Kamis, 27 Maret 2014

Bimaristan , Konsep Ideal Rumah Sakit Islam

Seperti yang ditulis dalam kitab Ajhizatu Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah) , Khilafah adalah negara yang manusiawi (daulah basyariah). Karena itu sangat mungkin terjadi kekurangan atau penyimpangan dalam sejarah perjalanan Khilafah. Meskipun sejarah bukanlah dalil hukum syara’, namun dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran, setiap penyimpangan dari syariah Islam akan menyebabkan persoalan. Sekali lagi , persoalan muncul , bukan karena sistem Khilafahnya, justru karena penyimpangan dari sistem Khilafah. Walhasil, menolak sistem Khilafah dengan mengutip penyimpangan dalam sistem ini, tidaklah obyektif dan rasional, dan tentu saja tidak jujur. Mengingat,sejarah Khilafah lebih banyak diisi dengan kegemilangan dan kejayaan. Berikut ini kami akan tampilkan beberapa kejayaan di era keemasan Khilafah Islam. (Redaksi)

Sebelum Islam datang dan mencapai masa kejayaannya, dunia ternyata belum mengenal konsep rumah sakit (RS), seperti saat ini. Bangsa Yunani, misalnya, merawat orang-orang yang sakit di petirahan yang berdekatan dengan kuil untuk disembuhkan pendeta. Proses pengobatannya pun lebih bersifat mistis yang terdiri dari sembahyang dan berkorban untuk dewa penyembuhan bernama Aaescalapius.

 
Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, sederet RS baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam. Pada masa itu tempat mengobati dan merawat orang yang sakit dikenal dengan sebutan `Bimaristan’ atau ‘Maristan’. ”Ide membangun RS sebagai tempat merawat orang sakit mulai diterapkan pada awal kekhalifahan Islam,” papar Husain.

RS pertama dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705 M – 715 M) – seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Tempat perawatan yang dikenal dengan nama `Bimaristan’ itu disediakan tak hanya pagi penderita leprosoria tapi juga bagi penderita lepra yang saat itu merajalela. Untuk merawat para pasien itu, khalifah menggaji tenaga perawat dan dokter.

”RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M – 809 M),” ungkap Husain. Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya. Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka.

Dalam catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.

Pada era keemasan, RS Islam yang tersebar di kawasan Arab itu memiliki karakteristik yang khas. Pertama, RS Islam melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul lainnya. RS Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang dokter. Di RS itu semua dokter dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu bekerja sama untuk menyembuhkan pasiennya.

Kedua, sudah menerapkan pemisahan bangsal. Pasien pria dan wanita menempati bangsal yang terpisah. Penderita penyakit menular juga dirawat di tempat yang berbeda dengan pasien lainnya. Ketiga, pembagian perawat. Perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita.

Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima waktu merupakan rukun Islam yang wajid bagi setiap Muslim. Baik dalam kondisi sehat maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.

Bagi mereka yang tak mampu, bisa shalat sembari tidur di atas kasur. Sebelum menunaikan ibadah shalat, setiap Muslim harus berwudhu membersihkan muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan itu, RS menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi.

Kelima, tak sembarang dokter bisa berpraktik di RS. Hanya dokter-dokter yang berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di RS. Khalifah Al-Mugtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan betul kualitas dokter yang bertugas di RS. Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan Ibn-Thabit untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.

Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Tak hanya di Baghdad, khalifah juga memerintahkan Abu Osman Sa’id Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu dilakukan, lantara dua kota suci itu setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.

Keenam, RS Islam pada zaman kekhalifahan tak hanya sekedar tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit. RS juga berfungsi sebagai tempat menempa mahasiswa kedokteran, tempat pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat pengembangan dunia kesahetan dan kedokteran secara keseluruhan. RS besar dan terkemuka dilengkapi dengan perpustakaan mewah yang memiliki koleksi buku-buku terbaru. Selain itu, RS Islam zaman kekhalifahan juga dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan. Di kompleks RS juga berdiri mess atau perumahan untuk mahasiswa kedokteran serta staf RS.

Ketujuh, untuk pertama kalinya dalam sejarah, RS Islam menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia. Kedelapan, selama era Islam ilmu farmasi dan prpfesi apoteker telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.
Apotek dan apoteker sudah berkembang pesat. Tak heran, jika obat-obatan baru tiap waktu terus bermunculan. Pada saat itu, umat Islam yang menguasai perdagangan telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa terkemuka di dunia. Ilmu kimia yang menopang farmasi juga berkembang pesat.

RS di era keemasan Islam bertugas untuk merawat seluruh pasien baik laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Tak hanya itu, seluruh biaya ditanggung pihak RS. Mereka yang dilayani secara prima dan cuma-cuma itu bisa pendatang, orang asing, orang pribumi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, bodoh atau pintar, cacat atau normal diperlakukan secara sederajat dan adil.

Tak ada persyarakat tertentu dan pembayaran. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Lagi-lagi, Islam lebih dulu unggul dan maju dibanding Barat.

Konsep RS Islam di era keemasan yang begitu modern itu kemudian ditiru dan dijadikan model oleh bangsa-bangsa di Eropa. Tak cuma itu, Barat juga banyak mempelajari kitab-kitab kedokteran yang dihasilkan para dokter Muslim. Adakah RS Islam di Indonesia yang meniru konsep RS di era keemasaan Islam itu? (Republika; 18/03/2008)



Sumber

Wasith: Kota Peradaban Umayyah

Oleh Heri Ruslan

Di Abad Pertengahan,  Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam.

‘’Telah menceritakan kepada kami Abdan. Telah mengabarkan kepada kami Abdullah. Telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Asy’ats dari bapaknya dari Masruq dari Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata; ‘Nabi SAW menyukai sebelah kanan sejauh beliau bisa melakukannya, yakni dalam bersuci, memakai terompah, dan menyisir, dan setiap urusannya’. Syu’bah mengatakan, Asy’ats di kota Wasith mengucapkan kata-kata lain sebelum ini.” (HR Bukhari).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas, tertulis  nama sebuah kota, yakni Wasith. Lalu di manakah kota itu terletak? Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi, Wasith adalah sebuah kota yang berada di kawasan Sawad, Irak. ‘’Kota ini dinamai Wasith karena terletak di tengah-tengah (tawassuth) antara Bashrah dan Kufah,’’ ujar pakar hadis itu.

Kota Wasith dibangun oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi — gubernur Irak untuk Kekhalifahan Umayyah yang berbasis di Damaskus, Suriah –  pada tahun 83 H/ 706 M. Menurut Ensiklopedi Britannica,  Wasith sempat menjelma sebagai kota perdagangan dan militer di abad pertengahan.

