Senin, 20 Januari 2014

Kerajaan Kotawaringin 2 (Habis)

Ratu Kota Waringin[18]

Daftar Pangeran Ratu (Pangeran Adipati) Kotawaringin.
Pangeran Ratu (Adipati) yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:[19][20][21]

Silsilah

Saudagar Mangkubumi x Sita Rara
Ampu Jatmaka(Raja Negara Dipa) x Sari Manguntu
Lambu Mangkurat x Dayang Diparaja binti Aria Malingkun
Puteri Huripan x Maharaja Suryaganggawangsa (anak Puteri Junjung Buih) bin Maharaja Suryanata
Puteri Kalungsu x Maharaja Carang Lalean (anak Puteri Kalarang) bin Pangeran Suryawangsa bin Maharaja Suryanata
Maharaja Sari Kaburungan (Raja Negara Daha) 
Maharaja Sukarama (Raja Negara Daha) 
Putri Galuh Baranakan x Raden Mantri Alu bin Raden Bangawan bin Maharaja Sari Kaburungan Sultan Suryanullah (Sultan Banjar I) 
Sultan Rahmatullah (Sultan Banjar II) 
Sultan Hidayatullah (Sultan Banjar IIII) 
Sultan Mustainbillah/Marhum Panembahan/Pangeran Senapati (Sultan Banjar IV) x Ratu Agung binti Pangeran Demang
Ratu Kota-Waringin/Ratu Bagawan/Pangeran Dipati Anta Kasuma (anak Putri Juluk 1/Ratu Agung binti Pangeran Demang) 
  1. Pangeran Dipati Kasuma Mandura/Raden Kasuma Taruna (anak Nyai Tapu binti Mantri Kahayan)
    1. Raden Suta-Kasuma/Raden Pajang x Gusti Pandara
    2. Raden Buyut Kasuma Banjar x Gusti Cabang binti Pangeran Dipati Wiranata/Raden Balah
      1. Putri Piting (anak Gusti Cabang)
  2. Dayang Gelang/Putri Gelang (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding x Raden Saradewa/Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din dari Kerajaan Sukadana
    1. Raden Buyut Kasuma Matan (anak Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din)
      1. Sultan Muhammad Zainuddin?
  3. Raden Pamadi (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding) x Putri Intan binti Pangeran Singasari/Raden Timbako
    1. Raden Pati
  4. Raden Nating (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
  5. Raden Tuan (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
  6. Gusti Tanya (ibu Raden Jayengrana) x Raden Tukang bin Panembahan Di Darat
  7. Raden Mataram
  8. Putri Lanting x Raden Kasuma Wijaya
  9. Ratu Amas (Raja Kotawaringin II) 
Panembahan Kota Waringin (Raja Kotawaringin III) 
Pangeran Prabu Tua (Raja Kotawaringin IV) 
Pangeran Dipati Tuha (Raja Kotawaringin V)
  1. Pangeran Anom
  2. Pangeran Panghulu (Raja Kotawaringin VI)
    1. Ratu Bagawan Muda (Raja Kotawaringin VII)
    2. Pangeran Ratu Imanudin ( Raja Kotawaringin Ke IX ) Berisitrikan 3 Orang Yaitu
1. ''Ratu Ayu ( Istri Pertama )'' Berputerakan :
Pangeran Ratu Hermansyah ( Raja kotawaringin Ke X ( Beristerikan Ratu Ayu atau Ratu Puteri Kemalasari  ) Berputerakan 7 Orang :
  1. Pangeran Gentjana
  2. Pangeran Akhmad Kesuma Putera
  3. Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda ( Raja Kotawaringin Ke XI ).
  4. Pangeran Muhammad
  5. Pangeran Ratu Mangku
  6. Pangeran Nata
  7. Pangeran Bungsu
2 ''Tengku Dara ( Istri Kedua )'' ( Puteri anak Sultan Mansyur  dari kerajaan Siak, Indrapura ) Berputerakan 5 Orang  :
  1. Pangeran Tumenggung Cakraningrat
  2. Ratu Gentjana ( istri Pangeran Gentjana)
  3. Ratu Agung
  4. Ratu Muhammmad
  5. Pangeran Tumenggung
3. "Putri Dambung" ( Istri Ketiga ) ( Dari Kahayan ) Berputerakan :
1. Pangeran Ratu Sukma Negara

3. Pangeran Ratu Hermansyah ( Raja kotawaringin Ke X ) ' '''''Anak dari Pangeran Ratu Imanudin' ' Berputera Kan 7 Orang:
1. Pangeran Gentjana, berputra 5 orang, yaitu:

