Minggu, 26 Januari 2014

Sultan Iskandar Muda melawan portugis

Perjuangan Sultan Iskandar Muda melawan portugis - Pada saat malaka jatuh ke tangan portugis,kerajaan aceh mulai masa perkembangannya.Pedagang-pedagang aceh berhasil menjalin kerjasama dengan pedagang-pedagang dari gujarat,india.
Oleh karena itu penguasaan malaka oleh portugis menimbulkan kekhawatiran kerajaan Aceh.Memang portugis ingin menguasai perdagangan di selat malaka dengan cara menghancurkan aceh.berkali-kali portugis membajak kapal aceh,tetapi mengalami kegagalan.
Untuk menghadapi tindakan portugis,maka aceh berusaha melakukan langkah-langkah :
a. Melengkapi kapal-kapal dagangnya dengan senjata dan prajurit
b. Meminta bantuan dari negara-negara lain,misalnya Turki dan India
Pada masa diperintah oelh Sultan Iskandar Muda,aceh melakukan serangan ke malaka,tetapi mengalami kegagalan.Hal ini dikarenakan blokade portugis,sehingga bantuan dari turki tidak dapat masuk.
 
Sumber

Kedatangan bangsa portugis dan spanyol ke indonesia

Setelah mengetahui jalur perdagangan ke asia,maka bangsa portugis makin giat melakukan pelayarannya.Pada tahun 1509,Alfonso d'Albuquerque diangkat menjadi gubernur untuk daerah portugis di seberang lautan.Tujuannya untuk membangun suatu negeri jajahan yang akan dipertahankan dengan kekuatan angkatan laut.
Pada tahun 1512,rombongan bangsa portugis dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque sampai di maluku dan diterima secara baik oleh raja ternate.Hal ini karena pada awalnya,portugis berniat untuk berdagang dan secara kebetulan pada saat itu ternate sedang bermusuhan dengan tidore.Harapannya portugis mau membantu ternate.Hubungan kedua negara yang baik ini menumbuhkan keinginan raja ternate untuk membangun benteng guna meliindungi serangan musuh.Oleh karena itu,raja ternate memberikan kesempatan kepada portugis untuk mewujudkan cita-cita itu.Sebagai imbalannya,portugis diberi kesempatan untuk memonopoli perdagangan cengkih di ternate.
Sementara itu,spanyol yang melakukan pelayaran lewat jalur barat pada tahun 1521 juga telah tiba di tidore.Kedatangan spanyol menimbulkan permusuhan dengan bangsa portugis di maluku.Untuk menyelesaikan persengketaan tersebut,maka pada tahun 1529 diadakan perjanjian saragosa yang menentukan bahwa portugis diberi hak berkuasa di maluku sedangkan kekuasaan spanyol dipusatkan di Filipina.
Setelah merasa bebas dari ancaman spanyol,maka bangsa portugis makin bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat maluku.Seperti monopoli rempah-rempah,bersikap angkuh dan sombong dan memaksakan agama..Tindakan ini menimbulkan rasa ketidaksenangan rakyat ternate.Oleh karena itu dibawah pimpinan sultan baabullah,rakyat ternate mengadakan perlawanan pada portugis,kerja sama rakyat dengan kerajaan akhirnya berhasil mengusir portugis dari ternate pada tahun 1574.
Kekuasaan portugis di ternate mempunyai pengaruh terhadap budaya maluku,antara lain :
  1. Tersebarnya agama katholik yang disebarkan Alfonso d'Albuquerque dan Fransiscus xaverius,bahkan ada perkawinan antara orang maluku dengan portugis yang terkenal dengan kaum mestise
  2. Penggunaan nama-nama yang bergaya portugis
  3. Munculnya seni keroncong dengan komponen peralatannya,misalnya ukulele,gitar dan biola
 
 

Pahlawan Aceh 2

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda
(Aceh, 1593 atau 1590 – 27 Desember 1636)


Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Sultan Mahkota Alam Aladdin Syahjohan ( Al Qahhar ) yang disebut juga dengan Sultan Iskandar Muda memiliki banyak gelar, diantaranya Darmawangsa, Perkasa Alam, Tun Pangkat dan setelah semakin berkembangnya wilayah kerajaan Aceh maka beliau pun bergelar Mahkota Alam.
Keluarga dan masa kecil
Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]
Pernikahan 

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Masa kekuasaan 

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun disisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Kontrol di dalam negeri 

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.
Hubungan dengan bangsa asing 
1. Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I.

Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

2. Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

3. Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

4. Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.




Sumber

Pahlawan Aceh 1

Teuku Cik Di Tiro (1836-1891)

Muhammad Saman, yang kemudian lebih di kenal dengan nama Teuku Cik Di Tiro, adalah seorang pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Jrueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Pidie Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada disana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini didudki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah di bubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Sumber

Cut Nyak Meutia (1870-1910)

Pameo yang mengatakan wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya.

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.

Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.

Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.

Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai.

Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri.

Kematian Pang Nangru membuat beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Sumber

Teuku Umar

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia.


1. Riwayat Hidup

Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.

Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu.

Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.

2. Pemikiran

Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap.

Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

3. Karya

Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.

4. Penghargaan

Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Sumber

Tjoet Nyak Dhien (1848-1908)
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dhien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DHIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dihen memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dhien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dhien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dhien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dhien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dhien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dhien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dhien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dhien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dhien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dhien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dhien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Tjoet Njak Dhien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dhien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dhien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dhien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dhien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.

Tjoet Njak Dhien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Tjoet Njak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.


