Selasa, 04 Februari 2014

Bali: Raja Penguasa Bali 2

2. Ugrasena (915-942M)
Setelah wafatnya Raja Kesari Warmadewa pada tahun Saka 837/915 maka Putra beliau Sri Ugrasena Warmadewa menggantikan kedudukan sebagai Raja di Bali. Beliau terkenal akan kebijaksanaannya dan kewibawaanya sehingga menjadikan Pulau Bali aman dan sentaosa.

Para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra. Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika. Kerajaan berpusat di Singhamandawa didaerah sekitar Batur.

Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.

Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur. Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni

  1. Prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka),
  2. Prasasti Les,
  3. Pura Bale Agung (837 Saka),
  4. Babahan I (839 Saka),
  5. Sembiran AI (844 Saka),
  6. Pengotan AI (846 Saka),
  7. Batunya AI (855 Ska),
  8. Dausa,
  9. Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka),
  10. Serai AI (858 Saka), Dausa,
  11. Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka),
  12. Prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg,
  13. Pura Batur A.
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang perampok.

Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk . Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama,

Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui.

Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.

AKHIR MASA PEMERINTAHAN

Sesudah beberapa lama Sri Aji Ugrasena bertahta di istana kerajaan akhirnya beliau wafat kembali kealam Sunya, pada tahun Saka 864/942 Masehi beliau dicandikan di Ermadatu. Beliau dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu. Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani.
3. Tabanendra Warmadewa ( 955-974 M)

 (gambar kiri: Pemandian Tirta Empul)

Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan raja Ugrasena.
Beliau berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak Siring. Ditengah tengah masa pemerintahannya terdapat seorang raja lain yang memerintah yaitu Jayasinga Warmadewa/ Candrabaya Singa Warmadewa tahun 960 M. Diduga berkuasanya raja ini ditengah tengah pemerintahan Sri Haji Tabanendra Warmadewa adalah akibat perebutan kekuasaan yang kemudian dapat direbut kembali oleh Sri Haji Tabanendra Warmadewa.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni

  1. Prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka),
  2. Manik Liu BI (877 Saka),
  3. Manik Liu C (877 Saka), dan
  4. Kintamani A (899 Saka)
Prasasti Raja Tabanendra Warmadewa ditemukan di desa Kintamani. Keempat prassati itu tidak lengkap. Tiga yang pertama, selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan dan Talun. Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan pelbagai pajak, kecuali pajak rot.
Isi pokok prasasti Kintamani A, yang berkaitan dengan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran pesanggarahan di Air Mih.


(gambar kiri: Pura Tirta Empul)

Dalam Prasasti Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih. Dalam prasasti dikatakan bahwa raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena.
Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong anggota dinasti Warmadewa.

SISTEM PEMERINTAHAN

Sistem pembagian Raja – Raja di Bali di dasarkan atas keturunan, biasanya pengganti Raja yang meninggal adalah putra laki – laki tua atau satu – satunya putra laki – laki yang lahir dari permaisuri yang berasal dari golongan bangsawan (Ksatria). Tetapi apabila putra mahkota pengganti Raja tersebut masih di bawah umur, biasanya diwakili oleh ibunya atau salah seorang bangsawannya yang di pilih pada penggawa pendanda istana.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja dibantu oleh pejabat pemerintah yang masing – masing menduduki fungsi tertentu. Raja di dampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan yang di sebut Pasamuan Agung. Tugas Pokok dari Pasamuan Agung adalah memberikan nasihat dan pertimbangan para Raja dalam memecahkan masalah – masalah yang berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu mereka juga di tugasi untuk mengurus hubungan dengan penguasa di luar Kerajaan 

 
(gambar kiri: Pura Tirta Empul)

Raja juga dibantu oleh patih, Prebekel atau Pambekel dan penggawa – penggawa daerah. Penggawa – penggawa ini kedudukanya sama dengan kepala distrik.

AKHIR MASA PEMERINTAHAN

Setelah Wafat Raja Haji Tabanendra Warmadewa di candikan di Air Mandu


Sumber
4. Indrajayasingha Warmadewa (960 - 975 M)
Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882 Saka). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul (sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air.
Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang ada menjadi kuat dan bertahan lama. ). Dikatakan bahwa raja Jayasingha membangun dua pemandian di desa Manukraya, yang letaknya sekarang di dekat istana negara Tapak Siring. Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama permaisurinya.
Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa pembacaan angka tahun 882 Saka sudah benar. Untuk sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah terbitnya “prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai, dalam arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.


Sumber
5. Jayasadhu Warmadewa (975 - 983 M)
(gambar kiri: Raja Bali Menurut Rafless)

Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka) (Brandes, 1889). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut kembali mengenai desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya.
Selanjutnya, ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil, pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu mengalami kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah, Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran.
Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi


Sumber
6. Sri Wijaya Mahaderi (983 - 989 M)
 (gambar kiri: Raja di Bali)

Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi dengan sistem pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan di Jawa.
Susunan dan nama – nama jabatan pemerintah yang biasa berlaku di Jawa di pergunakan di Bali. Beliau memerintah pada tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putri dari Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno. Raja di Bali
Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na). Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa.
Keadaan ini mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30) berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan Sriwijaya ke Bali. Pada 
tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur .
Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Pendapatnya itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa  
(gambar kiri: Peninggalan Kerajaan Bedulu)

AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.


Sumber
7. Dharma Udayana Warmadewa (989 - 1011 M)
Beliau termasyur akan kewibawaan dan kebesarannya sebagai penguasa tunggal, dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuamikan Sri Makuta Wangsa Wardhana, Baginda berputra dua orang yang berparas cantik.
Yang tinggal di Jawa kawin dengan raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.
Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mendatangkan 4 orang rohaniawan dari Jawa Timur diantaranya :

  1. Mpu Semeru, merupakan penganut agama Siwa (tahun 999) M bertempat di Besakih selaku pemelihara Pura Hyang Putranjaya atau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Ratu Pasek.

  2. Mpu Gana, merupakan penganut aliran Ganapatya (tahun 1000) M bertempat di Gelgel dimana sekarang dibangun Pura Dasar Buwana Gelgel.

  3. Mpu Kuturan, merupakan penganut Budha Mahayana, bertempat di Padangbai dimana sekarang berdiri Pura Silayukti.

  4. Mpu Gnijaya, merupakan penganut Brahmaisme (Tahun 1006) M bertempat di Gunung Lempuyang dimana sekarang dibangun Pura Lempuyang Madia.
Adapula yang merupakan perisai pengawal Baginda yang sudah dipercaya bernama Senapati Wrasaba, Senapati Pancakala, Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Danda, Senapati Wit, Senapati Byut, Senapati Kalabaksa, Senapati Kuturan, Senapati Maniringin, Senapati Sarbwa.
(gambar kanan: Pura Samuan Tiga)

Sebelas orang Senapati Baginda yang besama-sama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, ke sebelas Senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan. Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan Api Kurban (homa), mengucapkan Weda mantra, suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata.
Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara Dewa Yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca Lontar Kekawin.

