Kamis, 20 Februari 2014

Demokrasi, Pemerintahan Paling Mahal dan Paling Jahat

“Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi, karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi.” (Mark Twain)
Paling mahal dan paling jahat. Dua kata yang mensifati sistem demokrasi ini tercermin dari drama sidang paripurna DPR saat membahas kenaikan harga BBM baru-baru ini. Mahal,karena sidang ini terkesan berjalan alot , sampai larut malam, membutuhkan waktu yang lama. Dananya tentu saja membengkak. Jahat, karena keputusannya akhirnya tetap memberikan peluang untuk menaikkan BBM yang akan mencekik rakyat.
Ya demokrasi memang mahal. Karena itu, kekuatan modal menjadi penentu kemenangan dalam menjadi penguasa dan pengambilan keputusan. Untuk biaya Pemilu 2009 diperkirakan 48 trilyun , pilkada DKI menghabiskan dana 124 milyar, sementara pilkada Jatim 2 putaran menghabiskan dana 800 milyar. Jangan tanya biaya kampanye, yang menelan ratusan milyar. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar .
Biaya pembuatan UU nya juga mahal. Meski kinerja legislasi DPR dinilai belum memuaskan, lembaga tersebut tetap menganggarkan Rp 466,78 miliar untuk biaya legislasi dari Rp2,91 triliun anggaran tahun 2012. Itu berarti terjadi pembengkakan biaya dari anggaran 2005 yang hanya Rp560 juta.
Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan.
Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Konsekuensinya, praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi pun menjadi kanker ganas yang menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini. Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan istilah ‘suap’. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras menggunakan istilah-istilah seperti ‘dana’, ‘melobi’ atau ‘pinjaman lunak’.
Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di Inggris yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia. Skandal politik Inggris yang terbaru membuktikan hal itu. Bendahara bersama Partai Konservatif yang memerintah tertangkap kamera sedang menawarkan akses kepada perdana menteri dan kanselir hingga lebih dari £ 250.000 dari dana sumbangan. Kemudian terungkap bagaimana para pendonor telah diundang makan malam secara pribadi dengan David Cameron dan keluarganya.
Skandal ‘The Cash for Questions’, pecah pada tahun 1994. Seorang pelobi parlemen, Ian Greer, telah menyuap para anggota parlemen sebagai ganti untuk menukar pertanyaan-pertanyaan parlemen yang diajukan, dan tugas-tugas lainnya, atas nama pengusaha Mohamed Al Fayed. Pada tahun 2009 , muncul lagi skandal ketika empat orang anggota Partai Buruh dari parlemen Inggris yang dipecat karena menawarkan membantu membuat amandemen undang-undang dengan uang hingga lebih dari £ 120.000.
Uang sebagai panglima inilah yang membuat sistem demorkasi menjadi sistem yang jahat. Disamping penuh dengan suap menyuap baik legal atau tidak, sistem ini juga melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan pemilik modal. Mengurangi bahkan menghapuskan hak rakyat yang diklaim disubsidi oleh negara. Disisi lain privatisasi dan pasar bebas telah menjadi alat bagi negara-negara imperialis asing merampok kekayaan alam kita yang sesungguhnya merupakan milik rakyat.
Maka tidak heran kalau kita menyaksikan dalam drama sidang paripurna kemarin menghasilkan kebijakan yang justru melegitimasi kebijakan liberal. Memberikan peluang naiknya harga BBM dengan tunduk kepada rezim pasar internasional yang rakus. Seperti yang disampaikan Jubir HTI Ismail Yusanto dalam pernyataan persnya bahwa keputusan rapat Paripurna DPR kemaren alih-alih bisa menyelesaikan kemelut persoalan BBM, tapi sebenarnya justru menegaskan makin kokohnya liberalisasi migas di negeri ini. DPR dan pemerintah telah secara bulat meletakkan migas sebagai komoditas semata-mata yang dalam penetapan harga (pricing policy) benar-benar mengikuti harga internasional atau harga pasar.
Padahal Pasal 28 Ayat 2 UU Migas yang menjadi dasar untuk mengkaitkan harga BBM dengan mekanisme pasar telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Akibatnya, segala bentuk perhitungan juga akan mengacu ke sana. Disitulah problema di seputar berapa sebenarnya harga produksi, harga jual, dan berapa sebenarnya subsidi (dan apakah tepat istilah subsidi itu) akan terus berlanjut yang membuat persoalan BBM ini menajdi tidak terurai secara jernih.
Karena itu Hizbut Tahrir dengan tegas menyatakan bahwa menaikkan harga BBM dan kebijakan apapun yang bermaksud untuk meliberalkan pengelolaan sumber daya alam khususnya migas merupakan kebijakan yang bertentangan syariat Islam. Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas baik di sektor hilir (termasuk dalam pricing policy) maupun di sektor hulu (yang sangat menentukan jumlah produksi migas setiap hari), juga kebijakan dzalim dan khianat ini harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lain dikelola sesuai dengan syariah. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. (Farid Wadjdi)




Sumber

Demokrasi: Sistem Gagal dan Merusak

Negeri ini sedang dilanda eforia demokrasi. Selama tahun 2013 ini, hampir dua hari sekali diselenggarakan Pilkada. Sebanyak 152 pilkada telah dan akan digelar tahun ini terdiri dari 15 provinsi, 104 kabupaten dan 33 kota.
Eforia demokrasi itu membius rakyat dan membisikkan mimpi-mimpi keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, pemulihan harkat kemanusiaan dan mimpi-mimpi tentang kebaikan lainnya. Namun layaknya obat bius, begitu umat mendapatkan kembali kesadarannya, umat pun akan cepat menyadari bahwa demokrasi sesungguhnya bukanlah solusi, bahkan demokrasi merupakan sistem gagal dan merusak dan sejak awal sebenarnya tidak dibutuhkan oleh umat Islam.

