Sabtu, 04 Januari 2014

Seleukos I Nikator

Patung Seleukos I

Masa kekuasaan 305 SM – 281 SM
Dinobatkan 305 SM, Seleukia
Lahir sek. 358 SM
Tempat lahir Orestis, Makedonia
Wafat September 281 SM (usia 77)
Tempat wafat Lysimakhia, Thrakia
Pendahulu Alexandros IV dari Makedonia
Pengganti Antiokhos I Soter
Istri Apama
Stratonike
Dinasti Dinasti Seleukid
Ayah Antiokhos
Ibu Laodike

Seleukos I Nikator (bahasa Yunani: Σέλευκος Νικάτωρ (bahasa Hindi: सेल्यूकस), "Seleukos Sang Pemenang") (sek. 358 SM – 281 SM) adalah seorang perwira Makedonia bawahan Aleksander Agung dan merupakan salah seorang Diadokhoi. Dalam Perang Diadokhoi yang terjadi setelah kematian Aleksander, Seleukos mendirikan dinasti Seleukid dan Kekaisaran Seleukia. Kerajaannya di kemudian hari menjadi salah satu bekas kekuasaan Aleksander terakhir yang ditaklukan oleh Romawi. Di antara bekas kekuasaan Aleksander, hanya Kerajaan Ptolemaik di Mesir yang bertahan lebih lama daripada Kekaisaran Seleukia.
Setelah kematian Aleksander, Seleukos diangkat sebagai satrap Babylon pada tahun 320 SM. Antigonos memaksa Seleukos untuk pergi dari Babylon, namun dengan dukungan dari Ptolemaios, Seleukos berhasil kembali pada tahun 312 SM. Seleukos kemudian berhasil menaklukan Persia dan Media. Dia membentuk persekutuan dengan raja India, Chandragupta Maurya. Seleukos mengalahkan Antigonos dalam Pertempuran Ipsos pada tahun 301 SM dan Lysimakhos dalam pertempuran Korupedion pada tahun 281 SM. Seleukos dibunuh oleh Ptolemaios Kreaunos pada tahun 281 SM. Dia digantikan oleh putranya, Antiokhos I.





Sumber

Perang Diadokhoi

Perang Diadokhoi adalah serangkain konflik yang terjadi antara para Diadokhoi. Diadokhoi adalah para mantan jenderal Aleksander yang Agung yang mewarisi wilayah kekuasaannya. Mereka saling bersaing dan berperang demi wilayah kekuasaan antara 322 dan 275 SM.

Kerajaan-kerajaan Diadokhoi setelah Pertempuran Ipsos, 301 SM.
██ Kerajaan Ptolemaios I Soter ██ Kerajaan Kassandros ██ Kerajaan Lisimakhos ██ Kerajaan Seleukos I Nikator ██ Epiros Lainnya ██ Kartago ██ Republik Romawi ██ Koloni Yunani






Sumber

Antiokhos III yang Agung


Masa kekuasaan 223 SM - 187 SM
Pendahulu Seleukos III Keraunos
Pengganti Seleukos IV Philopator
Istri Laodice III dari Pontus
Euboea dari Chalcis
Anak Antiokhos
Seleukos IV Philopator
Ardys
anak perempuan yang tak diketahui namanya
Laodice IV, Ratu Kekaisaran Seleukia
Kleopatra I Syra, Ratu Mesir
Antiokhis, Ratu Kapadokia
Antiokhos IV Epiphanes

Antiokhos III yang Agung, (Yunani Ἀντίoχoς Μέγας; ca. 241–187 SM, berkuasa 222–187 SM), putra dari Seleukos II Kallinikos, menjadi penguasa ke-6 Kekaisaran Seleukia. Naik takhta pada usia muda, Antiokhos adalah penguasa yang ambisius. Meskipun usaha awalnya dalam peperangan melawan Kerajaan Ptolemaik tidak berhasil, pada tahun berikutnya penaklukan Antiokhos membuktikan bahwa Antiokhos adalah Raja Seleukia paling berhasil setelah Seleukos I sendiri.

Riwayat hidup

Ia naik tahta ketika berusia 18 tahun pada tahun 223 SM. Serangan pertamanya melawan Kerajaan Mesir (Dinasti Ptolemaik) tidak berhasil, tetapi pada tahun-tahun kemudian ia berhasil memperoleh kemenangan militer. Hal ini dinubuatkan oleh nabi Daniel dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama di Alkitab Kristen) dalam pasal 11 kitabnya. Gelar Agung dipakainya hanya sebentar. Ia juga memakai gelar "Basileus Megas" (bahasa Yunani untuk "Raja Agung"), yang biasanya dipakai untuk raja-raja Persia (="Syah").
Ia menyebut diri sendiri "pemenang kemerdekaan Yunani atas dominasi Romawi" saat berperang melawan Republik Romawi di tanah Yunani pada musim gugur tahun 192 SM.[1][2] Namun pada tahun 191 SM, tentara Romawi di bawah pimpinan konsul Manius Acilius Glabrio mengalahkannya dalam Perang Thermopylae dan memaksanya mundur ke Asia Kecil. Tentara Romawi terus menyerang Anatolia, dan kemenangan telak Scipio Asiaticus dalam Perang Magnesia ad Sipylum (190 SM), setelah kalahnya Hannibal di laut dekat Side, membuat Republik Romawi menguasai Asia Kecil seluruhnya.
Berdasarkan "Perjanjian Apamea" (188 SM) raja Seleukia harus angkat kaki dari wilayah di utara pegunungan Taurus, yang diberikan oleh Republik Romawi kepada sekutu-sekutunya di sana. Akibat kekalahan ini, provinsi-provinsi di perbatasan luar Kerajaan Seleukia mulai melepaskan diri. Antiokhos melancarkan serangan baru ke bagian timur di Luristan, di mana ia gugur ketika menyerang sebuah kuil dewa Bel di Elymaïs, Persia, pada tahun 187 SM.[2]

 Wilayah Kerajaan Seleukia ketika Antiokhos III naik tahta.