(gambar kanan: Persembahyangan di Pura Samuan Tiga)

Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang diantaranya penulisan prasasti tidak lagi mempergunakan bahasa Bali Kuno seperti yang sudah sudah tetapi memakai bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Di bidang keagamaan yang semula terdiri dari 9 sekte yang sering menimbulkan pertentang di masyarakat ditata kembali melalui pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga dengan sekte sektenya.
Hal ini diprakarsai oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana. Hasil pertemuan ini disetujui oleh semua pihak dan menghasilkan 5 kesepakatan antara lain :
  1. Menjadikan paham Trimurti/ Tri Sakti/ Tri Tunggal sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran
  2. Mendirikan Pura Kayangan Tiga untuk setiap desa adat atau Pakraman.
  3. Di setiap rumah dibangun bangunan suci rong tiga atau yang dikenal dengan sanggah kemulan.
  4. Semua tanah pekarangan yang terletak di sekitar Desa dan pura Kayangan Tiga menjadi milik desa/ Pura Kahyangan Tiga dan tidak boleh diperjual belikan.
  5. Nama agama yang disepakati adalah Agama Siwa-Buda.
(gambar kiri: Pura Samuan Tiga) 

Itulah sebabnya maka tempat dilaksanakan pertemuan tersebut dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangun ditempat itu dinamakan Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedahulu Gianyar.

BERBAGAI VERSI TENTANG UDAYANA

Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta
Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.

(gambar kiri: Peninggalan Bali Kuno)  

Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II . Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa.
agi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.
Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil. Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens. Telah dikatakan bahwa prasasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II.
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).
Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII. Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya).
Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya..

(gambar kanan: Iringan Putri Raja di Bali)

Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya. Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A . Rupanya Gunapriyadharmapatjni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.
Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :

  • “...tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, ...”
  • Artinya : “... kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, ...”
Selain prasasti-prasasti yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short inscription) yang terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357) berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka . Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang (929 Saka).
Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calonarang. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah?
Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali. Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting .


AKHIR MASA PEMERINTAHAN


Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka. Adapun Gunapriyadharmapatni setelah wafat dicandikan di Burwan. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya

  1. Sri Aji Erlangga kawin ke Jawa Timur
  2. Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944/1022 Masehi
  3. Adik terkecil bernama Sri Aji Anak Wungsu. beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911/999 Masehi

Sumber

Bali: Raja Penguasa Bali 1


A. WANGSA SANJAYA 

1. UGRASENA/ MAYADANAWA (Th 882) M

Kerajaan tertua di Bali yang tercatat dalam sejarah Bali adalah Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang (882) M terletak di sekitar Batur. Keberadaan Kerajaan ini dikukuhkan melalui 15 prasasti yang berangka tahun 804 M. Dalam prasasti itu disebutkan raja Singamandawa adalah Ugrasena.

Dalam struktur kerajaan lama, Raja – raja Bali dibantu oleh badan penasehat yang disebut “Pakirakiran I Jro Makabehan” yang terdiri dari beberapa Senapati dan Pendeta Syiwa yang bergelar “Dang Acaryya” dan Pendeta Buddha yang bergelar “Dhang Upadhyaya”. Raja didampingi oleh badan kerajaan yang disebut “Pasamuan Agung” yang tugasnya memberikan nasihat dan pertimbangan kepada raja mengenai jalannya pemerintahan. Raja juga dibantu oleh Patih, Prebekel, dan Punggawa – punggawa.

Ratu Ugrasena merupakan keturunan Wangsa Keling atau Kalingga atau dikenal dengan nama Wangsa Sanjaya yang berasal dari India Selatan. Pada jaman ini agama Budha mulai masuk ke Bali setelah terlebih dahulu berkembang di Jawa. Pada tahun 913 M muncul Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan dengan rajanya Kesari Warmadewa yang merupakan keturunan wangsa Warmadewa yang berasal dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) dan Sriwijaya (Sumatera Selatan).

Munculnya kerajaan ini tidak terlepas dari persaingan antara wangsa Sanjaya dengan wangsa Warma di Jawa Barat pada abad ke 6. Kedua Kerajaan bersaing untuk menguasai daerah yang lebih luas sehingga kedua kerajaan akhirnya terlibat dalam peperangan secara terus menerus. Di Bali Kerajaan Singamandawa terdesak sehingga hanya bertahan di pegunungan Kintamani dan Buleleng sedangkan Wangsa Warma telah menguasai wilayah yang lebih luas yang dibuktikan dengan prasasti berupa pahatan batu di Penataran Gede Malet dan Pura Panempaan Manukaya.

Setelah tahun saka 888 tidak terdengar lagi raja raja Singamandawa karena prasasti prasasti yang dikeluarkan semuanya dari raja raja Warmadewa sehingga diperkirakan Kerajaan Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang jatuh ketangan Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan dengan jalan damai karena salah satu Raja keturunan wangsa Warmadewa yaitu Raja Tabanendra Warmadewa sangat menghormati Sang Ratu Ugrasena yang diuraikan dalam prasati Kintamani A yang menyebutkan “ Sang Ratu Sang Sinddha Dewata Sang Lumah di Air Madatu.

Dengan ini maka berakhir pula masa kedinastian Wangsa Sanjaya di Bali dan digantikan oleh Wangsa Warmadewa. Lalu kemanakah keturunan keluarga Ugrasena tersebut ? menurut tradisi dari kerajaan kerajaan kuno bilamana ada kerajaan yang dikalahkan maka keluarga raja yang ditaklukkan tersebut diserahi tugas dalam pemerintahan oleh Raja yang berkuasa sebagai patih atau pejabat kerajaan lainnya, apa lagi penaklukannya dilakukan dengan cara damai.

Kalau pendapat ini benar maka keturunan Ratu Ugrasena pada jaman pemerintahan wangsa Warmadewa yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten menduduki jabatan Menteri menteri Kerajaan diantaranya :

  1. Pangeran Tambyak
  2. Ki Kalung Singkal dari Taro
  3. Ki Tunjung Tutur dari Desa Tenganan
  4. Ki Tunjung Biru dari Tianyar
  5. Pangeran Kopang dari Seraya
  6. Ki Buahan di Batur
  7. Rakriyan Girimana di Ularan
  8. Pangeran Tangkas Pangeran Mas
  9. Perdana Menteri Ki Pasung Grigis di Tengkulak
  10. Ki Kbo Iwa di Blahbatuh.
Demikianlah keturunan Wangsa Sanjaya yang menduduki jabatan pemerintahan pada jaman Raja Sri Ratna Bumi Banten pada saat ekspedisi Majapahit ek Bali untuk menaklukan kerajaan Bedulu. Diantara mereka yang dapat dicari keturunannya sampai sekarang hanyalah Rakriyan Girikmana dari Ularan Singaraja yang menjabat sebagai panglima perang pasukan Dulang Mangap Kerajaan Gelgel yang bergelar Jelantik.