    1. Pangeran Tjitra ( Citra ), mempunyai putra10 orang, yaitu:
  1. Utin Taesah
  2. Gusti Usman
  3. Gusti Abu Bakar
  4. Gusti Mailan
  5. Gusti Gumat ( Wafat )
  6. Gusti samil
  7. Utin Talmah
  8. Gusti Aqil
  9. Haji Gusti Umar
  10. Utin Japun
2. Gusti Ali
    1. Gusti Mamun'nurasyid, mempunyai putra 4 orang, yaitu"
  1. Gusti Yusransyah ( Iyas )
  2. Utin Halimatusyadi'ah ( Atul )
  3. Gusti Saberan ( Tuyan )
  4. Utin Salmah ( Amah ), mempunyai putra 5 orang, yaitu:
  1. Mas Mardani ( Dhani )
  2. Mas Dina Mariana ( Dina ).
  3. Mas'suud ( Su'ud )
  4. Mas Marjan Dinata ( Marjan )
  5. Mas Taniah ( Chataniah ).
3. Gusti Musa, berputra 4 orang, yaitu:
  1. Utin Nurkanzah
  2. Utin Iyut
  3. Utin Amnah, berputra 4 orang, yaitu:
  1. Mas Dulhak
    1. Gusti Badrun
    2. Evo
    3. Amat
    4. Diang
    5. Suhuy
    6. Dede
  2. Mas Eren
  3. Mas Hudin
  4. Mas Ani
     4. Gusti Abdul Kadir
4. Gusti Abubakar
5. Gusti Umui

2. Pangeran Akhmad Kesuma Putera
3. Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda  ( Gusti Muhammad Sanusi atau Gusti Anum Kesuma Yuda) - Raja Kotawaringin Ke XI; berputra:
  1. Ratu Kuning
  2. Ratu Intan
4. Pangeran Muhammad
5. Pangeran Ratu Mangku
6. Pangeran Nata
7. Pangeran Bungsu

Referensi

  1. ^ KALIMANTAN TENGAH
  2. ^ http://iimanda.multiply.com/journal/item/2
  3. ^ Tjilik Riwut, Nila Riwut, Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan, NR Pub., 2007, ISBN 9792399526, 9789792399523
  4. ^ Wikipedia Polandia
  5. ^ Borneo, ca 1750 (abad ke-18)
  6. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. ISBN 9794074101.ISBN 9789794074107
  7. ^ (Inggris)Royal Geographical Society (Great Britain) (1856). A Gazetteer of the world: or, Dictionary of geographical knowledge, compiled from the most recent authorities, and forming a complete body of modern geography -- physical, political, statistical, historical, and ethnographical 5. A. Fullarton.
  8. ^ (Inggris) John Crawfurd, A descriptive dictionary of the Indian islands & adjacent countries, Bradbury & Evans, 1856
  9. ^ Kerajaan Kotawaringin Yang Pertama
  10. ^ a b c d e f g h (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  11. ^ a b c d e f J. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron, 1953, BK 17 (1860), hlm 267 ff.
  12. ^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science, Volume 10-11, 1856
  13. ^ (Belanda) Hoëvell, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 220.
  14. ^ Kotawaringin Lama, Wisata Budaya yang Terlupakan
  15. ^ Hikayat Banjar hlm 347: "Sudah kemudian itu maka anak Ratu Bagus di Sukadana, namanya Raden Saradewa itu, diperisterikan lawan Putri Gilang, anak Pangeran Dipati Anta-Kasuma itu.........sudah itu maka pangandika Marhum Panambahan, semasa ini anak Dipati Sukadana itu tiada lagi kupintai upati lagi seperti tatkala zaman dahulu itu. Sekaliannya upati Sukadana itu sudah kuberikan arah cucuku Si Dayang Gilang itu, jikalau ia beranak sampai kepada anak-cucunya itu. Hanya kalau ada barang kehendakku itu, aku menyuruh"....
  16. ^ a b c Awalnya Sebuah Kerajaan. Banjarmasin Post, 4 Oktober 2004
  17. ^ Tjilik Riwut, Nila Riwut, Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan, NR Pub., 2007, ISBN 979-23-9952-6, 9789792399523
  18. ^ Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.
  19. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1857). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde 6. Lange & Co. hlm. 241.
  20. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 23 (2). hlm. 199. 1861.
  21. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 53. hlm. 199. 1861.
  22. ^ (Perancis)Sevin, Olivier (1983). Les Dayak du centre Kalimantan: étude géographique du Pays ngaju, de la Seruyan à la Kahayan. IRD Editions. ISBN 9782709907002.ISBN 2-7099-0700-3
  23. ^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 23 (1-2). Nederlandsch-Indië. hlm. 198.
  24. ^ Silsilah Raja Kotawaringin
  25. ^ Padoeka Ratoe IMAN OEDDIN, Pangeran jang bertachta karadja'an KOTARIENG'AN(Belanda) Philippus Pieter Roorda van Eysinga, Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von Nederlandsch Indie. 3 boeken (in 5 pt.), 1841
  26. ^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Volume 23,Bagian 1-2.
  27. ^ www.kotawaringinbaratkab.go.id


Sumber

Kerajaan Kotawaringin 1

Berdiri 1615-1948
Didahului oleh tidak diketahui
Digantikan oleh Provinsi Kalimantan Tengah
Ibu kota 1. Kotawaringin Lama
2. Pangkalanbun
Bahasa Banjar, Dayak Darat
Agama Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi); Kaharingan
Pemerintahan
-Raja pertama
-Raja terakhir
Monarki
Pangeran Dipati Anta-Kasuma
Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah
Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan

1615
1637-1948
Catatan (1615-1787 sebagai bawahan Banjar)
Kerajaan Kotawaringin[1] adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615[2] atau 1530[3], dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja[4] sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".[5][6] [7]
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.[8]
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".[9]
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai.[10] Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya.[11] Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.[12] Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[13]

Sejarah



Istana Kuning, pernah menjadi kedudukan resmi sultan/pangeran di Pangkalanbuun.

  • Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
  • Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
  • Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan. [10]
  • Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.[11] Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.[10]
  • Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.[11] Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.[14] Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
  • Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura[15], Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa [11] (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa [10] yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura). [10]
  • Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. [10] Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[11] Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju). [10]
  • Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
  • Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
  • Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan adiknya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia [10] tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
  • Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu. [11]
  • Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.[16]
  • Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[16]
  • Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.[17]
  • Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[16]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
  1. Kabupaten Kotawaringin Barat
  2. Kabupaten Lamandau
  3. Kabupaten Sukamara
(Bersambung)

SEJARAH KERAJAAN PAGATAN 3 (Habis)

BUGIS PAGATAN

A. PENDAHULUAN
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bugis Pagatan, bahwa setelah berhasil mendapatkan kesuksesan biasanya akan dirayakan dalam bentuk syukuran. Sehingga acara syukuran ini dapat kita temui dalam kehidupan masyarakat Bugis baik petani (Paggalung) ada acara Mappanre Galung, warga petani kebun (Paddare) ada acara Mappanre Dare, maupun nelayan (Pattasi) ada acara Mappanretasi. Acara tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang didapatkan untuk memenuhi kesejahteraan, sekaligus juga acara syukuran ini dijadikan sarana menjalin hubungan silaturrahim antara sesama dalam lingkungan sosial.
Peradaban Bugis Pagatan telah mewarnai ragam budaya di Bumi Banjar bahkan telah menjadi khasana budaya di Kalimantan Selatan, sebagai khasana budaya Kalimantan Selatan yang mempunyai potensi wisata budaya kiranya perlu perhatian pemerintah. Sebab ada kengenderungan budaya bugis Pagatan mulai memudar dari kehidupan generasi penerusnya akibat derasnya pengaruh budaya asing di era globalisasi ini.
Dalam kesempatan ini akan kemukakan peradaban sejarah tidak lain adalah cerita mengenai peradapan Bugis Pagatan diharapkan nantinya akan dapat dijadikan sebagai sebagai bahan pertimbangan untuk merancang pembangunan Pagatan sebagai kota berwawasan kepariwisataan dan pendidikan khususnya bagi pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu

B. PAGATAN DAN BUGIS PAGATAN
1. Pagatan adalah salah satu wilayah dibagian tenggara Kalimantan Selatan dulunya merupakan hutan belantara yang banyak terdapat pohon rotan dan damar. Masyarakat sekitar hutan menyebut daerah ini sebagai tempat pemagatan tempat mengambil rotan kemudian setelah dibuka pemukiman kemudian diberikan nama Pagatan.
2. Bugis Pagatan adalah salah satu orang banua etnis suku bangsa yang ada di kalimantan Selatan yang hidup dan bermukim di Pagatan. Etnis Bugis Pagatan berasal dari keturunan Bugis Wajo dan Bugis Bone di Sulawesi Selatan. Menurut Prof. Dr. Mattulada, Disertasi LATOA (Yogyakarta:1985) Perkampungan suku bangsa Bugis terdapat hampir semua pantai dan pelabuhan di Kepulauan Nusantara ini. Mereka pada umumnya menetap dan menjadi penduduk daerah itu sambil mengembangkan adat istiadat persekutuan mereka. Terdapatlah misilanya; Bugis Pagatan di Kalimantan Selatan, Bugis Johor di Malaysia, dan sebagainya

C. SEKILAS KERAJAAN PAGATAN
1. Berdirinya Kerajaan Pagatan.
Pagatan pada abad pertengahan 18 diperkirakan masih hutan belantara yang banyak terdapat pohon rotan dan pohon damar, potensi hutan ini kemudian dijadikan warga sekitarnya sebagai tempat pemagatan (mengambil rotan) dan kemudian oleh warga pengambil rotan menyebut daerah ini tempat pemagatan. Meskipun tempat pemagatan ini hutan belantara namun demikian secara politik masuk dalam wilayah kerajaan Banjar. Diawal abad 18 pedagang pedagang bugis dari Sulawesi Selatan telah mengenal daerah ini sebagai tempat yang cukup strategis untuk alur perdagangan antar pulau, dengan demikian diwilayah tersebut diduga telah ada perkampungan atau setidaknya ada pemukiman penduduk yang memungkinkan berlangsungnya perekonomian.
Pada pertengahan abad 18 itu pula datanglah saudagar Bugis yang berasal dari Wajo (Sulawesi Selatan) bernama Puanna Dekke, dan atas izin Penguasa Kerjaan Banjar Puanna Dekke mendirikan kerajaan Pagatan. Dimana sebelumnya Puanna Dekke menghadap Panambahan Batu Raja Banjar, mengutarakan masuk ketertarikannya untuk membangun pemukiman diwilayah tersebut, kemudian penambahan menyetujui permohonan dan keinginan Puanna Dekke dan inilah cikal bakal terbentuk sistem pemerintahan di Pagatan.
Dalam catatan lontara disebutkan pula bahwa pada saat Puanna Dekke memohon izin kepada Panambahan Batu atau Nataalam atau Penambahan Khairuddin Halilullah yang memerintah tahun 1761-1801, ditegaskan bila mana Puanna Dekke telah menanamkan sejumlah investasi biaya untuk membuka daerah (yang merupakan hutan belantara) tersebut maka ia berhak penuh atas wilayah itu dan dapat diwariskan kepada anak cucu dikemudian hari. Penegasan dari Penambahan inilah yang dipegang Puanna Dekke untuk mendirikan kerajaan Pagatan dan kewenangannya membentuk sistem pemerintahan dengan mengangkat Raja Pagatan yang pertama Hasan Pangewa yang merupakan cucu puanna Dekke sendiri.
Konon Hasan Pangewa pernah mendaptkan anugerah kehormatan dari Raja banjar, yaitu gelar Kapitan Laut Pulo. Anugerah ini didapatkan Hasan Panggewa atas keperkasaannya membantu kerajaan Banjar mengusir para pemberontak yang telah mengganggu keamanan kerajaan Banjar. Kemudian dalam kesempatan ini pula Hasan Pangewa menerima amanah Penambahan, kembali menegaskan bahwa Pagatan yang telah dibangun dipersilahkan untuk dikuasai dan diwariskan kepada anak cucu Puanna Dekke.
Kerajaan Pagatan adalah disatu pihak memiliki hak otonom dalam hal mengatur sistem pemerintahan kedalam, dipihak lain sebagaimana kerajaan-kerajaan kecil pada umumnya tetap berada dibawah daulat kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar yang merupakan kerajaan besar di Kalimantan pada masa itu berfungsi sebagai pelindung terhadap kerajaan Pagatan. Oleh karena itu kerajaan Pagatan tidak ada hubungan pemerintahan dengan kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, secara politis kerajaan Pagatan dianggap termasuk wilayah kerajaan Banjar.