‘’Wasith menjadi pusat kota di Irak pada masa Kekhalifahan Umayyah,’’ papar Dr Syauqi.  Setelah menguasai kota itu,  Gubernur Irak, Al-Hajjaj melakukan pembangunan besar-besaran.  Ia membangun istana, masjid agung, membuka jaringan irigasi dan pertanian di seluruh kota Wasith.

Kota itu letaknya juga amat strategis, yakni di tepi Sungai Tigris yang menjadi pusat jaringan penghubung menuju seluruh bagian di wilayah Irak. Tak heran jika kota itu menjelma menjadi pusat galangan kapal yang besar dan pusat perdagangan.

Di abad pertengahan,  Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam. Kota itu tak hanya dikenal sebagai pusat bisnis dan perdagangan, namun juga masyhur sebagai pusat intelektual.  Tak heran jika dari kota itu lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka dalam bidang hukum, hadis, sastra dan syair.

Pada era kekuasaan Umayyah, Wasit tampil sebagai pusat intelektual dunia Islam. Ibnu Batuta, pengembara Muslim legendaris dari Maroko sempat berkunjung ke kota itu. Dalam catatan perjalanannya bertajuk Ar-Rihla, Ibnu Batutta mengagumi perkembangan keilmuwan di Wasith.

‘’Bagi orang-orang yang mengunjunginya, Wasith memberi manfaat dengan pengetahunan. Suasananya mendorong setiap orang untuk memiliki pemikiran yang maju.  Dan orang-orang Wasith adalah yang terbaik di Irak,’’ papar Ibnu Batuta menggambarkan geliat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dan dicapai masyarakat Wasith ketika itu.

Ketika era  kekuasaan Dinasti Ummayah berakhir Wasith masih menjadi salah satu kota yang penting.  Begitu Kekhalifahan Abbasiyah berdiri, ibu kota pemerintahan Islam  berpindah dari Damaskus (Suriah) ke Baghdad. Pada awal-awal perpindahan pusat kekuasaan itu,  kota Wasith masih tetap diperhitungkan.
Namun, seiring berkembangnya Baghdad menjadi metropolis dunia di Abad Pertengahan, pamor Wasith pun mulai meredup. Bahkan, sejak abad ke-15 M, kota itu hampir kurang dikenal lagi.  Seorang geografer asal Turki menggambarkan Wasith pada awal abad ke-17 M, sebagai kota yang terletak di tengah gurun.
Ketika Kekhalifahan Usmaniah atau Ottoman yang berpusat di Turki menguasai dunia,  Wasit menjadi provinsi dan Al-Kut menjadi ibu kotanya. Dinasti Ottoman membangun kembali Wasith sebagai pos terdepan untuk menghalau serangan dari Dinasti Safawiyah yang berpusat di Iran.

Kota Wasith kembali dikenal pada era Perang Dunia I, ketika pasukan Inggris melakukan invansi. Sekarang, Wasith menjadi salah satu provinsi di Irak dan letaknya di bagian tengah Irak.  Kota itu berjarak 172 kilometer dari Baghdad.

Provinsi Wasith luasnya mencapai 17.153 kilometer persegi atau sekitar 3,9 persen dari luas negara Irak. Wilayah itu merupakan sentra pertanian, karena memiliki jaringan irigasi yang bersumber dari Sungai Dijla.
Sehingga, Provinsi Wasith dikenal dengan hasil pertaniannya, seperti gandum, jerai, jagung, beras, kapas, dan bunga matahari. Tak hanya itu,  kota itu juga  menjadi penghasil aneka sayuran dan buah-buahan. Provinsi Wasith dihuni oleh 1,03 juta penduduk pada 2006. Populasinya mencapai 3,9 persen dari total penduduk Irak.

sumber: republika.co.id (13/5/2012)



Sumber

Kebijakan Sultan Abdul Hamid II Terhadap Para Penghina Rasulullah SAW

Pemimpin adalah perisai (junnah), umat berperang di belakang serta berlindung dengannya. Demikianlah sabda baginda Rasulullah SAW menggambarkan tugas keberadaan pemimpin bagi umat. Ia adalah pelindung umat dari segala bahaya (dharar) yang menimpa harta, jiwa, kehormatan, akal, dan agamanya. Dialah seorang khalifah yang dibaiat untuk menerapkan syariah, yang dengannya fungsi-fungsi ini bisa terwujud. Tak heran ketika perisai ini lenyap, bukan hanya harta, jiwa dan kehormatan umat yang terbaikan tanpa pelindung, namun kehormatan Rasulullah SAW pun  berulangkali dihina dan dinistakan.
Hal ini berbeda ketika Daulah Khilafah masih ada. Seterpuruk apapun kondisi umat saat itu, setiap upaya dan tindakan yang menistai Islam dan umatnya, tetap bisa  ditindak tegas.  Inilah yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid Ats-Tsani. Pada akhir abad ke-19, tahun 1890, ketika seorang penulis Prancis, Henri de Bornier, membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW, Sultan Abdul Hamid mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama itu di seluruh Prancis. Prancis pun memenuhi permintaan itu dan mengambil keputusan melarang pementasan drama itu.
Prancis mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid yang di antara isinya: “Kami percaya, keputusan yang kami ambil sebagai pemenuhan atas keinginan yang mulia Sultan akan memperkuat hubungan hangat di antara kita ..”. Ketika penulis itu berusaha mementaskannya di Inggris dan mulai membuat persiapan pementasannya di Allesiyom yang terkenal, Sultan mengetahuinya dan mengirimkan surat agar pementasan itu dilarang. Maka pementasan itu pun dilarang. Padahal kala itu, Inggris merupakan negara adidaya, namun ia tetap meminta maaf atas persiapan pementasannya, meski drama itu belum sempat dipentaskan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan pun memanggil seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah. Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di depan pintu kekhilafahan. Kemudian  Sultan datang menemui mereka dengan berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada mengancam, ia berkata kepada mereka: “la in lam tantahi faronsa ‘an fi’latiha, la anta’ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta’ilu hadzal hidza biyadii, fahkhrijuu qobbahakumullah” Artinya: “Seandainya Prancis tidak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpakan keburukan kepada kalian”. Para duta itu pun segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang mereka dengar dan mereka saksikan dari sang khalifah.  Terkejut mendengar acaman di atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya. Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti’al artinya adalah Lubs an na’l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta’ala al-ardha, artinya saafara ‘alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi’aha (menginjakkan kaki di atasnya). Selain itu, sang Sultan tidak memandang bahwa tindakan penghinaan tadi, seandainyaa pementasan drama itu benar-benar terlaksana, hanya ulah salah seorang warga  Prancis, tetapi ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang dilakukan oleh institusi negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada satu negara pun yang bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar warganya, apalagi berlindung di balik alasan kebebasan. Tak heran berselang tiga tahun setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul “Muhammad at-Tsaniy”. Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.
Sikap khalifah ini jugalah yang membuat umat menjadi tenang.  Mereka merasa senang dan bangga dengan sikap sang Sultan. Berbagai surat ucapan selamat dikirim oleh kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, bahkan sebagian mereka mengadakan perayaan atas kabar gembira tersebut. Hal ini jauh berbeda dengan kondisi umat saat ini. Persoalan demi persolan yang menimpa umat Islam serta penghinaan demi penghinaan terhadap Rasulullah SAW semakin menunjukkan bahwa para pemimpin sekuler yang ada saat ini, bukan hanya tidak mampu melindungi kehormatan Islam dan kaum Muslimin, namun juga semakin jelas menunjukkan bahwa keberadaan mereka justru untuk melindungi kepentingan asing yang membenci dan memusuhi kaum Muslimin. Wajar, meski tidak semuanya dapat dibenarkan, bila umat saat ini, melakukan tindakannya masing-masing, dengan caranya sendiri-sendiri demi membela agama dan kehormatannya. Wallahu a’lam, (mediaumat.com, 8/10/2012)