Umat Tak Butuh Demokrasi
Istilah demokrasi selalu dinisbatkan kepada dua kata Yunani kuno, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Sehingga demokrasi diartikan kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Penisbatan itu untuk memberikan kesan bahwa demokrasi modern sekarang ini memiliki akar sejarah yang menjulur hingga ke masa Yunani yang dianggap mewariskan berbagai kebajikan.
Sistem pemerintahan demokrasi dijalankan di negara kota Yunani kuno, Athena, pada abad ke-5 SM. Sistem itu dibentuk atas prakarsa Cleisthenes. Dalam sistem demokrasi Athena, kedaulatan dipegang oleh majelis yang disebut Demos (rakyat). Sistem demokrasi Yunani kuno tak bertahan lama.
Kekaisaran Romawi yang mengalahkan Yunani menganut pemerintahan monarki absolut dengan sistem teokrasi. Di dalamnya raja dan penguasa berkolusi dengan pemimpin gereja (agamawan). Raja dianggap sebagai wakil tuhan dan kehidupan rakyat dikendalikan menurut doktrin gereja yaitu doktrin para agamawan yang dinisbatkan kepada tuhan. Kolaborasi penguasa dan agamawan (raja dan gereja) melahirkan penindasan. Segala hal termasuk pemikiran dan sains yang bertentangan atau menyimpang dari doktrin gereja diberangus. Ratusan ribu ilmuwan dibunuh, di mana puluhan ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. Terjadilah gerakan perlawanan dari para filsuf dan ilmuwan sehingga muncul dua kubu yang saling berseteru. Kubu kolaborasi raja dengan gereja (agamawan) yang mengusung teori “kedaulatan tuhan” dengan sistem teokrasi dan bentuk monarkhi di mana raja dianggap sebagai manusia terpilih perpanjangan tangan tuhan, berhadapan dengan kubu filsuf dan ilmuwan yang menolak peran gereja bahkan tak sedikit yang tidak mengakui agama. Bersamaan dengan itu juga terjadi perlawanan dari bangsa yang ditindas dan pemberontakan kaum protestan terhadap kekuasaan gereja katolik romawi. Terjadilah banyak peperangan dan konflik yang berlangsung selama abad-abad pertengahan (abad ke-V – XV M).
Hingga akhirnya disetujuinya perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini mengakui kemerdekaan Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman dari Kekaisaran suci Romawi. Perjanjian ini meletakkan dasar hubungan antara negara yang dilepaskan dari hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara masing-masing. Sebelumnya gereja memiliki kekuatan atas hubungan antar-negara. Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar tentang hakikat negara dengan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja (agama). Perjanjian Westphalia itulah yang meneguhkan doktrin sekulerisme. Karena dipisahkan dari kekuasaan gereja, pengaturan negara akhirnya diserahkan kepada kehendak rakyat dan untuk itulah dihidupkan kembali istilah demokrasi dengan sistem perwakilannya. Majelis yang beranggotakan wakil yang dipilih rakyat mewakili rakyat membuat hukum perundang-undangan dan pengaturan negara atas nama rakyat.
Jadi demokrasi itu dijalankan atas dasar doktrin sekulerisme yang memisahkan agama dari pengaturan negara dan kekuasaan. Hal itu merupakan hasil solusi kompromi yang mengakhiri konflik di Eropa sepanjang abad pertengahan. Dari situ tampak jelas bahwa demokrasi itu sebenarnya adalah khas Eropa dan solusi terhadap penindasan atas nama agama yang melanda Eropa abad pertengahan. Masalah itu sebenarnya tidak dialami oleh umat Islam. Umat Islam tidak memiliki problem sebagaimana problem Eropa abad pertengahan. Karena itu sebenarnya sejak awal umat Islam tidak butuh solusi yang namanya demokrasi seperti halnya masyarakat Eropa.

