Kamis, 26 Desember 2013

Hukum Onani

DEWASA ini, dalam bidang medis, onani atau masturbasi banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum menikah. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan.  Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, sampai melepaskan stress, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya bagaimana hukumnya dalam Islam?
Masturbasi atau Onani (dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam—menurut mayoritas para fuqaha—onani adalah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an: “Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan seksual) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).
Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat berikut: “Di hari akhirat Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah 1). Orang-orang homoseksual, 2). Orang yang bersetubuh dengan hewan, 3). Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama dan, 4). Orang yang kerap melakukan onani, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, (maka tidak lagi akan dihukum,” (Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).
Mengapa masturbasi dan onani diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melakukan hubungan seksual yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati laki-laki atau wanita yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.
Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, badan lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi berbagai organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah membuat pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta akhlak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.
Namun, sebagaian ahli fiqh berpendapat bahwa onani-masturbasi dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat karena luapan syahwat dan dia berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan dapat pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina atau pelacuran. Setelah tentunya ia melakukan berbagai tindakan preventif seperti puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).
Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah usul fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat menghindari bahaya yang lebih berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar pertentangan dengan perintah dan nilai-nilai agama.
Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang tidak mungkin tergambarkan.
Sederhananya, jika hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.





Sumber

Hukum Oral Seks

SEKARANG ini, medis membolehkan hampir semua jenis hubungan suami istri. Hampir tidak ada lagi batas-batas dan benang merah apa yang boleh dan tidak boleh dalam berhubungan suami istri. Jika untuk orang non-Islam, hal itu mungkin tidak mengapa. Tetapi bagaimana dengan Islam?
Salah satu yang kerap menjadi pertanyaan dalam hubungan suami istri adalah tentang oral seks. Bolehkah dalam Islam?
Dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”
Beliau menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa Nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan—sebagai penguat yang telah lalu, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang Muslim, dan keadaannya seperti ini,  merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan.”
“Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memancar. Kalau memencar, maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya. Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut—sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-.”
Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah, salah seorang ulama besar kota Madinah,  dalam sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,
“Apa hukum oral seks?”
Beliau menjawab: “Ini adalah haram, karena itu termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari’at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki Muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.”
Boleh Melihat Kemaluan Pasangan Sah?
Dalam Islam, hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan, namun bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seseorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku,” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650).
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)



Sumber

Adab Sebelum Jima’

BETAPA luar biasanya Islam. Tak ada satupun institusi di dunia ini yang mengatur kehidupan ini begitu rinci selain Islam. Termasuk juga soal hubungan suami-istri. Inilah yang membedakan Islam dengan kepercayaan lainnya. Dalam Islam, berhubungan tidak hanya sekadar melepaskan hajat, tapi juga sebagai salah satu bentuk ibadah.

Islam mengatur tiga hal yang berhubungan dengan jima; sebelum, tengah, dan setelah. Berikut ini adalah adab-adab sebelum melakukan jima.

1. Menikah
Menikah adalah syarat mutlak untuk dapat melakukan hubungan intim secara Islam, Menikah juga harus sesuai syarat dan rukunnya agar sah menurut islam. Syarat dan Rukun  pernikahan adalah :  Adanya calon suami dan istri, wali,  dua  orang  saksi,  mahar serta terlaksananya Ijab dan Kabul. Mahar  harus sudah diberikan kepada isteri terlebih dahulu sebelum  suami menggauli isterinya sesuai dengan sabda Rasullullah SAW:

“.Ibnu Abbas berkata: Ketika Ali menikah dengan Fathimah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab: Aku tidak mempunyai apa-apa. Beliau bersabda: “Mana baju besi buatan Huthomiyyah milikmu?” (HR Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim).

Ini artinya  Ali harus memberikan mahar dulu sebelum “mendatangi”  Fathimah.
Dalam  Islam, setiap Jima’ yang dilakukan secara sah antara  suami dengan isteri  akan mendapat pahala  sesuai dengan  Sabda Rasullullah sallahu alaihi wassalam: “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala,” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

2. Memilih Hari dan Waktu yang baik / sunnah  untuk jima’
Semua hari baik untuk jima’  tapi hari yang terbaik untuk jima’ dan  ada  keterangannya dalam hadist adalah  hari Jumat sedangkan hari lain yang ada manfaatnya dari hasil penelitian untuk jima’ adalah hari Kamis. Sedangkan waktu yang disarankan oleh Allah SWT untuk jima adalah setelah sholat Isya sampai sebelum sholat subuh dan  tengah hari   sesuai firman Allah dam surat An Nuur ayat 58.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat  bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:58)

Melihat kondisi diatas  maka hari dan waktu terbaik  untuk jima adalah : Hari  Kamis Malam  setelah Isya dan Hari Jumat  sebelum sholat subuh dan tengah hari sebelum sholat jumat. Hal ini didasarkan pada Hadist berikut:

Barang siapa yang menggauli isterinya pada hari Jumat dan mandi janabah serta bergegas pergi menuju masjid dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, dan setelah dekat dengan Imam ia mendengarkan khutbah serta tidak menyia-nyiakannya, maka baginya pahala untuk setiap langkah kakinya seperti pahala amal selama setahun,yaitu pahala puasa dan sholat malam didalamnya (HR Abu Dawud, An nasai, Ibnu Majah dan sanad hadist ini dinyatakan sahih)   

Dari Abu Hurairah radliyallhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).  

3. Disunahkan mandi sebelum jima’
Mandi sebelum jima’ dan  bersikat gigi  bertujuan agar memberikan kesegaran  dan  kenikmatan saat jima’.  Mandi akan  menambah nikmat jima karena badan akan terasa segar  dan bersih  sehingga mengurangi  gangguan saat jima’. Jangan lupa jika setelah selesai jima’  dan masih ingin mengulangi lagi sebaiknya kemaluan dicuci kemudian berwudhu.  

Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)  

4. Sebaiknya sholat sunnah 2 rakaat sebelum jima’
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku memberi nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi pemudi yang masih gadis, karena ia takut isterinya akan membencinya jika ia mendatanginya, yaitu perintahkanlah (diajak)  agar ia melaksanakan sholat 2 rakaat dibelakangmu dan berdoa  : Ya Allah berkahilah aku dan keluargaku dan berkahilah mereka untukku. Ya Allah satukanlah kami sebagaimana telah engkau satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau pisahkan untuk satu kebaikan  (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dngan sanad Sahih  

5. Menggunakan parfum yang disukai suami/ isteri sebelum jima’
Menggunakan parfum oleh perempuan sebelum jima di sunahkan  karena akan lebih lebih meningkatkan gairah  suami isteri sehingga meningkatkan kualitas dalam berhubungan suami isteri. Hal ini didasarkan pada hadist  berikut : Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad, 4/418; shahihul jam’: 105)

“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi janabat” (HR Ahmad2/444, shahihul jam’ :2073.)

Penggunaan parfum oleh wanita diperbolehkan atau disunatkan tergantung dari tujuannya, jika tujuannya untuk merangsang suami dalam jima’ disunahkan tapi jika digunakan untuk merangsang kaum laki-laki akan berdosa.

6. Berpakaian dan berdandan yang disukai suami / isteri sebelum jima’
Seorang isteri sebaiknya berdandan dan memakai pakaian yang disukai suami untuk menyenangkan dan memudahkan suami berjima’. Berpakaian seksi dikamar tidur dimana hanya suami atau isteri yang melihatnya diperbolehkan dalam islam karena dapat meningkatkan kualitas hubungan suami isteri (Hadist menyusul)

7. Berdoa meminta perlindungan Allah sebelum Jima’ :
Berdoa sangat penting sebelum melakukan jima’ terutama adalah doa memohon perlindungan kepada Allah terhadap gangguan setan dalam pelaksanaan jima. Berdoa dimulai dengan mengucapkan:
Bismillah. Allahumma jannabnasyoithona  wa jannabisyaithona  maa rojaktanaa”
Artinya :  Dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarkanlah  kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetanRasulullah saw. bersabda: Apabila salah seorang mereka akan menggauli istrinya, hendaklah ia membaca: “Bismillah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari  setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Sebab jika ditakdirkan hubungan antara mereka berdua tersebut membuahkan anak, maka setan tidak akan membahayakan anak itu selamanya. (Shahih Muslim No.2591).




Sumber

Doa Sebelum Jima'

DOA itu untuk segala sesuatu yang baik. Perbuatan dan baik akan paripurna dengan didahului oleh doa. Begitu juga dengan hubungan suami istri. Utuk meraih keberkahan dalam hubungan intim pada pasutri, di antaranya adalah dengan berdo’a ketika hendak mendatangi istri. Keampuhan do’a ini akan memberikan kebaikan pada keturunan yang dihasilkan, itu di antaranya. Juga tentunya hubungan intim yang sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan semakin menambah kemesraan karena keberkahan yang hadir ketika itu.

 Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


« لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

“Jika salah seorang dari kalian ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).

Kapan Do’a Tersebut Dibaca?
Ash Shon’ani berkata bahwa hadits tersebut adalah dalil bahwa do’a tersebut dibaca sebelum bercumbu yaitu ketika punya keinginan. Karena dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan,

أَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُولُ حِينَ يَأْتِى أَهْلَهُ

“Adapun jika salah seorang dari mereka mengucapkan ketika mendatangi istrinya …” (HR. Bukhari no. 5165). Makna kata “ketika” (حِينَ) dalam riwayat ini bermakna “berkeinginan”. (Subulus Salam, 6: 91).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9: 228) berpendapat bahwa do’a ini dibaca sebelum hubungan intim.
Begitu pula pendapat Syaikh ‘Abdul Qodir Syaibah dalam Fiqhul Islam, 7: 61-64.

Intinya, do’a ini diucapkan sebelum memulai hubungan intim dan bukan di pertengahan atau sesudahnya. Hukum membaca do’a ini adalah sunnah (mustahab) (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 190). Dan jika lihat dari tekstual hadits di atas, do’a ini dibaca oleh suami.

Berkah dari Berdo’a Sebelum Hubungan Intim

Pertama: Mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini sudah merupakan berkah tersendiri. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

”Aku tidaklah biarkan satu pun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang” (HR. Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759).

Kedua: Setan tidak akan turut serta dalam hubungan intim tersebut karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan “bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah berkata,

أَنَّ الَّذِي يُجَامِع وَلَا يُسَمِّي يَلْتَفّ الشَّيْطَان عَلَى إِحْلِيله فَيُجَامِع مَعَهُ

“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya” (Fathul Bari, 9: 229). Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan kala itu.

Ketiga: Kebaikan do’a ini pun akan berpengaruh pada keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim tersebut. Buktinya adalah riwayat mursal namun hasan dari ‘Abdur Razaq di mana disebutkan,

إِذَا أَتَى الرَّجُل أَهْله فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقَتْنَا وَلَا تَجْعَل لِلشَّيْطَانِ نَصِيبًا فِيمَا رَزَقْتنَا ، فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلْت أَنْ يَكُون وَلَدًا صَالِحًا

“Jika seseorang mendatangi istrinya (berhubungan intim), maka ucapkanlah ‘Ya Allah, berkahilah kami dan keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini, janganlah jadikan setan menjadi bagian pada keturunan kami’. Dari do’a ini, jika istrinya hamil, maka anak yang dilahirkan diharapkan adalah anak yang sholeh” (Fathul Bari, 9: 229).