2. Raja Pagatan Yang Berkuasa.
Diperkirakan Kerajaan Pagatan berlangsung dari tahun 1761- 1912. Beberapa orang raja yang pernah memerintah Pagatan yaitu :
Raja Pagatan I : Hasan Pangewa bergelar Kapitan Laut Polu,
Putra Hasan Pangewa belum dewasa yaitu Abdul Rachim maka diangkat pelaksana tugas yaitu Raja Bulo.
Raja Pagatan II : Abdul Rachim bergelar Aroeng Palewan. Selanjutnya digantikan putranya.
Raja Pagatan III : Arung Abdul Karim , kemudian digantikan putranya.
Raja Pagatan IV : Arung Abdul Jabbar sampai 1875.
Raja Pagatan V : Ratoe Aroeng Daeng Makao, anak perempuan dari Aroeng Palewan. Kemudian digantikan oleh putranya Abdurachim akan tetapi belum dewasa maka dipercayakan kepada kakak perempuannya Andi Tangkung.
Raja Pagatan VI : Andi Tangkung bergelar Petta Ratu kakak perempuan Aroeng Abdurachim.
Raja Pagatan VII : Aroeng Abdurachim (Andi Sallo).
Pada masa-masa akhir pemerintahan Kerajaan Pagatan terjadi kesulitan suksesi. Aroeng Abdurachim menginginkan Andi Katjong, putra tertuanya sebagai pengantinya jadi raja Pagatan VIII. Sementara Andi Tangkung menghendaki pula putranya Andi Iwang untuk menjadi raja Pagatan VIII setelah Aroeng Abdurachim. Melihat kenyataan ini setahun sebelum meninggal yakni pada 20 April 1907, Aroeng Abdurachim mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa Kerajaan Pagatan dan Kusan diserahklan kepada pemerintah Belanda. Maka setelah empat tahun (1908-1912) pelaksana pemerintahan Kerajaan Pagatan dan Kusan dibawah suatu kerapatan (Zelfbestuursraad) terhitung tanggal 1 Juli 1912 kerajaan Pagatan dan Kusan dilebur ke dalam pemerintahan langsung Hindia Belanda.

D. NELAYAN BUGIS PAGATAN
1. Profesi nelayan dan Musim Ikan.
Warga masyarakat yang bermukim disekitar bibir Pantai Pagatan adalah bugis Pagatan yang berprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan faktor-faktor sosial ekonomi, sifat pekerjaan dan pengetahuan masyarakat nelayan dapat dibedakan dalam tiga golongan yaitu Pongawa, Jurumudi, Sawi. Pungawa darat adalah nelayan pemilik armada nelayan adalah mereka yang menyediakan modal dan alat penangkapan. Jurumudi adalah mereka yang akan memimpin operasi penangkapan ikan, sedangkan Sawi adalah mereka yang membantu jurumudi untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut.
Berdasarkan pembagian tersebut diatas maka sesungguhnya yang dapat disebut nelayan dalam pengertian sebenarnya adalah Jurumudi dan sawi, sebab merekalah yang langsung turun kelaut melakukan operasi penangkapan ikan serta memiliki teknis pengetahuan tentang keterampilan menangkap ikan dilaut. Sementara Ponggawa lebih cocok disebut sebagai pengusaha ikan sebab kegiatan mereka lebih pada proses pengolahan ikan sebagai suatu kegiatan produksi yang akan diperdagangkan baik didalam wilayah sendiri maupun diluar daerah.
Musim Ikan bagi para nelayan Bugis Pagatan juga disebut musim Barat yaitu berlangsung pada bulan Oktober-April karena pada waktu ini angin bertiup dari arah Barat kemudian membawa gerombolan ikan kembung (Rumah-rumah) mendekati dan menyisir pesisir laut di perairan tenggara Kalimantan Selatan yaitu mulai dari Tanjung Selatan sampai ke Pulau Laut. Kemudian pada bulan Mei – September berlangsung musim tenggara ini bagi nelayan adalah masa paceklik, karena agin tenggara yang bertiup membawa ikan keluar dari pesisir pantai untuk kembali berkembang biak ditengah laut dalam laut jawa sekitar Pulau Masa Lembu (Jawa Timur). Terdapatnya musim ikan dan musim paceklik ini tidak terlepas dari sifat biologis jenis ikan kembung tersebut untuk selalu bermigrasi sebagai siklus hidup ikan kembung.