Demokrasi : Sistem Gagal dan Merusak
Demokrasi sarat kelemahan dan kerancuan, bahkan bisa dikatakan sistem yang gagal. Demokrasi gagal merealisasi doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan rakyat. Rakyat hanya memiliki otoritas langsung saat pemilu untuk memilih penguasa dan wakilnya di Dewan Legislatif. Itupun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada, sebab rakyat hanya memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan proses politik. Setelah pemilu, kedaulatan riil tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan anggota legislatif, dan di belakang keduanya adalah para kapitalis. Pasca pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat akan tetapi mewakili diri sendiri dan golongannya (partai) dan para kapitalis.
Demokrasi juga gagal menghilangkan aristokrasi yang cirinya kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam praktek demokrasi dimanapun, kekuasaan tetap saja dipegang oleh kaum elit yaitu para kapitalis, elit partai, dan kelas politik. Hal itu sangat kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu berasal dari dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan kelompoknya.
Demokrasi merupakan sistem yang rusak dan memproduksi banyak kerusakan. Demokrasi rusak terutama karena pilar utamanya adalah paham kebebasan. Kebebasan inilah yang melahirkan banyak kerusakan di segala bidang; moral, pemerintahan, hukum, ekonomi, dll. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, pornografi, pornoaksi, seks bebas, zina asal suka sama suka, aborsi, peredaran miras, dll tidak bisa diberantas tuntas. Di bidang pemerintahan, korupsi juga menonjol dalam sistem demokrasi. Kebebasan kepemilikan melahirkan sistem ekonomi kapitalisme liberalisme yang membolehkan individu menguasai dan memiliki apa saja termasuk harta milik umum. Kebebasan berpendapat melahirkan keliaran dalam berpendapat sehingga menistakan agama, mencela Rasul SAW, dan menyebarkan kecabulan dan berbagai kerusakan. Kebebasan beragama membuat agama tidak lagi prinsip, orang dengan mudah bisa menodai kesucian agama, mengaku nabi, dsb.
Demokrasi dijadikan alat penjajahan oleh barat atas dunia terutama negeri kaum muslimin. Melalui pembuatan undang-undang, Barat bisa memasukkan bahkan memaksakan UU yang menjamin ketundukan kepada barat, mengalirkan kekayaan kepada barat dan memformat masyarakat menurut corak yang dikehendaki barat. Bahkan tak jarang demokrasi dijadikan dalih untuk langsung melakukan intervensi dan invasi atas berbagai negeri di dunia seperti yang terjadi di Panama, Haiti, Irak, dsb.
Demokrasi pun dijadikan jalan untuk memaksakan UU yang menjamin aliran kekayaan ke Barat dan penguasaan berbagai kekayaan dan sumber daya alam oleh para kapitalis asing. UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya yang menguntungkan barat sudah diketahui secara luas pembuatannya disetir dan dipengaruhi oleh barat. Melalui mekanisme demokrasi pula penguasaan atas kekayaan alam oleh asing bisa dilegalkan dan dijamin.
Demokrasi menghasilkan UU diskriminatif dan tidak adil. Sebab dalam demokrasi, UU dibuat oleh parlemen yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan. Jadilah UU yang dihasilkan dalam sistem demokrasi lebih banyak berpihak kepada pihak yang kuat secara politik dan atau finansial. Melalui UU dan peraturan yang dibuat secara demokratis, kelas politik dan ekonomi yang berkuasa bisa terus melipatgandakan kekayaannya termasuk dari penguasaan atas kekayaan alam; melindungi kekayaan dari pungutan pajak dan malah mendapat berbagai insentif.
Demokrasi pula yang menjadi biang korupsi dan kolusi. Hal itu karena perlu biaya besar untuk membiayai proses politik untuk menjadi penguasa dan anggota legislatif serta menggerakkan mesin partai. Maka tidak aneh jika lembaga anti korupsi kebanjiran kasus setiap menjelang pemilu. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi menjelang Pemilu 2014 ke KPK meningkat. Dari sejumlah laporan yang masuk, umumnya dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk biaya politik dari uang APBN maupun APBD. Laporan naik menjelang 2014. Trennya ternyata para pejabat itu mencari biaya pemilu dengan korupsi keuangan negara atau suap, misalnya di bagian perizinan.(viva.news.co.id, 22/4).

Wahai Kaum Muslimin
Demokrasi sesungguhnya khas barat dan muncul untuk menyelesaikan problem penindasan atas nama gereja di barat. Itu tidak dialami oleh umat Islam sehingga umat Islam tidak butuh demokrasi. Selain itu demokrasi nyata-nyata sistem yang gagal, rusak dan merusak. Semua itu wajar saja sebab demokrasi adalah sistem buatan manusia yaitu sistem jahiliyah. Karena itu sistem demokrasi itu harus segera ditinggalkan dan dicampakkan.
Allah SWT bertanya yang sekaligus menjadi celaan terhadap siapa saja yang mengikuti sistem jahiliyah. Allah berfirman:
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)

Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah yang Maha Bijaksana. Hal itu tidak lain dengan jalan menerapkan syariah dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLahu a’lam bi Shawab

Komentar:

Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Premium naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter. Sementara kenaikan harga solar lebih rendah, dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter. “Premium (naik) Rp 2.000, solar Rp 1.000,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana di kantor kemenko Perekonomian, Senin (13/5) [republika, 14/5).
  1. Kepala ekonom Danareks Sekuritas mengatakan daya beli masyarakat turun akibat rencana kenaikan BBM. Rencana ini menaikkan inflasi hingga 7,5% (kompas.com, 14/5).
  2. Rencana pemerintah itu jelas-jelas sengsarakan rakyat banyak. Pengurangan subsidi termasuk subsidi BBM adalah perintah IMF dan Bank Dunia yakni perintah asing.
  3. Bukti pemerintah lebih rela tunduk pada asing meski sengsarakan rakyatnya sendiri yang katanya jadi pemilik Migas. Kelola migas dengan sistem syariah, niscaya memakmurkan rakyat bukan memakmurkan asing.