Keempat: Keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini akan selamat dari berbagai gangguan setan. Jika dipahami dari tekstual hadits, yang dimaksud dengan anak tersebut akan selamat dari berbagai bahaya adalah umum, yaitu mencakup bahaya dunia maupun agama. Namun Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa para ulama tidak memahami seperti itu. (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata, “Bisa dipahami dari do’a ini bahwa setan juga tidak akan membahayakan agama anak dari hasil hubungan intim tersebut. Namun bukan berarti anak tersebut ma’shum, artinya selamat dari dosa” (Fathul Bari, 9: 229).

Syaikh Ibnu Baz memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits bahwa anak tersebut akan tetap berada di atas fithroh yaitu Islam. Setan bisa saja menggoda anak tersebut, namun segera ia akan kembali ke jalan yang lurus. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’rof: 201) (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 349).

Kelima: Keberkahan do’a ini berlaku bagi wanita yang akan hamil dengan hubungan intim tersebut, atau yang tidak karena lafazhnya umum. Inilah pendapat Al Qodhi ‘Iyadh (Fathul Bari, 9: 229).

Jadikanlah Kebiasaan
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hendaklah seorang muslim bersemangat mengamalkan do’a ini ketika berhubungan intim hingga menjadi kebiasaan. Hendaklah ia melakukannya dalam rangka mengamalkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan demi menghasilkan keturunan yang terjaga dan terlindungi dari gangguan setan, juga supaya mendapatkan keberkahan dari do’a ini” (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Hajar berkata, “Faedah yang ditunjukkan dalam do’a ini adalah disunnahkannya membaca bismillah dan berdo’a serta merutinkannya hingga pada hal yang nikmat semacam dalam hubungan intim”. (Fathul Bari, 9: 229).

Hadits yang kita ulas kali ini menunjukkan bahwa setan akan mengganggu manusia dalam segala kondisi. Ketika tidur, ketika bangun dari tidur, setan akan terus memberikan was-was. Jika seseorang lalai dari mengingat Allah, maka setan akan mengganggu. Namun jika mengingat Allah, setan akan lari bersembunyi. Oleh karena itu, hendaklah kita membiasakan untuk terus berdzikir, membaca ta’awudz, berdo’a, supaya kita terlindungi dari gangguan setan (Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 7: 349).
Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan dalam segala keadaan kami.
Wallahu waliyyut taufiq.



Sumber

Jejak Khilafah di Indonesia (3)

Secara historis, Lebih dari 10 abad, syari’ah Islam diterapkan di Nusantara. Di awali oleh Kesultanan Peureulak pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M, kemudian berdirilah kesultanan-kesultanan yang menerapkan syariat Islam ke seluruh penjuru Nusantara. Namun sangat disayangkan. Kenyataan sejarah yang penting ini, dalam perkembangannya banyak mengalami distorsi, baik dalam proses pembelajaran formal di sekolah-sekolah maupun di berbagai tulisan sejarah lainnya.


Masjid Agung Demak

Menyadari betapa pentingnya pelurusan terhadap fakta sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya kepada generasi muda, maka Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPC Kota Yogyakarta, menggelar Diskusi Ilmiah bertema ”Jejak Syari’ah dan Khilafah di Indonesia”, dengan pembicara, Ekayarwati,S.Pd (Dosen Sejarah UNY) dan Reni Dwi Astuti,STP,MT (Hizbut Tahrir Indonesia).

Acara tersebut akan diselenggarakan di Aula Diknas Pendidikan Jogjakarta, pada Jum’at 6 April 2007, yang akan dihadiri oleh tidak kurang 100 undangan dari kalangan Guru, baik Sejarah; Sejarah Kebudayaan; maupun Tata Negara, Guru Agama Islam, Ormas Islam, Parpol Islam, dan umum.

Diskusi Ilmiah ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memaparkan secara ilmiah sekaligus meluruskan catatan sejarah tentang perkembangan sejarah Islam dan penerapan syariah Islam di Indonesia kepada masyarakat, khususnya para pendidik.




Sumber

Perang Salib




“Saya tidak tahu, apa yang akan dikatakan kaum Muslim seandainya mereka mengetahui kisah-kisah Abad Pertengahan, dan memahami apa yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian orang Kristen? Sesungguhnya seluruh nyanyian kami hingga yang tampak sebelum abad ke-12 Masehi bersumber dari pikiran yang satu. Pikiran itulah yang menjadi sebab timbulnya Perang Salib. Seluruh nyanyian dibalut dengan kebusukan dendam terhadap kaum Muslim dan membodohkan agama mereka..” (Comte Henri Descartes, ilmuwan Prancis, 1896 M)

Itulah gambaran yang dilekatkan para tokoh agama Nasrani di Eropa pada kaum Muslim, sebagaimana yang pernah mereka lakukan pada agamanya. Pada abad-abad pertengahan, mereka menggambarkannya dengan sifat-sifat yang keji. Sifat-sifat inilah yang mereka gunakan untuk mengobarkan dendam permusuhan terhadap kaum Muslim. Di antara kobaran fitnah yang diciptakan pihak Nasrani adalah Perang Salib.
Permusuhan salib ini terpendam dalam seluruh jiwa bangsa Barat, khususnya Inggris. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang sangat hina inilah yang menciptakan strategi jahannam untuk melenyapkan Islam dan kaum Muslim. Mahabenar Allah yang telah berfirman:

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka adalah lebih besar lagi. (QS Ali Imran [3]: 118).