2. Era Perikanan Pagatan (1960-1980)
Sebagai suatu wilayah pesisir, Pagatan sesungguhnya tidak pernah sepi dari kegiatan perikanan, sebab bagi masyarakat pesisir bugis Pagatan telah menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian pokok untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan hidup. Hingga tahun 1950-an perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi, setelah sektor perkebunan yang dimiliki oleh para bangsawan bugis Pagatan mengalami kemerosotan, memasuki tahun 1960-an Pagatan mengalami era Perikanan.
Disamping karena merosotnya sektor perkebunan, semakin penting sektor perikanan juga disebabkan oleh semakin banyak nelayan dari Sulawesi yang datangkan oleh Para Punggawa, sebab nelayan dari selawesi lebih maju sarana dan prasarana alat tangkapnya yang kemudian ditiru oleh masyarakat setempat. Kemudian tidak terkecuali peranan petugas Dinas perikanan setempat yang turut pula memperkenalkan alat-alat baru. Kesemuanya itu bermuara pada meningkatnya hasil perikanan laut sehingga memacu semangat penduduk untuk bekerja sebagai nelayan.
Perkampungan nelayan dipesisir Pantai Pagatan di era perikanan berkembang pesat terutama di Kampoeng Pejala yang berupakan basis nelayan Bugis Pagatan. Namun memasuki tahun 1980-an para warga nelayan Pagatan mengalami penurunan produksi hal ini disebabkan kalah bersaing dengan nelayan yang datang dari luar terutama dari Jawa Timur. Nelayan Jawa Timur mengalami kemajuan pesat dalam pengetahuan dan teknologi penangkapan. Sementara nelayan Pagatan pengetahuan nelayan yang didapatkannya hanya pada pengalaman tidak ditunjang dengan pengembangan pengetahuan bagi nelayan akibatnya kalah bersaing dalam kegiatan oprasi penangkapan ikan.
Kemudian ikan yang diharapkan datang dari laut jawa menuju pesisir sudah terpotong peredaran disamping karena kerusakan habitat ikan dilaut juga karena terlebih dahulu dilakukan operasi dari nelayan dari Jawa dan hal ini berlangsung hingga sekarang, menyebabkan pekerjaan nelayan mulai ditinggal sebahagian besar masyarakat nelayan Bugis Pagatan.
Kemudian memasuki era reformasi tahun 2000 kehidupan warga nelayan semakin tidak menentu seiring tidak setabilnya perekonomian negara dan semakin melonjaknya harga BBM, mengakibatkan nelayan tidak dapat melakukan operasional karena pengeluaran operasional lebih besar dari pendapat hasil tangkapan ikan yang didapatkan. Hingga tahun 2006 setelah beberapa kali kenaikan BBM maka hampir 80 % nelayan di Pagatan tidak melakukan kegiatan lagi dilaut mereka lebih cenderung menjual armada dan alat tangkapnya atau mengudangkannya.

E. BUDAYA MAPPANRETASI
1. Pengertian Mappanretasi.
Mappanretasi adalah suatu acara ritual ungkapan rasa syukur nelayan Bugis Pagatan kepada Tuhan atas kesejahteraan yang didapatkan melalui hasil tangkapan ikan dilaut oleh nelayan. Acara ini dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan April mana kala Musim Ikan atau Musim Barat sudah mulai berahir. Pelaksanaan acara ritual styukuran Mappanretasi berlangsung ditengah laut dipimpin oleh sandro, digiring dan diikuti oleh kapal-kapal para nelayan. Setelah acara ritual syukuran dilaut selesai kemudian rumbongan sandro kembali kedarat untuk menjalin silaturrahim dengan para undangan yang hadir, sekalgus menerima ucapan selamat atas terlaksananya upacara Mappanretasi dari para undangan.
Selanjutnya penyelenggaraan Mappanretasi tidak saja menyajikan acara ritual syukuran Mappanrertasi, juga diadakan berbagai pegelaran atraksi budaya daerah baik atraksi budaya bugis Pagatan maupun budaya etnis suku bangsa lain yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu.

