Rabu, 18 Desember 2013

Kesultanan Utsmani (2)

Pada akhir abad ke-13, Kesultanan Seljuk runtuh dan Anatolia terbagi-bagi menjadi beberapa kabilah kecil. Salah satu kabilah ini adalah Söğüt, sebuah suku kecil yang berdiam di lembah sungai Sakarya. Pemimpin dari suku ini adalah Ertuğrul. Ketika Ertuğrul meninggal dunia tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin suku tersebut.

Osman I

Pada tahun 1299, kota Bilecik milik Kekaisaran Bizantium jatuh ke tangan Osman I. Kota ini merupakan kota pertama yang berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmaniyah. Osman juga menaklukkan beberapa kabilah-kabilah kecil di sekitar Anatolia. Pada akhir tahun 1310, Osman I melancarkan serangan ke beberapa benteng pertahanan penting Kekaisaran Bizantium.

Yenişehir berhasil ditaklukkan dan menjadi basis utama Utsmaniyah melancarkan serangan selanjutnya ke Proussa (Bursa) dan Nikaea (İznik), kota terbesar di Kekaisaran Bizantium di Anatolia. Bursa ditaklukkan tahun 1326 sesaat sebelum kemangkatan Osman.

Orhan I

Putera dari Osman, Orhan I, menaklukkan Nikaea tahun 1331 dan Nikomedia tahun 1337 dan mendirikan ibukota di Bursa. Pada masa pemerintahannya, Sultan Orhan I merombak struktur pemerintahan, memodernisasi militer, dan memperkenalkan mata uang baru.

Beliau menikahi Theodora, puteri Pangeran Yohanes VI Kantakuzenos dari Bizantium. Tahun 1346, Orhan secara terbuka mendukung Yohanes VI dalam usahanya menggulingkan Kaisar Yohanes V Paleologos. Ketika menjadi kaisar (1347-1354), Yohanes VI mengijinkan Orhan menyerang Semenanjung Gelibolu yang kemudian memberikan Kesultanan Utsmaniyah benteng pertahanan pertama di Eropa.

Orhan meninggal tahun 1360 dan mewariskan kesultanan yang berkembang pesat kepada puteranya, Murad 

 Murad I

Pada awal tahun 1360, pasukan Utsmaniyah bergerak menuju Trakia melalui Gelibolu dan berhasil merebut Adrianopel (Edirne) dan Philippopolis (Plovdiv) dan memaksa Kekaisaran Bizantium membayar upeti. Tahun 1366 Amedeo VI dari Savoia (sepupu dari Yohanes V Kantakuzenos) melakukan serangan kecil membantu Kekaisaran Bizantium. Serangan ini menghalau pasukan Utsmaniyah dari seluruh Eropa kecuali Gelibolu. Pada tahun-tahun berikutnya, Murad I menyerang balik dan berhasil merebut sebagian besar dari Trakia, termasuk Adrianopel.

Pada awal tahun 1370, Murad melancarkan pasukan ke Eropa. Pada pertempuran Maritsa, di Sungai Maritsa, Letnan Dua Lala Şâhin Paşa menghadapi 70.000 pasukan kuart Serbia-Bulgaria di bawah Raja Serbia Vukasin. Pasukan Utsmaniyah lebih kecil, namun berkat taktik yang superior, musuh berhasil dikalahkan dan Raja Vukasin terbunuh. Koalisi Serbia mulai melemah dan Murad dengan cepat melakukan serangan ke Bulgaria dan menaklukkan Drama, Kavala dan Serrai (kini Serres).

Tahun 1383 Murad mengangkat dirinya sebagai sultan dari Kesultanan Utsmaniyah. Sofia jatuh pada tahun 1385 dan kota Niš setahun setelahnya. Penaklukkan Utsmaniyah berhenti tahun 1387 ketika Serbia memenangkan Pertempuran Plocnik, namun dua tahun kemudian Murad melancarkan serangan balik. Utsmaniyah mendapatkan kemenangan besar atas Serbia dalam Pertempuran Kosovo namun sultan sendiri terbunuh pada akhir pertempuran. Puteranya Beyazid menggantikan ayahnya.

Beyazid I

Beyazid I menggantikan Sultan Murad I setelah ayahnya terbunuh. Karena kemarahannya, beliau memerintahkan semua tawanan Serbia dibunuh. Beyazid dikenal sebagai Yıldırım karena temperamennya.
Beliau menaklukkan hampir semua wilayah Bulgaria (ibukota Tarnovo jatuh tahun 1393 setelah serangan selama tiga bulan) dan Yunani Utara tahun 1389-1395 dan melancarkan serangan ke Konstantinopel tahun 1391-1398. Pada tanggal 25 September 1396 di Pertempuran Nikopolis, pasukannya bertemu dengan pasukan Perang Salib yang dipimpin oleh Raja Sigismund. Utsmaniyah memenangkan perang dan menandatangani traktat damai dengan Hongaria. Beyazid kemudan mengalihkan perhatiannya ke timur, menaklukkan Karaman tahun 1397.

Sekitar tahun 1400 Timur Lenk memasuki Timur Tengah. Timur Lenk menghancurkan beberapa desa di Anatolia Timur dan melancarkan konflik dengan Kesultanan Utsmaniyah. Pada tahun 1400, Timur dan pasukannya membakar kota Sivas. Puncaknya terjadi pada Pertempuran Ankara bulan Juli 1402. Timur memenangkan perang dan menangkap Beyazid. Beyazid meninggal di dalam tahanan tahun 1403.

Kekosongan pemerintahan

Setelah kekalahan di Ankara yang diikuti dengan kekacauan internal di kesultanan. Pasukan Mongol dengan bebas berkeluaran di Anatolia dan kekuatan politik sultan melemah. Setelah Beyazid ditangkap, putera-putera Beyazid, Suleiman Çelebi, İsa Çelebi, Mehmed Çelebi, and Mûsa berebut kekuasaan dan terjadilah kekosongan pemerintahan di masa ini.

Mehmed I

Lihat pula: Mehmed I
Ketika berhasil memenangkan perebutan kekuasaan tahun 1413, Mehmed Çelebi mengangkat dirinya di Edirne (Adrianopel) sebagai Sultan Mehmed I. Kewajibannya adalah mengembalikan kejayaan kesultanan yang rusak oleh kekosongan pemerintahan; pasukan Mongol masih berdiam di bagian timur; dan banyak dari kerajaan kristen Balkan yang melepaskan diri dari kontrol Kesultanan Utsmaniyah.

Pada masa pemerintahannya, Mehmed memindahkan ibukota kesultanan dari Bursa ke Adrianopolis (Edirne), mengontrol kembali Bulgaria dan Serbia, mengusir pasukan Mongol dari Anatolia, dan menyerang Albania, Sisilia, dan Yunani Selatan yang dikuasai Kekaisaran Bizantium. Ia juga melakukan serangan melawan Pangeran Vlad Ţepeş yang dikenal dengan Dracula. Ia tidak pernah berhasil menaklukkan Wallachia sampai Dracula meninggal.