Beliau berhasil menaklukan Kerajaan Blambangan. Kryan Ularan panglima Dulang Mangap mempunyai anak yang bernama Jelantik Bongol yang dijuluki demikian karena beliau mengamuk di medan perang Bali-Pasuruan tanpa memakai senjata sebagai penebusan terhadap dosa ayahnya yang ingkar atas perintah Dalem.

GARIS KETURUNAN WANGSA SANJAYA

Sanjaya adalah raja dari sebuah kerajaan tua di Jawa Tengah yaitu Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Purana, Usana, Babad sering disebut dengan nama Kerajaan Keling. Raja Sanjaya adalah pendiri dinasti Sanjaya dengan gelar Sanjayawamsa. Kerajaan Mataram Kuno adalah merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Barat yang telah ada tahun 414 M, yang menurut penuturan seoarang peziarah China yang bernama Fa Hian menyebut nama Kalingga dengan nama Holing.

Asal usul Kerajaan Kalingga ini adalah dari India Selatan yang karena terdesak di wilayah India maka Raja Kalinga beserta keluarganya hijrah ke Indonesia dan terdampar di Jawa Barat. Dijawa Barat Raja Kalingga dan para pengikutnya kemudian mendirikan Kerajaan Kalingga. Sebagai Raja di Kerajaan Kalingga dikenal 2 orang yaitu Raja Sannaha dan Ratu Simmo.

Setelah pemerintahan Ratu Simmo tidak terdengar lagi raja penggantinya sampai tahun 732 M muncul kerajaan baru di Jawa Tengah dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang. Para ahli sejarah menduga Kerajaan Mataram Kuno ini adalah kelanjutan dari kerajaan Kalingga. Adapun kepindahannya dari Jawa Barat ke Jawa tengah diperkirakan karena terdesak oleh munculnya Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 6 dengan Rajanya Purnawarman dari wangsa Warma.

Kerajaan Mataram Kuno ini melebarkan kekuasaanya samaai ke Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Timur dikenal adanya kerajaan Kanjuruhan berdasarkan prasasti Dinoyo tahun 760 M dan di Bali terdapat kerajaan Singamandawa berdasarkan prasasti Sikawana A tahun 882 M. Besar kemungkinan raja dari kerajaan tersebut adalah dari keluarga Sanjaya atau Sanjayawamsa karena kesamaan prasasti-prasasti Canggal 732 M dan Prasasti Dinoyo 760 M dan Prasasti Sukawana 882 M dalam bidang keagamaan yang dianut.

SISTEM KEPERCAYAAN

Menyembah banyak dewa yang bukan hanya berasal dari dewa Hindu & Buddha tetapi juga dari kepercayaan animisme mereka.


Sumber

B.  WANGSA WARMADEWA

1. SRI WIRA DALEM KESARI WARMADEWA (TH 913 - 924 M)

(gambar kiri: Prasasti Blanjong)

      Setelah jatuhnya Kerajaan Singamandawa atau Kerajaan Balingkang dari wangsa Sanjaya akibat peperangan dengan Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan maka mulailah kekuasaan Dinasti Wangsa Warmadewa di Pulau Bali.
      Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti Warmadewa yang didirikan Kerajaan Singhadwala atau Kahuripan dengan lokasi Kerajaan di sekitar Besakih. Beliau merupakan keturunan wangsa Warmadewa yang berasal dari Kerajaan Kutai
      Sri Kesari dianggap sebagai pendiri sebagai dinasti Warmadewa , yang makmur selama beberapa generasi, salah satu keturunan yang menjadi terkenal raja Udayana .
      Menurut prasasti, Sri Kesari adalah seorang raja Buddha dari Dinasti Syailendra memimpin sebuah ekspedisi militer, untuk membangun Mahayana pemerintah Buddha di Bali. Sri Kesari Warmadewa adalah raja pertama Bali untuk meninggalkan prasasti yang ditulis. Dia menulis prasasti di 914 CE pilar Belanjong ("Prasasti Blanjong") di selatan Sanur dan prasasti Penempahan, dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9.
      Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti Blanjong adalah ... sri kesari ... sedangkan pada sisi B.13 terbaca ... sri kesariwarmma (dewa) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti Penempahan yang masih terbaca adalah ... sri ke ... dan pada prasasti Malet Gede berbunyi ... sri kaesari ... (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 : 964). Prasasti ditulis baik dalam India Sansekerta bahasa dan bahasa Bali Lama, menggunakan dua script, yang Nagari script dan orang Bali script Lama (yang digunakan untuk menulis baik Bali dan bahasa Sansekerta).
      pilar yang menyaksikan pada koneksi dari Bali dengan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah . Ini adalah tanggal menurut India kalender Saka . Hal lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti tersebut
pada hakikatnya menggambarkan kemenangan raja Sri Kesari terhadap musuh-musuhnya. Sebagai akibat prasasti-prasasti itu telah aus, hanya dua di antara musuh-musuh itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal.
      Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini belum diketahui secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun mungkin sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun mungkin identik dengan Nusa Penida. Sri Kesari Warmadewa dikenal sangat tekun beribadat untuk memuja dewa dewa yang bersemayam di Gunung Agung. Tempat pemujaan beliau disebut Merajan Selonding atau Merajan Kesari Warmadewa.
     Beliaulah yang mengadakan perluasan atas pura Penataran Agung Besakih yang tadinya sangat sederhana. Beliau kemudian membangun pura –pura di besakih untuk melengkapai bangunan suci yang telah ada diantaranya :
  1. Pura Gelap untuk memuja Dewa Iswara
  2. Pura Kiduling Kreteg untuk memuja Dewa Brahma
  3. Pura Ulun Kulkul untuk memuja Dewa Mahadewa
  4. Pura Batumadeg untuk memuja Dewa Wisnu
  5. Pura Dalem Puri untuk memuja Dewi Durga
  6. Pura Basukihan untuk memuliakan Naga Basukihan
      Beliaulah yang memerintahkan masyarakat untuk merayakan hari Nyepi pada sasih Kesanga.