Sumber
(Bersambung)

Galeri Kesultan Aceh Darussalam





Prasasti peninggalan Kesultanan Aceh yang ditengarai sebagai singgasana sultan Aceh
Letak ibukota kesultanan Aceh, Kutaraja, yang kemudian dikenal dengan nama Bandar Aceh Darussalam
Penggambaran kekuatan militer Kesultanan Aceh Darussalam
Jalur perdagangan Aceh pada abad ke-17
Ekspedisi militer Sultan Iskandar Muda
Beberapa peninggalan sejarah kesultanan Aceh Darussalam yang masih tersisa
Wilayah Kesulatanan Aceh Darussalam pada sekitar abad ke-14 dan 15
 Mata uang kesultanan Aceh Darussalam



Sumber

Perang Aceh (1896-1901)

Perang Aceh (1896-1901) adalah masa operasi militer ofensif di bawah pimpinan JW. Stemfoort, Jan Jacob Karel de Moulin, Jacobus Augustinus Vetter dan Joannes Benedictus van Heutsz.

Latar belakang

Jend. J.A. Vetter dikirim ke Aceh bersama-sama dengan kolonel infanteri J.W. Stemfoort dan mayor staf jenderal Breijer. Mereka bertolak pada tanggal 2 April bersama Batalyon IX dan tiba 5 hari kemudian di Ulee Lheue, 2 hari kemudian tibalah Batalyon VI dan seorang pendaki gunung. Pemerintah melihat keadaan sekarang berbahaya dan tidak ragu bertindak. Alasan sesungguhnya di balik penolakan Teuku Umar masih gelap. Tuduhan terhadap kontrolir KW. Gisolf dan jaksa agung Mohammad Arif atas penyebab dugaan tindakan penghinaan atas dirinya dan lain-lain yang diajukannya kepada gubernur tidak berdasar dan dicabut dalam surat kedua. Dalam surat terakhir tanggal 12 April, Umar mengetahui pandangannya berubah menjadi kekecewaan karena tiadanya penghargaan kerajaan yang dianugerahkan untuk jasanya. Saat masih diberikan 150.000 gulden per bulan, ia masih berkomitmen menjaga suasana di Aceh. Tawaran yang sama diulanginya dalam surat yang diperuntukkan kepada komisaris pemerintah, yang pada tanggal 25 April menyelesaikan klaim tersebut hingga "ekstradisi senjata yang dipasok sesegera mungkin, penghancuran pertahanan yang berada di VI Mukim, pembandunan parit dan lubang, serta penyerahan kepada pemerintahan yang diperbaharui."

 Kelompok perwira Batalyon IX.

Kembali ke garis konsentrasi 1886

Namun, Teuku Umar menunggu dan melakukan pendekatan, memperkuat diri di VI Mukim dekat batas daerah terbuka di depan garis Belanda dan lebih ke belakang hingga Lampisang, di mana ia memiliki 2.000 pejuang terlatih. Di seberang pertahanan itu, pasukan Belanda memiliki barisan yang kuat yang dibentuk selama penghapusan garis terdalam batalyon medan yang sepenuhnya kosong. Di saat yang sama, Jend. Christoffel Deykerhoff mengendalikan pemerintahan sipil dan militer di Aceh dan Jajahannya melalui telegraf; pemerintahan sipil diserahkan kepada residen KFH. van Langen. Komandan militer yang baru, Kol. Stemfoort, pada tanggal 10 April pergi ke Lamkunyit dan Bilul bersama dengan 1 batalyon infanteri dan detasemen serta persenjataan lainnya.
Dalam perjalanan pergi dan kembali, barisan tersebut mendapatkan serangan. Karena tujuan utamanya untuk menghukum Teuku Umar dan berhubungan dengan pos-pos di dalam, komisaris pemerintah harus mengeluarkan surat keputusan, pos-pos di garis terdalam tidak hanya dihancurkan namun juga dirusak, kecuali di Cot Goe, yang memang menguntungkan untuk tempat beradanya garis konsentrasi. Di hari ke-14, kerja besar yang banyak menemui kesulitan dan memerlukan kekuatan besar itu selesai; hanya untuk menghancurkan Aneuk Galong, Lambarih, Senelop dan Lam Sut yang dilakukan oleh Batalyon VI, IX, XII, dan XIV, 2 baris artileri gunung dan pasukan pembantu yang mengorbankan 5 perwira dan 50 orang lainnya sampai terbunuh dan sekitar 200 orang terluka. Pos sementara dihancurkan, dan kemudian pasukan kembali ke garis konsentrasi yang telah ditetapkan pada tahun 1886.