Setelah Mehmed meninggal dunia tahun 1421, salah satu puteranya, Murad II, menjadi sultan.

Murad II

Murad II menghabiskan tahun-tahun awal kekuasaannya menyingkirkan saingan-saingannya. Pada tahun 1423, beliau mengunjungi Konstantinopel, melancarkan serangan selama beberapa bulan dan memaksa Kekaisaran Bizantium membayar upeti.

Pada tahun 1423, perang terhadap Republik Venesia dimulai. Selama serangan Murad ke Konstantinopel, kontrol Kaisar Bizantium atas Yunani melemah. Tentara Venesia kemudian mengambil kontrol kota Salonika (Thessaloniki) atas dukungan penduduk setempat. Pasukan Utsmani yang melancarkan serangan ke kota tersebut tanpa mengetahui perpindahan kekuasaan menewaskan beberapa pasukan Venesia. Kejadian ini menimbulkan kemarahan Venesia yang sebelumnya berdamai dengan Kesultanan Utsmaniyah.

Murad bereaksi dengan cepat, selagi melakukan serangan ke Konstantinopel, beliau mengirim pasukannya ke Salonika. Venesia mendapatkan tambahan pasukan melalui laut, tetapi pasukan Utsmaniyah yang terlebih dahulu berhasil menyerang menyebabkan pasukan Venesia melarikan diri dengan kapal perang mereka.

Namun ketika pasukan Utsmaniyah memasuki kota dan menjarah kota tersebut, kapal perang Venesia membombardir kota tersebut hingga pasukan Utsmaniyah harus mundur dan kota tersebut direbut kembali oleh pasukan Venesia. Hasil Pertempuran Salonika merupakan kemunduran bagi Murad dan Serbia bersama Hongaria bersekutu dengan Venesia. Paus Martinus V menyerukan kerajaan-kerajaan kristen untuk bersatu berperang melawan Utsmaniyah, walaupun hanya Austria yang pernah mengirim pasukannya ke Balkan.

Perang di Balkan dimulai sewaktu pasukan Utsmaniyah bergerak untuk merebut Wallachia. Ketika pasukan Utsmaniyah memasuki Wallachia, pasukan Serbia menyerang Bulgaria dan , pada saat yang bersamaan, atas seruan Paus, Karamanid menyerang kesultanan dari belakang. Murad kemudian membagi pasukannya menjadi dua. Pasukan utama bergerak mempertahankan Sofia dan sisanya dipanggil balik ke Anatolia.

Pasukan yang berada di Wallachia dihancurkan oleh pasukan Hongaria yang kemudian bergerak ke Selatan menuju Bulgaria di mana terjadi perang antara Serbia dan Utsmaniyah. Pasukan Serbia kalah dan pasukan Utsmaniyah kemudian menyerang pasukan Hongaria, memaksa mereka mundur ke Wallachia. Murad kemudian mempertahankan perbatasan kesultanan dari Serbia dan Hongaria tanpa usaha untuk merebut Wallachia, malahan beliau mengirim pasukannya ke Anatolia di mana mereka mengalahkan Karaman tahun 1428.

Pada tahun 1430, pasukan Utsmaniyah secara tiba-tiba menyerang Salonika. Venesia menandatangani perjanjian damai pada tahun 1432. Perjanjian tersebut memberikan Kesultanan Utsmaniyah kota Salonika dan wilayah sekitarnya. Perang antara Serbia dan Hongaria dan Utsmaniyah tahun 1441 tidak mengalami kemajuan sampai Kekaisaran Suci Romawi, Polandia, Albania, dan Emirat Candaroğlu dan Karamanid melakukan intervensi melawan Utsmaniyah. Niš dan Sofia jatuh ketangan pasukan Krisyen tahun 1443 dan setahun setelah kesultanan mengalami kekalahan di Pertempuran Jalowaz. Tanggal 12 Juli 1444 Murad menandatangani traktat yang secara sah mengalihkan kekuasaan atas Wallachia dan propinsi Varna kepada Hongaria, Bulgaria barat (termasuk Sofia kepada Serbia dan memaksa Murad mengundurkan diri digantikan puteranya yang berumur dua belas tahun Mehmed II. Kemudian pada tahun yang sama, pasukan Kristen melanggar perjanjian damai tersebut dan menyerang kesultanan. Pada tanggal 11 November 1444, Murad mengalahkan pasukan Polandia-Hongaria yang dipimpin János Hunyadi di Pertempuran Varna.

Murad diangkat kembali menjadi sultan berkat bantuan Yenisari pada tahun 1446. Perjanjian damai lainnya ditandatangani tahun 1448 yang memberikan kesultanan tersebut Wallachia dan Bulgaria beserta sebagian Albania. Setelah Balkan berhasil diamankan, Murad mengalihkan perhatiannya ke timur dan mengalahkan putera Timur Lenk, Shah Rokh. Ia meninggal pada musim dingin 1450-1451 di Edirne. Beberapa sumber mengatakan bahwa beliau terluka di pertempuran melawan gerilyawan Skanderbeg.

Banyak yang meragukan kapasitas Mehmed II sebagai sultan (kembali) sepeninggal ayahnya.

Mehmed II

Namun dengan menaklukkan dan menganeksasi Karamanid (Mei-Juni, 1451) dan memperbaharui perjanjian damai dengan Venesia (10 September) dan Hongaria (20 November), Mehmed II membuktikan keterampilannya dalam bidang militer dan politik.

Salah satu tujuan utama sebagai sultan adalah menganeksasi Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantium. Ketika pada tahun 1451 Kekaisaran Bizantium yang bangkrut meminta Mehmed untuk menggandakan upeti atas takhtanya sebagai Sultan Utsmaniyah, beliau menggunakan permintaan ini sebagai dasar penghapusan semua perjanjian yang dilakukan dengan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1452 ketika beliau memutuskan untuk menyerang Konstantinopel, banyak anggota divan, terutama Wazir Agung (Perdana Menteri), Kandarli Hali, tidak menyetujui keputusan ini dan mengkritik sultan terlalu percaya diri akan kemampuannya.
Pada tanggal 15 April 1452, Mehmed memerintahkan persiapan penyerangan Konstantinopel.

Setelah penaklukkan Konstantinopel, Mehmed membangun Istana Topkapı tahun 1462 dan memindahkan ibukota kesultanan ke sana. Mehmed mengangkat dirinya dengan julukan "Kaiser-i-Rum", atau "Kaisar Romawi", dan mengubah struktur kesultanan mengikuti struktur Kekaisaran Bizantium, menganggap dirinya sebagai pewaris dari takhta Kerajaan Romawi. Kemudian ketika menyerang Otranto, berliau berambisi merebut kota Roma dan menyatukan Kerajaan Romawi untuk pertama kalinya sejak tahun 751.