Prof. Leopold Weiss, berkata:
Kemurkaan (bangsa Eropa, red.) telah tersebar luas seiring dengan kemajuan zaman. Kemudian kebencian berubah menjadi kebiasaan. Kebencian ini akhirnya menumbuhkan perasaan kebangsaan setiap kali disebutkan kata Muslim…Kemudian datang masa perbaikan hubungan keagamaan ketika Eropa terpecah menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok berdiri dengan senjatanya masing-masing dalam menghadapi kelompok yang lain. Akan tetapi, permusuhan terhadap Islam telah merata ke seluruh kelompok. Setelah itu datang masa yang menjadikan perasaan (sentimen) keagamaan mereda, tetapi permusuhan terhadap Islam masih terus berlanjut. Di antara bukti nyata dari tesis ini adalah pikiran yang dilontarkan oleh seorang filosof sekaligus penyair Prancis abad ke-18, Voltaire. Dia adalah orang Kristen yang paling sengit memusuhi ajaran Kristiani dan gereja. Namun, pada waktu yang sama, dia jauh lebih membenci Islam dan Rasul Islam. Setelah beberapa perjanjian, datang zaman yang menjadikan para ilmuwan Barat mempelajari tsaqâfah-tsaqâfahasing dan menghadapinya dengan penuh simpati. Akan tetapi, dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam, stereotif dan kebiasaan (taklid) menghina menyusup ke dalam problem samar kelompok yang tidak rasional untuk diarahkan pada bahasan-bahasan ilmiah mereka. Jurang yang digali oleh sejarah antara Eropa dan Dunia Islam, di atasnya dibiarkan tanpa dipautkan dengan jembatan, kemudian penghinaan terhadap Islam telah menjadi bagian yang mendasar dalam pemikiran orang-orang Eropa.

Akhirnya, seluruh Eropa disatukan dalam gaung Perang Salib. Pertama-tama dituangkan melalui jalur pemikiran, dengan cara meracuni akal dengan sesuatu yang melecehkan hukum-hukum Islam yang agung; juga dengan memasukkan racun keterasingan yang mencekoki akal putra-putra kaum Muslim dengan pernyataan-pernyataan Barat tentang Islam dan sejarah kaum Muslim, dengan mengatasnamakan kajian ilmiah dan kesucian ilmu. Ini adalah racun tsaqâfahyang menjadi senjata Perang Salib yang paling berbahaya. Seperti halnya para misionaris yang bekerja dengan racun ini, dengan mengatasnamakan ilmu dan kemanusiaan, maka para orientalis juga bekerja dengan mengatasnamakan kajian ketimuran.

Prof. Leopold Weiss berkata:
Pada kenyataannya, kaum orientalis pada awal-awal masa modern adalah kaum misionaris yang bekerja untuk mengkristenkan negeri-negeri Islam…Semangat keagamaan yang membawa kaum orientalis memusuhi Islam telah menjadi watak yang diwariskan, khususnya tabiat yang berpijak pada pengaruh-pengaruh yang diciptakan oleh Perang Salib.

Permusuhan yang diwariskan selalu menyalakan api dendam dalam jiwa orang-orang Barat terhadap kaum Muslim. Barat menggambarkan bahwa Islam adalah hantu kemanusiaan atau pendurhaka yang menakutkan, yang akan melenyapkan kemajuan kemanusiaan. Dengan gambaran itu, mereka berusaha menutupi ketakutan mereka yang sebenarnya. Permusuhan yang diwariskan itu memperkuat setiap gerakan yang menentang Islam dan kaum Muslim. Anda pasti menemukan bahwa Barat selalu mengkaji paham Majusi, Hindu, dan Komunisme; dan anda tidak menemukan dalam pembahasannya yang mengandung unsur fanatis atau kebencian. Akan tetapi, pada waktu dan kasus yang sama, ketika Barat membahas Islam, tentu Anda akan menemukan tanda-tanda kemurkaan, dendam, marah, dan kebencian di dalam pembahasannya. Dalam kondisi demikian, kaum Muslim diserang Barat dengan serangan yang sangat keji. Kafir penjajah mengalahkan mereka. Akan tetapi, para pendeta Barat—di belakang mereka adalah penjajah—selalu menampakkan aktivitas kontraproduktif yang menentang Islam. Mereka tidak mengendurkan tikaman terhadap Islam dan kaum Muslim. Mereka selalu mencaci-maki Muhammad dan para sahabatnya serta melekatkan aib pada sejarah Islam dan kaum Muslim. Semua itu merupakan siksaan dari mereka terhadap kaum Muslim dan untuk mengokohkan laju penjajahan dan kaum penjajah.




 Sumber

Jaminan Kesehatan di Masa Khilafah ‘Abbasiyah

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat, merupakan salah seorang pakar sains yang hidup antara tahun 251-313 H/865-925 M. Dia hidup pada zaman Khilafah Abbasiyah, bertepatan pada era delapan Khalifah. Mulai dari Khalifah al-Muntashir (861-862 M) hingga Khalifah al-Muqtadir (902-932 M).


Sebagai ilmuan sekaligus dokter, ar-Razi memberikan panduan kepada murid-muridnya, bahwa tujuan utama para dokter adalah menyembuhkan orang sakit lebih besar ketimbang niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya.  Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara. Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya (‘Abdul Mun’im Shafi, Ta’lim at-Thibb ‘Inda al-Arab, hal. 279).

Perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.

Wazir Ali bin Isa al-Jarrah, yang menjadi wazir di masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M) dan al-Qahir (932-934 M), dan dikenal sebagai wazir yang adil dan ahli hadits yang jujur, juga penulis yang produktif, pernah mengirim surat kepada kepala dokter di Baghdad, “Aku berpikir tentang orang-orang yang berada dalam tahanan. Jumlah mereka banyak, dan tempatnya pun tidak layak. Mereka bisa diserang penyakit. Maka, kamu harus menyediakan dokter-dokter yang akan memeriksa mereka setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit.” (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’, hal. 148)

Wazir Ali sendiri dikenal kaya raya. Pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Tetapi, dari 700.000 Dinar itu, ia infakkan untuk kemaslahatan umat sebesar 680.000 dinar. Termasuk untuk wakaf dan lain-lain.