Sumber

Demokrasi: Sistem Gagal

Bentuk pemerintahan demokrasi atau republik atau kerakyatan menjadi trend dunia pasca sekularisme politik di Eropa selepas Perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar dilepaskan dari kekuasaan agama agar dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas rasionalitas manusia. Perjanjian Westphalia dianggap sebagai titik lahirnya negara-negara nasional yang modern. Melalui Perjanjian Westphalia hubungan negara dilepaskan dari hubungan kegerejaan (keagamaan). Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai dan hakikat pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Demokrasi atau demos kratos alias pemerintahan rakyat disepadankan dengan re publica, mengembalikan kekuasaan kepada public (rakyat). Inilah gagasan yang mengemuka pada Revolusi Prancis. Bentuk pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja (monarki /mono archi) dan kekuasaan para bangsawan (aristokrasi). Saat itu puncak absolutisme Prancis terjadi pada pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyan l’etat cest moi (negara adalah saya). Penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi tonggak dari Revolusi Prancis untuk mengakhiri absolutisme Kerajaan. Robespierre kemudian mencetuskan semboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan) sebagai prinsip dari demokrasi yang kemudian diabadikan dalam warna-warna bendera nasional Prancis (merah, putih dan biru).
Samuel P. Huntinton dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twenti-eth Century (1991), mencatat ada tiga gelombang demokratisasi yang menjadi trend politik dunia saat ini. Para analis Barat lainnya menyebutkan bahwa Arab Spring adalah gelombang demokratisasi keempat, yang menandakan bahwa demokrasi sudah diakui dan diterapkan di semua belahan bumi ini, tanpa kecuali.
Gelombang pertama adalah awal demokrasi yang digagas ratusan abad lalu oleh para pemikir Yunani seperti Aristoteles dalam Politea-nya. Demokrasi kemudian dibangkitkan kembali pada masa renaissance oleh para pemikir Barat seperti Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang memunculkan konsep Trias Politika; John Locke (1632-1704) dalam bukunya, Two Treatises on Civil Government (1690), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya, Du Contract Social (1762).
Kini demokrasi diterapkan secara luas hampir meliputi semua negara di dunia. Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972). Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia. Hanya ada 25 negara yang dikategorikan sebagai demokrasi penuh oleh Democracy Index pada tahun 2011, di antaranya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan di Asia. Democracy Index memasukkan 53 negara dalam kategori demokrasi tidak sempurna yang pada umumnya negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk di dalamnya Indonesia. Bahkan pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.
Pertanyaannya: Sudahkan demokrasi mencapai tujuannya? Ataukah demokrasi malah menjadi bentuk pemerintahan yang merusak dan utopia sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Aristoletes?

Demokrasi dan Kesejahteraan
Salah satu yang diimpikan dengan penerapan demokrasi adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan salah satu utopia dari demokrasi. Mengapa? Karena tidak ada hubungannya sama sekali antara demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara yang dianggap sejahtera yang secara faktual menerapkan demokrasi dianggap sebagai role model. Namun, fakta lain menunjukkan banyak negara non demokrasi yang tingkat kesejahtera-annya juga tinggi. Tengok saja Singapura, negara dengan indeks demokrasi yang lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya bahkan tidak terkategori negera demokratis justru memiliki PDB 40.920 pada tahun 2010 dibandingkan Indonesia yang pada tahun yang sama hanya memiliki PDB 2.580. Bukti lain adalah RRC, negara yang secara ideologi politik masih menerapkan sistem komunis, sekarang dianggap sebagai negara maju. Bahkan kejayaan Khilafah Islam pada abad pertengahan sama sekali tidak menerapkan demokrasi.
Penerapan demokrasi menunjukkan peng-hambur-hamburan dana negara dan dana masyarakat untuk apa yang disebut sebagai ‘pesta demokrasi’. Pemilihan umum sebagai mekanisme perwujudan partisipasi masyarakat baik dalam pemilihan presiden dan pemilihan wakil rakyat adalah pemborosan uang untuk apa yang dinamakan ‘partisipasi’. Contoh biaya kampanye di Amerika pada American Presidential Election 2008 mencapai $5 billion, biaya yang dikeluarkan oleh Obama $730 million dan McCain $333 million. Pendanaan ini kebanyakan datang dari para pemilik modal/punya hubungan modal yang dalam American Presidential Election 2008 tersebut mencapai 72%.
Di Indonesia, menurut catatan The Nielsen Co.Ind, belanja iklan pada Pemilu 2009 mencapai Rp 2,154 triliun; meningkat sekitar 335% dibanding Pemilu 2004. Jumlah biaya iklan politik yang realistis sulit diketahui karena banyak iklan terselubung.
Hal inilah yang menjadikan demokrasi secara efektif memberi para pemilik modal “majority vote”. Karena itu para pemilik modal memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wajar jika pada akhirnya kebijakan pemerintah terpilih lebih mementingkan kaum ‘kaya’.
Kolaborasi elit politik dan ekonomi dengan pihak asing di Indonesia telah menimbulkan apa yang disebut dengan governance as private enterprise (Arif, 1996) atau corporation state (Gatra, 2006). Dalam kondisi seperti itu, politik dan administrasi negara diperlakukan seperti kegiatan bisnis swasta. Akibatnya, perhitungan bisnis telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi agar tujuan pihak swasta besar menjadi manunggal dengan tujuan pemegang kekuasaan. Ujung-ujungnya, kepentingan rakyat terabaikan. Rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan haknya.
Faktor inilah yang membuat demokrasi hanya menguntungkan segelintir orang. Demokrasi di Indonesia tidak membuat rakyat sejahtera, tetapi malah sengsara.
Maka dari itu, tidak aneh jika ada yang mengungkapkan bahwa melalui demokrasi, kesejahteraan rakyat pun sudah diwakili oleh wakil rakyat. Artinya, rakyat tetap miskin, wakil rakyatlah yang kekayaannya berlipat dan menikmati kesejahteraan.