Mehmed kemudian mengalihkan perhatiannya ke Morea (Pelleponessos), di mana terdapat kerajaan Yunani terakhir yang berada di bawah kekuasaan Kristen. Pada tahun 1456 Mehmed melancarkan serangan ke Beograd. Tanggal 13 Agustus Yenisaris bergerak menuju kota tersebut tetapi berhasil dikalahkan oleh pasukan Janos Hunyadi. Mehmed tidak pernah berhasil merebut Beograd. Mehmed memasuki Athena tahun 1460. Tahun selanjutnya Mehmed melancarkan serangan ke Anatolia mengalahkan Candaroğlu di Sinope, dan Armenia yang di bawah kekuasaan Hasan, sebelum menaklukkan Kekaisaran Trebizond pada tanggal 15 Agustus 1461.

Pada tahun 1475, Kesultanan Utsmaniyah mengalami kekalahan terbesar di Pertempuran Vaslui, di Moldavia. Tahun selanjutnya, Mehmed menaklukkan koloni Genova di Krimea. Dua tahun kemudian beliau menyerang pantai timur Venesia , menganeksasi kota Piavas dan beberapa pulau Adriatik melalui perjanjian damai. Tahun 1480 Ahmed Gedik Pasha mendarat ke Italia dan merebut kota Otranto. Mehmed meninggal setahun kemudian. Beberapa sumber mengatakan bahwa beliau diracuni oleh dokter Yahudi atas bujukan Paus Sixtus IV. Mehmed juga berperang melawan Vlad III, yang dikenal dengan sebutan Dracula.


Sumber

Kesultanan Utsmaniyah (1)

Negara Utsmaniyah Raya
Kesultanan Utsmaniyah
Osmanlı İmparatorluğu
دولة عالیه عثمانیه
Devlet-i Âliye-yi Osmâniyye
Daulat 'Aliah Utsmaniah


Ibukota Söğüt (1299–1326)
Tripoli (1326–1475)
Edirne (1475–1553)
Konstantinopel (1553–1922)
Pemerintahan Monarki
Sultan
 -  1281–1326 (pertama) Utsman I
 -  1918–22 (terakhir) Mehmed VI
Wazir Agung
 -  1320–31 (pertama) Alaeddin Pasha
 -  1920–22 (terakhir) Ahmed Tevfik Pasha
Sejarah
 -  Didirikan 1299
 -  Interregnum 1402–1413
 -  1. Konstitusional 1876-1878
 -  2. Konstitusional 1908-1918
 -  Dileburkan 24 Juli 1923
Luas
 -  1680 5.000.000 km² (1.930.511 mil²)
Populasi
 -  perk. 1856 35.350.000[rujukan?] 
 -  perk. 1906 20.884.000[rujukan?] 
 -  perk. 1914 18.520.000[rujukan?] 
 -  perk. 1919 14.629.000[rujukan?] 
Mata uang Akçe, Kuruş, Lira


 Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmaniyah Lama: Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu, Bahasa Arab: دولت عليه عثمانيه ,Daulat 'Aliah Utsmaniah) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.

Negara ini didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.

Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.


Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)

Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertugrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.

Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.

Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Tamerlane ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.

Sepeninggal Tamerlane, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.

Kesuultanan Utsmaniyah pada abad ke 16 sampai 17 , ditunjukkan dalam warna cokelat.

Perkembangan Kerajaan (1453–1683)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik

Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)

Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.

Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavi dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.

Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-1566) melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.

Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja François I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.

 Kesultanan Utsmaniyah 1299–1683.

 Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 adalah perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah.


Mehmed II menaklukkan kota Konstantinopel yang menjadi ibukota baru kesultanan tahun 1453.
 
Serangan ke Wina tahun 1529.

Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)

Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.

Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.

 Pertempuran Lepanto tahun 1571.

 Serangan kedua Wina tahun 1683.

Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.

Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya

Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavi, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.

Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.

 Bendera

Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)

Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo [4]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam[5]. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (Sarekat Islam), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi [6].

Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan [7]. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama[8].

Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi[9]. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).

Daftar Sultan

Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sampai berdirinya Turki sekuler.


Sumber

Pemberontakan Ionia (2-Habis)

5. Serangan Ionia

A. Pertempuran Sardis

Selama musim dingin, Aristagoras terus menggerakan pemberontakan. Pada suatu insiden, dia menyuruh sekelompok orang Paionia, dulunya datang dari Thrakia, yang dibawa oleh Darius untuk tinggal di Phrygia, untuk kembali ke tempat asal mereka. Herodotos menyataka bahwa satu-satunya tujuan Aristagoras melakukan itu adalah untuk membuat pihak Persia semakin marah.[48]

Pada musim semi tahun 498 SM, satu armada Athena yang terdiri atas dua puluh trireme, dengan ditambah lima trireme dari Eretria, berangkat menuju Ionia.[44] Mereka bergabung dengan pasukan Ionia utama di dekat Ephesos.[50] Aristagoras menolak memimpin pasukan itu secara langsung dan memutuskan untuk menunjuk saudaranya Kharopinos dan orang Miletos lainnya, Hermophantos, sebagai jenderalnya.[49]
Pasukan ini dipandu oleh orang Ephesos melalui pegunungan menuju Sardis, ibu kota kesatrapan Artaphernes.[44] Pasukan Yunani mengejutkan orang Persia di sana dan berhasil menaklukkan kota bawahnya. Namun, Artaphernes masih mengausai citadel yang memiliki banyak tentara Persia.[50] Kota bawah kemudian dilanda kebakaran yang, menurut Herodotos, menyebar dengan cepat. Pasukan Persia di citadel, terkurung dalam kota yang terbakar, bergerak ke pasar Sardis, di sana mereka bertempur dengan pasukan Yunani dan berhasil memukul mundur mereka. Kekalahan itu membuat pasukan Yunani kehilangan semangat. Mereka mundur dari kota itu dan kembali ke Ephesos.[51]
Herodotos menuturkan bahwa ketika Darius mengetahui kabar mengenai kebakaran Sardis, dia sangat marah dan bersumpah akan menghukum para pemberontak itu beserta negara yang membantu mereka, yaitu Athena dan Eretria. Dia bahkan menyuruh seorang pelayan untuk selalu mengingatkannya tiga kali sehari dengan mengatakan: "Baginda, ingatlah Athena."[52]

 Reruntuhan kuil Artemis di Sardis



 B. Pertempuran Ephesos

Herodotos mencatat bahwa ketika pasukan Persia yang berada di Asia Kecil mengetahui penyerangan terhadap Sardis mereka langsung berkumpul dan bergerak untuk menemui Artaphernes.[53] Setibanya di Sardis, mereka mendapati bahwa pasukan Yunani sudah pergi. Jadi mereka mengikuti jejak pasukan Yunani hingga ke Ephesos.[53] Mereka menemukan pasukan Yunani di dekat Ephesos dan menyerang mereka. Pasukan Yunani terpaksa berbalik dan bertempur menghadapi pasukan Persia.[53] Holland berpendapat bahwa dalam bentrokan itu pasukan Persia kemungkinan erdiri terutama atas kavaleri sehingga dapat mengejar pasukan Yunani dengan cepat.[44] Kavaleri Persia pada masa itu biasanya merupakan kavaleri misil, yang siasatnya adalah melemahkan musuh dengan melontarkan serangan jarak jauh secara terus-menerus.[54]