Sumber

Sultan Abdul Hamid II: Sang Pembela Sejati Palestina

Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.

Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.

Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ”Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”

Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.

”Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!” Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.
(republika.co.id, 14/7/2010)




Sumber

Kholifah Sulaiman Al Qonuni

Pemimpin Agung dari Abad XVI 

Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia – baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Pemimpin Muslim yang didapuk peradaban Barat dengan gelar ‘Solomon the Magnificient‘ atau ‘Solomon the Great‘ itu adalah Sultan Sulaeman I. Sulaeman pun tersohor sebagai negarawan Islam yang terulung di zamannya. Kharismanya yang begitu harum membuat Sulaeman dikagumi kawan dan lawan. Di masa kekuasaannya, Kekhalifahan Turki Utsmani memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh dan kuat.

Sultan Sulaiman pun begitu berjasa besar penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ketika berkuasa, Sulaiman Agung – begitu orang Barat menjulukinya – berhasil menyemaikan ajaran Islam hingga ke tanah Balkan di Benua Eropa meliputi Hongaria, Beograd, dan Austria. Tak cuma itu, dia pun sukses menyebarkan ajaran Islam di benua Afrika dan kawasan Teluk Persia.

Gelar Al-Qanuni yang melekat pada nama besarnya dianugerahkan atas jasanya dalam menyusun dan mengkaji sistem undang-undang Kesultanan Turki Usmani. Tak hanya menyusun, Sultan Sulaeman pun secara konsisten dan tegas menjalankan undang-undang itu. Sulaiman menerapkan syariah Islamiyah dalam memimpin rakyat yang tersebar di Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah.

Pantaslah bila Sulaeman dikagumi lawan dan kawan. Ia adalah seorang penguasa kuat yang merakyat. Baginya, setiap rakyat di Kesultanan Usmani memiliki hak yang sama. Tak ada pembedaan pangkat dan derajat. Kebebasan dan toleransi menjalankan kehidupan beragama pun dijunjungnya. Tak heran, jika pada masa kekuasaannya umat Islam serta Yahudi dapat hidup dengan aman dan damai.

Salah satu upaya penting yang dilakukan Sulaeman agar pemerintahannya kuat dan dicintai rakyat adalah dengan mememilih gubernur yang benar-benar berkualitas. Ia memilih gubernur yang mewakilinya di setiap provinsi dengan selektif dan ketat. Popularitas dan status sosial tak menjadi syarat dalam mencari kandidat gubernur. Agar tak kecolongan, ia sendiri yang turun langsung menyelidiki jejak rekam serta kepribadian setiap calon gubernur.

Hasilnya sungguh memuaskan. Setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin yang besih dan benar-benar berkualitas. Itulah mengapa, wilayah kekuasaan Usmani Turki yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia. Syariat Islam pun bisa dijalankan dengan baik.

Sulaiman pun dikenal sebagai pemimpin yang turut memajukan kebudayaan. Ia mencinta seni dan kebudayaan. Selain menduduki tahta kesultanan, Sulaiman pun dikenal sebagai salah seorang penyair yang hebat dalam peradaban Islam. Pada era kekuasaannya, Istanbul – ibukota Usmani Turki menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta filasafat. Inilah periode yang paling kreatif dalam sejarah kesultanan Usmani.

Sulaiman merupakan putera Sultan Salim I. Dia terlahir pada 6 November 1494 M di Trabzon, kawasan pantai Laut Hitam. Sejak kecil, dia sudah didik sang ayah pelajaran dan ilmu seni berperang serta seni berdamai. Menginjak usia tujuh tahun, Sulaiman cilik dikirim ke sekolah Istana Topkapi di Istanbul.
Di sekolah itu, dia mempelajari beragam ilmu pengetahuan seperti, sejarah, sastra, teologi serta taktik militer. Meski berdarah ningrat dan putera mahkota sebuah kesultanan yang sangat besar, sejak muda Sulaiman sudah sangat merakyat. Sahabat dekatnya justru adalah seorang budak bernama, Ibrahim. Kelak, sahabatnya itu menjadi penasehat yang amat dipercayainya.

Sebelum menduduki tahta kesultanan Usmani, pada usia 17 tahun dia ditunjuk sang ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia). Lalu setelah itu, dia diuji dengan menduduki jabatan Gubernur Sarukhan (Manisa) dan kemudian memimpin masyarakat di Edirne (Adrianople). Delapan hari setelah sang ayah tutup usia, pada 30 September 1520 M, Sulaeman naik tahta menjadi sultan ke-10 Kesultanan Usmani.
Seorang utusan dari Venesia, Bartolomeo Contarini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul Turki menggambarkan sosok Sultan Sulaiman. Menurut Contarini, saat itu Sulaiman baru berusia 22 tahun. ”Postur tumbuhnya tinggi, tapi kurus dan kuat serta corak kulitnya lembut,” tutur Contarini. Selain itu, sang sultan digambarkan memiliki leher yang sedikit lebih panjang dan wajahnya yang tipis serta hidungnya bengkok seperti paruh rajawali.