Keluarga

Pada tahun 222 SM, Antiokhos III menikah dengan Laodice III dari Pontus, putri raja Mithridates II dari Pontus dan Laodice II. Pasangan ini adalah saudara sepupu dari kakek yang sama, Antiokhos II Theos. Antiokhos dan Laodice mempunyai 8 anak (3 putra dan 5 putri):
  • Antiokhos (221 - 193 BC), putra mahkota dan raja bersama ayahnya dari tahun 210 - 193 SM
  • Seleukos IV Philopator (~220 - 175 SM), penerus tahta Antiokhos III
  • Ardys
  • putri yang tidak disebut namanya, pada tahun 206 SM bertunangan dengan Demetrius I dari Bactria.
  • Laodice IV, menikah dengan 3 saudara laki-lakinya berturutan dan menjadi Ratu Kerajaan Seleukia pada pernikahan ke-2 dan ke-3.
  • Kleopatra I Syra (~204 - 176 SM), pada tahun 193 SM menikah dengan Ptolemaios V Epiphanes, raja Mesir.
  • Antiokhis, pada tahun 194 SM menikah dengan Ariarathes IV, raja Kapadokia.
  • Antiokhos IV Epiphanes (nama waktu mudanya Mithridates) (215 - 164 SM), meneruskan tahta kakaknya Seleukos IV Philopator pada tahun 175 SM.
Laodice III mati sekitar tahun 191 SM. Kemudian pada tahun yang sama, Antiokhos III menikah lagi dengan Euboea dari Chalcis. Mereka tidak mempunyai anak.[3]

Mata uang logam Antiokhos Agung. Tulisan Yunani berbunyi ΒΑΣΙΛΕΩΣ ΑΝΤΙΟΧΟΥ, Raja Antiokhos.

Hubungan dengan orang Yahudi

Antiokhos III menempatkan 2000 keluarga Yahudi dari Babel ke daerah berkebudayaan Yunani di Lydia dan Phrygia.[4] Sejarawan Flavius Yosefus menggambarkannya berlaku baik terhadap orang Yahudi dan menghargai kesetiaan mereka kepadanya dengan menurunkan pajak serta membiarkan mereka hidup "menurut hukum nenek moyang mereka".[5] Berlawanan sekali dengan putranya, Antiokhos IV, yang menindas orang Yahudi, menghina Bait Allah dan menyebabkan pemberontakan Makabe yang menjadi asal mula peringatan Hanukkah.

Referensi

  1. ^ Whitehorne, John Edwin George (1994). Cleopatras. Routledge. hlm. 84. ISBN 9780415058063. "...pada musim gugur tahun 192 SM mereka mendengar bahwa Antiokhos III telah menyeberang ke Yunani dengan tentaranya dan menyatakan diri sebagai pemenang kemerdekaan Yunani atas dominasi Romawi."
  2. ^ a b Wilson. Nigel Guy (2006). Encyclopedia of ancient Greece. Routledge. hlm. 58. ISBN 9780415973342. "ANTIOCHUS III THE GREAT c242-187 BC Seleucid king Antiochus III the Great was the sixth king (223-187 BC) … Antiochus landed on the mainland of Greece posing as a champion of Greek freedom against the Romans (192 BC)."
  3. ^ http://www.livius.org/am-ao/antiochus/antiochus_iii.html
  4. ^ Eerdmans Dictionary of the Bible. Amsterdam University Press. 2000. hlm. 61. ISBN 9053565035, 9789053565032 Check |isbn= value (help). "Jewish settlements in the interior of Asia Minor were known as early as the 3rd century BCE when Antiochus III resettled 2000 Jewish families from Babylonia into Lydia and Phrygia"
  5. ^ Flavius Josephus. Antiquities, bab 3, bagian 3-4.


Sumber

Antiokhos IV Epiphanes

Patung dari Antiokhos IV di Museum Altes, Berlin.
 
Masa kekuasaan 175 SM – 164 SM
Pendahulu Seleukos IV Philopator
Pengganti Antiokhos V Eupator
Istri Laodikce IV
Anak Antiokhos V Eupator
Laodike VI
Alexander Balas (tidak resmi)
Antiokhis
kemungkinan Laodike (istri Mithridates III dari Pontus)
Dinasti Diansti Seleukid
Ayah Antiokhos III yang Agung
Ibu Laodike III