Jelas bahwa pasukan Yunani, yang kelelahan dan kehilangan semangat, bukan tandingan bagi pasukan Persia, dan memang pada akhirnya pasukan Persia berhasil sepenuhnya mengalahkan pasukan Yunani melalui pertempuran di Ephesos.[44] Banyak tentara Yunani yang terbunuh, termusuk jenderal Eretria, Eualkides.[53] Tentara Ionia yang selamat dari pertempuran melarikan diri ke kota masing-masing, sedangkan pasukan Athena dan Eretria berhasil tiba di kapal-lapal mereka dan kemudian berlayar kembali ke Yunani.[44][53][55][56]
 Peta Pemberontakan Ionia


 C. Penyebaran pemberontakan
Pasukan Athena mengakhiri persekutuan mereka dengan Ionia, karena mereka menyadari bahwa pasukan Persia tidak selemah seperti yang diceritakan oleh Aristagoras.[57] Akan tetapi, orang Ionia tetap melanjutkan pemberontakan, dan Persia tampaknya tidak menindaklanjuti kemenangan mereka di Ephesos.[57] Kemungkinan pasukan Persia yang baru saja mengalahkan pasukan Yunani di Ephesos itu tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk melakukan pengepungan terhadap suatu kota. Sementara itu, meskipun mengalami kekalahan di Ephesos, pemberontakan malah semakin meluas. Orang Ionia mengirim pasukan ke Hellespontos dan Propontis dan menaklukkan Byzantion serta kota-kota lain di sekitarnya.[57] mereka juga membujuk Karia untuk ikut memberontak.[57] Lebih jauh lagi, melihat bahwa pemberontakan semakin meluas, kerajaan-kerajaan di Siprus juga ikut memberontak terhadap kekuasaan Persia mekipun tanpa ada hasutan dari pihak luar.[58]

6. Serangan balasan Persia

Uraian herodotos setelah Pertempuran Ephesos ambigu dalam kronologi pastinya; para sejarawan pada umumnya menempatkan peristiwa di Sardis dan Ephesos pada tahun 498 SM.[44][59] Herodotos selanjutnya menjabarkan penyebaran pemberontakan, dengan demikian pada tahun 490 SM juga, namun dia mengatakan bahwa bangsa Siprus mengalami satu tahun kemerdekaan, yang dengan demikian menaruh tindakan Siprus pada tahun 497 SM.[60] Dia kemudian menyebutkan:"[60]

Daurises, Hymaies, dan Otanes, kesemuanya adalah jenderal Persia dan menikah dengan anak perempuan Darius, mengejar orang Ionia yang telah berarak ke Sardis, dan mendesak mereka hingga ke kapal-kapal mereka. Setelah kemenangan ini mereka saling membagi-bagi kota-kota dan menjarah kota-kota itu.

Kutipan tersebut menyiratkan bahwa para jenderal Persia ini melancarkan serangan balasan dengan segera seusai Pertempuran Ephesos. Akan tetapi, kota-kota yang oleh Herodotos disebutkan dikepung oleh Daurises berada di Hellespontos,[61] yang, berdasarkan perhitungan Herodotos sendiri, tidak terlibat dalam pemberontakan hingga setelah peristiwa di Ephesos. Maka cara paling mudah untuk merukunkan pertentangan ini adalah dengan berasumsi bahwa Daurises, Hymaies, dan Otanes menunggu hingga musim kampanye berikutnya, yaitu tahun 497 SM, sebelum melancarkan serangan balasan. Tindakan Persia yang disebutkan oleh Herodotos di Hellespontos dan Karia tampaknya berlangsung pada tahun yang sama, dan sebagian besar sejarawan menempatkannya pada tahun 497 SM.[59]

7. Siprus

 Peta kerajaan-kerajaan kuno di Siprus


 Di Siprus, semua kerajaannya memebrontak kecuali kerajaan Amathos. Pemimpin pemberontakan Siprus adalah Onesilos, saudara raja Salamis-di-Siprus, Gorgos. Gorgos sendiri tidak ingin memberontak, jadi Onesilos mengusir saudaranya itu dari kota dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Gorgos selanjutnya mendatangi pihak Persia, sementara Onesilos menghasut kerajaan-kerajaan Siprus lainnya, kecuali Amathos, untuk memberontak. Setelah itu dia mengepung Amathos.[58]

Setahun kemudian, yaitu tahun 497 SM, Onesilos, yang masih mengepung Amathos, mendengar bahwa pasukan Persia yang dipimpin Artybios telah dikerahkan ke Siprus. Onesilos pun mengirim utusan ke Ionia, meminta bantuan mereka. Orang Ionia setuju dan mengirimkan "pasukan besar" ke Siprus.[62] Pasukan Persia akhirnya tiba di Siprus, dibantu oleh armada Fenisia. Pasukan Ionia memutuskan untuk bertempur di laut dan berhasil mengalahkan armada Fenisia itu.[63] Dalam pertempuran darat yang terjadi setelanya, pasukan Siprus memperoleh keuntungan awal dan mampu membunuh Artybios. Akan tetapi, dua kontingen mereka membelot dan berpihak kepada Persia. Akibatnya pasukan Siprus dan Ionia dikalahkan, dan Onesilos terbunuh. Pemberontakan di Siprus akhirnya berakhir, sedangkan pasukan Ionia berlayar pulang.[64]

8. Hellespontos dan Propontis

Pasukan Persia di Asia Kecil tampaknya dikumpulkan kembali pada tahun 497 SM, dengan tiga menantu Darius, yaitu Daurises, Hymaies, dan Otanes, memimpin tiga pasukan.[59] Herodotos berpendapat bahwa ketiga jenderal ini membagi wilayah pemberontakan menjadi tiga dan masing-masing jenderal melancarkan serangan ke tiga wilayah itu.[60]

Daurises, yang tampaknya memiliki pasukan terbesar, awalnya membawa pasukannya ke Hellespontos.[59] Di sana, dia secara sistematis mengepung dan merebut kota Dardanos, Abydos, Perkote, Lampsakos dan Paisos, masing-masing kota direbut dalam waktu satu hari menurut Herodotos.[61] Akan tetapi, ketika dia mengetahui bahwa Karia ikut memberontak, dia segera menggerakkan pasukannya ke selatan untuk menghentikan pemberontakan baru itu.[61] Ini membuat pemberontakan Karia diperkirakan terjadi pada awal tahun 497 SM.[59]

Hymaies pergi ke Propontis dan merebut kota Kios. Setelah Daurises memindahkan pasukan ke Karia, Hymaies berarak menuju Hellespontos dan menaklukkan banyak kota Aiolia serta beberapa kota di Troad. Namun, dia kemudian jatuh sakit dan meninggal, mengakhiri kampanyenya.[65] Sementara itu, Otanes, bersama dengan Artaphernes, melakukan kampanye di Ionia.[66]

