, mereka memang menjadi pelaut-pelaut ulung. Banyak kisah yang menggambarkan kekejaman mereka ternyata penuh bumbu dongeng belaka. Meskipun menjarah dan membumi-hanguskan banyak desa, bangsa Viking juga terlibat dalam misi perdagangan termasuk bermukim di tempat-tempat baru. Mulai dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Normandia hingga Islandia.

Ada satu fakta yang bisa merubah paradigma kita, sehubungan dengan Amerika. Banyak bukti arkeolog ditemukan bangsa Viking 500 tahun lebih awal menginjakan kaki di Amerika dibanding Columbus.

Pada tahun 986, Bjarni Herjolfsson meninggalkan perkampungan Viking di Norwegia dengan tujuan Islandia. Ia medengar cerita bahwa ayahnya yang pergi lebih dahulu dengan rombongan pelaut yang dipimpin Erik The Red dan berhasil mencapai sebuah wilayah yang hijau dan subur, disebut Greenland.

Bjarni mulai berlayar saat musim dingin tiba. Cuaca buruk dan berkabut menghempas kapalnya hingga jauh dari tujuan. Sampai akhirnya ia berhasil menemukan daratan, tapi berbeda dengan cerita yang didengarnya. Daerah ini bergunung-gunung. Akhirnya ia melepas sauh lagi dan berlayar menuju Timur sampai akhirnya mencapai Greenland dan bertemu koloni Erik The Red.

Putra Erik, Leif Eriksson tertarik dengan kisah Bjarni. Apalagi saat musim dingin di Greenland sangat susah mencari kayu. Sementara Erik berkata, pulau yang pernah dikunjungi saat tersesat lebih hijau dan alamnya lebih bersahabat.

Dengan kapal milik Bjarni, Leif mengajak 35 orang bersamanya berlayar mencari pulau yang dikisahkan tersebut. Akhirnya Leif dan rombongan berhasil mencapai Pulau Baffin (Kanada bagian Timur Laut). Tapi tempat ini banyak gletsyer. Lalu mereka berlayar lebih jauh hingga mencapai pantai berpasir putih yang indah. Di sinilah mereka berlabuh, dan menamakan tempat tersebut Marklandia (The Forest Land).

Rombongan Leif terus menjelajah wilayah tersebut sampai menemukan tempat terbaik untuk membangun koloni, yang akhirnya dinamai Vinlandia (The Wine Land) karena salah seorang anggota rombongan menemukan pohon anggur. Sayangnya, setelah beberapa waktu, koloni tersebut kembali pulang ke Greenland.

Kisah ini sempat menjadi misteri selama berabad-abad. Sampai di tahun 1960 dan 1970-an para arkeolog menemukan reruntuhan rumah di Newfoundland (L'Anse Aux Meadows village). Mereka juga menemukan artefak-artefak berbahan logam yang diperkirakan berasal dari tahun 1000 M.

Tahun 90-an, arkeolog juga menemukan artefak dari batu dan dikenali sebagai bagian dari peninggalan jaman Viking. Berbagai bukti ini semakin menguatkan bahwa bangsa Viking telah lebih dulu menginjakkan kaki di Amerika. Hanya tersisa pertanyaan yang masih membingungkan peneliti, mengapa Leif dan rombongannya tidak menetap di Amerika (Kanada) padahal alam di sana jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan Greenland.



Sumber

Kota Berusia 1.200 Tahun yang Hilang Ditemukan Kembali

 Jika kita menceritakan sebuah kisah dari sebuah kota kuno, berusia sekitar 1.200 tahun, yang telah dimakan oleh Laut Mediterania dan terkubur di bawah berton-ton lumpur, batu serta pasir - Anda akan dimaafkan bila berpikir itu adalah bagian dari pembukaan dongeng Disney.

Tapi ini adalah salah satu kisah yang bukan fantasi, bahkan Anda bisa mengatakan itu benar-benar adalah sesuatu yang nyata dari mimpi.

Awalnya disebut 'Heracleion' oleh orang Yunani, tetapi bernama 'Thonis' oleh orang Mesir kuno, keberadaan kota mitos ini dikonfirmasi menjadi kenyataan pada tahun 2000, Dr Frank Goddio (seorang arkeolog bawah air) membuat salah satu penemuan paling penting dari abad ke-21.

Seiring dengan timnya dari Institut Eropa untuk Arkeologi Bawah Air, dia menggali kota yang hilang, mengungkapkan harta karun berupa artefak dan reruntuhan beberapa 30 kaki di bawah Laut Mediterania di Aboukir Bay, Alexandria. Selama 13 tahun terakhir mereka telah bersusah payah menggali daerah itu, mengangkat potongan-potongan sejarah yang lama terlupakan dari dasar laut.

 

 Karena lebih banyak fragmen dan elemen dibawa ke permukaan, timnya telah mampu membuat model virtual dari kota tersebut. Pandangan populer adalah bahwa Thonis / Heracleion ternyata adalah sebuah pelabuhan, karena lokasinya - bertindak sebagai “entry point” bagi pedagang dan perdagangan. Item yang telah ditemukan selama penggalian juga mendukung teori, koin emas, buku besar batu dan bahkan bobot semua menunjukkan kota yang ramai dengan energi, perdagangan dan transaksi. Selama periode 13 tahun, artefak penting yang telah dibawa ke permukaan termasuk patung 16 kaki yang mungkin telah diposisikan di candi utama kota, sementara 64 kapal karam mengejutkan telah pun telah ditemukan.


Tapi meskipun salah satu misteri besar telah diselesaikan, yang lain masih membayang-bayangi. Sampai hari ini, beberapa dapat memberitahu dengan benar-benar jelas mengapa kota itu sendiri bisa terjun ke kedalaman air Laut Mediterania. Apa yang menyebabkannya tenggelam? Apakah kota itu runtuh? Apakah bencana alam yang harus disalahkan? Tim Goddio ini telah menghabiskan banyak waktu bersama bukti-bukti yang ada, mencoba untuk menemukan jawaban.

Teori mereka? Batu berat yang digunakan dalam konstruksi bangunan di kota ini dengan mudah akan tenggelam ke bumi yang berasal dari tanah liat basah yang digunakan untuk menahan tempat itu - itu semua baik dan bagus, tetapi gempa bumi telah menghantam, struktur-struktur yang sama akan memiliki slide dan jatuh tanpa henti ke kedalaman berair.





1.200 tahun berlalu, kota ini pun telah bangkit kembali.



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.