2. Kapan pertama kali Mappanrettasi
Tidak ada catatan yang dapat dijadikan bukti sejarah tentang kapan pertama kali acara Mappanretasi dilaksanakan. Namun yang pasti bahwa acara ini dilakukan setiap tahun sekali oleh masyarakat nelayan Bugis Pagatan, adapun waktu pelaksanaannya setiap bulan april dimana masa tertsebut kegiatan nelayan dilaut sudah mulai berkurang atau dengan kata lain musim ikan (Musim Barat Oktober-April) sudah berahir dan menunggu musim ikan tahun depan.
Pada masa pemerintahan Lasuke (1920-1955) Kepala Kampoeng Pejala penyelenggaraan Mappanretasi setiap tahun selalu memotong kerbau untuk disuguhkan kepada siapapun orang yang berkunjung menghadiri Mappanretasi. Rumah Lasuke dan rumah-rumah para ponggawa terbuka untuk siapapun, demikian juga perahu-perahu nelayan dipenuhi makanan yang akan disuguhkan bagi pengunjung yang berkenanan naik menumpang diatas perahu mengikuti acara ritual Mappanretasi.
Pada tahun 1960-1980 masa kejayaan masyarakat nelayan di Pagatan, setiap penyelenggaraan Mappaneretasi juga digelar berbagai pertunjukan baik itu perlombaan perahu nelayan maupun hiburan pada malam-malam menjelang pelaksaan Mappanretasi. Selanjutnya acara sukses digelar sehingga menarik perhatian pemerintah khususnya petugas pegawai perikanan yaitu Bapak Sukmaraga kemudian Bapak Masguel untuk meningkatkan penyelenggaraan Mappanretasi lebih terorganisasi. Oleh karena itu Mappanretasi kemudian ditetapkan waktunya yaitu 6 April bertepatan dengan hari Nelayan Nasional, kemudian penyelengaraan Mappanretasi digelar berbagai acara sebelumnya hingga hari puncak, maka dari itu kemudian penyelenggaraan Mappanretasi dikenal dengan nama Pesta Laut Mappanretasi.
Acara Mappanretasi setiap tahun mendapat kunjungan banyak wisatawan, sehingga pada tahun 1991 Mappanretasi ditetapkan sebagai Event Wisata Visit Indonesia Year 1991 dan Visit Asean Year 1992. Atas dukungan Kakanwil Deparpostel Kalsel Bapak A. Khalik, sebab beliau menilai Mappanretasi mempunyai daya tarik pengujung yang selalu membeludak setiap kali penyelenggaraan sampai sekarang ini, masih tetap dilestariakan bahkan selalu dikembangan dengan membumbuhi berbagai atraksi baik budaya maupun kesenian tradisional dan modern.

3. Prosesi Mappanretasi.
a. Penetapan waktu Mappanretasi.
Sesepuh Nelayan atau pemangku adat mengadakan pertemuan dengan melibatkan para Ponggawa, Pua Sandro dan Pua Imang untuk bermusyawarah untuk bermufakat mempersiapkan penyelenggaraan dan menetapkan waktu mappanretasi, acara ini berlangsung dikediaman Pambakala Kampoeng sekarang rumah Kepala Desa Wirittasi atau disekretarat Lembaga Adat Mappanretasi.
b. Pelaku Mappanretasi.
Dalam penyelenggaraan Mappanretasi ada dua unsur kepanitian ada yang sifatnya umum dan khusus. Panitia umum adalah menyiapkan penyelenggaraan pegelaran atraksi budaya Mappanretasi, sedangkan panitia khusus seksi Penata Adat mempersiapkan pelaksanaaan acara ritual syukuran Mappanretasi. Adapun mereka yang mempunyai peranan pada acara syukuran Mappanretasi, yaitu :
1. Pua Sandro, yang terdiri dari tiga orang berpakaian kuning tugasnya adalah memimpin berlangsung acara ritual Mappanretasi di laut.
2. Sesepuh Adat adalah para Kepala Desa di empat desa pesisir Pantai Pagatan yaitu Gusungnge, Wirittasi, Juku Eja, dan Pejala selaku pihak pelaksana Mappanretasi.
3. Penggowa, Juru Mudi dan Jurubatu yang mempersiapan pasilitas baik biaya penyelenggaraan maupun memandu sandro untuk sampai pada titik acara Mappenretasi dilaut.
4. Ibu-ibu nelayan juga turut ambil bagian untuk mendampingi Pua Sandro. Tugas mempersiapkan segala macam keperluan acara ritual mappanretasi kemudian mengaturnya sedemikian rupa.
5. Sepasang pengantin adat Bugis.
6. Sejumlah penari mappakaraja.
7. Penata Adat sebagai pemandu acara.
- Rangkaian acara Mappanretasi.
1. Acara pemberangkatan Rombongan Sandro dari rumah Kepala Kampoeng menuju panggung adat tempat berkumpulnya para undangan, diarak dengan menggunakan perahu Pejala dipandu oleh Juru Mudi dan Juru Batu.
2. Pua Sandro tiba didermaga panggung adat disambut oleh Sesepuh nelayan para ponggwa kemudian segera naik kepanggung adat untuk mengambil perlengakapan acara ritual Mappanretasi. Disini dilaksanakan acara penyerahan olo sandro dari sesepuh adat kepada sandro.
3. Selanjutnya Sandro segera turun kelaut membawa olo sandro diiringi Sesepuh Adat, Ponggawa, Juru Mudi, Juru Batu, dan Para Undangan dengan menggunakan perahu pejala melaju ketengah laut untuk melaksanakakan acara ritual Mappanretasi.
4. Upacara inti Mappanretasi berlangsung dilaut ditandai dengan pemotongan ayam hitam (Manu Tolasi) kemudian darahnya ditaburkan didalam air laut sekitar perahu sandro berlabuh. Setelah diadakan acara doa bersama menadai selesainya prosesi acara ritual Mappanretasi.