Antiokhos IV Epiphanes (175-164 SM; juga dieja "Antiokhus Epifanes") adalah putra dari Antiokhos III yang sempat dijadikan sandera di kota Roma pada peristiwa perdamaian Aparnea.[1] Pada tahun 177 SM ia dibebaskan dan posisinya digantikan oleh Demitrios, anak dari Seleukos IV.[1] Antiokhos kemudian memilih untuk tinggal di Atena.[1] Setelah Seleukos IV dibunuh akibat pengaruh dari Heliodoros, Antiokhos IV segera menjadi penguasa sesudah menyingkirkan Heliodoros terlebih dahulu.[1]
Hal yang ditakutkan oleh Anthiokhos IV Epifanes adalah pecahnya kerajaan.[2] Oleh sebab itu, ia giat melakukan upaya helenisasi supaya kesatuan kerajaannya tetap terjamin.[2] Helenisasi yang dilakukannya sangat berpengaruh besar terutama bagi kehidupan masyarakat dan budaya orang-orang Yahudi.[2] Apalagi dalam helenisasi, orang-orang diminta ikut berpartisipasi dalam upacara persembahan korban bagi dewa-dewa.[2]
Akibat ulahnya sendiri yang dianggap keterlaluan, mulailah muncul pemberontakan dalam kota.[2] Antiokhos menjadi sangat marah dan bertekad memberi pelajaran kepada orang-orang yang menentangnya terutama orang-orang Yahudi.[2] Ia mengeluarkan sebuah larangan bagi orang-orang Yahudi menjalankan hukum-hukum dan adat-istiadat mereka. Berbagai praktik ibadah orang Yahudi tidak boleh dilakukan dan setiap pelanggarnya akan menerima hukuman mati.[2] Puncak dari tindakan Antiokhos ini adalah saat ia menempatkan altar dewa Zeus Olympus di atas altar Bait Allah dan meletakkan daging babi untuk dipersembahkan sebagai sesajen pada tanggal 25 Kislew 168 SM, yang menyulut pemberontakan Yudas Makabe untuk menyucikan kembali Bait Allah serta dimulainya hari raya Hanukkah sejak tanggal 25 Kislew 165 SM.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d {id} H.Jagersma. 2003. Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba:Sejarah Israel dari 330 SM-135 M). Jakarta:BPK Gunung Mulia. hlm. 59.
  2. ^ a b c d e f g h {id} D.S Russell. 2007 Penyingkapan Ilahi. Jakarta:BPK Gunung Mulia. hlm. 34.



Sumber

Suku Zebulon

Suku Zebulon (bahasa Ibrani: שבט זְבוּלֻן Shevet Zvulun, Šḗḇeṭ Zəḇûlūn; bahasa Inggris: Tribe of Zebulun; alternatif nama: Zabulon, Zabulin, Zabulun, Zebulon) adalah salah satu dari suku-suku Israel menurut Alkitab Ibrani, keturunan dari Zebulon, putra Yakub.

Sketsa Portugis untuk Suku Zebulon.

Wilayah

Suku Zebulon menerima daerah kepunyaan mereka menurut undian yang ke-3 pada zaman Yosua. Batas milik pusaka mereka sampai ke Sarid. Ke sebelah barat batas mereka itu naik ke Marala, menyinggung Dabeset, kemudian menyinggung sungai yang mengalir lewat Yokneam. Dari Sarid batas itu berbalik ke timur, ke arah matahari terbit, melalui daerah Kislot-Tabor, menuju Dobrat, naik ke Yafia; dari sana terus ke timur, ke arah matahari terbit, ke Gat-Hefer, ke Et-Kazin, menuju ke Rimon, dan melengkung ke Nea. Kemudian batas itu membelok mengelilinginya di sebelah utara Hanaton, dan berakhir di lembah Yiftah-El. Lagi Katat, Nahalal, Simron, Yidala dan Betlehem; dua belas kota dengan desa-desanya[1].

Wasiat Yakub

Kejadian 49:13: "Zebulon akan diam di tepi pantai laut, ia akan menjadi pangkalan kapal, dan batasnya akan bersisi dengan Sidon."

Berkat Musa

Ulangan 33:18-19: Tentang Zebulon ia berkata: "Bersukacitalah, hai Zebulon, atas perjalanan-perjalananmu, dan engkaupun, hai Isakhar, atas kemah-kemahmu. Bangsa-bangsa akan dipanggil mereka datang ke gunung; di sanalah mereka akan mempersembahkan korban sembelihan yang benar, sebab mereka akan mengisap kelimpahan laut dan harta yang terpendam di dalam pasir."

Sejarah

Dalam Nyanyian Debora, suku Zebulon, bersama suku Naftali, dipuji keberaniannya dalam perang melawan Sisera[2].
Orang-orang dari suku Zebulon termasuk yang datang memenuhi panggilan Gideon untuk berperang melawan Midian[3].
Ketika Kerajaan Israel pecah pada zaman raja Rehabeam, suku Zebulon bergabung dengan Kerajaan Israel Utara bersama 9 suku lain. Sewaktu kerajaan utara dikalahkan oleh Asyur pada tahun 722 SM dan semua penduduknya dibuang ke tempat lain, suku ini ikut tersebar dan terhitung sebagai 10 suku terhilang dari Israel.

Tradisi Kristen

  • Matius 4:13-17 mencatat pekerjaan Yesus memberitakan kabar baik dimulai dari daerah suku Zebulon dan suku Naftali, menggenapi nubuat nabi Yesaya: "Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, --bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang."[4]

Referensi




Sumber

Suku Naftali

Suku Naftali (bahasa Ibrani: שבט נַפְתָּלִי Shevet Naftali, Šḗḇeṭ Nap̄tālî; bahasa Inggris: Tribe of Naphtali) adalah salah satu dari suku-suku Israel menurut Alkitab Ibrani, keturunan dari Naftali, anak Yakub.

Wilayah

Suku Naftali menerima daerah kepunyaan mereka menurut undian yang keenam pada zaman Yosua. Daerah mereka mulai dari Helef, dari pohon tarbantin di Zaananim, Adami-Nekeb dan Yabneel, sampai ke Lakum, dan berakhir di sungai Yordan. Kemudian batas itu berbalik ke barat ke Aznot-Tabor, dari sana menuju ke Hukok, menyinggung daerah Zebulon di sebelah selatan, menyinggung daerah Asyer di sebelah barat dan daerah Yehuda pada sungai Yordan, di sebelah matahari terbit. Kota-kota yang berkubu ialah Zidim, Zer, Hamat, Rakat, Kineret, Adama, Rama, Hazor, Kedesh, Edrei, En-Hazor, Yiron, Migdal-El, Horem, Bet-Anat dan Bet-Semes; 19 kota dengan desa-desanya.[1].