(gambar kiri: Pura Besakih)

ASAL USUL KETURUNAN
      Pada abad ke-4 di Campa, Muangthai bertahta Raja Bhadawarman. Beliau diganti oleh anaknya bernama Manorathawarman, selanjutnya Rudrawarman. Anak Rudrawarman bernama Mulawarman merantau, mendirikan kerajaan Kutai. Mulawarman diganti Aswawarman. Anaknya bernama Purnawarman mendirikan kerajaan Taruma Negara. Anak Purnawarman bernama Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anak Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa pergi ke Bali, pertama-tama mendirikan Pura Merajan Salonding dan Dalem Puri di Besakih.
      dikisahkan keadaan Pulau Bali, semua pura rusak terbakar, yang masih tertinggal hanya dasar bangunan saja. Dikisahkan para Arya Hindu memugar dan membangun kembali semua pura yang sudah rusak bersama masyarakat Bali Aga. Adapun yang diberi gelar awatara dewata ialah Baginda Sri Kesari Warmmadewa.
      Sesudah selesai membangun semua pura, baginda bermaksud melaksanakan upacara, upacara itu dimulai pada hari Rabu Kliwon Sinta, yang bermakna mengupacarakan benteng pertahanan, selanjutnya mengadakan untuk segala perlengkapan senjata perang yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Landep selanjutnya disebut Hari Raya Tumpek Landep.
      Pada hari Sabtu Kliwon Wariga, juga melaksanakan upacara yang disebut Tumpek Uduh, Baginda juga bermaksud melaksanakan upacara Dewa Yadnya serta upacara para dewata yang gugur di medan perang, yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan, yang disebut Hari Raya Galungan. Pemasukan pajak hasil bumi dari luar Pulau Bali yakni, Makasar, Sumbawa, Sasak, dan Blambangan, yang dibawah kekuasaan Baginda Raja di Bali, di upacarakan pada hari Kamis Wage Sungsang yang selanjutnya disebut Hari Raya Sugian Jawa.
     Khusus bagi penduduk Bali Mula upacara itu dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon Sungsang, selanjutnya bernama Hari Raya Sugian Bali. Adapun pelaksanaan Hari Raya Galungan bermula pada hari Rabu Kliwon Dungulan, sekitar bulan Oktober saat bulan purnama, pada tahun Saka 804/882 Masehi. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indraloka, menyuarakan bunyi-bunyian yang tak henti-hentinya siang malam memuja Sang Hyang Widhi dan para dewata.
      Pulau Bali aman dan makmur sejak Maharaja Sri Kesari Warmmadewa sebagai penguasa tunggal yang diberi gelar awatara Dewata. ketika datangnya arya-arya Hindu yang menguasai bumi Bali juga ikut membangun dan memperbaiki kahyangan jagat seperti yang bernama Sri Wira Dalem Kesari kembali memperbaiki Pura Sad Kahyangan, antara lain:
  1. Pura Penataran Besakih
  2. Pura Bukit Gamongan
  3. Pura Batukaru
  4. Pura Uluwatu
  5. Pura Erjeruk
  6. Pura Penataran Pejeng.

AKHIR PEMERINTAHAN
Beberapa tahun kemudian karena sudah tua mangkatlah Sri Aji Bali pada tahun Saka 837/915 Masehi Putra beliau yang menggantikan tahta, tidak beda dengan beliau yang sudah menyatu dalam Sunya, selalu taat berbakti kehadapan Sanghyang Widhi dengan bersembahyang di pura-pura Sri Ugrasena Warmmadewa nama beliau sang Prabu, bijaksana dan termasyur di dunia beliau memerintah, aman sentosa pulau Bali.
     

Bali: Kerajaan Satria 4 (Habis)

 Denah Pura Satriya

RUNTUHNYA PURI SATRIA BERAKHIRNYA DINASTI KEJAMBEAN
Kiyai Agung Gde Oka di Jero Kaleran Kawan mempunyai 2 orang putra yaitu Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Made. Setelah keduanya meningkat dewasa, Kiyai Ngurah Rai mengabdi di Puri Agung Satria

Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I Gusti Ngurah Rai karena Kiyai Ngurah Rai mempunyai bakat membina ayam kurungan, beliau terkenal sebagai pekembar yang bijaksana.

Akibat seringnya I Gusti Ngurah Rai ke kediaman Kyai Jambe Haeng untuk mengurus ayam sang Raja, terjadi hubungan gelap antara I Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja yang masih muda. Pada suatu hari kebetulan ada sabungan ayam di bencingah Puri Agung Satriya. Kiyai Ngurah Rai sedang berada di kalangan Tajen sebagai pekembar. Kedua belah tangannya memegang ayam yang sedang diikat dengan taji. Nampak jelas ditangan kirinya memakai sebuah cincin bermata berlian, cincin yang mana sering dipakai oleh selir Kiyai Jambe Haeng Raja Satriya. Seorang pengawal istana segera melaporkan kepada Kiyai Jambe Haeng apa yang telah dilihatnya perihal cincin yang dikenakan Kiyai Ngurah Rai.

Menerima laporan tersebut Kiyai Jambe Haeng menjadi sangat marah dan memberikan perintah untuk menangkap Kiyai Ngurah Rai, namun Kiyai Ngurah Rai sudah tidak berada di kalangan tajen tersebut. Kiyai Ngurah Rai mendapat firasat yang tidak baik sehingga terlebih dahulu meninggalkan kalangan tajen dan pulang ke Jero Kaler Kawan. Di rumahnya beliau merebahkan diri untuk menghilangkan rasa letih dan memikirkan apa gerangan yang akan terjadi.

Tiba tiba datanglah Kiyai Made Tegal Cempaka Oka dengan sangat tergesa- gesa dan menyampaikan berita yang didengarnya dibencingah Puri Agung Satria kepada Kiyai Ngurah Rai. Berita tersebut adalah perintah untuk menangkap Kiyai Ngurah Rai hidup atau mati karena dianggap telah berani berbuat serong di dalam Puri Agung Satria.
Tanpa berpikir panjang lagi Kiyai Ngurah Rai segera meninggalkan Jero Kaler Kawan untuk menuju Desa Jimbaran. Tidak diceritakan dalam perjalanan menuju Desa Jimbaran bertemulah beliau dengan I Gde Mekel Jimbaran dan mohon perlindungan. Kebetulan pada waktu itu Kiyai Lanang Jimbaran putra Kiyai Agung Lanang Dawan sedang berada di rumah ibunya di desa Jimbaran.

Kedatangan Kiyai Ngurah Rai kemudian mendapat perlindungan dari kiyai Lanang Jimbaran dan minta kepada I Gde Mekel Jimbaran supaya menjaga dengan baik Kiyai Ngurah Rai dari pengejaran prajurit Puri Satriya. Diceritakan Laskar Puri Satriya sudah menyeberang Tukad Badung dan terus menuju Jero kaler Kawan untuk mengkap Kiyai Ngurah Rai. Akan tetapi orang yang dicarinya sudah tidak ada lagi dan akhirnya penggeledahan tersebut sampai juga ke Desa Jimbaran di rumahnya I Gde Mekel Jimbaran.

Kebetulan pada waktu itu semua keluarga I Gde Mekel Jimbaran sedang menumbuk padi di halaman rumahnya. Mereka tidak menghiraukan sama sekali kedatangan laskar Puri satriya yang mencari Kiyai Ngurah Rai. Matahari sudah hampir terbenam, Laskar Puri Satria belum juga menemukan orang yang dicari. Karena hari sudah gelap maka kepala pasukan memerintahkan menghentikan pencaharian dan memerintahkan untuk kembali. Ke Puri Satriya.