Pos penjagaan

Operasi militer terhadap Teuku Umar

Semua batalyon medan kini dipersiapkan untuk operasi militer yang sesungguhnya. Teuku Umar tinggal di kampung Lampisang, selatan pos Lamjamu, dan di sanalah ia menjawab tawaran komisaris pemerintahan yang ultimatumnya telah diterima. Ketika hal tersebut tak terpenuhi, Jend. Vetter mengadakan proses singkat terhadap Teuku Umar, dirinya diberhentikan sebagai panglima perang besar dan uleebalang Leupung. Pada tanggal 27 April, angkatan darat dan laut melancarkan serangan tembak ke Lampisang dan sekitarnya. Umar telah memperkuat daerah pertahanannya dengan garis-garis mematikan yang terdiri atas kampung dan benteng, yang dihubungkan oleh parit satu sama lain, sehingga banyak usaha yang harus dilakukan pasukan untuk menembus benteng yang kokoh tersebut. Pada akhir bulan Mei, dimulailah gerakan untuk mengusir Teuku Umar dari VI dan IV Mukim di Sagi XXV yang berada di Aceh Besar. Batalyon XII dan XIV ditempatkan di Lamith, dan di Blang ditempatkan Batalyon IX, semerntara itu, angkatan utama - terdiri atas Batalyon III, VI, VII, marechaussee, 4 seksi artileri gunung dan pasukan penolong - sama-sama ditarik ke Ketapan Duwa. Batalyon VII, bersama kavaleri dan artileri, dijadikan pasukan cadangan.
Sebelum fajar, pada tanggal 23 Mei 1896, pasukan Belanda sudah bertempur dengan musuh, dan seberapapun kuat pasukan dan keberanian yang ditunjukkan oleh Umar untuk memimpin pasukan, ia harus mundur; untuk itulah J.B. van Heutsz dan Henri Mari Vis diberi penghargaan. Gampong Lam Hasan menunjukkan perlawanan sengit; selama berjam-jam baterai artileri yang kuat dekat Lamjamu ditembakkan tanpa henti; sia-sia saja Batalyon Infanteri IX mencoba menembus pertahanan yang kokoh itu dan saat fajar menyingsing mayor infanteri JR. Jacobs, dengan pasukan cadangannya yang terdiri atas 3 kompi di Batalyon VII, ditugaskan membantu Batalyon IX dan merebut Lam Hasan. Dengan Kompi I di barisan, separuh Kompi II pada sayap kiri dan sisanya ditanam di Ajuen Tebal untuk menghadapi gerak maju musuh. Dalam 20 menit, tempat itu sudah diduduki Belanda dan seluruh pemberontak dibasmi habis. Dari separuh kompi yang turut serta dalam pertempuran yang sesungguhnya, 2 perwira terbunuh dan 30 orang lainnya namun mereka tetap menang. May. JR. Jacobs, yang tertembak bersama kudanya hingga harus jalan kaki bersama Kompi I untuk berperang, untuk kesempatan ini dihargai dan selama pertempuran berikutnya hingga akhir bulan Oktober dianugerahi Militaire Willems-Orde Kelas IV.
Serangan ke Lampisang diawali secara mendadak di malam hari oleh sebagian garis pertama sayap kanan dan kiri; barisan Van Heutsz harus mendaki bukit dan menduduki Glee Putih. Dibantu gelap, mereka mencapai perbukitan tanpa menghadapi perlawanan dan dapat melanjutkan serangan ke atas. Setibanya di atas, mereka dapat memantau Lampisang. Dari situlah tembakan diawali, yang di situ baterai gunung diperlukan. Umar dan pengikutnya melancarkan serangan mendadak yang singkat ke Bukit Sebun Beradin yang terletak di selatan. Van Heutsz mengirim laporan bahwa gerak maju harus secepatnya dilakukan oleh Batalyon VII dan IX. Lamteungoh, Lam Manyang dan Lam Isek ditaklukkan oleh Batalyon XII dan XV, yang untuk itu Pasukan Cadangan Kolonial yang dipimpin oleh Sipko Adriaan Drijber diberi penghargaan khusus. Sipko Drijber terluka 2 kali. Pada tanggal 23 Mei, pasukan Belanda menderita kekalahan besar, ada 160 orang yang tak diikutsertakan lagi dalam serangan.
Di pagi berikutnya, pasukan bergerak ke Lampisang dan tempat tinggal Teuku Umar dibakar, diikuti dengan sebuah kubu yang kuat, yang terdiri atas Kampung Beradin dan Benteng Sebun. Secara keseluruhan, operasi di daerah Teuku Umar menelan 200 korban tewas dan terluka dari pihak Belanda. Setelah dihukum, pasukan kembali ke Kutaraja. JJK. de Moulin diangkat sebagai Gubernur Aceh namun hanya bertugas dalam waktu singkat. Pada tanggal 7 Juli 1896, ia meninggal akibat hipertermia.

 May. J.R. Jacobs

Operasi ke Aneuk Galong

Setelah tanggal 9 dan 10 Juni, wilayah Lam Krak di VII Moekim yang terletak di Sagi XXII Moekim dihukum, diikuti dengan V Mukim pada tanggal 17 dan 19. Pada tanggal 27 Juni, Vetter kembali ke Batavia. Di sana, sebuah barisan yang mobil dibentuk di bagian utama daerah musuh. Dalam hal ini, operasi militer dilaksanakan di Leupung dan Lhoong yang berada di Aceh Besar bagian selatan dan Seulimeum di XXII Moekim; hal tersebut diulangi lagi di bagian selatan pada tahun 1897. Pada bulan Agustus, dilancarkan ekspedisi ke Pedir, memulai pembasmian kelompok musuh Mukim Peukan Baro dan Peukan Sot. Pada tanggal 9 Juni 1896, korps marechaussee berbaris ke garis depan barisan menuju Aneuk Galong; garis depan yang dipimpin oleh G.J.W.C.H. Graafland tersebut langsung menyerang tanpa menunggu pasukan lainnya. Pada pukul 4.30, gerakan menjepit selesai; diikuti dengan serangan tembak ke arah musuh, di mana Graafland terluka dan komando harus dialihkan ke Henri M. Vis; saat angkatan utama tiba dengan ambulans, pertempuran itu sudah selesai, namun terdapat 6 orang tewas dan 28 terluka. Seorang perwira yang berjasa dalam aksi ini adalah G.J.A. Webb.