Wasiat Yakub

Kejadian 49:21: "Naftali adalah seperti rusa betina yang terlepas; ia akan melahirkan anak-anak indah."

Berkat Musa

Ulangan 33:23: Tentang Naftali ia berkata: "Naftali kenyang dengan perkenanan dan penuh dengan berkat TUHAN; milikilah tasik dan wilayah sebelah selatan."

Sejarah

Dalam Nyanyian Debora, suku Naftali, bersaama suku Zebulon, dipuji keberaniannya dalam perang melawan Sisera[2]. Barak, pemimpin tentara dalam perang itu berasal dari suku Naftali[3].
Orang-orang dari suku Naftali termasuk yang datang memenuhi panggilan Gideon untuk berperang melawan Midian[4].
Ketika Kerajaan Israel pecah pada zaman raja Rehabeam, suku Naftali bergabung dengan Kerajaan Israel Utara bersama 9 suku lain. Sewaktu kerajaan utara dikalahkan oleh Asyur pada tahun 722 SM dan semua penduduknya dibuang ke tempat lain, suku ini ikut tersebar dan terhitung sebagai 10 suku terhilang dari Israel.

Orang-orang terkenal dari suku ini

Tradisi Kristen

  • Matius 4:13-17 mencatat pekerjaan Yesus memberitakan kabar baik dimulai dari daerah suku Zebulon dan suku Naftali, menggenapi nubuat nabi Yesaya: "Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, --bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang."[5]
 Sketsa Portugis untuk Naftali.

Pembagian tanah suku-suku Israel

Referensi



Sumber

Barak

Barak (pengucapan bahasa Inggris: [ˈbɛəræk] or /ˈbɛərək/[1]; Ibrani: בָּרָק, Ibrani Tiberias: Bārāq, "Lightning; Shine", bahasa Arab: البُراق al-Burāq, "lightning") anak Abinoam dari kota Kedesh di tanah suku Naftali, seorang jenderal tentara dalam Kitab Hakim-hakim di Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen, pada masa jabatan Debora sebagai Hakim Israel kuno. Barak dan Debora memimpin bangsa Israel mengalahkan tentara raja Hazor (Kanaan), Yabin, dan panglimanya, Sisera, yang menindas Israel selama 20 tahun (Hakim-hakim 4:3).
Dengan mengerahkan sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon, Barak dan Debora bergerak menuju gunung Tabor, di daerah Kedesh, tempat asal Barak. Mereka memerangi Sisera dan tentaranya, yang mempunyai 900 kereta besi, di sungai Kison. Tentara Israel membunuh semua tentara Sisera. Sisera dengan berjalan kaki melarikan diri ke kemah Yael, isteri Heber, orang Keni, seorang teman baik Yabin, raja Hazor. Yael mempersilakan Sisera bersembunyi dalam kemahnya. Ketika Sisera tertidur, Yael mengambil patok kemah dan palu, mendekatinya diam-diam, lalu dilantaknyalah patok itu masuk ke dalam pelipisnya sampai tembus ke tanah, maka matilah Sisera (Hakim-hakim 4:10,12-21).
Sisera dibunuh oleh seorang perempuan, bukan di tangan Barak, ini sesuai dengan nubuat Debora, karena Barak meminta Debora untuk maju berperang bersama-sama dengannya (Hakim-hakim 4:8-9).

Yael menunjukkan mayat Sisera kepada Barak, lukisan Albert Joseph Moore.

Catatan Sejarah

  • Kota Hazor, di mana raja Yabin memerintah Kanaan, sekarang adalah Tell el-Qedah, kira-kira 3 mil (4.8 km) barat daya Hula Basin.
  • Kota Haroset-Hagoyim, tempat tinggal panglima Sisera, sekarang diperkirakan adalah Tell el-'Amr, kira-kira 12 mil (19 km) barat laut Tel Megiddo.
Makam dekat Tel Kadesh yang diduga milik Barak atau Debora



Sumber

Debora

Debora atau Dvora (bahasa Ibrani: דְּבוֹרָה, Standar Dəvora Tiberias Dəḇôrāh, artinya "lebah") adalah seorang nabiah dan hakim perempuan satu-satunya dari zaman pra-kerajaan Israel di dalam Perjanjian Lama (Tanakh). Kisahnya diceritakan dalam dua pasal pada Kitab Hakim-hakim, yakni pasal 4 dan 5. Kisah pertama berbentuk prosa, yang menceritakan kemenangan pasukan Israel yang dipimpin oleh Jenderal Barak, yang dipanggil Debora namun ia bernubuat bahwa ia sendiri tidak akan menang melawan Jenderal Sisera, orang Kanaan. Kehormatan itu jatuh ke tangan Yael, istri Heber, seorang tukang tenda suku Keni. Yael membunuh Sisra dengan memakukan paku tenda di kepala Sisera ketika ia tidur.
Hakim-hakim 5 mengisahkan cerita yang sama dalam bentuk puisi. Bagian ini diduga disusun pada paruhan kedua dari abad ke-12 SM, tak lama setelah kejadian yang digambarkan tersebut. Bila demikian halnya, maka nas ini, yang sering disebut sebagai Nyanyian Debora, adalah bagian tertua di dalam Alkitab dan contoh yang paling awal yang masih tertinggal dari puisi Ibrani. Puisi ini juga penting karena ini adalah salah satu -- kalau bukan malah satu-satunya -- dari nas yang menggambarkan peranan perempuan bukan hanya sebagai korban atau sebagai penjahat. Puisi ini mungkin termasuk dalam Kitab Peperangan Tuhan yang disebutkan dalam Kitab Bilangan 21:14.
Tak banyak yang diketahui tentang kehidupan pribadi Debora. Ia tampaknya menikah dengan seorang lelaki yang bernama Lapidot (yang berarti "obor"), tetapi nama ini tidak ditemukan di luar Kitab Hakim-hakim, dan mungkin hanya menunjukkan bahwa Debora sendiri memiliki semangat yang "berapi-api". Debora adalah seorang penyair dan ia menyampaikan penghakimannya di bawah pohon kurma di Efraim. Sebagian orang menyebutnya sebagai ibu dari Israel. Setelah kemenangannya atas Sisera dan pasukan-pasukan Kanaan, seluruh negeri aman selama 40 tahun.