Sebenarnya waktu penggeledahan di rumah I Gde Mekel Jimbaran Kiyai Ngurah Rai sedang berada di dalam sumur yang ditutup dengan beberapa ikat padi yang baru di ketam. Dari luar memang nampak seperti tumpukan padi sehingga laskar Puri Satriya tidak menyangka sama sekali kalau Kiyai Ngurah Rai bersembunyi disana.

Akhirnya Kiyai Ngurah Rai selamat dari maut dan untuk mengenang kejadian tersebut Kiyai Ngurah Rai membuat pelinggih ditempat tersebut dan samapai sekarang masih dipelihara oleh keturunan Jero Kaler Kawan. Ditempat itu juga dibuat pelinggih Kiyai Agung Lanang Dawan yang berjasa menyembuhkan penduduk Desa Jimbaran dari wabah penyakit yang menyerang Desa Jimbaran yang sampai sekarang masih dipelihara oleh keturunan I Gede Mekel Jimbaran.

Entah berapa lamanya Kiyai Ngurah Rai berada di desa Jimbaran kemudian atas prakarsa I Gde Mekel Jimbaran, Kiyai Ngurah Rai berhasil diseberangkan ke Pulau Lobok dengan prahu Bugis. Atas Jasanya I Gde Mekel Jimbaran diberi penghargaan diganti namanya menjadi I Gde Mekel Perahu (Pewarisnya sekarang bernama Ni Luh Gerinding).

I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak, dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk menghadapi kekuasaan. Kiyai Ngurah Rai mengadakan kontak dengan Kiyai Tegal Cempaka Oka, dari Jero Tegal, Kiyai Jero Kuta, Kiyai Agung Belaluan, Kiyai Gde Gelogor dan I Gde Bandem di Pemedilan yang menjadi tulang punggung kekuatan laskar gerak cepat di Gerenceng. Gerenceng berarti gerak cepat.

Kontak Rahasia yang dibuat Kiyai Made Cempaka Oka semuanya berjalan dengan baik dan sepakat untuk membatu Kiyai Ngurah Rai untuk menggulingkan kekuasaan Kiyai Jambe Haeng dari Puri Satriya. Kemelut yang berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang Badung yang berkuasa, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari kerajaan dan rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan mengambil sikap netral tidak memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah keluarga sendiri. Ada seorang puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi oleh Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak berperan dalam penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.

Setelah semua persiapan disusun rapi dan sangat rahasia maka Kiyai Made Tegal Cempaka Oka memberikan isyarat kepada Kiyai Ngurah Rai untuk segera pulang ke Bali. I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok, mencari dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa Manggis Api. Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah seorang puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero. Demikian juga I Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk mencari dukungan. Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri Jro Kuta adalah bagian dari keluarga Sub Dinasti Jambe.

Pada hari yang ditentukan datanglah utusan dari Kiyai Jambe Jero Kuta ke Puri Satria yang mengabarkan bahwa beliau sedang sakit dan kalau Kiyai Jambe Haeng tidak berhalangan supaya menengok sebentar ke Jero Kuta. Kiyai Jambe Haeng memenuhi permintaan tersebut dan segera bergegas meninggalkan Puri Satrya untuk pergi menuju Jero Kuta. Kiyai Ngurah Rai yang sudah kembali dari Lombok bersama Kiyai Made Tegal Cempaka Oka sekarang sudah berada di tepi Sungai Badung (Tukad Badung) di daerah Wangaya untuk menunggu kedatangan Kiyai Jambe Haeng. Tidak beberapa lama datanglah rombongan Kiyai Jambe Haeng yang menuruni tepi sungai Badung sebelah timur kemudian menyeberangi sungai badung secara perlahan lahan.

Setibanya beliau di tepi sungai, secara tiba tiba Kiyai Ngurah Rai melakukan serangan mendadak yang menyebabkan Kiyai Jambe Aeng tidak sempat mempersiapkan diri terlebih dahulu sehingga beliau terkena tikaman keris sakti dari Kiyai Ngurah Rai. Kiyai Jambe Haeng kemudian tersungkur dengan luka yang sangat parah, Namun beliau masih sempat berbicara.

  • Sesungguhnya matiku ini tidak wajar, sebagai seorang kesatria utama sebenarnya kamu harus menantang perang terlebih dahulu. Karena perbuatanmu yang melanggar hukum perang maka sebelum aku mati aku akan memberikan kutukan kepada kalian berdua supaya selama 7 keturunan kalian berdua tidak menemukan kerahayuan.
Tiba tiba Kiyai Ngurah Made adik dari Kiyai Ngurah Rai datang menyusul dan terkejut melihat apa yang terjadi. Darah terus mengalir dari luka yang diakibatkan tusukan kiyai Ngurah Rai terus meleleh. Dengan secepat kilat Kiyai Ngurah Made membopong tubuh Kiyai Jambe Haeng dan membawanya ke Jero Kuta. Kiyai Ngurah Made tidak dapat menahan kesedihannya melihat kondisi Kyai Jambe Haeng.

Di Jero Kuta Kiyai Ngurah Made terus mendampingi Kiyai Jambe Haeng yang sedang menunggu saat saat terakhirnya. Namun sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir Kiyai Jambe Haeng sempat menyampaikan pesan kepada Kiyai Ngurah Made
  • Adikku Kiyai Ngurah Made dengarlah baik baik apa yang kukatakan, karena adikku yang memberikan pertolongan kepadaku maka kepada adiklah saya serahkan tahta Puri Satriya dan sebagai bakal adinda menduduki tahta Puri Satria terimalah Keris Singapraga ini.
Setelah beliau menyampaikan amanat yang terakhir maka wafatlah Kiyai Jambe Haeng Raja Puri Agung Satriya yang terakhir dan berakhirlah pula masa Dynasti Kejambean di wilayah Badung. Apa yang menjadi pesan terakhir dari Kiyai Jambe Aeng semuanya didengar oleh yang hadir pada saat itu.

Kembali ke keadaan di Puri Agung Satriya, setelah mendengar Wafatnya Kiyai Jambe Haeng seluruh Laskar Puri Agung Satriya disiagakan. Patih Agung Kalanganyar mempersiapkan laskar Puri Agung Satriya untuk menyerbu Jero Kaler Kawan. Namun secara tiba tiba laskar Jero Taensiat yang berada disebelah Utara Puri Satria menyerbu Jero kalanganyar sehingga pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Benar bernar peperangan yang sangat dahsyat di sore hari itu sehingga sukar membedakan siapa kawan siapa lawan, sampai akhirnya patih Agung Kalanganyar tewas dalam peperangan tersebut.