Ekspedisi Pedir

Keadaan mulai kondusif di Aceh Besar sehingga jalur KA antara Kutaraja-Indrapuri bisa dibuka untuk transportasi. Namun para pimpinan perlawanan mengungsi ke daerah Pedir, basis para ulama, sehingga wilayah itu harus ditaklukkan. Kini pemerintah menetapkan keputusan itu setelah menerima laporan bahwa Teuku Umar sudah tiba di Jantho dekat Seulimeum beserta pengikutnya untuk bersatu bersama dengan putera mahkota dan Panglima Polim yang mundur ke wilayah ini. Pedir, yang secara bertahap menjadi pusat perlawanan menjadi target Belanda selanjutnya.
Rencana penyerbuan dirancang oleh staf jenderal dan Kol. JB. van Heutsz ditunjuk sebagai pimpinan ekspedisi ke Pedir dan Gigieng, yang sehubungan dengan tugas itu diangkat pula sebagai gubernur sipil dan militer. Tujuan ekspedisi ini adalah maju ke sagi yang dimiliki oleh XXII Mukim, VII Mukim Pedir, kemudian mematahkan perlawanan musuh. Selain itu juga agar memaksa kepala sagi XXII Mukim tunduk, menundukkan kelompok musuh di VII Mukim Pedir dan membawa federasi XII dan VI Mukim di Pedir di bawah Belanda. 4 batalyon infantri, 1 baterai artileri gunung dan 1 skuadron kavaleri dikerahkan ke Sigli untuk membasmi musuh di wilayah itu. Operasi itu didukung oleh barisan kedua yang bergerak dari Seulimeum untuk menghalau musuh keluar dari Pedir - juga VII Mukim Pedir - ke lembah yang berada di Aceh Besar. Selain itu juga untuk mendatangi dan menghancurkan kekuatan Panglima Polim dan Teuku Umar untuk kemudian bergabung dengan angkatan utama. Pada tanggal 30 Mei 1898, panglima tertinggi datang ke Sigli, di mana pasukan yang bertolak dari Batavia dan Kutaraja bergabung dengan Batalyon XIV, yang kemudian bergerak maju.
Musuh berkumpul di Garut tanpa bahaya apapun, dan memperkuat pertahanan sepanjang Krueng Pidie. Pasukan Belanda dari Seulimeum bertemu dengan barisan Van Heutsz di Metareum. 2 benteng di daerah kekuasaan Teuku Bintara Kemanga direbut, lalu kedua barisan itu berbalik ke Keumala, daerah kediaman calon sultan, melalui jalan-jalan yang berbeda. Di sini musuh tak bertahan lama; tak juga di Sangget Menu, yang takluk pada tanggal 29 Juni. Perlawanan agak menuruun, namun Umar selalu berhasil melarikan diri; tetapi lepas dari itu, ekspedisi sudah dapat memenuhi tujuannya dan Van Heutsz kembali ke Kutaraja. Atas andil dalam ekspedisi tersebut, sensor militer Johannes Vallentin Dominicus Werbata diangkat sebagai ksatria dalam Militaire Willems-Orde Kelas IV.

Pendudukan kediaman Teuku Umar di Lampisang.

Tewasnya Teuku Umar

Pada bulan Juli, Belanda harus perang lagi, kali ini ke Idi, ketika seorang ulama bernama Teuku Tapa menyerang prasarana sipil setelah menyerukan perang suci. Dengan 2 batalyon, musuh berhasil dihalau ke pertahanannya pada tanggal 11. Umar melarikan diri ke pantai barat, dan dikejar oleh KNIL. Penduduk ternyata sudah jenuh terhadapnya, pengaruhnya agak berkurang dan dalam pertempuran di Mugo ia terbunuh.
Terkadang, pasukan Belanda masih diserang dan orang Aceh masih tetap berperang secara gerilya. Di saat yang sama, Van Heutsz diangkat sebagai mayor jenderal dan diangkat sebagai komandan di Militaire Willems-Orde. Semua tetua di Aceh menyerah pada pemerintah Belanda dan keadaan di Pedir dilaporkan menguntungkan. Pada awal tahun 1901, dilancarkan ekspedisi ke Samalanga. Tanah Merah tidak melawan; dari Samalanga, Belanda melangkah lebih jauh ke Batee Iliek yang sedang bergolak, di mana pasukan Belanda pernah menyerang pada tahun 1882. Pada tanggal 1 dan 2 Februari, pertahanan musuh di Batee Iliek dan Asan Kumbang diserang oleh angkatan laut; setelah dimulainya serangan, 4 pertahanan pejuang Aceh ditaklukkan, yang setelah itu kedudukan musuh yang dipertahankan secara sengit diserbu oleh infanteri, marechaussee, dan divisi pendaratan. Dalam memperkuat diri selama pertempuran sengit, pejuang Aceh melemparkan 1 tong mesiu, di mana Let. Verschuir dan 9 orang lainnya terkena luka bakar serius. Dengan serbuan ke Batee Iliek itu, beberapa pucuk senjata dirampas. Belanda kehilangan beberapa personel: 5 orang terluka dan 29 terluka. Asan Kumbang akhirnya tidak melawan lagi.




Sumber

Perang Aceh (1876-1877)

Perang Aceh (1876-1877) adalah masa setelah meninggalnya Jend. Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel pada tahun 1876, ketika Belanda menerapkan strategi bertahan dan menunggu.

Latar belakang

Setelah tewasnya Pel dalam ekspedisi sebelumnya, Overste Engel diangkat sebagai komandan tertinggi dan maju dalam pertempuran di IX Mukim. Di hari setelah kedatangannya, mereka maju ke Silang, tempat seluruh angkatan berkumpul dan segera maju ke Kuala Gigieng. Pada tanggal 20 Maret, kubu dipersiapkan di sana dan dipersenjatai dengan 2 meriam dan 2 mortir berukuran 12 cm. Mereka tetap di sana dan di Kuta Pohama yang telah diduduki untuk menjaga komunikasi sepanjang garis pantai dan memastikan pasukan telah mengendalikan seluruh laguna tersebut, dan masyarakat setempat menyerahkan diri pada Belanda. Rencana operasi Jend. Pel sekarang dilaksanakan sepenuhnya. Pada tanggal 10 Maret, MayJend. GBT. Wiggers van Kerchem, pengganti Jend. Pel, menjadi komandan militer dan sipil. Ketika pemerintahan ditegakkan, ia mengetahui bahwa beberapa bagian Aceh Besar sudah ditaklukkan dan diduduki. Namun, sebagian besar pos lainnya harus melindungi daerah yang ditaklukkannya dan komunikasi antarpos tersebut diharapkan tetap terjalin, juga keamanan di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan. Hanya di daerah sekitaran Kutaraja (kini Banda Aceh) jalanan yang dapat dipergunakan dibangun. Namun lainnya harus dibatasi hingga pembersihan penting dan memungkinkan perataan tanah. Operasi tidak dilakukan untuk sementara waktu dan harus berkutat pada perbaikan tempat kedudukan terkini. Batas antara XXV Mukim dan XXII Mukim diputuskan melalui surat berantai, dan penduduk dilarang membawa senjata.