Interpretasi Gustave Dore tentang nabiah Debora
Peperangan Israel pada zaman Debora melawan Kanaan




Sumber

Gideon

Gideon (bahasa Ibrani: גִּדְעוֹן, Standar Gidʻon Tiberias Giḏʻôn), juga dikenal sebagai Yerubaal, adalah seorang hakim yang muncul dalam Kitab Hakim-hakim, di dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Kisahnya terdapat dalam Hakim-hakim 6-8. Ia juga disebutkan dalam Surat Ibrani sebagai contoh orang beriman. Gideon adalah anak Yoas, dari bani Abiezer dari suku Manasye. Nama Gideon berarti "Si Penghancur", "Pahlawan perkasa" atau "Penebang (pohon)".

Allah memilih Gideon

Seperti halnya pola di dalam Kitab Hakim-hakim, bangsa Israel kembali berpaling dari Allah setelah masa damai selama 40 tahun yang dihasilkan oleh kemenangan Debora atas Kanaan dan dibiarkan diserang oleh suku bangsa Midian dan Amalek yang tinggal di sekitarnya. Allah memilih Gideon, seorang pemuda dari sebuah keluarga yang tidak dikenal dari suku Manasye, untuk membebaskan rakyat Israel dan mengutuk penyembahan berhala mereka. Gideon sendiri tidak yakin akan dirinya dan perintah Allah, karena itu ia meminta bukti tentang kehendak Allah lewat sebuah mujizat:
36Kemudian berkatalah Gideon kepada Allah: "Jika Engkau mau menyelamatkan orang Israel dengan perantaraanku, seperti yang Kaufirmankan itu, 37maka aku membentangkan guntingan bulu domba di tempat pengirikan; apabila hanya di atas guntingan bulu itu ada embun, tetapi seluruh tanah di situ tinggal kering, maka tahulah aku, bahwa Engkau mau menyelamatkan orang Israel dengan perantaraanku, seperti yang Kaufirmankan." 38Dan demikianlah terjadi; sebab keesokan harinya pagi-pagi ia bangun, dipulasnya guntingan bulu itu dan diperasnya air embun dari guntingan bulu itu, secawan penuh air. 39Lalu berkatalah Gideon kepada Allah: "Janganlah kiranya murka-Mu bangkit terhadap aku, apabila aku berkata lagi, sekali ini saja; biarkanlah aku satu kali lagi saja mengambil percobaan dengan guntingan bulu itu: sekiranya yang kering hanya guntingan bulu itu, dan di atas seluruh tanah itu ada embun." 40 Dan demikianlah diperbuat Allah pada malam itu, sebab hanya guntingan bulu itu yang kering, dan di atas seluruh tanah itu ada embun.[1]

Perang melawan Midian

Atas perintah Allah, Gideon menghancurkan altar kota yang dipersembahkan kepada dewa asing Baal dan lambang dewi Asyera di sampingnya. Ia kemudian mengirimkan utusan-utusan untuk mengumpulkan orang-orang dari suku-suku Asyer, Zebulon, dan Naftali, serta dari sukunya sendiri Manasye untuk melawan pasukan-pasukan bangsa Midian dan Amalek yang telah menyeberangi Sungai Yordan dan yang saat itu sedang berkemah di Lembah Yizreel.
Allah berkata kepada Gideon bahwa orang-orang yang dikumpulkannya terlalu banyak. Dengan orang yang begitu banyak, pasukan Gideon dapat mengklaim bahwa kemenangan mereka tercapai karena kekuatan mereka, dan bukan karena Allah. Karena itu Allah menyuruh Gideon memulangkan orang-orang yang takut. Dari seluruh pasukannya, 22.000 orang pulang ke rumah dan yang tersisa hanya 10.000 orang:
4Tetapi TUHAN berfirman kepada Gideon: "Masih terlalu banyak rakyat; suruhlah mereka turun minum air, maka Aku akan menyaring mereka bagimu di sana. Siapa yang Kufirmankan kepadamu: Inilah orang yang akan pergi bersama-sama dengan engkau, dialah yang akan pergi bersama-sama dengan engkau, tetapi barangsiapa yang Kufirmankan kepadamu: Inilah orang yang tidak akan pergi bersama-sama dengan engkau, dialah yang tidak akan pergi." 5Lalu Gideon menyuruh rakyat itu turun minum air, dan berfirmanlah TUHAN kepadanya: "Barangsiapa yang menghirup air dengan lidahnya seperti anjing menjilat, haruslah kaukumpulkan tersendiri, demikian juga semua orang yang berlutut untuk minum." 6Jumlah orang yang menghirup dengan membawa tangannya ke mulutnya, ada tiga ratus orang, tetapi yang lain dari rakyat itu semuanya berlutut minum air. 7 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Gideon: "Dengan ketiga ratus orang yang menghirup itu akan Kuselamatkan kamu: Aku akan menyerahkan orang Midian ke dalam tanganmu; tetapi yang lain dari rakyat itu semuanya boleh pergi, masing-masing ke tempat kediamannya." [2]
Allah menunggu hingga malam turun sebelum Ia memberi perintah kepada Gideon untuk menyerang kubu bangsa Midian. Gideon memberikan masing-masing tentaranya sebuah terompet, obor, dan kendi dari tanah liat. Dengan diam-diam mereka mengepung perkemahan lawan, masing-masing obor disembunyikan di dalam sebuah kendi. Begitu Gideon memberikan tanda, setiap orang meniup terompetnya dan memecahkan kendinya. Allah membuat bangsa Midian kebingungan, sehingga mereka saling membunuh. Mereka yang selamat dan bingung melarikan diri dan terus mundur ke luar perbatasan Israel.
Meskipun Allah tidak menyuruhnya, Gideon kemudian mengumpulkan sejumlah besar orang untuk mengejar orang-orang Midian dan menghadang mereka. Akhirnya ia berhasil menangkap mereka dan kemudian membunuh Zebah dan Salmuna, dua raja Midian, untuk membalas dendam saudara-sudaranya yang terbunuh dalam pertempuran.
Bangsa Israel memohon kepada Gideon agar menjadi raja mereka, namun ia menolaknya. Katanya, Allah sajalah pemimpin mereka satu-satunya. Namun, yang menarik ialah bahwa ia tetap membuat "efod" dari emas yang dimenangkannya dalam pertempuran, yang membuat seluruh bangsa Israel kembali berpailng dari Allah.