Tabeng Dada atau Tameng Puri Satriya yang berada di Tampakgangsul bersiap untuk memberikan bantuan ke Puri Satriya namun ditengah jalan dicegat oleh laskar Taensiat sehingga peperangan tidak terhindarkan dan menimbulkan korban dikedua belah pihak. Namun bantuan dari Puri Satria tersebut dapat dipukul mundur sampai kearah barat Tukad Badung dan selanjutnya membuat perkemahan di Panti dan Blong.

Setelah itu Laskar Taensiat kemudian menyerbu ke dalam Puri Agung Satriya dan memporak porandakan bangunan yang ada didalamnya. Dalam keadaan yang kacau balau tersebut seorang bayi berhasil diselamatkan oleh pengasuhnya dan setelah dewasa dibuatkan Jero di Celagi Gendong.


Puri Satriya sudah porak poranda akibat peperangan tersebut, Bekas Jero Karanganyar dijadikan Jero Kaliungu Kaja, Bekas Tameng Jambe Merik dijadikan Jero Tampakgangsul. Semenjak peristiwa tersebut Kiyai Agung Belaluan dirubah namanya menjadi Kiyai Agung Taensiat , Tampakgangsul sebelumnya bernama Satriya semenjak perang tersebut dirubah menjadi Tampakgangsul, Tampak berarti Kelihatan, Gangsul artinya membantu.

Demikianlah akhir kekuasaan Puri Agung Satriya, dan sesuai pesan terakhir Kiyai Jambe Haeng sebelum wafat maka Kiyai Ngurah Made Dinobatkan sebagai Raja di Puri Denpasar pada tahun 1788 dengan gelar Kiyai Ngurah Made Pemecutan untuk meneruskan kekuasaan dari Puri Satriya.





Sumber

Bali: Kerajaan Satria 3

PERANG TANDING DENGAN KIYAYI PLASA

Pada saat bertahta, Kyayi Nyoman Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem , bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar takut dan takluk.

Dalem menghukum Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya kepada Raja Badung. Namun Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan antara Badung dengan Kuta. Seorang utusan melaporkan bahwa Kyai Wayan Tegeh putra tertua Gusti Ngurah Tegeh Kuri terlibat perkelahian dengan Kiyai Plasa di Mergaya Abiantimbul.

Perkelahian tersebut sudah dari sejak pagi, karena sama sama kebal dan sakti maka tidak seorangpun keluar sebagai pemenang, akhirnya perkelahian dihentikan karena hari sudah menjelang malam. Kyai Nyoman Tegeh memberikan nasehat kepada kakaknya Kyai Wayan Tegeh Kuri, bila besok kembali berhadapan dengan Kiyai Plasa maka Kiyai Wayan Tegeh jangan sekali kali mandi di sungai Kuta sebab air sungai tersebut dapat menghilangkan kekebalan.
Dan sesuai dengan yang sudah dijanjikan esok harinya perang tanding kembali di mulai, Kiyai Plasa nampak dibantu oleh Kyai Petiles dari Pekambingan. Perang tanding menjadi tidak seimbang satu melawan dua sehingga menyebabkan Kyai Wayan Tegeh kehabisan nafas dan dihinggapi rasa haus yang tak tertahankan. Beliau kemudian terjun ke sungai Kuta, membasahi tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah dan haus, beliau lupa akan pesan adiknya yang melarangnya untuk mandi di sungai kuta selama perang tanding berlangsung.
Setelah matahari condong ke Barat perang tanding di mulai lagi dengan serunya, kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan lawannya. Tiba tiba dalam satu kesempatan Kiyai Plasa berhasil menghunus keris langsung ke perut Kyai Wayan Tegeh. Karena sudah hilang kekabalannya maka keris tersebut langsung menancap di perut Kyai Wayan Tegeh sehingga beliau terpelanting dan mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Perang tanding dihentikan dan kemenangan berada di pihak Raja Plasa. Berita kematian Kyai Wayan Tegeh, menimbulkan kemarahan dari Kyai Nyoman Tegeh dan berjanji akan menuntut balas atas kematian kakaknya. Kyai Nyoman tegeh kemudian mengambil keris sakti untuk menandingi Kyai Plasa. Singkat cerita ditengah jalan beliau dihadang oleh Kiyai Plasa dan Kiyai petiles yang sudah siap berperang dengan keris terhunus.
Kiyayi Nyoman Tegeh menghadapi kedua musuhnya dengan tenang dan waspada. Pergulatan dimulai saling tindih dan tusuk untuk mengadu kekabalan. Dan pada suatu kesempatan yang baik Kyai Nyoman Tegeh berhasil menusuk perut Kiyai Plasa sehingga menghembuskan napasnya terakhir.
Kiyayi Petiles kemudian ganti menghadapi Kiyai Nyoman Tegeh, namun seperti Kiyai Plasa yang telah tewas, nasib Kiyai Petilespun sama, dadanya tertikam oleh keris Kiyai Nyoman Tegeh sehingga terkapar tak berdaya. Namun sebelum Kiyai Petiles menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung dan semua daerah yang menjadi kekuasaannya diserahkan kepada Kerajaan Badung. Karena kekalahan tersebut maka semua keluarga Kiyai Petiles diturunkan wangsanya menjadi rakyat biasa. Setelah kekalahan Kiyai Petiles maka seluruh rakyatnya menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung.
Kyayi Jambe Pule mempunyai putra yang bernama Kiyai Anglurah Pemedilan dan Anak Agung Istri Jambe. Kedua anak beliau lahir di Pemedilan di rumah Ki Tanjung Gunung (sebelah utara Pura Tambangan Badung) Nararya Gde Raka mendirikan Puri Pemecutan Setelah mendapat anugrah dari Dalem Waturenggong untuk menjalankan pemerintahan di Badung, maka beliau mulai memperluas wilayah kerajaan Badung.
Puri Sumerta berhasil ditaklukkan terbukti salah satu Pura Khayangan di Sumerta setiap hari purnama kedasa selalu datang hadir ke Pura Tambangan Badung sebagai prasanak pura Kerajaan Badung. Beliau diberi gelar Kiyai Jambe Pole, Pole berasal dari kata polih yang artinya mendapatkan kekuasaan. Dan untuk melaksanakan pemerintahan, beliau mendapat panjak (rakyat) sebanyak 500 orang dari Gusti Ngurah Tegeh Kuri dan dinobatkan menjadi Raja Badung. Karena beliau mendapat anugrah dari Bhatari danu Batur berupa senjata sakti Pecut dan Tulupan Beliau sebagai cikal bakal pendiri kerajaan di Badung

ANUGRAH RAJA BADUNG UNTUK KI TAMBYAK
Seperti yang telah diceritakan diatas bahwa Ki Tambyak sangat berjasa mengiringi Kiyayi Jambe Pule dari sejak di pura Ulun Danu sampai beliau menjadi Raja di Badung, maka untuk membalas budi kepada Ki Tambyak/ Ki Handagala maka Raja Badung mengeluarkan amanat bahwa Ki Tambyak dan Keturunannya tidak boleh dihukum mati sebesar apapun kesalahannya dan amanat ini berlaku seterusnya bagi Raja selanjutnya yang berkuasa di wilayah Badung.
Kiyayi Arya Bebed/ Kiyayi Jambe Pule merupakan tonggak awal berdirinya dinasti Pemecutan di Badung. Beliau membangun Puri Agung Nambangan sebelum diganti menjadi Puri Agung Pemecutan. Puri yang dulunya berlokasi disebelah barat jl. Thamrin sekarang berbatasan dengan Jl. Gunung Batur, Jalan Gunung Merapi dan Jl. Gunung Semeru sebagai pusat pemerintahan.