Dia adalah pemimpin yang bijaksana, sangat cinta pada ilmu. Sehingga semua orang berharap banyak dari kepemimpinannya,” imbuh Contarini memuji akhlak Sultan Sulaiman I. Sebagian sejarawan mengklaim pada masa remajanya mengagumi Aleksander Agung. Menurut sejarawan, Sulaiman sangat terpengaruh visi Aleksander dalam membangun sebuah kerajaan yang dapat berkuasa dari Timur hingga Barat.

Masa pemerintahannya terbilang sangat panjang, jika dibandingkan Sultan-Sultan Ottoman lainnya. Selama berkuasa selama 46 tahun, Sultan Sulaeman begitu banyak mencapai kemenangan dalam berbagai peperangan. Sehingga, wilayah kekuasaan Kesultanan Usmani terbentang dari Timur ke Barat.

Kecintaannya pada ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mendirikan Universitas As-Sulaimaniyah. Sama seperti halnya pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman pun sempat menulis salinan Alquran dengan tangannya sendiri. Kini, salinan Alquran itu masih tersimpan di Masjid Agung Sulaiman.

Sulaiman tutup usia pada usia 71 tahun saat berada di Szgetvar, Hongaria pada tanggal 5 Juni 1566 M. Jasadnya dimakamkan di Masjid Agung Sulaiman yang berada di kota Istanbul, Turki. Kehebatan dan kebaikannya selama memimpin kesultanan Usmani hingga kini tetap dikenang.

(heri ruslan/ Republik online : Senin, 09 Juni 2008)





Sumber

Khilafah membantu Kelaparan di Irlandia (1845)

Tahun 1845, adalah awal tahun dimana terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Ketika itu Khilafah Usmani, Sultan Abdülmecid menyatakan keinginannya untuk mengirimkan 10,000 sterling kepada para petani Irlandia tapi Ratu Victoria meminta Sultan untuk mengirim hanya 1,000 sterling, karena dia telah mengirim hanya 2,000 sterling. Sultan mengirim 1,000 sterling. Namun secara diam-diam mengirim 3 kapal penuh makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi makanan sampai di pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para Pelaut Usmani. Dikarenakan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal dii Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya symbol-simbol Usmani (source: http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda) Sebuah Blog Osmanli Traveller telah mengcopy sebuah laporan oleh seorang Pendeta Kristen yang menulis mengenai Sultan pada saat pengembaraanya. Laporanya menyebutkan peristiwa ini secara singkat. Apa yang menarik adalah bahwa tanpa mengetahui pengiriman kapal secara diam-diam itu, pendeta tadi telah terkesan dengan karakter Sultan dalam menanggapi permintaan Ratu. Mengenai karakter Sultan Abdul Majid Khan, yang ditulis Rev. Henry Christmas M.A. (Pendeta Kristen) tahun 1853: Satu atau dua anekdot akan memberikan karakter dia yang sebenarnya. Selama tahun kelaparan di Irlandia, Sultan mendengar penderitaan yang dialami oleh negara malang itu, maka dia langsung mengutarakan kepada Duta Besar Inggris niatnya untuk membantu meringankan keadaan itu, dan menawarkan bantuan sejumlah besar uang. Dia maklum bahwa adalah hak dari Ratu untuk membatasi jumlah uang, sehingga uang yang lebih besar tidak bisa diterima dari Sultan. Untuk sopan santun maka diapun setuju atas keinginan Ratu itu, dan dengan rasa penuh simpati mengirimkan bantuan yang terbesar yang dibolehkan. Tercatat dalam sejarah mengenai perasaan pribadinya untuk memberikan jawaban atas ancaman tuntutan dari Austria dan Rusia bagi dilakukannya ekstradisi pengungsi Polandia dan Hongaria. “Saya bukan tidak peduli,” jawabnya. “atas kekuatan imperium itu, bukan juga atas maksud tersembunyi dari isyarat yang mereka tunjukkan tunjukkan , tapi saya dipaksa oleh agama saya untuk memperhatikan aturan aturan sopan santun, dan saya percaya atas perasaan dan niat baik Eropa tidak akan mengizinkan pemerintah saya untuk terlibat pada perang ini, karena saya memutuskan dan percaya pada mereka.” Ini memang adalah semangat sejati dari Kristen, tapi ada yang lebih dari itu atas diri Muhammad Sultan dari Turki, lebih daripada semua pangeran Kristen di Eropa Timur. ‘ (Sultan Turki, Abdul Medjid Khan: A Brief Memoir of His Life and Relign, with Notices of The Country, its Navy, & present Prospects” by the Rev. Henry Christmas, M.A., 1853) Juga tercatat, kedermawanannya dan kesabarannya yang terjadi selama apa yang dianggap sebagai ‘kejatuhan’ Imperium Usmani menurut buku-buku sejarah Barat, padahal Sultan Abdul Madjid sendiri tidaklah dianggap sebagai salah satu Sultan terbesar dari Imperium Usmani. Peristiwa membuktikan ketinggian karakter Sultan yang digabungkan dengan kemampuan lihai mereka untuk melalui rintangan politik untuk mencapai tujuan moral yang Islami. Dan berapa banyak lagi misi-misi rahasia yang hingga sekarang belum terungkap?
 
Catatan: tahun 1845, 10,000 ponds yang diberikan kepada penduduk Irlandia dari Sultan itu bernilai kurang lebih 800,000 pond pada hari ini, itu sama dengan $1,683,280 US Dollar. Di sisi lain, Ratu memberikan uang senilai 160,000 pond pada hari ini atau 336,656 US Dollar. (Riza Aulia; www.khilafah.com)



Sumber

Khilafah Membantu Aceh

Tahun 1522 Portugis memulai invasinya ke Sumatera Utara dan pulau-pulau lain di Indonesia dengan harapan memperoleh pasokan rempah-rempah dari Timur untuk dijual di Eropa. Kesultanan di Sumatera dan Jawa, yang hidup merdeka saat itu, menentang invasi ini. 

Salah satu reaksi datang dari seorang pemuda Aceh, Fatahillah, yang baru saja menunaikan ibadah haji di Makkah (pada saat itu di bawah kepemimpinan Turki Utsmani). Pada tahun 1527, ia mengumpulkan sekitar 2000 prajurit Kerajaan Demak dan menyerang penjajah Portugis yang ketika itu menduduki Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta) di Kerajaan Pajajaran. Dengan serangan mendadak itu, ia mengalahkan Portugis dan mengusir mereka dari tanah pribumi.1
 
Namun, usaha Portugis tidak berhenti sampai di situ. Mereka menurunkan lebih banyak pasukan dan invasi pun terus berlangsung. Menghadapi keunggulan teknis pasukan Portugis, Kesultanan Aceh memutuskan untuk meminta bantuan Khilafah Utsmaniyah, yang reputasinya dikenal luas berkat para saudagar dan orang-orang yang berhaji. 