Pantai Perak.

Aceh di bawah Jenderal Wiggers van Kerchem

Dengan naiknya Jend. Wiggers van Kerchem, keadaan cukup tenang, namun keamanan tidak benar-benar terwujud. Di saat yang sama, pejuang Aceh mengadakan perang gerilya dan di Aceh Besar belum mengalami atau sedang memikirkan untuk merapat ke musuh.
Konvoi dan patroli terus-menerus terkena serangan tak terduga, orang-orang yang berani berada di luar gerbang akan menghadapi bahaya perampokan atau pembunuhan. Jenazah orang-orang yang demikian itu akan dipertontonkan dengan disabet-sabet kelewang atau dimutilasi secara mengerikan. Prajurit yang tertangkap musuh banyak yang disiksa habis-habisan sehingga mereka banyak yang memilih bunuh diri daripada tertangkap musuh. Sejumlah dinas diluncurkan dan banyak yang terserang penyakit serius, biasanya kolera, dan korban banyak berjatuhan. Pada tanggal 21 Maret, angkutan barang di bawah pimpinan LetTu. W. van Heeckeren van Molecaten diserang dekat Atu; perwira tersebut terluka dan 5 orang lainnya terbunuh; karena pejuang Aceh sudah merangsek ke tepi tenggara dari garis memanjang, Wiggers van Kerchem mengetahui apa yang diperlukan, bahwa di sana seorang perwira medan harus ditempatkan dan harus bisa memimpin serangan ke kubu tersebut; Kol. Karel van der Heijden (sejak tanggal 1 April menjadi komandan di Garis Tenggara) dibebani tugas itu. Pada malam 2 Mei, Lampagar jatuh; di sisi utara, musuh merangsek ke pos yang belum diperlengkapi dengan baik serta menyerang orang-orang di sana. Kapiten J.W.C.C. Hoynck van Papendrecht, Let. N. van de Roemer dan 5 prajurit pribumi terbunuh; 16 pria dan 5 wanita terluka parah. Apakah para tetua dan penduduk IV Mukim dan VI Mukim tidak percaya sekarang, keadaan di IX Mukim juga masih berbahaya dan diambil keputusan atas daerah ini dengan barisan berkekuatan memadai untuk ikut campur dan membasmi musuh. Oleh karena itu, 3 barisan disiapkan, di bawah pimpinan May. Diepenheim, Overste Engel dan Kol. Van der Heijden. Operasi harus dipimpin oleh Jend. Wiggers van Kerchem sendiri, yang ikut dalam barisan pertama. Aksi tersebut mengharuskan dibangunnya kubu baru di Bilul Selatan, yang pernah diserang pejuang Aceh.

Operasi militer selanjutnya

Sekitar waktu itu, Habib Abdurrahman azh-Zhahir, yang bantuan pertamanya telah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, menjadi pimpinan perlawanan di Aceh Besar. Pedir tetap dianggap sebagai negeri yang paling terkemuka dan berpengaruh di Aceh dan Taklukannya; kemudian pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk menempatkan asisten residen L. de Scheemaker di sana dan untuk melindungi dibangunlah kubu, di mana sebuah titik dekat pantai yang berdekatan dengan Krueng Pidie dipilih. Sikap penduduk Pedir amat bermusuhan sehingga May. H.K.F. van Teijn dikirim ke Pedir bersama dengan 1 kompi dari Batalyon VIII. Pada bulan Juli 1876, gagasan gerakan militer itu terlaksana dengan serbuan terhadap pejuang musuh di IV Mukim dan VI Mukim dan untuk melindungi tujuan tersebut, sebuah pos di Krueng Raba didirikan. 2 barisan beranggotakan 300 serdadu di bawah pimpinan May. Diepenheim dan Lubeck dikerahkan untuk tujuan ini; perintah tersebut dilaksanakan dan bangunan pos tidak dirusak. Namun, di bulan itu juga, sejumlah patroli diserang pada tanggal 14 dan 28 Juli.
Pada tanggal 1 September, 3 barisan di bawah May. Ruempol, Burgers dan Jeltes bertolak dari Kutaraja menuju Ulee Kareung; Overste Van Bennekom menjadi pimpinan umum, sementara Jend. Wiggers van Kerchem akan memimpin operasi selanjutnya bersama kepala staf. Meskipun terjadi perlawanan sengit dari musuh, tetap pasukan mencapai Tonga dan Lamnyong. Pada hari itu, 7 orang dan 3 perwira tewas sementara 42 orang lainnya terluka. Pada tanggal 26 September, musuh dikalahkan di mana-mana, 22 pucuk senjata dirampas dan sebuah pos dibangun di Kajhu, di mana Overste Ruempol dengan anak buahnya dapat kembali ke Kutaraja. Karena pandangan politiknya atas pemerintah Hindia-Belanda yang tak terpecah, Wiggers van Kerchem dibebastugaskan dari kedudukannya secara terhormat, digantikan oleh May. AJE. Diemont dan Diemont mengemban tugas menaklukkan Tanjung Seumantoh (pasukan yang dipimpin Hendrik Eduard Schoggers menunggu di sini) dan Simpang Ulim di pantai timur Sumatera, yang masih menunjukkan sikap permusuhan. Di akhir tahun 1876, kedudukan Belanda di Aceh lebih aman.