Demokrasi dan Keamanan Masyarakat
Penerapan demokrasi diharapkan dapat mewujudakan rasa keamanan masyarakat (society security). Dengan partisipasi tinggi, tidak adanya otoritarianisme, maka dengan demokrasi masyarakat menjadi terbebas dari kekangan penguasa. Masyarakat dapat mewujudkan ekspresi kebebasan individualnya sehingga akan meningkatkan indeks kebahagiaannya, dan akhirnya keamanan masyarakat akan terwujud.Benarkah?
Kebebasan individu sebagaimana dalam Revolusi Prancis dicanangkan dalam deklarasi hak-hak manusia dan hak warga Negara (Declaration des Droits de’l Homme et du Citoyoen) pada tanggal 27 Agustus 1789. Awalnya ia merupakan solusi atas kekangan penguasa. Namun, solusi ini menimbulkan masalah ikutan. Justru yang ada adalah kewibawaaan pemerintah menjadi memudar. Seiring dengan meningkatnya tingkat kebebasan masyarakat, rasa keamanan malah semakin menipis. Ekspresi partisipasi masyarakat yang tidak terkendali malah menimbulkan kekhawa-tiran elemen masyarakat lain yang memiliki nilai, norma dan kebiasaan yang berbeda. Tengok saja bagaimana maraknya pornografi yang lahir dari kebebasan berprilaku malah menimbulkan berbagai aksi kriminalitas baru. Munculnya berbagai tempat hiburan sebagai wujud kebebasan menjadi pusat berbagai kriminalitas mulai dari narkoba, premanisme dan lainnya.

Demokrasi dan Penegakan Hukum
Penerapan demokrasi adalah impian untuk lepas dari kelaliman penguasa yang absolut. Dengan demokrasi, hukum dibuat bukan berdasar hasrat dan hawa nafsu seorang raja yang otoriter, namun berdasarkan ‘kebaikan’ bersama yang tumbuh di tengah masyarakat. Dengan demokrasi, diharapkan hukum yang muncul adalah hukum yang partisipatif dan mewujudkan keadilan bersama.
Kenyataannya, hukum di alam demokrasi adalah hukum buatan manusia; walau dibuat bersama, ‘hawa nafsu’ manusia akan tetap dasarnya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Aristoteles sehingga dia menawarkan sistem hukum alternatif yang ideal, yaitu nomokrasi.
Dalam sistem demokrasi hukum menjadi penuh dengan kepentingan. Lihat saja bagaimana keberadaan hukum-hukum yang penuh dengan kepentingan ekonomi; hukum dan aturan diperjualbelikan sesuai dengan keinginan personal dan kelompok tertentu. Lalu bagaimana mungkin sistem demokrasi bisa melahirkan peradilan yang adil ketika persepsi tentang keadilan pun tidak memiliki standar yang jelas? Bila demikian, bagaimana bisa muncul peradilan yang solutif, peradilan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat; yang dapat menenetramkan kehidupan sosial, tidak hanya di dunia, namun juga berdimensi ukhrawi?

Demokrasi dan Korupsi
Pameo yang diluncurkan oleh Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Karena itu kekuasaan harus dibagi. Inilah yang melahirkan konsep sharing of power atau distribution of power dalam demokrasi yang lebih dikenal dengan trias politica. Kekuasaan dibagi menjadi kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun kenyataannya, trias politica tidak lebih menjadi trias corruptica. Lembaga Legistalif, Eksekutif dan Yudikatif adalah poros dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Alhasil, sharing of power tidak serta-merta menghilangkan korupsi. Alasannya, karena masalahnya bukan dari terpusatnya kekuasaan, namun dari asal-muasal kekuasaan. Kalau kekuasaan masih berasal dari rakyat/kelompok yang penuh dengan kepentingan, maka penyalahgunaan akan selalu terjadi dan korupsi akan selalu marak. Namun, bila kekuasaan berasal dari amanah sang Pencipta, ada relasi spiritual, maka pengawasan tidak hanya bersifat duniawi; kekuasaan akan digunakan untuk menjalan amanah dari sang Pencipta.

Demokrasi dan Integrasi Masyarakat
Demokrasi digembar-gemborkan sebagai sistem yang compatible dengan masyarakat majemuk. Pluralitas masyarakat membutuhkan sistem yang dapat menjamin setiap aspirasi rakyat. Dalam demokrasi, katanya, tidak ada dominasi dan hegemoni mayoritas terhadap minoritas, sehingga akan tercapai suatu konsensus dengan prosedur demokrasi yang disepakati bersama.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, prosedur demokrasi adalah kesepakatan yang kadang tidak disepakati oleh semua pihak. Alih-alih menciptakan integrasi masyarakat, demokrasi malah melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya konflik horisontal antarmasyarakat, prosedur demokrasi juga melahirkan konflik vertikal antara elit dengan masyarakat luas.

Demokrasi dan Diskriminasi Masyarakat
Prinsip demokrasi secara prosedural dibuat sebagai mekanisme penyaluran aspirasi dan perwujudan keinginan bersama. Melalui demokrasi, kehendak rakyat, bahkan kedaula-tan rakyat, diwujudkan. Semestinya dengan mekanisme demokrasi, mayoritaslah yang memegang kehendak karena merekalah yang menguasai kekuasaan ketika prosedur itu dijalankan.
Namun yang terjadi, kadang demokrasi menimbulkan anomali lain, yakni adanya tirani minoritas. Kontradiksi antara mayoritas yang diam (silent majority) dengan minoritas yang tirani (tyrani minority) melahirkan kondisi bahwa tidak selalu keinginan atau kehendak mayoritas yang harus dijalankan. Bila mayoritas masyarakat diam, bisa jadi yang sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat adalah kalangan minoritas sehingga terjadilah tirani minoritas. Jadinya, kaum mayoritas gagal terayomi bahkan terlindungi. Mereka malah menjadi korban dari kalangan minoritas. Inilah kontradiksi dari demokrasi.