4. Mereka Yang Mengembangkan Mappanretasi
a. Pembakala Suke Bin Laupe.
Lasuke adalah Kepala Kampoeng Wirittasie Tahun 1920-1955. Sebagai Kepala kampoeng bagi para nelayan di Pesisir Pantai Pagatan, konon dirumah Lasuke dilaksanakan penyelenggaraan Mappanretasi setiap tahunnya memotong kerbau untuk disuguhkan kepada para tamu yang hadir dalam acara Mappanretasi. Bentuk penyelenggaraan Mappanretasi setelah melaksanakan acara ritual dilaut kemudian naik dan berkumpul dirumah Kepala Kampong Lasuke.

b. Pambakala Saing.
Setelah Lasuke wafat digantikan oleh Lasaing 1955-1970, pada jaman Lasaing teknologi perikanan alat tangkap ikan mulai berkembang seiring meningkatnya kesejahteraan nelayan pada masa ini ada petugas perikanan yang mendampingi nelayan yaitu Menteri Sukmaraga. Dengan adanya petugas perikanan ini Mappanretasi dilaksanakan secara kepanitiaan dengan mengelar. Sehingga Mappanretasi pada saat diberikan nama Pesta Laut sebab panitia disamping melaksanakan acara ritual Mappanretasi juga mengadakan berbagai acara seperti hiburan dan olah raga. Sekaligus juga memperingati hari nelayan yang jatuh pada setiap tanggal, 6 April oleh karena itu acara puncak Mappanretasi dilaksanakan setiap tanggal 6 april disesuaikan hari nelayan nasional.

Kemudian mereka yang juga telah berjasa adalah :
1. Bapak Sukmaraga petugas perikanan, yang pernah memberikan gagasan pelaksanaan Mappanretasi disesuai dengan hari perikanan nasional pada setiap 6 April. Kemudian hari perikanan ini dirayakan berbagai kegiatan kesenian sehingga kemudian dikenal dengan nama perayaan Pesta Laut mappanretasi. Bapak Masguel petugas perikanan yang mengantikan Bapak Sukmaraga yang telah memasuki masa pensiun. Penyelenggaraan Mappanretasi kemudian lebih terorganisasi melelaui pembentukan kepenitiaan.
2. Takoh-tokon pada permulaan penyelengaraan Mappanretasi dalam bentuk kepenitiaan tahun 1965- 1980 adalah : Pembakal Saing, Zainuddin S, H. Nakip, Nurdin BT, Abdul Syukur, Masgoel, H. Mahdin, Pua Kidang, M. Santari, dll. Kemudian tempat penyelenggaraan kegiatan pekan (Pasar Malam) berlangsung di Komplek Juku Eja.
3. Sandro Rahim dan Sandro Ladeka beberapa dekade terahir ini adalah orang yang dipercayakan oleh masyarakat nelayan memimpin pelaksanaan acara ritual syukuran Mappanretasi.
4. Masry Abdulganie, Mohammad Jabir, Fadly Zour, Ismail, BT, M. Ikrunsyah, Musaid AN, Andi Amrullah, Hamsury, Abdul Azis Hasboel, Burhansyah, Machmud Mashur, Faisal Batennie dan lain-lain yang berjasa memberikan warna atraksi budaya setiap penyelenggaraan Mappanretasi. Salah satu gagasan adalah adanya pekan Mappanretasi, diadakan berbagai pegelaran budaya kesenian berbagai daerah untuk tampil mengisi pekan Mappanretasi. Kemudian telah dibakukannya naskah Prosesi Mappanretasi sejak tahun 1991. (Nama tersebut diatas sebagian masih dapat memberikan keterangan informasi Mappanretasi).
5. Abdul Gani Habbe, ulama yang telah berperanan mengubah unsur-unsur mistik Mappanretasi, seperti pembacaan mantera-mantera dalam bahasa bugis diganti dengan doa-doa yang diajarkan dalam agama Islam.

d. Deparpostel Kalsel 1990-1995.
Sejak ditetapkan Mappanretasi sebagai Even Wisata Nasional tahun 1991 dengan dimasukan agenda Visit Asean Year, Mappanretasi dilaksanakan setiap bulan april akan tetapi tanggalnya disesuaikan dengan pasang surut air laut dibibir Pantai Pagatan, seperti sekarang mana kala air laut surut pada pagi hari menjelang siang maka waktu ini sesuai untuk dilaksanakan acara ritual Mappanrtetasi maksudnya agar orang dapat berkumpul dibibir pantai.
Salah seorang yang serius mempromosikan Mappanretasi sampai ke Mancanegara adalah A. Khalik (1991) mantan Kakanwil Deparpostel Kalimantan Selatan. Sejak tahun 1991 Mappanretasi diselenggarakan dengan baik dengan melibatkan unsur pemerintah baik Propinsi, Kabupaten, maupun pihak sponsor dan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku Mappanretasi. Acara Mappanretasi dikemas dengan melakukan berbagai pegelaran atraksi budaya sebelum acara inti Mappanretasi dilaksanakan.