 Jembatan di Krueng Aceh, Kutaraja (kini Banda Aceh).

Operasi militer di bawah pimpinan MayJend. Diemont

Pada tanggal 25 Januari 1877, pasukan kembali dikerahkan ke daerah pantai Kuala Gigieng hingga Kuala Lue untuk merebutnya kembali (bagian terakhir rencana Jend. Pel yang belum terlaksana); Lamnga diduduki tanpa perlawanan dan kini musuh mencegat sepanjang pantai dari Pedir ke Kuala Lue dan berjalan lebih lanjut ke XXII Mukim; kini rencana itu dilaksanakan sepenuhnya untuk mempertimbangkan tindakan selanjutnya. Untuk itu, GubJend. Johan Wilhelm van Lansberge mengadakan kunjungan ke Aceh; sejumlah penguasa dan tetua tiba di Kutaraja untuk memberikan penghormatan pada gubernur dan dalam pidatonya mereka mendorong kerja sama untuk menciptakan keamanan dalam pemerintahan Belanda dan menjanjikan renovasi Masjid Raya. Akta pengakuan diberikan terhadap pimpinan di negeri-negeri pesisir yang belum ditaklukkan, yakni Simpang Ulim dan Kluang; Rigaih, Teunom, Teluk Kruet dan Sabee. Setelah itu, didirikanlah pemerintahan pribumi di XXV Mukim. Di awal tahun 1877, kekuatan pasukan penakluk berjumlah 351 perwira dan 9235 lainnya dan kekuatan perang tersebut tidak dapat berkurang karena negeri pesisir, seperti Samalanga, kekuatan persenjataan Belanda tersebut masih dirasakan. Walaupun demikian, diputuskan pula pembangunan rumah sakit militer yang besar di Pante Perak, tempat 2.000 pasien dirawat. Di samping itu, pada bulan April, Analabu diduduki dan tindakan militer diarahkan ke Lhoong, Baba Awe dan No di pantai selatan, yang akhirnya bisa ditaklukkan. Karena MayJend. Diemont sakit, kepemimpinan harus dialihkan kepada Kol. Van der Heijden pada tanggal 30 Juni, yang untuk mempersiapkan peraturan yang lebih rinci, diangkat sebagai gubernur sipil dan militer sementara di Aceh.

Reruntuhan benteng dekat Lamnyong di masa Hindia Belanda




Sumber

Ekspedisi Tanah Gayo, Alas, dan Batak (Perang Aceh)

Ekspedisi Tanah Gayo, Alas, dan Batak dilakukan oleh KNIL di bawah pimpinan G.C.E. van Daalen pada tahun 1904 selama Perang Aceh.

Latar belakang

Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang. Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis. Bahkan setelah pemerintah menetapkan bahwa Tanah Gayo dan Alas sudah dipertimbangkan masuk pemerintahan Aceh dan jajahannya dan harus menjadi bawahannya, tidak perlu bergantung kepada Tamiang, hingga datangnya pemerintahan militer dan sipil di Aceh dan Sumatera Timur - yang berunding satu sama lain - menunggu penambahan subdivisi Tamiang ke Aceh, pemerintahan sementara dirancang.
Seorang perwira garnisun Kuala Simpang dibebani tugas mengurusi masalah Gayo, di saat yang sama difasilitasi dengan peleton bergerak. Dengan kunjungan ini, pemerintah Tanah Gayo dan Alas bertemu dengan banyak orang Gayo dan juga dengan Kejurun Petiambang, yang antara lain melaporkan bahwa di Gayo-Lues sudah diberi penjelasan atas rencana perjalanan ke sana dan terdapat pihak penentang, yang jalan masuk paling utama ke daerah itu - Intem Intem, jalan di Pendeng dan Susoh - sudah berada dalam keadaan bertahan dari pasukan Belanda yang sedang bergerak maju, seperti yang harus dihadapi di Intem Intem pada tahun 1902. Di kejurun diberitahukan bahwa itulah yang dimaksud, perjalanan dilaksanakan dengan dukungan angkatan pasukan dan pasukan itu tidak kembali lagi, namun di mata orang Gayo pasukan Belanda tidak dapat menjangkau daerah pegunungan. Di saat yang sama pasukan diperintahkan kembali dan para pimpinannya melaporkan ke konvoi komandan bahwa pasukan musuh akan segera tiba.
Meskipun dengan sambutan itu kejurun tidak mengadakan perlawanan, ia - yang takut kepada pihak-pihak yang bermusuhan di wilayahnya - tidak bertolak dan seperti yang dapat diketahui pergi ke daerahnya bersama dengan pasukan Belanda. Dalam hubungannya dengan rencana yang ada mengenai pandangan atas Tanah Gayo-Lues dan Alas, konvoi juga dianggap penting, sehingga konvoi itu diberangkatkan yang berisi anggota garnisun dari Kuala Simpang, menuju daerah yang pernah dikunjungi Belanda dan Pendeng yang bergolak atas 2 alasan: penaklukan wilayah itu dan meratakan jalan bagi evakuasi orang yang terluka dan sakit di Gayo Lues. Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.