9. Karia

A. Pertempuran Marsyas

Di Karia, pasukan pemberontak berkumpul di "Tiang Putih", di Sungai Marsyas (Çine modern), anak sungai Maiandros.[67] Pixodoros, seorang kerabat raja Sisilia, berpendapat bahwa pasukan Karia harus menyeberangi sungai dan bertempur dengan sungai di belakangnya, dengan tujuan mencegah para tentara Karia melarikan diri dan supaya mereka dapat bertempur dengan lebih berani. Gagasan ini ditolak dan pasukan Karia menunggu pasukan Persia yang menyeberangi sungai.[67] Pertempuran yang terjadi kemudian, menurut Herodotos, berlangsung lama, dengan pasukan Karia bertempur dengan tangguh namun pada akhirnya harus kalah akibat pasukan Persia yang lebih banyak. Herodotos menyebutkan bahwa 10.000 orang Karia dan 2.000 tentara Persia meninggal dalam pertempuran itu.[68]


 Kuil Zeus di Labraunda

 B . Pertempuran Labraunda

Orang-orang Karia yang selamat dari Pertempuran Marsyas melarikan diri ke hutan suci Zeus di Labraunda. Mereka berpikir apakah harus menyerah kepada Persia atau bersama-sama pergi dari Asia Kecil.[68] Kerika sedang membicarakan pilihan-pilihan itu, mereka didatangi oleh pasukan Miletos, dan dengan tambahan tentara ini mereka memutuskan untuk terus bertempur. Pasukan Persia menyerang mereka di Labraunda, dan mengalahkan mereka dengan memberikan kerugian yang bahkan lebih besar, dengan pasukan Miletos khususnya menderita kerugian yang buruk.[69]

C. Pertempuran Pedasos

Setelah kemenangan ganda atas orang Karia, Daurises mulai menyerbu benteng-benteng Karia. Orang Karia masih terus melakukan perlawanan, dan memutuskan untuk menyergap Dariuses di jalan menuju Pedasos.[70] Herodotos menyiratkan bahwa ini kurang lebih terjadi tidak lama setelah Pertempuran Labraunda, namun diduga pula bahwa peristiwa di Pedasos terjadi setahun setelahnya, yaitu pada tahun 496 SM, sehingga memberi cukup waktu bagi orang Karia untuk berkumpul kembali.[59] Pasukan Persia tiba di Pedasos pada malam hari, dan penyergapan pun terjadi, yang berakhir dengan kemenangan besar bagi pasukan Karia. Pasukan Persia menderita kerugian besar akibat penyergapan itu, seluruh pasukan dibantai, sedangkan Daurises, beserta para komandan Persia lainnya, dibunuh.[70] Pembantaian di Pedasos namapknya menciptakan kebuntuan dalam kampanye di Karia, dan hanya ada sedikit kampanye lebih jauh pada tahun 496 SM dan 495 SM.[59]

D. Ionia

Pasukan Persia ketiga, di bawah komando Otanes dan Artaphernes, menyerang Ionia dan Aiolia.[66] Mereka merebut kembali Klazomenai dan Kyme, barangkali pada tahun 497 SM, tapi tampaknya menjadi kurang aktif pada tahun 485 SM dan 495 SM, kemungkinan akibat bencana di Karia.[59]

Pada puncak serangan balasan Persia, Aristagoras, yang merasakan bahwa posisinya tidak aman, memutuskan untuk mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin Miletos dan pemimpin pemberontakan. Dia meninggalkan Miletos bersama semua anggota faksinya yang mau menemaninya, dan pergi ke wilayah Thrakia yang diberikan oleh Darius kepada Histiaios setelah kampanye tahun 513 SM.[71] Herodotos, yang jelas memiliki pandangan buruk terhadap Aristagoras, menuturkan bahwa dia kehilangan keberanian dan melarikan diri. Beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa dia pergi ke Thrakia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang besar di sana, untuk digunakan demi mendukung pemberontakan.[1] Beberapa lainnya berpendapat bahwa dia mendapati dirinya berada di tengah konflik internal di Miletos dan memilih pergi daripada memperuncing keadaan.[59]

Di Thrakia, dia menguasai kota yang didirikan oleh Histiaios, yaitu Myrkinos (tempat yang kelak menjadi Amphipholis), dan memulai kampanye melawan penduduk Thrakia lokal.[71] Namun, dalam satu kampanye, kemungkinan pada tahun 497 SM atau 496 SM, dia dibunuh oleh orang Thrakia.[72] Aristagoras merupakan satu orang yang mungkin dapat memberikan tujuan kepada pemberontakan, dan dengan kematiannya pemberontakan pun menjadi tanpa pemimpin.[44][59]

Tidak lama setelah itu, Histiaios dibebaskan dai tugasnya di Susa oleh Darius dan dikirim ke Ionia. Dia berhasil membujuk Darius untuk mengizinkannya pergi ke Ionia dengan cara berjanji akan membuat orang Ionia mengakhiri pemberontakan mereka. Akan tetapi Herodotos berpendapat bahwa tujuan aslinya adalah supaya dapat pergi dan kekangan di Persia.[73] Ketika dia tiba di Sardis, Artaphernes secara langsung menuduhnya berkomplot dengan Aristagoras dalam menggerakan pemberontakan. Artaphernes berkata, "Akan aku ceritakan kepada engkau, wahai Histiaios, kebenaran dalam urusan ini, Adalah dirimu yang merancang segalanya, dan Aristagoras yang melaksanakannya."[74] Histiaios pergi malam itu juga ke Khios dan pada akhirnya berangkat menuju Miletos.[75] Namun, Miletos baru saja bebas dari tiran sehingga tak mau menerima Histiaios lagi sebagai penguasa. Maka dari itu Histiaios pun pergi ke Mytilene di Lesbos dan membujuk rakyat Lesbos untuk memberinya delapan trireme. Dia lalu berlayar ke Byzantion bersama semua orang yang bersedia mengikutinya. Di sana dia mendirikan kekuasaannya, mermpas semua kapal yang berusaha berlayar melalui Bosporus, kecuali jika mereka mau mengabdi kepadanya[75]

10. Akhir pemberontakan

A. Pertempuran Lade

 Pada tahun keenam pemberontakan (494 SM), pasukan Persia dikumpulkan ulang. Semua tentara darat yang tersedia digabungkan ke dalam satu pasukan, dan diiringi oleh armda, yang diambil dari Siprus, yang telah dikuasai kembali, juga dari Mesir, Kilikia, dan Fenisia.[76] Pasukan Persia langsung menuju Miletos, tidak terlalu memedulikan pertahanan pemberontakan di tempat lainnya, kemungkinan berniat untuk menghentikan pemberontakan langsung di pusatnya.[55] Jenderal Persia asal Media, Datis, seorang ahli mengenai urusan Yunani, jelas dikerahkan ke Ionia oleh Darius pada masa ini. Dengan demikian mungkin dia memegang komando penuh atas pasukan Persia dalam serangan ini.[1]