Para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu, bukan hanya mengandalkan anggara negara. Karena mereka juga ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Di masa itu, dikenal istilah Waqf Khida’ al-Maridh(wakaf mengubah persepsi pasien). Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir.

Dari wakaf ini juga gaji karyawan rumah sakit ini dibayar. Bahkan, ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.

Di antara motivasi para penguasa kaum Muslim kepada pasien yang terkenal adalah ungkapan Wazir Ali al-Jarrah,“Mushibatun qad wajaba ajruha khairun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah ditetapkan lebih baik ketimbang nikmat yang syukurnya tidak ditunaikan).”




Sumber

Administratif Khalifah Mu’awiyah bin Abi Shafyan

Sejak Khalifah ‘Umar bin Khatthab memperkenalkan kebijakan tentang Diwan, yaitu tata administrasi dan pencatatan, maka Khalifah Mu’awiyah telah melakukan pengembangan dan penyesuaian yang diperlukan. Untuk melaksanakan tugas ini, Mu’awiyah telah memanfaatkan jasa sejumlah orang Kristen, yang sebelumnya bekerja pada pemerintahan Bizantium, seperti Sarjun bin Manshur dan anaknya, Manshur bin Sarjun, untuk mengurus Diwan al-Mal (Hallaq, Dirasah fi Tarikh al-Hadharah al-Islamiyyah, hal. 34).

masjid biru turki di lihat malam hari

Mu’awiyah pun memulai dengan dua bidang, yaitu Diwan al-Khatim (Stempel) dan Diwan al-Barid (Pos). Sebelumnya, kaum Muslim sudah mengenal Diwan al-Jundi (Tentara), Diwan al-Kharaj (Kharaj) dan Diwan Rasail (Surat). Mu’awiyah sengaja membentuk Diwan Khatim ini agar tidak ada satu pun surat keluar, yang tanpa stempel, sehingga isinya pun hanya diketahui oleh Khalifah, serta tidak bisa dipalsukan dan diubah-ubah. Mengingat, sebelumnya ada kasus dimana surat Khalifah dipalsukan di belakang sang Khalifah. Selain itu, Diwan Khatim ini juga menerima laporan yang dikirimkan oleh para wali (pimpinan daerah) kepada Khalifah (at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, juz VI, hal. 184).

Sementara Diwan al-Barid dibentuk oleh Mu’awiyah ketika wilayah Khilafah sudah sedemikian luas, dan mulai dirasakan perlunya pengiriman surat-surat dengan cepat agar hubungan antara Khalifah dengan para walinya di daerah-daerah bisa berjalan dengan cepat. Diwan ini mempunyai dua fungsi: Pertama, mengirimkan surat dari dan kepada Negara Khilafah. Kedua, Para pegawai Diwan al-Barid ini juga bisa menjadi mata bagi Khalifah untuk mengawasi para wali dalam menjalankan tugas dan langkah mereka. Para pegawai Diwan ini bisa menyampaikan perihal aktivitas dan langkah para wali kepada Khalifah, sehingga Khalifah mengetahui kondisi wilayahnya dan peristiwa yang tengah terjadi di sana.

Mu’awiyah telah mengeluarkan dana besar untuk mengembangkan Diwan ini, dan mengaktifkannya, dengan menyediakan sejumlah pegawai dan pos-pos yang dilengkapi berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mengirimkan berita. Diwan ini kemudian menjelma menjadi sarana penting dalam pengelolaan urusan negara. Namun, tetap harus dicatat di sini, bahwa Diwan ini hanya melakukan aktivitas resmi dan mengirimkan laporan-laporan resmi dari negara, bukan yang lain.

Semua kebijakan Mu’awiyah ini akhirnya memperkuat pemerintahan Negara Khilafah, sehingga pada zaman Khilafah ‘Amawiyyah inilah, dikenal dengan Era Penaklukan besar-besaran. Semuanya ini tidak lepas dari jasa Khalifah Mu’awiyah bin Abi Shafyan.


Sumber

Pencegahan Penyakit di Masa Khilafah

Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal.  Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun.  Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.


Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah.  Baru 40 persennya untuk terapi.  Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.

Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan.  Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati.  Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy.  Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit.  Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal.  Kadang ditambah bekam dan ruqyah.  Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun.  Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.

Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”.  Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.

Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi.  Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.

Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19.  Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella).  Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah!  Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya.  Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.

Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam.  Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan.  Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi.  Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata!  Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.

Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.  Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”.  Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker!  Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno.  Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.

Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh.  Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran.  Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran.  Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.  Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah.  Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.
Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.




Sumber

Khilafah dan Kebijakan Kesehatan

Oleh:
KH. dr. Muhammad Utsman dan Yahya Abdurrahman
 
Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal.  Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan.

Hal itu sudah dijalankan sejak masa Rasul saw. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa.  Nabi saw. Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana.  Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.

Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan.  Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal.  Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman.  Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.  Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.  Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, di dunia, rumah sakit yang sebenarnya baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam dan dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’ atau ‘Maristan’.  Rumah sakit, meski baru tahap awal dan belum bisa benar-benar disebut RS, pertama kali dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era Khalifah Harun ar-Rasyid (786 M – 809 M). Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu dan pemilihan tempatnya merupakan ide brilian dari ar-Razi, dokter Muslim terkemuka. Djubair, seorang sejarahwan yang pernah mengunjungi Baghdad tahun 1184 M, melukiskan bahwa rumah sakit-rumah sakit itu memiliki bangunan megah dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Menurut M. Husain Abdullah, pada masa Khilafah Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Pada masa itu pula, untuk pertama kalinya, ada rumah sakit berjalan (semacam ambulans). (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri al-Islami, hlm. 88).