Demokrasi dan Kemandirian Politik
Demokrasi sebagai tren dunia adalah sistem yang trial and error. Tidak ada bentuk ideal dari sistem demokrasi ini, di belahan bumi manapun. Namun demikian, negara-negara yang memiliki kepentingan terhadap proses demokratisasi berupaya membuat standar sesuai dengan keinginan mereka. Salah satu contohnya adalah democracy index. Dibuatlah seolah-olah ada standar demokrasi yang harus diseragamkan secara mendunia; dinilai dan dievaluasi tanpa menyentuh esensi dari demokrasi itu sendiri.
Hal ini melahirkan kebergantungan kepada negara lain. Seolah-oleh suatu negara harus membebek kepada negara lain. Seakan tidak boleh ada negara yang tidak menganut demokrasi. Bila ada maka harus dilakukan proses demokratisasi di sana, tanpa peduli rakyatnya paham atau tidak, rakyatnya suka atau tidak. Setelah hal itu dapat dilakukan, terjadilah kebergantungan (dependecy) dari negara tersebut kepada negara yang dia ikuti.

Demokrasi dan Pertahanan Aset Negara
Demokrasi yang merupakan turunan dari Kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi atas perampokan harta rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat, muncullah berbagai perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan rakyat. Hal ini terjadi karena para wakil rakyat yang harusnya menjadi wakil rakyat, ketika menyusun perundang-undangan malah menjadi wakil kaum kapitalis yang sedari awal menanam sahamnya di dunia politik agar kepentingannya tetap terjaga.
Jadilah melalui demokrasi aset dan kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk diprivatisasi dan dikuasai oleh swasta. Anggaran negara menjadi bancakan proyek-proyek yang minim dalam mensejahterakan rakyat namun justru menjadi sarana untuk memupuk kekayaan swasta yang bermain di sana.

Demokrasi dan Masyarakat Bertakwa
Demokrasi adalah sistem paganis, sistem yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, bukan sang Pencipta. Melalui sistem demokrasi, hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan salurannya dan pembenarannya.
Bagaimana bisa membangun masyarakat yang bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan hanya menjadi persoalan personal dan invididual, saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan bertarung secara bebas? Akibatnya, dalam sistem demokrasi, individu-individu jauh dari nilai-nilai ketuhanan karena negara abai terlibat untuk menjaga masyarakatnya.

Demokrasi dan Keberpihakan pada Islam dan Umat Islam
Demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang saling bertolak belakang. Demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus tunduk pada sang Pencipta alam semesta, tuhannya yang hakiki.
Maka dari itu, tidak aneh bila demokrasi tidak memiliki keberpihakan terhadap Islam. Bahkan Islam hanya dijadikan stempel bagi penerapan sistem demokrasi. Tidak ada tempat bagi Islam dalam sistem demokrasi kecuali menjadi korban dan dikorbankan. Demikian juga bagi umat Islam. Umat mengira bahwa Islam bisa diterapkan melalui demokrasi. Umat mengira bahwa demokrasi membuka peluang untuk beraspirasi, menerapkan hukum-hukum Allah. Namun, kenyataaanya tidak. Sekali lagi tidak ada tempat bagi Islam dan umat Islam dalam sistem demokrasi.
Apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair semestinya menjadi pelajaran bagi kita bahwa memanfaatkan demokrasi untuk Islam akan berujung pada pengkhianatan demokrasi itu sendiri. Pasalnya, demokrasi tidak menghendaki sistemnya hancur. Ia memiliki imunitas walau dengan cara-cara yang tidak demokratis seperti kudeta dan kecurangan-kecurangan.

Penutup
Demikianlah, demokrasi adalah sistem yang gagal (failed system); gagal sedari konsep awalnya, gagal dalam proses penerapannya, dan gagal dalam mencapai tujuannya yang utopis. Tidak layak umat Islam sebagai khayru ummah menerapkan demokrasi. Maka dari itu, tinggalkanlah demokrasi, terapkan Islam! Hanya Islam, bukan lainnya. WalLahu’alam. [Dari berbagai sumber]
[H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung]