Setelah mengetahui bahwa armada Persia akan segera tiba, orang Ionia berkumpul di Panionion (tempat pertempuran suci), lalu memutuskan untuk tidak berusaha bertempur di daratan, dan menyerahkan pertahanan kota Miletos kepada orang Miletos sendiri. Alih-alih bertempur di daratan, mereka memilih untuk mengumpulkan setiap kapal yang mereka miliki, dan bersiap-siap di pulau Lade di lepas pantai Miletos, untuk kemudian menghadapai pasukan Persia dalam suatu pertempuran laut.[76] Pasukan Ionia dibantu oleh orang-orang Aiolia dari Lesbos. Keseluruhan armada Ionia terdiri atas 353 trireme.[77]

Menurut Herodotos, para komandan Persia khawatir mereka tidak akan mampu mengalahkan armada Ionia, dan jika demikian mereka tidak akan dapat menaklukkan Miletos. Oleh karena itu mereka mengirim para tiran Ionia yang terusir ke Lade, dan masing-masing tiran diperintahkan untuk membujuk rakyat kotanya masing-masing untuk membelot kepada Persia.[78] Pendekatan ini awalnya tak berhasil,[79] namun beberapa hari sebelum pertempuran, perpecahan muncul di perkemahan Ionia.[80] Perpecahan ini membuat kontingen Samos secara diam-diam menerima tawaran Persia untuk membelot, namun mereka tetap bersama pasukan Ionia lainnya untuk sementara waktu.[81]

Setelah pertempuran dimulai, armada Persia maju menyerang armada Ionia, yang juga belayar maju. Akan tetapi, ketika dua pasukan ini sudah saling mendekati, kapal-kapal Samos berlayar pergi dari medan tempur, karena mereka memilih untuk membelot kepada Persia. Pasukan Lesbos, melihat kapal-kapal Samos meninggalkan barisan tempur Ionia, ikut melarikan diri juga. Ini membuat barisan tempur armada Ionia pecah.[82] Hanya armada Khios, beserta sedikit kapal dari beberapa kota lainnya, yang tetap bertahan dan bertempur melawan Persia, sementara sebagian besar kapal Ionia memilih untuk kabur ke kota mereka masing-masing.[83] Herodotos menuturkan bahwa pasukan Khios bertempur dengan gagah berani dan sempat berhasil menembus barisan tempur armada Persia serta merebut banyak kapal Persia. Namun, mereka juga kehilangan banyak kapal, dan pada akhirnya sisa-sisa kapal Khios berlayar pergi, sekaligus mengakhiri Pertempuran Lade dengan kemenangan Persia.[84]


 Peta Lade, Miletos, dan semenanjung Mykale

B. Kejatuhan Miletos

Dengan kekalahan armada Ionia, pemberontakan secara efektif berhasil diakhiri. Miletos dengan segera didatangi dan dikepung dari darat dan laut. Pasukan Persia menyerang tembok pertahanan Miletos dan berusaha meruntuhkannya dengan menggunakan berbagai macam alat serta dengan menggalinya. Pada akhirnya pasukan Persia berhasil menghancurkan tembok itu dan menaklukkan Miletos.[85] Menurut Herodotos, sebagian besar pria dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak dijadikan budak.[56][86] Temuan arkeologis cukup mendukung hal ini, menunjukkan tanda-tanda penghancuran yang luas, dan pengabaian sebagian besar kota sebagai akibat atas Pertempuran Lade.[59] Akan tetapi, beberapa orang Miletos tetap bertahan di (atau dengan cepat kembali ke) Miletos, meskipun kota itu tak pernah kembali berkembang seperti sebelumnya.[1]

Miletos dengan demikian bisa dibilang "ditinggalkan hingga kosong oleh penduduknya."[87] Persia lalu mengambil kota dan daerah pesisirnya, sedangkan sisa wilayah Miletos diberikan oleh Persia kepada orang Karia dari Pedasos. Para tawanan Miletos dibawa ke hadapan Darius di Susa, yang kemudian mengirim mereka untuk bermukim di kota Ampe di dekat lautan yang disebut Laut Erythra (keumngkinan di pesisir Teluk Persia). Kota ini disebutkan dilalui oleh sungai Tigris.[88]

Banyak orang Samos yang terkejut dan tidak senang dengan tindakan para jenderal mereka di Lade, dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah dari Samos sebelum tiran lama mereka, Aiakes, kembali untuk memerintah mereka, karena rakyat Samos tak mau lagi hidup di bawah kekuasaan Persia. Mereka menerima tawaran dari rakyat Zankle untuk bermukim di pesisir Sisilia, dan membawa serta sejumlah orang Miletos yang berhasil kabur dari pasukan Persia.[87] Kota Samos sendiri diampuni oleh Persia karena pembelotan mereka di Lade.[89]


 Reruntuhan kota Miletos


11. Kampanye Histiaios

A. Khios

Ketika Histiaios mengetahui berita mengenai kejatuhan Miletos, dia tampaknya menunjuk dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan terhadap Persia.[59] Berangkat dari Byzantion dengan pasukan Lesbosnya, dia berlayar menuju Khios. Rakyat Khios tak mau menerimanya, maka dia pun menyerang dan menghancurkan sisa-sisa armada Khios. Dengan armada yang hancur lebur, rakyat Khios terpaksa menerima kepemimpinan Histiaios.[90]

B. Pertempuran Malene

Histiaios kini mengummpulkan pasukan besar Ionia dan Aiolia lalu berangkat mengepung Thasos. Namun, dia menerima kaabr bahwa armada Persia sedang berlayar dari Miletos untuk menyerang wilayah Ionia lainnya, jadi dengan cepat ia kembali ke Lesbos.[91] agar dapat memberi makan pasukannya, dia melancarkan ekspedisi ke wilayah di Asia Kecil di dekat Atarneus dan Myos. Akan tetapi,pPasukan besar Persia pmpinan Harpagos sedang berada di ddaerah itu dan berhasil menyergap satu ekspedisi tersbut di dekat Malene. Pertempuran yang terjadi kemudian berlangsung ketat, namun berakhir dengan keberhasilan serangan kavaleri Persia, yang mengobrak-abrik barisan tempur Yunani.[92] Histiaios sendiri menyerah kepada Persia karena dia merasa bahwa dia akan dapat meminta pengampunan kepada Darius. Akan tetap, dia ternyata dibawa ke hadapan Artaphernes, yang menyadari pengkhianatan Histiaois dan mmutuskan untuk menghukumnya dengan cara menyulanya dan kemudian mengirim kepalanya, yang telah dibalsem, kepada Darius.[93]