Kiyayi Arya Bebed/ Kiyayi Jambe Pule sebagai Raja Badung pernah berperang melawan Kiyayi Arya Made Janggaran atau Kiyayi Agung Badeng yaitu Raja yang memerintah kerajaan Karangasem. Perang tersebut dipicu oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Agung Kerajaan Gelgel yaitu I Gusti Agung Maruti terhadap kekuasaan Raja Bali yaitu Dalem Dimade yang memerintah Kerajaan Gelgel tahun 1621 - 1651. Dalem Di Made adalah merupakan menantu dari Kiyai Jambe Pule.
Perang yang berlangsung sangat hebat dan berlangsung lama merupakan pemberontakan yang pertama kali dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti tanpa ada pihak yang kalah maupun menang sehingga akhirnya masing masing pihak kembali Purinya masing masing. Kiyai Bebed karena menderita luka yang sangat banyak disekujur tubuhnya sehingga tubuhnya menjadi berwarna merah menyala, karena itu beliau mendapat julukan Kiyayi Jambe Pule.
Kiyai Jambe Pule mengambil istri 3 orang

  • Jero Kame / Jero Tameng dari Tumbakbayuh mempunyai putra Kiyai Anglurah Gelogor - beristana di Gelogor merupakan cikal bakal Arya Gelogor.
  • Kiyayi Rara Pucangan ( anak dari Kiyai Arya Pucangan Tabanan) mempunyai putra Kiyai Anglurah Jambe Merik - beristana di Puri Alang Badung Suci merupakan cikal bakal Puri Satriya
  • Putri Kiyai Penataran dari Bebandem Karangasem mempunyai putra Kiyai macan Gading/ Kiyai Anglurah Ketut Pemedilan / Kiyai Anglurah Nambangan – Cokorde Pemecutan II yang mewarisi Puri Pemecutan.
Selain mempunyai 3 orang putra, Kiyai Jambe Pule juga mempunyai 3 orang putri
  • Putri pertama diambil oleh Kiyai Badeng dari keturunan Kiyai Agung yang menguasai daerah Kapal (keturunan Arya Dhalancang)
  • Putri Kedua diambil oleh kesatria Kesiman
  • Putri ketiga diambil oleh Dalem Di Made / Sri Maharaja Bali dari Puri Gelgel yang merupakan cikal bakal keturunan kesatria Klungkung
BERAKHIRNYA KEKUASAAN PURI TEGEH KORI TEGAL

Pada tahun 1750 ada sebuah konflik internal di dalam kerajaan Arya Tegeh Kori yang berujung dengan berakhirnya kekuasaan beliau. Masalahnya adalah perebutan seorang gadis putri dari Arya Tegeh Kori XI yang bernama I Gusti Ayu Mimba Sundari (Ratu Istri Tegeh). Persiapan upacara pernikahan antara putri raja dengan Kyai Jambe Merik putera dari Kyai Jambe Pule sudah dilakukan oleh keluarga raja dan rakyat.

Tiba-tiba ada permintaan dari raja Mengwi I Gusti Agung Made Agung Alang Kajeng, agar sang putri diserahkan ke Mengwi. Oleh karena kerajaan Mengwi pada waktu itu sedang mengalami masa kejayaan dengan reputasi laskarnya yang hebat. Arya Tegeh Kori tidak berani menolak permintaan tersebut, sang putripun diserahkan ke kerajaan Mengwi

Penyerahan gadis ini menimbulkan amarah yang besar dari pihak keluarga Kyai Jambe Pule karena dinilai sebagai penghinaan. Dengan mendapat dukungan dari rakyat pihak keluarga Jambe Pule memberontak terhadap kekuasaan Arya Tegeh Kori XI. Terjadilah perang di intern kerajaan Arya Tegeh Kori. Laskar yang masih setia dengan raja terdesak sampai ke desa Kaliungu, kemudian terdesak lagi sampai di sebelah Barat Banjar Taensiat, yang disebut dusun Tegal Tebuk.

Sementara raja Arya Tegeh Kori XI bertahan di desa Tanguntiti sambil menunggu datangnya bala bantuan dari menantunya I Gusti Agung Made Agung Alang Kajeng. Setelah lama menunggu, datang bala bantuan dari Mengwi. Raja Arya Tegeh Kori sangat kecewa, karena jumlah anggota laskar yang didatangkan amat sedikit, dan itupun dimasudkan hanya untuk mengawal sang menantu.

Raja Arya Tegeh Kori XI akhirnya menyerah dan meminta peperangan di hentikan agar tidak menimbulkan korban lebih banyak. Demikianlah perang dihentikan dengan kekalahan pada keluarga raja.

Atas usulan dari raja Mengwi, permasalahan diselesaikan dengan pertemuan keluarga yang dilaksanakan di desa Kapal wilayah kerajaan Mengwi. Pertemuan keluarga ini melahirkan beberapa kesepakatan, diantaranya Arya Tegeh Kori XI menyerahkan kekuasaan. Laskar dan pengikut Arya Tegeh Kori diampuni dan dibebaskan memilih tempat tinggal.

Sedangkan Kyai Tegeh Kori XI beserta keluarga menuju suatu desa yang kemudian disebut desa Tegaltamu (wilayah Gianyar), karena ada tamu dari Tegal .Jero Tegeh Kuri kemudian dibangun disebelah barat jalan tikungan menuju Desa Celuk . Akhirnya para pimpinan laskar dan putra-putranya memilih jalan sesuai dengan keinginan masing-masing, seperti:
  • Ki Gusti Tegeh Gara, Ki Gusti Tegeh Kebek, Ki Gusti Tegeh Tegal dan keluarga menuju ke Jimbaran, Klungkung dan Jembrana.
  • Ki Gusti Tegeh Dawuh, Ki Gusti Tegeh Tengah, Ki Gusti Tegeh Tambun beserta keluarga menuju Penarungan, Carangsari, Petang, Pelaga, Tinggan, dam Penulisan.
  • Ki Gusti Tegeh Kandil, Ki Gusti Tengah Dogol, Ki Gusti Tegeh Jero, Ki Gusti Tegeh Degeng beserta keluarga menuju desa Beratan, Candikuning dan seterusnya.
  • Rombongan ke empat mengambil jalan yang paling singkat menuju kota Tabanan, dipimpin oleh Kyai Gusti Tegeh Wayahan, Kyai Gusti Tegeh Made Segara beserta keluarganya. Dua orang saudaranya Ki Gusti Tegal Agung dan Ki Gusti Tegal Dawuh gugur dalam menghadapi laskar Ki Pucangan. Sebagian rombongan ini menuju dan menetap di desa Bongan sekarang, sambil mundut pasasti dengan busana keraton yang lengkap.
Dengan demikian usai sudah kekuasaan Ksatrya Dhalem dinasti Kyai Arya Tegeh Kori di Badung yang berlangsung selama 350 tahun. Kemudian Badung memasuki jaman Kejambean.