Sumber

Milisi Kristen Bantai Muslim Afrika Tengah

Komite Palang Merah Internasional mengumumkan sedikitnya 300 orang dibantai dalam dua hari aksi kekerasan di Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah. Hal itu menimbulkan kekhawatiran terjadinya aksi-aksi kekerasan terhadap umat Islam.
Organisasi bantuan itu melaporkan pada hari Jum’at (6/12) stafnya telah menghentikan pengumpulan mayat pada malam hari. Dan mereka memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya pada hari Sabtu dan Ahad.
Ketua Komite Palang Merah Internasional di Afrika Tengah, Pastor Antoine Mbao Bogo menjelaskan stafnya telah mengumpulkan 281 mayat pada Jum’at malam. Ia memperkirakan jumlah korban tewas akan bertambah lebih banyak lagi ketika stafnya mulai melanjutkan aktivitasnya.
Dia mengatakan kepada kantor berita Reuters: “Besok akan menjadi hari yang brutal dan mengerikan. Kami akan pergi beraktivitas kembali besok. Bahkan kami meyakini, bahwa kami akan membutuhkan tambahan hari lagi untuk menyelasikan tugas kami.”
Dilaporkan bahwa puluhan mayat tergeletak di jalan-jalan, namun situasi yang tidak memungkinkan untuk mengumpulkannya.
Berbagai aksi kekerasan mulai terjadi pada hari Kamis (5/12) ketika milisi Kristen yang setia kepada presiden terguling François Bozize Yangouvonda melancarkan serangan terhadap kaum Muslim .
Sementara gejolak mulai memanas di Republik Afrika Tengah pada bulan Maret, ketika Michelle Gutudia—yang menggulingkan Presiden Francois Bozize—mengangkat dirinya sebagai pemimpin Muslim pertama untuk negeri tersebut.
Sementara itu, ratusan tentara Prancis mulai tiba di Bangui sebagai upaya PBB untuk membangun kembali sistem dan konstitusi di sana.
Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB , tentara Prancis dibolehkan bergabung dengan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika yang sudah ada di Afrika Tengah (islammemo.cc, 7/12/2013).



Sumber

Kanibal “Anjing Gila” Memburu Kaum Muslim di Republik Afrika Tengah

Kekerasan di Republik Afrika Tengah terus berubah menjadi anarki. Terdapat laporan tindakan kanibalisme pada saat terjadi bentrokan antara kaum Muslim dan Kristen.
“Mad Dog” (Anjing Gila), yang nama aslinya adalah Ouandja Magloire, mengatakan kepada BBC bahwa dia memakan daging orang lain untuk membalas dendam atas pembunuhan istrinya yang sedang hamil,  adik ipar dan bayinya.
Magloire adalah bagian dari massa Kristen yang meluapkan amarahnya terhadap umat Muslim di kota Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah setelah Presiden Djotoda mengundurkan diri.
Sang Kanibal itu melihat korbannya duduk di sebuah minibus dan memutuskan untuk mengikutinya.
Semakin banyak orang bergabung dengannya dan memaksa sopir bus untuk berhenti, mereka menyeret orang Muslim itu keluar ke jalan, di mana kemudian dipukuli dan ditusuk sebelum dibakar.
“Muslim! Muslim! Muslim. Saya menusuknya di kepala. Saya menuangkan bensin padanya. Saya membakarnya. Lalu saya memakan kakinya, semuanya hingga ke tulang-tulangnya dengan roti. Itu sebabnya orang-orang memanggilku dengan sebutan Mad Dog (Anjing Gila), “kata Magloire.
Ketika diminta untuk menjelaskan alasan tindakannya, Magloire menjawab: “Karena saya marah.”
Banyak militan Kristen yang percaya pada sihir dan memakai jimat yang berisi daging dari orang-orang yang telah dibunuhnya, dan hal ini diyakini akan membuat mereka tidak terkalahkan.
Ratusan Ribu Anak-anak Beresiko Terkena Malaria
Konflik itu telah menyebabkan hampir satu juta orang mengungsi dan membawa risiko terkena malaria, infeksi saluran pernapasan yang akut dan penyakit diare.
“Lebih dari setengah juta orang (dari 4.6 juta penduduk) yang mengungsi dari rumah-rumah mereka akibat pertempuran baru-baru ini – dan banyak dari mereka adalah anak-anak. Lebih dari setengah penduduk Bangui mencari perlindungan di 60 lokasi di seluruh kota, terutama di tempat-tempat keagamaan, di mana mereka tidak memiliki akses yang memadai ke tempat-tempat penampungan, air minum yang bersih, jamban, makanan atau perawatan kesehatan, ” kata Juru Bicara LSM International Medical Corps, Josh Harris, kepada IBTimes UK.
“Sejak tanggal 15 Desember, International Medical Corps telah mengoperasikan klinik-klinik di dua lokasi untuk para keluarga pengungsi – St Paul dan St Bernard – yang menyediakan perlindungan untuk lebih dari 40,000 pengungsi.
“Dalam tiga minggu pertama peoperasian, klinik International Medical Corps telah merawat lebih dari 8,000, pasien 3,200 dari mereka adalah anak-anak balita. Kondisi yang paling umum adalah malaria (39%), infeksi saluran pernapasan akut (20%) dan penyakit diare (18%) Tim memulai kampanye vaksinasi massal campak dan polio di dua lokasi di Bangui,” jelas Harris.
Djotodia, pemimpin muslim pertama Republik Afrika Tengah, menjadi presiden setelah kudeta Maret lalu.
Menyusul penggulingan Presiden Francois Bozize, , negara  yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu ,  jatuh ke dalam kekerasan sektarian antara Muslim Seleka dan kelompok-kelompok Kristen Anti Bakala.
Mantan presiden itu dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang mampu memimpin negeri itu setelah gagal menahan laju pertumpahan darah yang mengakibatkan kematian setidaknya 1000 warga sipil dan membuat hampir satu juta orang mengungsi.
Palang Merah telah mengkonfirmasi kematian 13 orang di Bangui, setelah terjadi tembak menembak selama dua malam berturut-turut sejak Djotodia mengumumkan pengunduran dirinya. (rz/www.ibtimes.co.uk/13/01)



Sumber

Muslim Cleansing di Republik Afrika Tengah, Dimana Penguasa Negeri Islam?