Sultan Aceh kala itu, Ala ad-Din Ri’ayat Syah al-Kahhar, memutuskan untuk mengirim Husein Effendi, yang pernah ke Makkah dan fasih berbahasa Arab, ke Istanbul, ibukota Khilafah Utsmaniyah. Saat itu, bahasa Arab adalah bahasa internasional yang biasa digunakan di Negara Islam, sebagaimana bahasa Latin digunakan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Kapal yang membawa utusan Husein Effendi dan delegasinya, termasuk hadiah yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki Utsmani, mulai berlayar pada tahun 1565. Namun, kapal itu diserang oleh perompak di pesisir India. Dengan menyerahkan sebagian besar hadiah kepada para perompak, Husein Effendi berhasil menyelamatkan dirinya beserta awak-awaknya dan sebuah kapal2.

Akhirnya, mereka sampai di Laut Merah, yang berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, dan berlayar menuju Teluk Suez. Husein Effendi diperkirakan menjual kapalnya di sana (saat itu belum ada Terusan Suez) dan membeli kapal baru di pesisir Mediterania untuk meneruskan perjalanannya ke Istambul.
Waktu itu, Khilafah Utsmaniyah tengah berada di puncak kejayaannya, dengan luas wilayah lebih dari 10 juta kilometer persegi yang terbentang dari Algeria sampai kawasan Kaukasus hingga gerbang Wina di Eropa. Sultan Turki Utsmani saat itu, Sulaiman yang Agung, tengah berperang dengan Raja Jerman, Maximillian II. Dengan demikian, Husein Effendi harus menunggu sampai berakhirnya perang. Akan tetapi, setelah kekalahan Maximillian II, Sulaiman yang Agung wafat di Szigetvar (di Hungaria) pada tahun 1566. 

Husein Effendi akhirnya harus menunggu pengangkatan sultan yang baru, yaitu Salim II, anak Sulaiman. Ketika upacara penobatan dilaksanakan pada tanggal 20 September 1567, Sultan melihat beberapa orang Indonesia yang pakaiannya tidak lazim dan menanyakan siapa mereka. Petugas protokoler menjelaskan situasinya dan mengatakan bahwa Husein Effendi dan delegasinya telah menunggu sekian lama untuk bertemu dengan Sultan. Sultan Salim II, yang merasa kesal karena tidak diberitahu perihal kedatangan tamu dari jauh, mengatakan bahwa beliau akan menerima mereka sore itu.

Karena semua yang dialami dan waktu yang lama, semua bekal dan persembahan yang dibawapun habis, hanya tersisa sekarung lada hitam. Dengan hanya membawa sekarung lada hitam, Husein Effendi diterima oleh Sultan dan menceritakan peristiwa buruk yang menimpa mereka serta alasan mereka melakukan perjalanan. 

Sultan, yang mendengarkan dengan seksama, memahami kondisi mereka dan segera mengeluarkan perintah untuk memberikan bantuan finansial kepada delegasi Indonesia dan menyiapkan hadiah yang layak dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Sultan Salim II juga menyuruh agar ferman (surat perintah yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh para Sultan di Kekhilafahan Turki Utsmani) dikirimkan kepada para gubernur untuk membantu delegasi Indonesia sampai mereka meninggalkan wilayah Daulah. Beliau juga memerintahkan armada Utsmani di Laut Merah di bawah komando Laksamana Kurtoglu Hizir Reis untuk melakukan ekspedisi ke Sumatera (pada tanggal 20 September 1567). 

Ketika itu, Kekhilafahan Utsmani mempunyai armada besar di empat lokasi berbeda, yaitu di Laut Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah dan Sungai Danube. Angkatan laut juga terdapat di Teluk Persia, tetapi tidak terorganisasi. Di dalam ferman itu juga tertulis bahwa beberapa ulama dan tenaga teknis akan ikut bersama armada dan tinggal di Sumatera selama dibutuhkan oleh Kesultanan Aceh. Para ahli pertambangan, khususnya ahli besi, baja dan tembaga, pakar persenjataan artileri, pakar militer, ahli mesin kapal dan perahu, serta para pembantu dan tenaga teknis dikirim ke Aceh. Ekspedisi militer ini merupakan bantuan teknis dan budaya yang pertama kali dilakukan dalam sejarah hubungan Turki dan Indonesia.
Kapal-kapal perang tiba di Sumatera pada tahun 1567. Mereka disambut dengan upacara yang meriah dan gelar gubernur (wali) diberikan kepada Kurtoglu Hizir Reis. Pasukan Turki dan Sumatera berhasil mengalahkan dan mengusir Portugis. Kemudian, tujuh belas dari sembilan belas kapal, termasuk Laksamana Hizir Reis, kembali ke wilayah Khilafah Utsmaniyah. 

Namun, ada juga orang Turki yang memutuskan untuk menetap karena terkesan dengan kehangatan penduduk Aceh. Mereka menikahi pribumi dan berbaur dengan penduduk setempat. Mereka pun membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya dan kekuatan militer di Aceh serta berkontribusi dalam pengembangan teknologi modern saat itu. Sumbangsih yang paling tersohor adalah Akademi Militer yang mereka dirikan. Akademi itu dinamakan “Askeri Beytul Mukaddes” yang dalam bahasa Turki berarti “Prajurit Tanah Suci”. Akhirnya, para instruktur dan administrator yang berasal dari Turki menyerahkan segala urusan kepada para pakar baru yang merupakan penduduk lokal. Kemudian, nama akademi itu menjadi “Askar Baitul Makdis” yang lebih sesuai dengan dialek Aceh. Menurut penelitian Prof. A. Hasjmy3 dari Aceh, pusat pendidikan militer telah melahirkan sejumlah pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Yang paling terkenal adalah Laksamana Keumala Hayati (Malahayati),4 satu-satunya laksamana perempuan dalam sejarah dunia masa kini.