Menurut Dr. Hossam Arafa dalam tulisannya, Hospital in Islamic History, pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.  Rumah sakit-rumah sakit itu untuk pertama kalinya di dunia mulai menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia.

Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker.  Di sekitar RS didirikan sekolah kedokteran.  RS yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah.

Pada masa Khilafah Abbasiyah itu pula untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmî, hlm. 89).

Paradigma Islam Tentang Kesehatan

Rasulullah saw. bersabda:
 مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).


Dalam hadis ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi saw. bersabda:

اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).

Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan.  Nabi bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Malik).

Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.

Kebijakan Kesehatan

Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).

Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.

Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri.  Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan.  Dr. Ahmed Shawky al-Fangary1 menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah.   Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Syariah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual.

Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Tentu hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya.

Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif.  Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb.  Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ

Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).


اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh(HR Abu Dawud).


Rasul saw. juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).

Jabir berkata, “Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath).

Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri.

Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri.  Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya.  Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.

Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten.  Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan.  Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya.  Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.

Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.

Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
 
Catatan Kaki:
1    Dr. Ahmed Shawky al-Fangary, The Impact of Islam and Its Teachings on Preservation of Individual and Public Health, http://www.crescentlife.com/wellness/impact_of_islam_on_health.htm





Sumber

Jejak Khilafah Di Indonesia (2)


 Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang rame dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7 . Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.

Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.

 
Penerapan Syariat Islam

Islam terus mengokoh menjadi kekuatan/institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam namun belum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan kerajaan Bacan. Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas , Pontianak , Banjar , Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh kesultanan Mataram. Sementara Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima.

Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini nampak dalam bidang peradilan dengan diterapkannya hukum Islam sebagai hukum negara yg menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Sementara kerajaan Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat, Budha atau Hindu. Demikian pula di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680 M di bawah sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kyai Ali atau ki Ali yang kemudian disebut dengan kali (Qadhi yang dijawakan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhi pada permulaan dijabat oleh seorang ulama dari Mekah, tetapi belakangan setelah tahun 1651 qadhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik misalnya penentuan pengganti maulana Yusuf.

Demikian pula, Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan isteri seorang perwira. Sultan berkata: ‘mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari”. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.

Kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam I di Jawa sudah ada jabatan qodi di kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud juga mengakui adanya jabatan tersebut dengan sunan kalijaga sebagai pejabatnya. Di kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (hindu) menjadi peradilan surambi karena peradilan ini bertempat di serambi masjid agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini dihukumi menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa sultan Agung itu mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam dalam sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qadi atau hakim, sebagai imam masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.

Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Menurut Alfian deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya. Selain itu di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Secara umum di wilayah-wilayah Kesultanan Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (arab: qirad, mudharabah, mugharadhah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum perekonomian Islam. Ini menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi Islam pada masa kesultanan-kesultanan di Nusantara.

Dalam bidang hubungan luar negeri, TW Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu dari Malikus Saleh menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah atau pajak kepada kerajaan.

Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan akikah dan bersedekah kepada fakir miskin, mengkhitankan anaknya dan melakukan tata cara penguburan mayat mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum perkawinan berdasarkan fikih mazhab syafi’i. Kitab ini telah dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah kerajaan.

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang diantarannya ihyaul mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan raja (negara) dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.

Hubungan dengan Khilafah

Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalah saat Islam masuk ke Indonesia diantara para pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh khalifah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani) ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan nama walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.

Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa. Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu Putri Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan, Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka. Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung. Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjaata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.

Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah. Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada dibawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari syarif mekah.

Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922). Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567 Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatra, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki. Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Pada masa itu, yang disebut-sebut sultan Turki tidak lain adalah Khalifah pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu Snouck Hurgrounye sebagaimana yang dkutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol [Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah] masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.

Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah. Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.

Redupnya Penerapan Islam

Berkembangnya dan diterapkannya syariat Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia menyebabkan pemerintah Belanda berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Upaya-upaya sistematis segera disusun untuk merealisir rencana tersebut. Salah satu langkah penting yang dilakukannya adalah infiltrasi pemikiran dan politik melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik. Selain itu juga Snouck Hurgronye, dalam ceramahnya di depan Civitas akademika NIBA (Nederlands Indische Bestuurs Academie), Delft tahun 1911 memberikan penjelasan tentang politik Islam, yaitu:

(1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral,
(2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan
(3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Doktrin ketiga ini yang akhirnya mengilhami pemerintah Belanda memberangus setiap kelompok atau gerakan Islam yang berbasis pada politik.

Dari pandangan Snouck tersebut selanjutnya diformulasikan strategi yang dipakai untuk melemahkan dan menghancurkan Islam yang meliputi 3 kategori:

Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan tahun 1799, dan diambilalih langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka keluarlah Ordonansi yang mencabut penerapan Islam di Banten, dan bahkan kemudian menghapuskan kekuasaan Kesultanan Banten. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.

Kedua, melalui kerjasama antara raja/sultan dengan penjajah Belanda. Pelaksanaan syariat Islam tergantung pada sikap sultannya. Di kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga: Soft power, yakni dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasehat pemerintah dalam masalah pribumi). Secara kasat mata nampak memperhatikan umat, tapi banyak mengeluarkan ordonansi (UU) yang seakan-akan Islami padahal mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye. Kantor ini selanjutnya mengeluarkan Ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam dan perkembangannya. Sebagai contoh adalah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882 yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri masalah agama (sekulerisasi). Ordonansi Perkawinan tahun 1905 yang memberikan kesempatan seseorang kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang beristri satu dengan menutup pintu poligami, sedang perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui peradilan. Ordonansi Pendidikan yang bertujuan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Islam dianggap tidak pernah ada usaha ke arah kemajuan, melainkan justeru menuju kebekuan. Peraturan Islam dianggap merupakan rintangan paling besar. Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh ijin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923 merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.