F. KESIMPULAN
1. Bugis Pagatan adalah suku bangsa yang garis keturunan dari Sulawesi Selatan, kemudian mereka pada umumnya menjadi penduduk daerah Pagatan dengan mengembangkan adat istiadat persekutuan mereka, dan untuk selanjutnya disebut sebagai Bugis Pagatan.
2. Puanna Dekke adalah seorang bangsawa dari Wajo (Sulsel) yang telah berjasa membangun dan membentuk sistem pemerintahan di Pagatan dengan menobatkan Kapitan Laut Pulo Hasan Lapangewa sebagai Raja Pagatan Pertama. Kerajaan Pagatan adalah kerajaan kecil yang berdaulat kepada kerajaan Banjar yang lebih besar dan kerajaan Pagatan tidak hubungan pemerintahan dengan kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi.
3. Mayoritas nelayan di Pagatan adalah suku bangsa Bugis yang hidup dan bermukim disepanjang pesisir Pantai Pagatan. Setiap habis musim ikan biasanya warga nelayan menyelenggarakan Adat Mappanretasi sebagi bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah memberikan rezki melalui hasil laut, sekaligus juga mappanretasi dijadikan ajang silaturrahim. Kemudian dengan kemampuan Mappanretasi mendatangkan pengunjung yang besar pada setiap tahun maka ditetapkan adat Bugis di Banua banjar ini sebagai salah satu even wisata Kalimantan Selatan.

- - -


DAFTAR PUSTAKA
1. Lontara Kerajaan Pagatan.
2. Prof. Dr. Mattulada, Disertasi LATOA, Yagyakarta 1985.
3. Faisal, Penggunaan Bahasa Bugis Dalam Dakwah Islam di Pagatan, Sepkripsi IAIN Banjarmasin, tahun 1991.
4. Andi Syaiful Oeding, Perubahan Sosial Sebuah Masyarakat Pantai: Pagatan 1950-1990, Sipkripsi UGM Yoyakarta taun 1993.
5. Faisal Batennie, Budaya Bugis di Bumi Banjar, B.post tahun 1991.
6. Faisal B dan Musaid AN. Naskah Prosesi Mappanretasi, Penata Adat, Pagatan 1991.


Juku Eja, 14 April 2005
*Penata Adat Pemerhati Budaya Bugis Pagatan

DINAMIKA BUDAYA MAPPANRETASI

A. Pengertian Mappanretasi.
Kata “Mappanretasi” bersal dari bahasa Bugis yang secara harpiah berarti “memberi makan laut”. Namun dalam hakekatnya Mappanretasi adalah ungkapan rasa syukur dan terimaksih warga nelayan Bugis Pagatan kepada Tuhan (Allah SWT) atas rezki yang diberikan dalam bentuk hasil laut berupa ikan, melalui doa syukuran bersama yang dilakukan dilaut semoga dapat memberikan berkah untuk kesejahteraan warga nelayan.

Tahun 1960-1970 terjadi perubahan sosial ekonomi yang penting di Pagatan yaitu mulai memudarnya peran kaum bangsawan dan menguatnya peran kelas menengah dalam kegiatan perekonomian melalui komuditas sektor perikanan, akibat kegiatan sektor perikanan yang semakin dominan para ponggawa semakin penting dalam perubahan sosial.
Semaraknya kegiatan perikanan dan semakin kokohnya posisi kelas menengah pada gulirannya membawa implikasi dalam sosial dan budaya. Keberlimpahan hasil perikanan bagi para nelayan disikapi dengan pembentukan simbol-simbol. Demikian pada setiap usianya musim ikan kembung (Rumah-rumah), para nelayan yang dipelopori Ponggawa dan Warga Nelayan Bugis Pagatan menyelernggarakan suatu bentuk upacara yang disebut “Mappanretasi”. Upacara yang berlangsung secara adat ini memiliki muatan relegius, karena ia dianggap sebagai maneifestasi serta uangkapan rasa syukur dan terimaksih kepada Tuhan (Allah SWT) atas rezki yang diberikan dalam bentuk hasil laut berupa ikan. Melalui upacara inipulah nelayan berdoa semoga tahun-tahun berikutnyab diberikan rezeki yang lebih baik lagi. Meskipun ucapaca Mappanretasi ini telah berlangsung jauh sebelumnya sehingga telah menjadi tradisi, akan tetapi penyelenggaraan masih dalam lingkup yang terbatas, khusus dalam lingkungan warga nelayan Bugis Pagatan.
Ketika Pagatan mengalami era Perikanan, yakni pada wakti hasil perikanan telah memberikan arti bukan hanya kepada para nelayan; upacara Mappanretasipun mengalami proliferasi. Sehingga jika sebelumnya upacara mappanretasi boleh dikata hanya milik nelayan, dalam perkembangan kemudian menjadi milik masyarakat nelayan pada umum. Begitulah jika atas kesepakatan para nelayan seluruh Indonesia yang berkumpul di Bogor pada tahun 1969, tanggal 6 April 1969 ditetapkan sebagai hari nelayan. Sementara di Pagatan (Kab, Kotabaru) tanggal 6 april ditetapkan sebagai Hari Nelayan daerah dengan upacara mappanretasi diangkat sebagai substansi acaranya dan terus dilangsung setiap tahun.
(tamat)



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.