SUSUNAN PEMERINTAHAN DI KERAJAAN BADUNG

Setelah jatuhnya pemerintahan Puri Tegeh Kori di Kerajaan Badung maka kekuasaan untuk wilayah Badung diambil alih oleh putra putra dari Kyayi Jambe Pole dengan susunan pemerintahan sebagai berikut :
  1. Kyayi Jambe Merik menjadi Raja di Kerajaan Badung dengan pusat pemerintahan di Puri Alang Badung
  2. Kyayi Anglurah Pemedilan/ Kiyayi Macan Gading sebagai Wakil Raja Badung beristana di Puri Agung Pemecutan
  3. Kiyayi Anglurah Gelogor sebagai Adipati Agung beristana di Puri Agung Gelogor
KIYAI JAMBE MERIK RAJA BADUNG I
Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Arya Tegeh Kori Kyai Anglurah Jambe Merik menjadi raja di Badung beristana di Alang Badung (daerah Suci sekarang), dengan Pemerajannya bernama Pura Suci, istananya bernama Puri Peken Badung.

Kyai Jambe Merik dapat dikatakan sebagai pendiri kerajaan Badung. Pada jamannya beliau mengirim adiknya Kyai Ngurah Pemecutan I untuk membebaskan kota Gelgel dari pendudukan I Gusti Agung Maruti sejak tahun 1686. Kyai Ngurah Pemecutan II gugur dalam pertempuran di desa Batu Klotok.

Sebagaimana diketahui salah seorang isteri Dhalem Di Made adalah saudara dari Kyai Jambe Merik, yang menurunkan Dewa Agung Jambe Raja Klungkung I
. Selanjutnya yang mengemuka dalam sejarah Badung adalah: Kyai Jambe Merik menurunkan Sub Dinasti Jambe, dan Kyai Ngurah Pemecutan I menurunkan Sub Dinasti Pemecutan. Kyai Anglurah Jambe Merik Raja Badung I .


KYAI JAMBE KETEWEL
RAJA BADUNG II

Setelah Kyai Jambe Merik meninggal, digantikan oleh puteranya Kyai Anglurah Jambe Ketewel. Beliau masih menempati kediaman ayahnya di Puri Peken Badung. Pada jamannya dibangun bendungan (DAM) raksasa di tukad Sagsag, di mana sepasang suami-istri dari abdi menyerahkan nyawanya (jadi caru) menjadi dasar bendungan tersebut. Suami-istri tersebut menceburkan diri di tempat sekitar 75 meter ke Utara dari lokasi bendungan sekarang, disaksikan oleh raja Badung, pejabat-pejabat kerajaan, dan rakyat. Oleh karena itu bendungan tersebut diberi nama Oongan.

Sekitar akhir abad 18 kerajaan Badung diserang oleh laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari kerajaan Buleleng, yang dipimpin langsung oleh rajanya Kyai Anglurah Panji Sakti. Pada saat kritis tersebut raja Badung menunjuk Kyai Anglurah Pemecutan III yang beristana di Puri Pemecutan menjadi pemimpin laskar Alang Badung untuk membendung serangan tersebut.

Laskar Alang Badung berhasil mendesak mundur laskar musuh dan banyak yang jatuh korban di pihak Buleleng. Sisa anggota laskar melarikan diri ke desa Tanguntiti. Karena reputasinya ini setelah wafat Kyai Anglurah Pemecutan III disebut Bhatara Sakti. Tempat terjadinya pertempuran tersebut kemudian diberi nama Taensiat.

Pada jamannya, Dewa Agung Jambe dari Klungkung melakukan kunjungan ke Badung untuk mengucapkan rasa terimakasihnya atas dukungan Badung dalam mengakhiri pendudukan Patih Agung I Gusti Agung Maruti di istana Gelgel. Dewa Agung Jambe menghadiahkan desa Batu Bulan sebagai wilayah kekuasaan Badung.

KYAI ANGLURAH JAMBE TANGKEBAN RAJA BADUNG III

Dalam masa pemerintahannya tidak terjadi hal-hal penting yang menyangkut masalah eksternal kerajaan. Menurut Babad Timbul, pada jamannya datanglah seorang bangsawan keturunan Dhalem Sukawati yang bernama Dewa Agung Made bersama adik-adiknya seperti: Dewa Agung Karang, Cokorda Anom, dan Cokorda Ketut Segara, beserta putera – puteri beliau. Kedatangan Dewa Agung Made ini adalah karena perselisihannya dengan kakaknya Dewa Agung Gede yang memerintah kerajaan Dhalem Sukawati.

Mengetahui Dewa Agung Made dalam keadaan sedih, Kyai Anglurah Jambe Tangkeban menjamu tamunya dengan baik. Sampai salah seorang putri keluarga Puri hamil akibat hubungannya dengan Dewa Agung Made. Setelah diperistri oleh Dewa Agung Made, gadis yang sedang hamil itu diberikan kepada Kyai Jambe Tangkeban dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta. Bayi yang kemudian menjadi cikal bakal Puri Jero Kuta ini, putera kandung dari Dhalem Sukawati dan putera tiri dari Kyai Jambe Tangkeban dari Sub Dinasti Jambe (bukan Sub Dinasti Pemecutan).

KYAI JAMBE AJI/KIYAI JAMBE SATRIA RAJA BADUNG IV
PENDIRI KERAJAAN SATRIYA

Kyai Jambe Aji menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah tua. Beliau mendirikan istana baru bernama Puri Ksatria sekaligus memindahkan pusat pemerintahannya. Komplek Puri di Utara berbatasan dengan dusun Taensiat, sebelah Timur dusun Kaliungu, Selatan dusun Belaluan, dan Barat dusun Tampak Gangsul.



Dalam komplek Puri terdapat Gerya yang dinamakan Gerya Ksatrya, dan pasar yang dinamakan Pasar Ksatrya. Karena megahnya keadaan Puri Ksatrya itu beliau disebut juga Kyai Jambe Haeng. Salah seorang isteri dari Kyai Anglurah Jambe Aji adalah puteri dari Kyai Pemecutan III melahirkan putera mahkota yang bernama Kyai Jambe Ksatrya. Kyai Anglurah Jambe Ksatrya adalah raja Badung terakhir dari Sub Dinasti Jambe.

(Bersambung)

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.