Demikianlah secara langsung maupun tidak, syariat Islam mulai diganti. Dalam bidang Politik, pemerintahan dan kriminal pemerintah Belanda langsung mengganti Syariat Islam dengan memberlakukan hukum Hindia Belanda. Sedangkan hal-hal yang bersifat privasi menggunakan ordonansi yang fungsinya melemahkan syariat Islam, mulai pernikahan hingga pendidikan.

Perhatian Ulama dan Politikus Islam Terhadap Khilafah

Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat dan persatuan Islam tak pudar. Tatkala Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal, dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya-upaya mengembalikan kembali Khilafah pun diupayakan. Tak ketinggalan juga ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah dalam menghadapi perjuangan, para ulama Indonesia pada tahun 1922 mengadakan konggres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924 di Garut. Berikutnya, pada tahun 1926 di adakan Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor sebagai respon atas undangan Konggres Islam Sedunia yg diselenggarakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924, Syarif Husein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang sayyid di tambah 19 orang perwakilan daerah/negara lainnya. Dua orang perwakilannya berasal dari Jawi (Indonesia). Pada tanggal 13-19 Mei 1926 diadakan Konggres Dunia Islam di kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Bulan depannya, 1 Juni 1926 diselenggarakan Konggres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukkan mereka ditetapkan dalam Konggres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Konggres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal rondo dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sesampainya di Tanjung Priuk banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan. Tahun 1927 berlangsung Konggres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam konggres tersebut. Sehingga konggres tersebut gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian besar terhadap khilafah. Bukan hanya ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan khilafah ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.

Perjuangan Tak Pernah Padam

Perjuangan terus berlanjut. Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi Utomo yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sementara Taman Siswa didirikan Ki Hajar Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan.

Perjuangan terus berlanjut hingga menjelang kemerdekaan. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki negara Islam dengan kalangan sekuler yang menolak penyatuan agama dengan negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar kepada, ”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun demikian, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, menegaskan beliau tidak menyetujui rumusan tersebut. Kata-kata ’bagi pemeluk-pemeluknya’ harus dihapus. Cukup, ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’. Tetapi, rumusannya tetap seperti itu. Jadi, perjuangan Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam saja. Diantara tokoh Islam yang menandatanganinya adalah Abikoesno Tjokrosujoso (Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim (Nahdhatul Ulama). Diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya 1 hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kejadian yang menyolok mata ini, dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang diliputi kabut rahasia. Pada 3 Januari 1946M Urusan Islam hanya diurusi oleh satu kementrian. Didirikanlah Kementrian Agama sebagai konsesi kepada kaum Muslim. Berikutnya, 27 Januari 1953M Presiden Soekarno berpidato di Amuntai bahwa bila negara yang didirikan berdasarkan Islam maka banyak daerah berpenduduk nonMuslim akan lepas. Pidato ini mendapatkan respons keras dari para tokoh dan organisasi Islam. Diantaranya, NU, Front Mubaligh Islam, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Persatuan Islam. PB NU yang diketuai KHA Wahid Hasyim menulis: “… Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam adalah merupakan perbuatan munkar yang tidak dibenarkan syariat Islam dan wajib tiap-tiap orang Muslimin menyatakan inkar atau tidak menyetujuinya …”. Tanggal 5 Juli 1959M keluarlah Dekrit Presiden tentang kembali kepada UUD 1945. Didalamnya ditetapkan juga, ‘…. Bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut …’.

Syariat Islam terus disingkirkan. Berikutnya, perjuangan Islam makin berat. Masyumi dibubarkan. Pada jaman orde baru Islam dimarjinalkan. Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam dituduh subversif dan dipandang musuh negara.

Sekalipun diintimidasi, perjuangan Islam terus bertahan. Pesantren merupakan benteng pertahanan terkuat. Berikutnya era 1980-an mulailah Islam menggeliat di kampus dan kota besar seiring dengan tahun 1401H sebagai abad kebangkitan Islam. Islam semakin semarak. Sejak momentum reformasi, sekalipun sekulerisme kapitalisme makin dihunjamkan, suara Islam makin nyaring. Seruan menerapkan syariat Islam bergema di berbagai daerah. Muncullah perda-perda yang bernuansa Syariat Islam. Seruan penyatuan umat kedalam khilafah pun semakin terdengar.

Penutup

Syariat Islam pernah diterapkan di Indonesia sejak masuknya Islam pada abad ke-7. Sejak muncul kesultanan Islam abad ke-9, Islam diterapkan melalui institusi politik. Sekalipun Islam terus diporakporandakan, khususnya di bidang politik, ruh Islam tetap bergolak hingga masa kemerdekaan tahun 1945. Mereka ingin Islam diterapkan oleh negara. Namun, akhirnya terpaksa harus berkompromi dengan munculnya Piagam Jakarta yang mewajibkan pemeluk-pemeluk Islam menjalankan syariat Islam. Lagi-lagi umat Islam dikhianati, pada tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata ”Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Setelah itu, sekulerisme-kapitalisme makin mencengkeram.

Jelas, sejarah mencatat Islam dan umatnya di Indonesia tidak terpisah dari umat Islam lainnya. Bahkan, perhatian para ulama dan tokohnya dahulu terhadap persatuan Islam dalam khilafah begitu besar. Karenanya, upaya penolakan terhadap syariat Islam dan khilafah merupakan sikap dan tindakan ahistoris.