Keturunan

Gideon mempunyai 70 putra dari istri-istrinya. Ia menikahi banyak perempuan, namun tidak disebutkan jumlahnya. Ia juga mempunyai seorang selir yang melahirkan seorang anak lelaki yang dinamainya Abimelekh (yang artinya "ayahku adalah raja"). Selama 40 tahun masa hidup Gideon, bangsa Israel hidup dalam damai. Setelah Gideon meninggal, Abimelekh, putra Gideon dari gundiknya, menyuruh bunuh semua tujuh puluh putra Gideon. Tetapi Yotam, putra bungsu Gideon, tinggal hidup, karena ia menyembunyikan diri.[3] Setelah seluruh warga kota Sikhem dan seluruh Bet-Milo menobatkan Abimelekh menjadi raja dekat pohon tarbantin di tugu peringatan yang di Sikhem, pergilah Yotam ke gunung Gerizim, berdiri di atasnya, lalu menyampaikan sebuah perumpamaan yang bersifat nubuat (dikenal sebagai "Perumpamaan Yotam" atau "Perumpamaan tentang pohon-pohon"; bahasa Inggris: Jotham's Parable atau Parable of the Trees; bahasa Ibrani: משל יותם) untuk mengecam perbuatan itu.[4] Nubuat yang disampaikannya terlaksana 3 tahun sesudahnya, dimana Abimelekh membunuhi penduduk kota Sikhem[5] dan dibunuh sendiri ketika menyerang kota yang dulu merupakan sekutunya.[6]

Referensi



Sumber

Kekaisaran Seleukia (2)

 Kekaisaran Seleukia diperlihatkan dalam warna kuning

Kekuasaan memudar dan kebangkitan kembali

Pada saat anak Antiokhos II, Seleukos II Kalinikos naik takhta sekitar 246 SM, kekuasaan Dinasti Seleukd tampak merosot. Selain dari pemisahan diri Parthia dan Baktria, Seleukos II secara dramatis dikalahkan dalam Perang Suriah Ketiga melawan Ptolemaios III dari Mesir, dan kemudian harus menghadapi perang saudara melawan saudaranya sendiri Antiokhos Hierax. Di Asia Kecil pula, Dinasti Seleukid tampaknya kehilangan kekuasaannya – bangsa Galia telah sepenuhnya memantapkan kekuasaannya di Galatia, kerajaan-kerajaan yang semi-independen semi-Helenis bermunculan di Bitinia, Pontus, dan Kapadosia, dan kota Pergamum di sebelah barat menyatakan kemerdekaannya di bawah Dinasti Attalid.
Tetapi Kekaisaran ini bangkit kembali ketika anak Seleukos II yang lebih muda, Antiokhos III yang Agung, naik takhta pada 223 SM. Meskipun mulanya gagal dalam Perang Suriah Keempat melawan Mesir, yang menyebabkan kekalahan yang memalukan pada Pertempuran Raphia (217 SM), Antiokhos belakangan membuktikan dirinya sebagai yang terbesar dari semua penguasa Seleukia setelah Seleukos I sendiri. Setelah kekalahannya di Raphia, ia menghabiskan 10 tahun berikutnya di Anabasisnya di seluruh bagian timur dari wilayah kekuasaannya. Ia memulihkan vasal-vasal yang memberontak seperti Parthia dan Baktria hingga sekurang-kurangnya secara nominal mereka menjadi taat, dan bahkan meniru Aleksander dengan melakukan ekspedisi ke India.
Ketika ia kembali ke barat pada 205 SM, Antiokhos menemukan bahwa dengan kematian Ptolemaios IV, situasinya kini tampak menguntungkan untuk melakukan peperangan lagi ke sebelah barat.
Antiokhos dan Philippos V dari Makedonia kemudian membuat suatu kesepakatan untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Ptolemaios di luar Mesir, dan dalam Perang Suriah Kelima, Dinasti Seleukid menggulingkan Ptolemaios V dari kekuasaannya atas Koele-Suriah. Pertempuran Panium (198 SM) mengukuhkan peralihan kekuasaan dari tangan keluarga Ptolemaios kepada Dinasti Seleukid. Antiokhos tampaknya, sekurang-kurangnya, berhasil memulihkan keagungan Kerajaan Seleukia.