Bangsa Turki menetap di kota tepi laut Banda Aceh, di desa yang sekarang disebut Bitai, Emperom dan Perkebunan Banda. Sampai sekarang, makam orang-orang Turki masih dapat dilihat. Namun, sebagian besar buku-buku agama dan teknik yang dibawa oleh pasukan Turki Utsmani dihancurkan saat perpustakaan tua di Desa Bitai dibakar pada Perang Dunia II. Inilah bukti adanya hubungan antara Khilafah Utsmaniyah dan Sumatera, Indonesia.5 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Buku Baluwarti, diterbitkan oleh Yayasan Harapan Kita, Jakarta, 1981.
2 Prof. Tariech Chehab: Journal of Southeast Asian History, Universitas Indonesia, Jakarta.
3 Prof. A. Hasjmy: a) The Role of Aceh Women in Government and War, Indonesian Obeserver, Yayasan Pecinta Sejarah, 28 Februari 1988. b) Peranan Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, Yayasan Pecinta Sejarah, 28 Februari 1988.
4 Sebelum Keumala Hayati, laksaman wanita pertama di dunia adalah Artemisia, permaisuri Raja Mosul di Anatolia. Artemisia bertempur melawan Angkatan Laut Yunani dan berhasil memenangkan pertempuran pada tahun 480 sebelum Masehi. Ia menjadi kepala negara setelah suaminya Mosul wafat. (sumber: Historia karya Herodotus)
5 Arsip Utsmani: Savfet Bey “The Sumatra Expedition of an Ottoman Fleet (1327 Hijriah); Savfet Bey, The Sailor of the East” (1329 Hijriah – Istanbul). Arsip ini ditulis dalam bahasa Turki kuno dengan huruf Arab.



Sumber

Aliansi Aceh dan Ottoman

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih


Tak banyak yang mengetahui hubungan dan kedekatan kedua kerajaan.

Aceh dan Turki. Dua wilayah yang terpisahkan oleh ribuan kilometer jaraknya. Namun, dua pemimpin wilayah ini pernah menjalin hubungan erat ratusan tahun lalu.

Tak main-main, hubungan tersebut bisa memberikan pengaruh yang besar pada eksistensi kerajaan kala itu. Hingga meninggalkan berbagai bekas dan manfaat positif yang mengakar hingga kini di masyarakatnya.
Proses dan hubungan antardua kerajaan ini sangat panjang dan unik. Menurut aktivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) Thayeb Loh Angen, peristiwa ini tertoreh dalam sejarah masyarakat Aceh dan belum semua masyarakat Indonesia mengetahuinya.

Hubungan yang terjalin ini sangat penting bagi perkembangan kerajaan Aceh dan Islam di nusantara. “Hubungan antara Aceh Darussalam dengan Turki Usmani (Ottoman Turkish) adalah sejarah panjang yang masih berpengaruh sampai sekarang,” ujarnya.

Pada sekitar abad ke-16, menurutnya, Aceh kala itu sedang dalam keadaan genting. Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai telah runtuh. Akhirnya, kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya membentuk federasi dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Aceh Darussalam.

Keadaan genting ini ditambah dengan datangnya tentara Portugis ke wilayah ini. Untuk itu, demi memperkuat posisinya di mata dunia, Kerajaan Aceh berinisiatif mencari dukungan pada kerajaan Islam yang terbesar di dunia, yaitu Turki Usmani atau yang dikenal dengan Dinasti Ottoman. “Aceh mencari sekutu yang kuat untuk menghadapi Portugis yang datang ke wilayahnya,” ujarnya.

Hal ini diperjelas dengan sebuah buku tulisan peneliti sosiologi Muslim dari Istanbul, Turki, yang bernama Dr Mehmet Ozay. Ia menulis sejarah hubungan dua kerajaan ini pada bukunya yang baru diluncurkan pada 26 Desember dengan judul Kesultanan Aceh dan Turki-Antara Fakta dan Legenda.

Dalam buku tersebut dijelaskan, sultan ketiga Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ali Mughayat Syah al-Qahhar, melakukan tindakan monumental kala itu.

Sang sultan mengirimkan utusan, di antaranya, bernama Omar dan Hussain, untuk menemui pejabat Kesultanan Ottoman pada 7 Januari 1565 dengan membawa sejumlah besar komoditas berharga ke Konstantinopel. “Peristiwa tersebut dikenal dengan lada sicupak,” tulis intelektual Muslim ini.

Saat utusan Aceh tiba di Konstantinopel pada 1565, Sultan Turki Usmani pada saat itu, Sulaiman, sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar di Eropa Timur.
Menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut serta mangkatnya Sultan Sulaiman menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel.

Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada sultan.
“Setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki,” tulis Ozay.

Untuk menafkahi diri mereka selama berada di Turki, mereka terpaksa menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sebenarnya telah mereka niatkan untuk dihadiahkan kepada sultan.
Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak (segenggam) dan itulah yang dapat mereka tawarkan kepada sultan yang baru saja naik takhta. Dalam pertemuan resmi tersebut, sultan Turki Usmani memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya termasuk sebuah meriam yang secara simbolis dinamakan lada sicupak.

Menarik juga untuk mencari tahu apakah utusan Aceh tersebut ada yang membuat tulisan mengenai kehidupan, pengalaman, pengamatan mereka, dan lain-lain selama mereka menghabiskan waktu yang cukup lama di Konstantinopel. Mengenai hal ini, masih perlu untuk ditelusuri dan diungkap.

Peristiwa lada sicupak ini meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Upaya sultan Aceh tersebut sangat berpengaruh hingga mengalihkan perhatian Konstantinopel dari Samudera Hindia wilayah barat ke Sumatra, Asia Tenggara.

Sultan Turki Ottoman tidak meminta Aceh supaya mengirim upeti tahunan yang biasanya diminta dari masing-masing negara pengikut sebagaimana lazimnya tradisi pada masa itu.

“Bantuan ini bukanlah semacam belas kasihan yang diberikan oleh pusat kekuasaan di Istanbul, tetapi suatu pertimbangan politik secara khusus sebagai hibah politik kepada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya,” tulisnya.

Meriam Lada Sicupak
Setelah menerima kedatangan rombongan dari Aceh walau hanya menyerahkan sedikit lada saja, mereka mendapatkan kepercayaan dari Sultan Turki Usmani saat itu, yakni Selim II.

Dia setuju untuk mengirimkan bantuan berupa tentara dengan rombongan beberapa kapal ke Aceh. Dalam penyerahan secara simbolisnya, peneliti sosiologi Muslim dari Turki, Dr Mehmet Ozay, menulis bahwa Sultan Turki menyerahkan sebuah meriam sebagai simbolis pengiriman bantuan. “Meriam tersebut dikenal sebagai meriam Lada Sicupak,” tulisnya.
Rombongan yang dikirimkan oleh Sultan Turki tersebut tidak sepenuhnya bekerja untuk melakukan peperangan langsung melawan Portugis, seperti yang dibutuhkan Aceh.

Namun, mereka juga membuat lembaga pendidikan militer dan melatih rakyat serta pasukan Aceh agar bisa menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Mereka juga mengajarkan rakyat Aceh untuk membuat meriam dan membuat kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.