12. Operasi terakhir

Armada dan pasukan Persia menghabiskan musim dingin di Miletos, sebelum kemudian berlayar pada tahun 493 SM untuk benar-benar menumpas sisa-sisa pemberontakan. Mereka menyerang dan menaklukkan pulau Khios, Lesbos, dan Tenedos. Di masing-masing pulau, mereka membuat 'jaring manusia' yang terdiri atas para tentara dan menyisir keseluruhan pulau-pulau itu untuk membasmi setiap pemberontak yang bersembunyi.[94] Mereka lalu bergerak menuju Asia Kecil dan menaklukkan kota-kota yang masih memberontak di Ionia, dan sama seperti sebelumnya, mereka juga mencari tiap pemberontak yang bersembunyi.[94] Meskipun kota-kota Ionia jelas mengalami kerusakan dalam prosesnya, namun tampaknya tak ada yang dirusak seburuk Miletos. Herodotos menuturkan bahwa pasukan Persia memilih anak lelaki paling tampan dari tiap kota dan mengebiri mereka, serta memilih anak perempuan paling cantik dan mengirimkan mereka ke harem raja. Pasukan Persia kemudian membakar kuil di kota-kota tersebut.[95] Meskipun ini kemungkinan benar, Herodotos juga kemungkinan melebih-lebihkan tingkat pengrusakannya.[1] Dalam beberapa tahun, kota-kota itu telah kurang lebih kembali normal dan mampu menghasilkan armada yang besar untuk invasi kedua Persia ke Yunani, hanya dalam waktu tiga belas tahun.[1][96]
Pasukan Persia kemudian menaklukkan kembali pemukiman-pemukiman di bagian Asia Propontis, sedangkan armada Persia berlayar ke pesisir Eropa Hellespontos, merebut tiap pemukiman di sana. Dengan seluruh Asia kecil kini berhasil dikuasai kembali oleh Persia, pemberontakan telah benar-benar berakhir.[97]

13. Akibat

Setelah pemberontakan berhasil dihentikan, Persia kini ingin berdamai. Karena daerah yang memberontak telah dikendalikan kembali, Persia merasa tak perlu lagi merusak ekonomi mereka atau memicu terjadinya pemberontakan lainnya. Oleh karena itu Artaphernes berencana memulai hubungan baik dengan bangsa-bangsa taklukannya itu.[98] Di Sardis, ia mengumpulkan perwakilan dari tiap kota Ionia, dan kemudian memberitahu mereka bahwa, alih-alih berselisih dan berperang tanpa henti dengan mereka, dia ingin menyelesaikan segala permasalahan melalui perundingan, tampaknya dengan sekumpulan hakim.[59] Lebih jauh lagi, dia meninjau ulang tanah tiap kota, menetapkan besaran upeti berdasarkan ukuran tanah masing-masing negara Ionia.[99] Artaphernes juga telah melihat betapa orang Ionia amat tidak menyukai tirani. Maka dia pun mulai mempertimbangkan ulang posisinya di pemerintahan lokal Ionia.[98]

 Peta Perang Yunani-Persia

Setahun kemudian, Mardonios, menantu Darius lainnya, pergi ke Ionia dan menghapuskan pemerintahan tirani di sana, menggantikannya dengan demokrasi.[100] Perjanjian damai disepakati oleh Artaphernes yang kelak dikenal adil.[98] Darius secara aktif mendorong para bangsawan Persia untuk ikut serta dalam praktik keagamaan Yunani, terutama yang berkaitan dengan dewa Apollo.[101] Catatan dari periode ini menunjukkan bahwa para bangsawan Yunani dan Persia mulai saling melakukan pernikahan, dan anak-anak bangsawan Persia diberikan nama-nam Yunani alih-alih nama Persia. Kebijakan damai Darius digunakan sebagai sejenis kampanye propaganda melawan Yunani daratan, sehingga pada tahun 491 SM, ketika Darius mengirim utusan ke seluruh Yunani untuk meminta tanah dan air (ketundukan) negara-negara kota Yunani daratan, pada awalnya sebagian besar negara kota tunduk kepada Persia, Athena dan Sparta menjadi pengecualian yang paling nyata.[102]

Bagi Persia, satu-satunya urusan yang belum tuntas pada akhir tahun 493 SM adalah penghukuman terhadap Athena dan Eretria atas bantuan mereka dalam pemberontakan.[98] Pemberontakan Ionia telah amat mengancam kestabilan Kekaisaran Persia, dan negara-negara di Yunani darata dapat terus memberikan ancaman terhadap kestabilan tersebut kecuali diselesaikan. Maka Darius memulai upaya untuk menguasai Yunani, yang rencananaya dimulai dengan penghancuran Athena dan Eretria.[98]

Dengan demikian, invasi pertama Persia ke Yunani secara efektif dimulai setahun kemudian, 492 SM, ketika Mardonios dikerahkan (melalui Ionia) untuk menguasai daerah-daerah yang berdekatan dengan Yunani, dan mendesak Athena dan Eretria jika memungkinkan.[100] Dalam prosesnya, Thrakia diduduki kembali setelah sebelumnya sempat melepaskan diri dari kekuasaan Persia selama pemberontakan, sedangkan Makedonia dipaksa menjadi negara bawahan Persia. Meskipun memperoleh kesuksesan awal, ekspedisi itu terhenti akibat kapal-kapal Persia dihantam badai.[100] Ekspedisi kedua dilancarkan pada tahun 490 SM dengan komandan Datis dan Artaphernes, putra satrap Artaphernes. Ekspedisi amfibi ini berlayar melintasi Laut Aigea, menduduki pulau-pulau di Kyklades, sebelum kemudian tiba di Euboia. Eretria lalu dikepung, ditaklukkan, dan dihancurkan oleh pasukan Persia, yang kemudian bergerak menuju Attika. Berlabuh di pantai Marathon, pasukan Persia dihadang oleh pasukan Athena, dan dikalahkan dalam Pertempuran Marathon yang terkenal.[103][104] Ini sekaligus mengakhiri upaya pertama Persia untuk menguasai Yunani.[104][105]

14. Signifikansi

 Penggambaran pertarungan hoplites Yunani melawan prajurit Persia, pada kylix dari abad ke-5 SM.