Kekuasaan Romawi dan disintegrasi kembali

Namun keagungan Antiokhos tidak bertahan lama. Setelah kekalahan bekas sekutunya Philippos di tangan Romawi pada 197 SM, Antiokhos kini melihat kesempatan untuk berekspansi ke Yunani. Didorong oleh jenderal Kartago, Hannibal, dan setelah membangun aliansi dengan Liga Aitolia yang merasa tidak puas, Antiokhos [un menyerang Yunani. Malangnya, keputusan ini menyebabkan kejatuhannya: ia dikalahkan oleh pasukan Romawi di Thermopylae (191 SM) dan pada Magnesia (190 SM), dan dipaksa untuk mengadakan perdamaian dengan Romawi melalui Perjanjian Apamia (188 SM) yang memalukan – yang memaksanya untuk melepaskan semua wilayahnya di Eropa, menyerahkan semua daerah di sebelah utara Asia Kecil, Pegunungan Taurus, kepada Pergamum, dan menyetujui pembayaran ganti rugi yang sangat besar. Antiokhos meninggal pada 187 SM dalam sebuah ekspedisi lain ke timur; dengan ekspedisi ini ia berusaha mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi tersebut.
Pemerintahan oleh anak dan penggantinya, Seleukos IV Philopator (187-175 SM) pada umumnya dihabiskan dengan berbagai usaha untuk membayar ganti rugi yang besar itu, dan Seleukos pada akhirnya dibunuh oleh menterinya Heliodoros. Adik laki-laki Seleukos, Antiokhos IV Epiphanes, kini merebut takhta. Ia berusaha memulihkan wibawa Seleukia dengan mengadakan perang yang sukses melawan Mesir; namun demikian, meskipun ia berhasil memukul tentara Mesir mundur hingga ke Alexandria, ia sendiri dipaksa menarik mundur oleh utusan Romawi Popilius Laena, yang terkenal karena membuat lingkaran di pasir di sekeliling raja itu dan menyuruhnya untuk mengambil keputusan apakah ia mau mundur atau tidak dari Mesir sebelum ia meninggalkan lingkaran tersebut. Antiokhos memilih untuk mundur.
Pada masa pemerintahannya di kemudian hari, ia menyaksikan disintegrasi lebih jauh Kekaisarannya. Wilayah timur kekaisarannya hampir tidak bisa dikendalikan, ketika orang-orang Parthia mulai mengambil alih tanah Persia; dan upaya helenisasi Antiokhos yang agresif (atau de-Yahudisasi) menyebabkan bangkitnya pemberontakan bersenjata di Yudea – yaitu pemberontakan Makabe. Upaya-upaya untuk menangani bangsa Parthia dan orang-orang Yahudi terbukti sia-sia, dan Antiokhos sendiri mati dalam sebuah ekspedisi melawan bangsa Parthia pada 164 SM.

Perang saudara dan kehancuran lebih jauh

Setelah kematian Antiokhos IV Epiphanes, Kekaisaran Seleukia menjadi semakin tidak stabil. Berbagai perang saudara yang kerap kali terjadi menggoyahkan kekuasaan sentral. Anak Epiphanes yang masih muda, Antiokhos V Eupator, mula-mula digulingkan oleh anak Seleukos IV, Demetrios I Soter pada 161 SM. Demetrios I berusaha memulikan kekuasaan Seleukia di Yudea khususnya, namun ia digulingkan pada 150 SM oleh Aleksander Balas – seorang penipu yang (dengan dukungan Mesir) mengaku-ngaku sebagai anak Epiphanes. Aleksander Balas memerintah hingga 145 SM, ketika ia digulingkan oleh anak Demetrios I, Demetrios II Nikator. Namun demikian Demetrios II terbukti tidak mampu mengendalikan seluruh kerajaan. Sementara ia memerintah Babilonia dan Suriah bagian timur dari Damaskus, sisa-sisa pendukung Balas – mula-mula mendukung anak Balas, Antiokhos VI, dan kemudian mendukung jenderal yang merebut kekuasaan Diodotos Tryfon – ditahan di Antiokhia.
Sementara itu, terlepasnya daerah kekuasaan Kekaisaran terus berlangsung. Pada 143 SM, orang-orang Yahudi telah sepenuhnya mengukuhkan kemerdekaan mereka. Ekspansi Parthia juga berlanjut terus. Pada 139 SM, Demetrios II dikalahkan dalam pertempuran oleh orang-orang Parthia dan ditangkap. Pada saat ini, keseluruhan Dataran Tinggi Iran telah jatuh ke tangan Parthia. Saudara laki-laki Demetrios Nikator, Antiokhos VII, akhirnya mampu memulihkan kesatuan dan kekuatan untuk sementara waktu ke wilayah kekuasaan Seleukia, namun ia terbukti tidak setara dengan ancaman Parthia. Ia terbunuh dalam pertempuran dengan orang-orang Parthia pada 129 SM, yang menyebabkan keruntuhan terakhir kekuasaan Seleukia atas Babilonia. Setelah kematian Antiokhos VII, seluruh kekuasaan Seleukia praktis hancur, karena berbagai pihak memperebutkan kekuasaan atas apa yang tersisa dari wilayah Seleukia dalam perang saudara yang tidak habis-habisnya.