Angkatan dan susunan ekspedisi

Barisan Maréchaussée yang melakukan ekspedisi ke Tanah Gayo dan Alas tersusun sebagai berikut: komandan barisan adalah GCE. van Daalen, letnan kolonel staf jenderal; ajudannya adalah letnan artileri I JCJ. Kempees; sisanya 1 divisi maréchaussée, di bawah pimpinan Kapiten W.B.J.A. Scheepens dari 10 brigade, dipecah dalam 2 divisi, masing-masing dari 2 bagian, masing-masing dipimpin seorang letnan; 1 ambulans di bawah perwira kesehatan kelas II HM. Neeb; 1 departemen sensor di bawah LetTu Hoedt; kereta (penarik) 110 mandor dan pekerja paksa; disertai oleh Ir. Jansen dengan beberapa personel untuk mengumpulkan data geologis dan seorang mantri dari 's Lands Plantentuin te Buitenzorg (sekarang Kebun Raya Bogor) untuk mengumpulkan data botani. Saat mendarat di Ulee Lheue pada tanggal 8 Februari, kekuatan mencapai 10 perwira, 1 insinyur pertambangan, 13 bintara Eropa, 1 perawat prajurit Eropa, 208 anggota maréchaussée dari Ambon dan pribumi; kemudian personel KA, 473 mandor, pekerja paksa dan sekitar 15 kuli, penunjuk jalan dan karyawannya; seluruhnya 721 orang.

Tujuan

Perintah komandan barisan berkaitan dengan tujuan operasi tersebut terutama mengadakan penyelidikan ke daerah Raja Cik Bebesen di Raja Buket dan Kejurun Syiah Utama, yang di sana susunan pemerintahan yang diperlukan dirancang, melanjutkan perundingan atas kemungkinan pembangunan jalan kereta antara Danau Laut Tawar ke Peusangan dan jalur pertama untuk jalan itu diperpanjang. Di samping itu, tujuannya adalah untuk mengunjungi dan bila diperlukan juga berpatroli di wilayah Raja Linggo, mencoba berhubungan dengan tetua dan kemungkinan juga merancang aturan yang diperlukan di wilayah ini.
Mereka harus maju ke Gayo-Lues; di wilayah ini merebak perlawanan dari semua kepala desa (Reje, Cik, dan Muda); kemungkinan juga tetua-tetua desa yang lebih kecil yang bersama dengan induk maupun cabangnya akan berontak; sehingga, terutama di kampung inti Reje Petiabang, tetua terpilih tersebut (kemungkinan termasuk penghulu Si Sue Belas) bersama-sama mengumumkan bahwa Kejurun Beden disahkan oleh pemerintah sebagai Kejurun Petiambang di Gayo-Lues, yang juga dianggap pemerintah Hindia-Belanda sebagai kepala wilayah atas seluruh daerah dan keinginan kuat dari pemerintah adalah mengakhiri pemisahan kekuasaan dan pertempuran yang terjadi serta penghentian sukarela dan penentuan terakhir kejurun saat itu harus dilakukan. Hal itu juga memungkinkan Gayo-Lues mengadakan meronda sebagian besar wilayahnya yang berpenghuni, merancang susunan pemerintahan secara lebih lanjut, mencari hubungan kepada barisan yang sudah ditarik dari Kuala Simpang ke Pendeng; memberikan perintah terhadap komandan barisan serta informasi yang diberikan dan petunjuk kepada perwira yang bertanggung jawab atas urusan administrasi di bagian timur laut Reje Petiambang; strategi di wilayah Kejurun Abaq sepenuhnya bertumpu pada pandangan dan kebijakan LetKol. Van Daalen.
Lebih jauh memasuki Tanah Alas pasukan Belanda disambut perlawanan, banyak informasi yang dikumpulkan mengenai struktur pemerintahan dan administrasi serta pengaturan lainnya jika diperlukan ataupun diinginkan. Apakah memindahkan permusuhan dari Tanah Alas ke Tanah Batak yang berdekatan, atau karena urusan politik ataupun lainnya yang diperlukan Tanah Batak untuk mencapai pantai, itulah akhir dari barisan komandan yang tunduk pada persetujuan pemerintahan yang berwenang. Di samping itu, jika mungkin nasihat khusus akan menguntungkan pencarian di Singkil atas keberadaan orang Tionghoa dan penduduk non-pribumi lainnya, yang menurut pesan tersebut akan memperbaiki senjata api dan diperdagangkan di sana atas nama ketua bende Aceh seperti Teuku Ben Blang Pidie, dan juga yang dilakukan penduduk Tanah Alas dan Gayo atas senjata api dan amunisi.

 Markas pasukan di Kuta Lintang

 Rumah sakit lapangan di Lawe Sagu

Ekspedisi (8 Februari-23 Juli 1904)