Karya lama Aceh berjudul Hikayat Meukuta Alam yang disampaikan sebagai cerita lisan tentang hubungan Aceh dan Turki menegaskan, Meriam Lada Sicupak tersebut dilindungi di Aceh sampai pecah Perang Belanda pada 1874. Ada beberapa artikel yang menceritakan meriam ini yang diterbitkan pada pertengahan abad ke-20 di Istanbul.

Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu, menurutnya, nasibnya sungguh menyedihkan. Selama fase kedua invasi Belanda di Banda Aceh, meriam ini dan beberapa meriam lainnya diambil oleh tentara Belanda dan kemudian dikirim bersama dengan artefak-artefak lainnya ke negara asal mereka di Eropa.
Meriam-meriam ini sebenarnya bukan hanya aset dan warisan budaya yang tak ternilai harganya, tetapi juga merupakan bukti konkret hubungan antara Aceh dan Turki.
Sumber: republika.co.id (25/3/2014)

Catatan redaksi : Khilafah Utsmani dalam beberapa tulisan sering disebut kerajaan Ustmani atau Imperium Ustmani. Dalam pandangan Hizbut Tahrir istilah yang paling tepat adalah Khilafah Utsmani, kerena perbedaan antara sistem Khilafah dengan Kerajaan dan Imperium.




Sumber

‘Kuras’ Emas di Papua, Freeport Siap Rogoh Rp 153 Triliun

PT Freeport Indonesia siap menggelontorkan investasi tambangnya di Papua hingga US$ 8 miliar-US$ 17 miliar atau hingga Rp 153 triliun dalam tiga tahun mulai 2016-2018.
Hal ini disampaikan oleh Senior Manager Freeport Urusan Hubungan Pemerintahan Yuni Rusdinar dalam diskusi di Hotel Interncontinental MidPlaza, Jakarta, Kamis (12/7/2012).

“Untuk tahun 2016-2018 Freeport menyiapkan US$ 8-17 miliar untuk investasi tambang. Saat ini tambang Freeport 10 ribu hektar, sedangkan jatah dari UU Pertambangan 25 ribu hektar,” ujar Yuni.

Dia mengatakan, sejak 1992 hingga 2011 Freeport telah membayar pajak US$ 13,8 miliar ke pemerintah Indonesia. Investasi yang telah dikeluarkan Freeport di Papua selama ini mencapai US$ 8,6 miliar. “Freeport berkomitmen untuk tidak mau menciutkan pertambangannya di Indonesia,” jelas Yuni.

Pada kesempatan yang sama, Vice President Freeport Indonesia Rini Ranti menyatakan, Freeport saat ini belum berkeinginan untuk membangun pabrik pengolahan tambang (smelter) di Indonesia. Alasannya harga barang hasil pengolahan tambang (smelting) tidak kompetitif.

“Selama ini Freeport punya saham 25% di smelter di Gresik bekerjasama dengan Mitsubishi. Harga pasaran dunia untuk smelting 18 sen/pon, tetapi kita jual smelting 56 sen/pon, jadi terlalu mahal,” jelas Rini. (detik.com, 12/7/2012)



Sumber

Cadangan Emas Freeport Rp 1.329 Triliun

Cadangan emas PT Freeport Indonesia saat ini mencapai Rp 1.329 triliun, atau hampir setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang mencapai Rp 1.435 triliun.

Hal ini didapat dari hitungan, bahwa Freeport memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang saat ini mencapai 2,6 miliar ton. Setelah diolah, setiap 1 ton bijih bisa menjadi 7,9 kg tembaga dan 0,93 gram emas.

“Jadi sebenarnya tidak seluruh cadangan itu hasilnya akan sama, karena setiap 1.000 kg bijih itu setelah diolah jadinya hanya 7,9 kg copper dan 0,93 gram emas,” kata Presiden Direktur Freeport Rozik B Soetjipto dalam kunjungannya ke kantor detikcom akhir pekan lalu.

Sehingga, dari cadangan sebanyak 2,6 miliar ton itu jika dihitung secara kasar, bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga emas dipatok sebesar Rp 550.000 per gram, maka nilai cadangannya senilai Rp 1.329 triliun.

Angka tersebut hampir menyamai APBN Indonesia tahun 2012 senilai Rp 1.435 triliun. Tahun lalu, Freeport sudah menyetor duit sebesar US$ 2,383 miliar atau setara Rp 21,447 triliun ke pemerintah sepanjang tahun 2011. Angkanya naik dari setoran tahun lalu US$ 1,922 miliar atau Rp 17,298 triliun.

Secara total, sejak tahun 1992 hingga 2011 kemarin, anak usaha Freeport McMoRan Copper & Gold asal Amerika Serikat (AS) itu sudah menyetor US$ 13,8 miliar atau setara Rp 124,2 triliun. (detikfinance, 12/3/2012)



Sumber

20 Negara Pemilik Cadangan Emas Terbesar

Emas memiliki peranan besar dalam menjaga sistem keuangan sebuah negara. Logam mulia ini menjadi aset terbesar di sejumlah devisa negara.

Nilai emas yang secara historis selalu mencatatkan kenaikan tahunan menjadi acuan bagi negara untuk mempertahankan kepemilikannya.

Dari tahun ke tahun, Amerika Serikat (AS) menempati posisi pertama dengan jumlah emas terbesar di antara negara maupun institusi keuangan di dunia. Paman Sam meninggalkan standar emas pada 1971.

Di posisi kedua, Jerman juga memiliki cadangan emas yang cukup besar. Bank Sentral Jerman, Deutsche Bundesbank, yang bermarkas di Frankfurt, menjadi manajer cadangan devisa negara. Namun ada kabar bahwa sebagian fisik emas milik Jerman itu disimpan di The Federal Reserves AS. Wartawan internasional Max Keiser menerima pengakuan beberapa bagian fisik emas The Fed dimiliki oleh Bundesbank.

Posisi ketiga diduduki oleh International Monetary Fund (IMF). Beranggotakan 187 negara, kebijakan kepemilikan emas di IMF selalu berubah dari tahun ke tahun. Cadangan ini dimaksudkan untuk membantu perekonomian anggotanya. Tergantung dari kondisi pasar, Dana Moneter Internasional ini selalu melakukan aksi beli maupun aksi jual sebagai inisiatif kondisi ekonomi.