Pemberontakan Ionia menjadi penting terutama sebagai peristiwa pembuka, dan kejadian penyebab Perang Yunani-Persia, yang meliputi dua invasi ke Yunani serta pertempuran Marathon, Thermopylae,[106] dan Salamis yang terkenal.[107][1] Bagi kota-kota Ionia sendiri, pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan serta kerugian yang besar baik dalam hal ekonomi maupun materi. Akan tetapi, selain kehancuran yang dialami Miletos, kota-kota Ionia pulih relatif cepat dan menjadi makmur di bawah kekuasaan Persia selama empat puluh tahun selanjutnya.[1] Bagi Persia, pemberontakan itu penting karena menarik mereka ke dalam konflik yang meluas dengan negara-negara Yunani yang akan berlangsung selama lima puluh tahun, yang dalam masa tersebut mereka mengalami kerugian yang besar.[108]
Secara militer, tidak mudah untuk menarik banyak kesimpulan dari Pemberontakan Ionia, kecuali bahwa orang Yunani dan Persia kemungkinan menjadi saling mengenali kekuatan militer satu-sama lain. Jelas bahwa Athena, dan Yunani pada umumnya, tampaknya terkesan dengan kekuatan kavaleri Persia, yang membuat pasukan Yunani menampilkan kewaspadaan tinggi jika berhadapan dengan kavaleri Persia.[109][110] Sebaliknya, Persia tampaknya tidak terlalu menyadari atau mencermati potensi hoplites Yunani sebagai infantri berat. Pada Pertempuran Marathon, pada tahn 490 SM, pasukan Persia kurang memerhatikan pasukan Athena yang terutama terdiri atas hoplites, yang berakibat pada kekalahan mereka. Selain itu, meskipun Persia dapat merekrut infantri berat dari sejumlah bangsa taklukan mereka, namun mereka memulai invasi kedua ke Yunani tanpa melakukannya, dan lagi-lagi menghadapi permasalahan berat ketika melawan pasukan Yunani.[111] Kemungkinan Persia terlalu meremehkan kemampuan militer phalanx hoplites karena pasukan Persia mampu memperoleh kemenangan mudah atas pasukan Yunani di Ephesos, serta dapat mengalahkan pasukan yang bersenjata serupa dalam Pertempuran Sungai Marsyas dan Pertempuran Labraunda.[112]



Sumber
________________________________________________________________________________________________

Catatan kaki:

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Fine, hlm. 269–277.
  2. ^ Cicero, Mengenai Hukum I, 5
  3. ^ a b Bauer, hlm. 596
  4. ^ a b c Holland, hlm. xvixvii.
  5. ^ Thukydides, Sejarah Perang Peloponnesos, 1.22
  6. ^ a b Finley, hlm. 15.
  7. ^ Holland, hlm. xxiv.
  8. ^ David Pipes. "Herodotus: Father of History, Father of Lies". Diarsipkan dari aslinya tanggal January 27, 2008. Diakses 2008-01-18.
  9. ^ a b Holland, hlm. 377.
  10. ^ Fehling, hlm. 1–277.
  11. ^ Toynbee, hlm. 223
  12. ^ Bauer, hlm. 395-396
  13. ^ a b Herodotos 1.142–151
  14. ^ Toynbee, hlm. 229
  15. ^ Bauer, hlm. 395
  16. ^ Herodotos 1.142
  17. ^ a b Herodotos 1.143
  18. ^ Herodotos 1.148
  19. ^ Bauer, hlm. 520
  20. ^ Nadif, hlm. 7
  21. ^ a b c Herodotos 1.141
  22. ^ Toynbee, hlm. 256
  23. ^ Bauer, hlm. 521-522
  24. ^ Herodotos 1.163
  25. ^ Herodotos I,164
  26. ^ Herodotos 1.169
  27. ^ a b c d Holland, hlm. 147–151.
  28. ^ a b Holland, hlm. 153–154.
  29. ^ Alain, Duplouy. "Aristagoras of Miletus". Ensiklopedia Dunia Yunani, Asia Kecil. Diakses 14-08-2012
  30. ^ Herodotos 5.30
  31. ^ Herodotos 5.31
  32. ^ a b Herodotus V, 32
  33. ^ Herodotos 5.33
  34. ^ Keaveney, hlm. 76
  35. ^ a b Herodotos 5.34
  36. ^ a b Bauer, hlm. 595
  37. ^ "Naxos: The Naxos Revolt of Naxos Greece, Cyclades". Greeka. Diakses 11-08-2012
  38. ^ Nadif, hlm. 8
  39. ^ a b Herodotus 5.35
  40. ^ a b Herodotos 5.36
  41. ^ a b c Holland, hlm. 155–157.
  42. ^ a b Herodotos 5.37
  43. ^ a b Herodotos 5.38
  44. ^ a b c d e f g h Holland, hlm. 160–162.
  45. ^ a b c d e f Holland, hlm. 157–159.
  46. ^ Holland, hlm. 142.
  47. ^ a b Herodotos 5.96
  48. ^ a b Herodotos 5.98
  49. ^ a b Herodotus 5.99
  50. ^ a b Herodotos 5. 100
  51. ^ Herodotos 5.101
  52. ^ Herodotos 5.105
  53. ^ a b c d e Herodotos 5.102
  54. ^ Lazenby, hlm. 232.
  55. ^ a b Bauer, hlm. 597
  56. ^ a b "Battle of Lade - 494 B.C.". Ancient Greek Battles. Diakses 18-08-2012
  57. ^ a b c d Herodotos 5.103
  58. ^ a b Herodotos 5.104
  59. ^ a b c d e f g h i j k l m Boardman et al, hlm. 481–490.
  60. ^ a b c Herodotos 5.116
  61. ^ a b c Herodotos 5.117
  62. ^ Herodotos 5.108
  63. ^ Herodotos 5.109
  64. ^ Herodotos 5.113
  65. ^ Herodotos 5.122
  66. ^ a b Herodotos 5.123
  67. ^ a b Herodotos 5.118
  68. ^ a b Herodotos 5.119
  69. ^ Herodotos 5.120
  70. ^ a b Herodotos 5.121
  71. ^ a b Herodotos 5.124–126
  72. ^ Thukydides 4. 102
  73. ^ Herodotos 5.106–107
  74. ^ Herodotos 6.1
  75. ^ a b Herodotos 5.5
  76. ^ a b Herodotos 6.6
  77. ^ Herodotus 5.8
  78. ^ Herodotos 6.9
  79. ^ Herodotos 6.10
  80. ^ Herodotos 6.12
  81. ^ Herodotos 6.13
  82. ^ Herodotos 6.14
  83. ^ Herodotos 6.15
  84. ^ Herodotos 6.16
  85. ^ Bauer, hlm. 598
  86. ^ Herodotos 6.18
  87. ^ a b Herodotos 6.22
  88. ^ Herodotos 6.20
  89. ^ Herodoous 6.25
  90. ^ Herodotos 6.26
  91. ^ Herodotos 6.28
  92. ^ Herodotos 6.29
  93. ^ Herodotos 6.30
  94. ^ a b Herodotos 6.31
  95. ^ Herodotos 6.32
  96. ^ Herodotos 6.94
  97. ^ Herodotos 6.33
  98. ^ a b c d e Holland, hlm. 175–177.
  99. ^ Herodotos 6.42
  100. ^ a b c Herodotos 6.43
  101. ^ Herodotos 6.42–45
  102. ^ Herodotos 6.49
  103. ^ Toynbee, hlm. 257
  104. ^ a b Herodotos 6.94–116
  105. ^ Bauer, hlm. 599-600
  106. ^ Bauer, hlm. 601-602
  107. ^ Bauer,, hlm. 603-604
  108. ^ Holland, hlm. 362–363.
  109. ^ Holland, hlm. 191–193
  110. ^ Lazenby, hlm. 217–219.
  111. ^ Lazenby, hlm. 23–29.
  112. ^ Lazenby, hlm. 258.



Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.