Pada tanggal 8 Februari pasukan dikapalkan dan mendarat di Lhokseumawe keesokan harinya, lalu semua penumpangnya berbaris menaiki trem ke Bireuen dan menempuh perjalanan selama 4 jam, setelah itu berbaris ke bivak Teupin Blang Mane dan tiba pukul setengah tujuh. Di hari berikutnya mereka berbaris kembali, pada tanggal 18 Februari melewati beberapa ngarai dan di tengah hari mereka tiba di Tunjang yang berada pada ketinggian 900 m dan bivak dipindahkan ke Kampung Pertek; penduduk tidak menunjukkan sikap bermusuhan, beberapa penduduk yang sakit diperiksa oleh petugas kesehatan dan pada tanggal 14 Februari ekspedisi dilanjutkan. Antara tanggal 16-20 Februari bivak dipindahkan ke Kong, dan waktu tersebut dimanfaatkan oleh komandan barisan untuk mengumpulkan para tetua, mengadakan pembahasan dan menyusun ketetapan pemerintahan di wilayah Laut dan meronda lebih lanjut daerah tersebut. Antara tanggal 22-28 Februari, dibangun bivak di Kuta Rayang dan di sini dirancanglah rencana pemerintahan.
Selama ekspedisi berikutnya, mereka kehilangan arah dan harus menaiki batang pohon yang tinggi untuk menentukan arah yang benar. Di samping itu, barisan tersebut harus menghadapi medan tak rata yang berat dan ngarai yang curam sehingga harus mendaki dinding gunung menggunakan tangan dan kaki, sementara batang dan akar menjadi pegangan arah. Berulang kali mereka harus menghindari aliran sungai yang deras (20-30 kali sehari). Pada tanggal 9 Maret, mereka mencapai Kela, esoknya mereka berbaris ke Rerebe, dan menghadapi perlawanan pertama di sini. Musuh kehilangan 3 orang dan satu-satunya yang terluka dapat dihalau dan sebagian dikejar, dan bivak dipindahkan ke kampung tersebut hingga tanggal 13 Maret. Setelah wilayah tersebut dibersihkan oleh patroli itu, banyak anggota yang tewas, dan besoknya perjalanan dibagi dalam 2 kelompok; kesatuan yang berjumlah 16 orang dipimpin menuju Pasir; kesatuan di bawah pimpinan Let. Winter, Hans Christoffel dan Kempees beranggotakan 14 orang dan dipimpin melintas sepanjang Krueng Tripa, Paser setelah menghadapi perlawanan berat sementara musuh juga banyak yang tewas;[rujukan?] pada tanggal 18 Maret, pasukan tersebut berjalan ke Gemuyang dan Peparik Gaib; setelah perlawanan sebuah keluarga yang fanatik tersebut yang di dalamnya banyak pula wanita yang turut perang akhirnya jatuh juga; dari sini juga banyak jatuh korban dari pihak musuh dengan korban sebanyak 308 orang, di antaranya 168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang, di antaranya seorang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, terdiri atas 3 orang wanita dan 9 orang anak-anak.
Di saat yang sama perlawanan masih berlanjut: Belanda terus-terusan memborbardir perkampungan di wilayah bergunung-gunung tersebut; dari laporan yang datang diketahui bahwa penduduk yang dibakar semangatnya oleh ulama sudah lama mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran sengit itu. Pada tanggal 22 Maret, sebuah perkampungan yang luas ditaklukkan setelah pertempuran yang lama dan sengit; Durin, Kuta Lintang, Reje Silo dan Kuta Blang telah ditaklukkan Belanda; di sini banyak pula korban yang berjatuhan dari pihak musuh. Kini Kuta Lintang akan dijadikan bivak permanen, sebagai pusat kampung-kampung sekitarnya yang mungkin masih bergolak. Lalu barisan tersebut menuju ke daerah tersebut hingga tanggal 4 Juni, ketika usulan ekspedisi ke Tanah Alas disetujui. Selama masa tersebut, kampung-kampung ini jatuh: Badak (4 April), Cane Uken dan Tungel (21 April), Penosan (11 Mei), dan Tampeng (18 Mei); setiap hari diadakan ronda dan penyergapan malam hari juga banyak membunuh musuh. Setelah jatuhnya Tampeng, perlawanan di Gayo Lues dapat dipatahkan, dan para tetua suku memenuhi panggilan komandan barisan pada tanggal 2 Juni. Dalam pertemuan resmi itu, Belanda mengumumkan bahwa mereka harus menaati pihaknya. Program tersebut berakhir, dan pada tanggal 4 Juni, ekspedisi menuju Tanah Alas dijalankan.
Di hari berikutnya, barisan tersebut melanjutkan perjalanan. Pada tanggal 10 Juni, penduduk yang melawan di kampung N. Tualang dihalau dan dikejar hingga Penampaan, lalu bivak dipindahkan. Besoknya, mereka memasuki bagian tengah Tanah Alas, yang sebagian diperkuat namun sudah ditinggalkan oleh penduduk sehingga Kampung Lawe Sagu diduduki dan tetap di sana hingga tanggal 16 Juni; tak hana oleh pemborbardiran dan ronda yang terus-menerus ke wilayah tersebut, namun laporan yang masuk juga mengatakan bahwa penduduk Tanah Alas, yakni Kejuron Bambel, bukan Batu Mbulan, telah mempersiapkan diri menghadapi serangan itu, dan dibakar semangatnya oleh sejumlah alim ulama. Pada tanggal 14 Juni, dengan dikuasainya benteng Kuta Rih setelah perlawanan yang amat berat. Tindakan keras dilakukan dengan membunuh juga 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak.
Kampung Bambel yang berada di atas Krueng Singkil dijadikan bivak; dari tempat itu, berturut-turut kubu di Likat dan Kute Lengat Baru jatuh pada tanggal 20 dan 24 Juni setelah perlawanan berat. Dalam pertempuran di Likat, pasukan Belanda membantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, di antaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak.[rujukan?] Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang.[rujukan?] Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
Seusai menyelesaikan tugas di Tanah Alas, Van Daalen meneruskan perjalanan ke Tanah Karo pada tanggal 1 Juli, dan mencapai Tanah Pakpak. Di hari berikutnya barisan tersebut meneruskan perjalanan dan melakukan penyerbuan, selanjutnya tiada lagi perlawanan. Pada tengah hari tanggal 20 Juli ekspedisi tersebut berakhir di Sibolga setelah perjalanan panjang. Esoknya pasukan tersebut berlayar menaiki kapal uap Albatros dan Gier dan tiba pada tengah hari tanggal 23 Juli di Ulee Lheue, dan disambut oleh Gubernur Aceh dan Jajahannya bersama pejabat lainnya.

Sarkofagus di Si Temorong
 
Kolonel Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues.




Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.