Catatan Kaki:
1. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma’arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat.
2. Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6.
3. Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama, 2005, cet. II, Prenada Media, hal. 27-29
4. Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. xxxvi
5. Sejarah Emas Muslim Indonesia, Sabili, No.9 Th XI, hal. 18.
6. Machrus Effendi, Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh Muhammad Basyiuni Imam Sambas, PT. Dian Kemilau, Jakarta. 1995
7. Hasanuddin, dkk., Pontianak 1771 – 1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. 2000
8. Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Skretariat Madrasah “Sullamul ‘Ulum” Dalam Pagar Martapura, 1996. 259 hal.
9. Syahzaman Hasanuddin, Sintang Dalam Lintasan Sejarah, Romeo Grafika Pontianak.
10. Tentang beberapa kesultanan Islam di Nusantara dapat lihat : Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunisa Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002.
11. Musyrifah Sunanto, sejarah peradaban Islam Indonesia, hal. 133-134, Rajawali press, 2005. Pendapat A.C Milner ini merupakan opini sejarah, penggunaan kata kerajaan juga keliru, karena setelah beralih ke Islam, kerajaan hindu budha dikonversi menjadi Kesultanan.
12. Ibid, hal. 135, 142. Hukum seperti ini merupakan hukum Islam tentang pencurian, yakni siapa saja yang mencuri ¼ dinar (1 dinar kira-kira setara dengan 4,125 gram emas) atau lebih maka pelakunya dihukum potong tangan hingga pergelangan. Namun, bila melakukan pembegalan maka hukumannya dengan hukuman silang, yakni dipotong tangan kanan dan kaki kiri.
13. Ibid. hal 154.
14. Ibid. hal. 154-155
15. Musytrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, hal. 138, Rajawali Press, 2005. Hukuman rajam merupakan hukum Islam bagi pezina yang sudah/pernah menikah. Sementara pezina yang belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali. Hukum seperti ini tidak dikenal sebelumnya. Ini menegaskan bahwa hukuman tersebut merupakan hukuman yang digali dari syariat Islam.
16. Ibid. hal. 153, 157, 158
17. Ibid. hal. 140.
18. A. Hadi Arifin, Malikus Saleh Mutiara dari Pasai, hal. 97
19. Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 275.
20. Ibid, hal. 283
21. A. Hadi Arifin, op. cit.,. hal 124. Dalam hukum Islam sebenarnya amat berbeda antara jizyah dengan ‘pajak’ (dharibah). Jizyah merupakan harta yang dikeluarkan oleh kaum kafir dzimmi (nonMuslim yang menjadi warga negara Islam). Sementara, dharibah merupakan harta yang hanya ditarik pada saat kas negara kosong, itu pun hanya diminta dari warga negara yang kaya saja.
22. Ibid hal 118.
23. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, Sejarah Banjar, 2004. Hal. 147
24. Ibid. Hal. 148.
25. Hukum ihya`u mawat merupakan hukum Islam yang termaktub dalam hadits Nabi. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak menjadi pemiliknya. Hukum ini jelas-jelas merupakan penerapan syariat Islam, sebab hukum ihya`u mawat tidak dikenal apalagi diterapkan sebelumnya.
26. Ketika itu nama Indonesia belum digunakan. Nama yang dikenal adalah Nusantara.
27. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung Surabaya, hal. 6
28. Sebelum menjadi Islam, pemimpin institusi pemerintahan disebut raja dan pemerintahannya disebut kerajaan. Namun, setelah menjadi Islam namanya disebut kesultanan Islam yang dipimpin oleh seorang sultan. Jadi, ketika Lewis dan penulis lain yang menyebut istilah raja dan kerajaan pada kekuasaan Islam harus dibaca sebagai sultan dan kesultanan. Sebab, kerajaan menerapkan hukum yang berasal dari titah raja. Sedangkan dalam Islam, hukum berasal dari Allah SWT.
29. Bernard Lewis, Apa Yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam (Terj.), 2004, PT. Ina Publikatama, Jakarta, hal. 16-17.
30. Ensiklopedia Tematik Dunia Islam Asia Tenggara, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 54
31. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Struktur Politik dan Ulama: Kesultanan Banten, , PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 98.
32. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung Surabaya. hal. 143
33. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Kesultnan, hal. 52-53, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2002.
34. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, cet ke-2, 1986, hal.
96
35. Ibid. Dalam Footnote hal 203.
36. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan keenam, LP3ES, 1991, hal. 34. Deliar Noer dalam footnotenya menyatakan bahwa dalam perang dunia I, khalifah di Turki menyatakan perang jihad kepada musuh-musuhnya dan berseru kepada semua orang islam termasuk ornag islam di Indonesia untuk memerangi musuh-musuhnya itu.
37. H. Aqib Suminto, op. cit., hal. 11.
38. Ibid. hal. 13. Pan Islam yang dimaksud sebenarnya adalah Khilafah, meski sesungguhnya Pan Islam tidak dapat disamakan dengan Khilafah
39. Ibid. Hal 29 – 62
40. Ibid. Hal. 32
41. Ibid. Hal. 32; Lihat juga Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, cetakan ke empat, 1998. hal 227
42. Ibid. Hal. 86 – 89. Kilasan cerita tentang kongres ini dapat juga disinggung juga oleh Deliar Noor, opcit., hal. 242 – 243.
43. Deliar Noer, opcit., hal. 242.
44. H. Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, PUSTAKA Perpustakaan Salman ITB, 1983, hal. 4 – 6; Lihat juga, Ahmad Mansur Suryanegara.
45. Ibid, hal. 34. Pendapat tegas pemimpin Muhammadiyah ini menunjukkan bahwa tokoh pendahulu organisasi tersebut merupakan pejuang tegaknya Syariat Islam.
46. Kenyataan ini menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para ulama adalah salah satu pendukung pemerintahan Islam dan pejuang syariat Islam. Cukup mengherankan bila ada yang membawa-bawa nama NU tetapi keras menentang syariat Islam. Betapa tidak, para tokoh NU dahulu berada di garda terdepan dalam menegakkan syariat dan pemerintahan Islam.
47. H. Endang Saefuddin Anshari, op.cit., hal. 25 – 69.





Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.