Berikut adalah daftar pemilik emas terbesar di dunia :


Nama Negara Jumlah (ton) Porsi devisa (%)
1 Amerika Serikat (AS) 8.133,50 76,9
2 Jerman 3.396,30 74,2
3 IMF 2.814,10
4 Italia 2.451,80 73,9
5 Prancis 2.435,40 73,7
6 China 1.054,10 1,8
7 Swiss 1.040,10 16,8
8 Rusia 873,6 9,6
9 Jepang 765,2 3,3
10 Belanda 612,5 63
11 India 557,7 10
12 ECB 502,1 34,8
13 Taiwan 422,4 6,1
14 Portugal 382,5 89,8
15 Venezuela 372,9 71,1
16 Saudi Arabia 322,9 3,3
17 United Kingdom 310,3 18
18 Libanon 286,8 32,5
19 Spanyol 281,6 35,5
20 Austria 280 58,3

Sumber : World Gold Council, Data 13 Januari 2012
(kontan.co.id,25/1/2012)



Sumber

10 Negara Pemilik Cadangan Emas Terbanyak di Asia

Tak kalah dengan negara-negara maju di kawasan Eropa, sejumlah negara di Asia juga mampu mengoleksi emas sebagai cadangan  negaranya dalam jumlah besar.
Terbukti, sejumlah negara Asia mampu menempati posisi teratas sebagai negara penimbun emas terbanyak di dunia.
 
Mengutip laporan World Gold Council, Rabu (26/3/2014), China berhasil berada di posisi puncak sebagai negara pemilik cadangan emas terbanyak di Asia.
 
China tercatat memiliki cadangan emas sebesar 1.054,1 ton atau setara 1,1% dari total cadangan devisa negaranya.
 
Tak heran, di jajaran negara-negara pemilik emas terbanyak di dunia, China berhasil menempati posisi ke-6.
Posisi Negeri Tirai Bambu tersebut dikalahkan negara dengan perekonomian terbesar dunia, Amerika Serikat (AS).
 
Tak hanya China, beberapa negara Asia lainnya juga mampu menyimpan emas dalam jumlah besar. Jepang misalnya tercatat menimbun sebanyak 765,2 ton emas hingga Maret 2014.
 
Untuk diketahui, data cadangan emas setiap negara diperbarui secara berkala setiap kuarter oleh World Gold Council.
 
Data tersebut dikompilasi dari data statistik International Financial Statistics (IFS), Dana Moneter Internasional (IMF).
 
Hasilnya, berikut 10 negara penimbun emas terbanyak di Asia:
 
1. China
Jumlah cadangan emas: 1.054,1 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,1%
 
2. Jepang
Jumlah cadangan emas: 765,2 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 2,4%
 
3. India
Jumlah cadangan emas: 557,7 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 7,6%
 
4. Taiwan
Jumlah cadangan emas: 423,6 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 4,1%
 
5. Libanon
Jumlah cadangan emas: 286,8 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 23,9%
 
6. Filipina
Jumlah cadangan emas: 193,5 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 9,3%
 
7. Thailand
Jumlah cadangan emas: 152,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 3,7%
 
8. Kazakhstan
Jumlah cadangan emas: 145,3 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 23,8%
 
9. Singapura
Jumlah cadangan emas: 127,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,8%
 
10. Korea
Jumlah cadangan emas: 104,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,2%
(liputan6.com, 26/3/2014)





Sumber

Kebijakan AS dari Suriah ke Ukraina

Apakah sikap AS dalam krisis Ukraina, dan krisis Suriah sebelumnya menunjukkan pada tren kebijakan luar negeri AS untuk tidak melakukan intervensi luar, atau ada wacana-wacana lain?

Opsi AS untuk dua masalah yang lagi hangat, Ukraina dan Suriah, menjadi topik dalam program  “Dari Washington” dalam episode 25/3/2014.

Mantan Duta Besar AS untuk Ukraina John Edward Herbst  membedakan antara dua krisis Suriah dan Ukraina. Ia mengatakan bahwa Bashar al-Assad telah terbukti menjadi seorang diktator. Namuan sayangnya tidak ada oposisi yang kuat dan efektif, dan Sementara kaum ekstremis adalah yang terkuat. Sehingga apabila mereka yang mengambil alih kekuasaan, maka mereka akan menekan rakyat seperti Bashar, katanya.

Adapun krisis Ukraina, menurut pendapatnya, bahwa para kritikus Obama paling keras, mereka tidak meminta Obama untuk intervensi secara militer, melainkan menghukum Rusia. Namun demikian Herbst percaya bahwa reaksi presiden AS terhadap Rusia adalah kuat dengan menarik seluruh Eropa bergerak ke arah yang tepat untuk melawan apa yang disebutnya “agresi Rusia di semenanjung Krimea”.

Opini Publik Amerika

Dalam membaca opini publik Amerika, Herbst mengatakan bahwa rakyat tidak ingin AS terisolasi dari urusan internasional, namun rakyat tidak ingin AS melakukan intervensi militer setelah dua pengalaman pahit di Irak dan Afghanistan.

Sementara itu, perwakilan dari Koalisi Nasional Suriah di Washington, Najib Al-Ghodban menanggapi apa yang dikatakan Herbst, bahwa ketika revolusi Suriah berlangsung damai, kami menyeru AS dan PBB untuk membela rakyat seperti yang terjadi di Libya, dimana pada saat itu belum ada kelompok jihadis. Namun demikian, ia menambahkan bahwa karakter umum oposisi adalah bahwa mereka kelompok moderat, begitu juga dengan 11 juta orang pengungsi yang keluar melawan pemerintahan Bashar al-Assad, katanya.

Ghodban menegaskan bahwa rakyat Suriah tidak ingin intervensi militer AS di Suriah. Namun apa yang terjadi, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh rezim Assad, maka ini membutuhkan sikap dari negara yang mengklaim sebagai pemimpin dunia bebas, dan dari 114 negara teman Suriah dengan mencegah rezim Assad dari penggunaan senjata udara, jika mereka tidak melakukan, maka mereka harus menyediakan senjata anti serangan udara pada tentara pembebasan Suriah.

Sedangkan, mantan duta besar Lebanon untuk Polandia dan negara-negara Baltik, Mas’ud Ma’luf mengatakan bahwa solusi untuk krisis Suriah perlu konsensus antara Rusia dan AS. Namun ia menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan memberikan bantuan dalam penyelesaian masalah Suriah setelah krisis di Ukraina, dan sikap AS terhadapnya.

Dalam krisis Suriah, Ma’luf mengatakan bahwa kekuatan militer akan membantu dari sisi prinsip pada solusi diplomatik. Akan tetapi intervensi militer Amerika di Suriah tidak mungkin pada tahap ini, sebab rakyat Amerika, Presiden dan bahkan golongan elang seperti John McCain tidak siap untuk aksi militer apapun di luar AS (aljazeera.net, 26/3/2014).


Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.