Keruntuhan Kekaisaran Seleukia

Pada 100 SM, Kekaisaran Seleukia yang pernah begitu digjaya kini hanya mencakup wilayah yang sedikit lebih luas daripada Antiokhia dan beberapa kota Suriah. Meskipun kekuasaannya jelas sudah hancur dan kerajaan mereka runtuh di sekitarnya, kaum bangsawannya terus memainkan peranan sebagai tokoh-tokoh berpengaruh dalam peta kekuatan di daerah itu, dengan sekali-sekali campur tangan dari Kerajaan Ptolemaik di Mesir dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dinasti Seleukid ada semata-mata karena tidak ada bangsa lain yang ingin mencaplok mereka. Mereka dianggap sebagai peredam di antara tetangga-tetangga mereka. Dalam berbagai peperangan di Anatolia antara Mithridates VI dari Pontus dan Sulla dari Romawi, Dinasti Seleukid umumnya dibiarkan oleh para petarung utamanya.
Namun demikian, menantu Mithridates yang ambisius, Tigranes Agung, raja dari Armenia, melihat kesempatan untuk melakukan perluasan dalam untuk memperluas wilayahnya di tengah-tengah perang saudara yang berkelanjutan di selatan. Pada 83 SM, atas undangan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara yang berkelanjutan itu, ia menyerang Suriah, dan segera menetapkan dirinya sebagai penguasa Suriah, dan praktis mengakhir kekuasaan Seleukia.
Namun demikian, kekuasaan Seleukia tidak sama sekali tamat. Setelah kemenangan jenderal Romawi Lucullus atas Mithridates dan Tigranes pada 69 SM, sisa-sisa kerajaan Seleukia dipulihkan di bawah Antiokhos XIII. Bahkan sekarang, perang saudara tidak dapat dicegah, karena seorang penguasa Seleukia lainnya, Filipus II, memperebutkan kekuasaan dengan Antiokhus. Setelah penaklukan Romawi atas Pontus, orang-orang Romawi menjadi semakin kuatir atas ketidakstabilan yang berkelanjutan di Suriah di bawah Dinasti Seleukid. Setelah Mithridates dikalahkan oleh Pompeius pada 63 SM, Pompeius berusaha menciptakan kembali wilayah Timur yang hellenis, dengan menciptakan kerajaan-kerajaan klien yang baru dan mendirikan provinsi-provinsi. Sementara negara-negara klien seperti Armenia dan Yudea dibiarkan tetap mempertahankan otonomi pada batas tertentu di bawah raja-raja setempat, Pompeius menganggap Dinasti Seleukid terlalu merepotkan untuk dibiarkan berlanjut. Sambil menyingkirkan kedua pangeran Seleukia yang merupakan lawannya, ia menjadikan Suriah sebagai sebuah provinsi Romawi.

Para penguasa Seleukia

Dalam media modern

Kekaisaran Seleukia (The Seleucid Empire ) adalah nama sejumlah faksi dalam permainan komputer 2004 Rome: Total War.
Maccabees (Kaum Makabe), yang mengusir bangsa Seleukia, adalah nama bir dan sejumlah tim olah raga (termasuk bola basket dan sepak bola) di Israel pada 2006.

Referensi

  1. ^ a b c d Taagepera, Rein (1979). "Size and Duration of Empires: Growth-Decline Curves, 600 B.C. to 600 A.D". Social Science History 3 (3/4): 115–138. doi:10.2307/1170959. JSTOR 1170959.
  2. ^ Jones, Kenneth Raymond (2006). Provincial reactions to Roman imperialism: the aftermath of the Jewish revolt, A.D. 66-70, Parts 66-70. University of California, Berkeley. hlm. 174. ISBN 0-542-82473-6, 9780542824739 Check |isbn= value (help). "... and the Greeks, or at least the Greco-Macedonian Seleucid Empire, replace the Persians as the Easterners."
  3. ^ Society for the Promotion of Hellenic Studies (London, England) (1993). The Journal of Hellenic studies, Volumes 113-114. Society for the Promotion of Hellenic Studies. hlm. 211. "The Seleucid kingdom has traditionally been regarded as basically a Greco-Macedonian state and its rulers thought of as successors to Alexander."
  4. ^ Baskin, Judith R. ; Seeskin, Kenneth (2010). The Cambridge Guide to Jewish History, Religion, and Culture. Cambridge University Press. hlm. 37. ISBN 0-521-68974-0, 9780521689748 Check |isbn= value (help). "The wars between the two most prominent Greek dynasties, the Ptolemies of Egypt and the Seleucids of Syria, unalterably change the history of the land of Israel…As a result the land of Israel became part of the empire of the Syrian Greek Seleucids."
  5. ^ a b c Glubb, Sir John Bagot (1967). Syria, Lebanon, Jordan. Thames & Hudson. hlm. 34. OCLC 585939. "In addition to the court and the army, Syrian cities were full of Greek businessmen, many of them pure Greeks from Greece. The senior posts in the civil service were also held by Greeks. Although the Ptolemies and the Seleucids were perpetual rivals, both dynasties were Greek and ruled by means of Greek officials and Greek soldiers. Both governmennts made great efforts to attract immigrants from Greece, thereby adding yet another racial element to the population."
  6. ^ a b Steven C. Hause, William S. Maltby (2004). Western civilization: a history of European society. Thomson Wadsworth. hlm. 76. ISBN 0-534-62164-3, 9780534621643 Check |isbn= value (help). "The Greco-Macedonian Elite. The Seleucids respected the cultural and religious sensibilities of their subjects but preferred to rely on Greek or Macedonian soldiers and administrators for the day-to-day business of governing. The Greek population of the cities, reinforced until the second century BCE by emigration from Greece, formed a dominant, although not especially cohesive, elite."
  7. ^ Victor, Royce M. (2010). Colonial education and class formation in early Judaism: a postcolonial reading. Continuum International Publishing Group. hlm. 55. ISBN 0-567-24719-8, 9780567247193 Check |isbn= value (help). "Like other Hellenistic kings, the Seleucids ruled with the help of their “friends” and a Greco-Macedonian elite class separate from the native populations whom they governed."
  8. ^ Britannica, Seleucid kingdom, 2008, O.Ed.


Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.