 “Saya tidak ingin meninggalkan negeri ini, Saya ingin menjadi Muslim di Negara Afrika Tengah terakhir yang meninggalkan  negeri ini atau setidaknya Muslim terakhir yang dimakamkan di sini,” ujar seorang Imam masjid di Bangui  ibukota  Republik Afrika Tengah (CAR).
Pernyataan sang Imam  menggambarkan kondisi nestapa  yang terjadi disana. Tanpa ada pencegahan yang nyata, umat Islam di  Republika Afrika Tengah akan musnah, akibat  pembantaian massal yang menimpa umat Islam.
Dalam laporannya pada Rabu (12/2), Amnesty Internasional menyatakan telah mendokumentasi lebih dari 200 kasus pembunuh terhadap umat Islam yang dilakukan milisi Kristen.  Sejak Desember tahun lalu, setelah milisi Kristen melakukan serangan terkoordinasi lebih dari 1000 orang muslim terbunuh.
Pasukan perdamaian internasional, menurut organisasi HAM itu, telah gagal menghentikan pembantaian ini. Pasukan ini dianggap tidak melakukan tindakan yang nyata untuk mencegah muslim cleansing ini.
Kehadiran pasukan Prancispun ditolak umat Islam karena dianggap memihak pada milisi Kristen. Ribuan umat Islam melakukan unjuk rasa di Ibu kota Bangui setelah terjadinya pembunuhan tiga orang muslim yang dilakukan oleh tentara Perancis.
Hal yang senada dinyatakan Human Right Watch pada hari yang sama. Dalam pernyataan nya lembaga HAM ini mengatakan populasi minoritas Muslim di negara itu telah menjadi sasaran gelombang kekerasan tanpa henti yang terkoordinasi. Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan negara itu.
Antonio Guterres, kepala Badan Pengungsi PBB, mengatakan, dia telah melihat bencana kemanusiaan dengan proporsi tak terkatakan di Afrika Tengah. “Pembersihan massif etno-religius,” sebut dia.
Guterres menyebutkan pembunuhan tanpa pandang bulu dan pembantaian telah terjadi, dengan kebiadaban dan kebrutalan yang mengejutkan. Total sejak konflik terjadi ada 2,5 juta orang yang terlantar sebagian besar adalah muslim .Puluhan ribu orangmengungsi dari kampungnya tetapi kemudian terjebak tanpa tujuan. Di Bangui saja ribuan orang berada di dalam ghetto dengan kondisi memprihatinkan.
Pembantaian ini dilakukan secara sadis yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia normal.  Secara terbuka,pendukung milisi Kristen memakan daging seorang muslim yang mereka bunuh. Wanita-wanita muslimah juga diperkosa. Rumah-rumah dan masjid dibakar dan dihancurkan. Penyiksaan terhadap muslim dilakukan di jalan-jalan secara terbuka. Mereka melakukan kebiadaban ini dengan ini dengan wajah yang gembira dan penuh kesombongan.
“Muslim! Muslim! Muslim. Saya menusuknya di kepala. Saya menuangkan bensin padanya. Saya membakarnya. Lalu saya memakan kakinya, semuanya hingga ke tulang-tulangnya dengan roti. Itu sebabnya orang-orang memanggilku dengan sebutan Mad Dog (anjing gila), “, ujar Magloire dengan sombongnya.
Meski telah menjadi korban, umat Islam pun disalahkan dalam pembantaian ini. Menyalahkan korban (blame the victim) menjadi pola yang berulang.  Umat Islam dianggap bersekongkol dengan Michel Djaotodia  (seorang yang kebetulan muslim)  yang  didukung koalisi Seleka menggulingkan Presiden  Francois Bozize pada bulan Maret 2013 yang telah berkuasa selama 10 tahun. Kekacauan pun terjadi, terjadi saling serang antara pendukung Michel Djaotodia dan Bozize.
Setelah Djaotodia mengundurkan diri, terjadi aksi yang diklaim sebagai aksi balas dendam. Seluruh umat Islam pun dianggap bersalah dan dibantai.  Padahal kebijakan Djaotodia bukanlah mewakili umat Islam, apalagi  selama ini umat Islam (15 persen dari penduduk CAR) dan warga Kristen bersama penganut agama-agama lokal lainnya  hidup berdampingan dengan damai.
Seperti biasa Baratpun tidak begitu peduli dengan apa yang menimpa umat Islam. Sistem internasional ala kapitalis dengan organ PBB-nya gagal. Termasuk penguasa-penguasa negeri Islam pun diam seribu bahasa.
Semua ini menunjukkan bagaimana nasionalisme telah menjadi racun yang mematikan umat Islam. Dengan alasan, tidak berhubungan dengan kepentingan nasional kita,  penguasa-penguasa negeri Islam tidak ambil pusing. Tidak peduli dengan nasib muslim di Negara Afrika Tengah, sebagaimana mereka tidak berbuat apa-apa terhadap penderitaan muslim rohingya, Palestina, Irak dan negeri-negeri Islam lainnya.
Nasionalisme sesungguhnya merupakan ikatan ashobiyah, yang hanya mementingkan suku atau bangsa. Padahal Rosulullah SAW telah mengecam ikatan Ashobiyah yang bukan bersumber dari aqidah Islam. “Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar ‘ashabiyah.” (HR Abu Dawud).
Belenggu Nasionalisme terbukti mengikis ukhuwah islamiyah dan kepedulian umat sehingga umat menjadi lemah. Negeri-negeri Islam menjadi santapan empuk bangsa-bangsa imperialis, meskipun jumlah kita lebih dari 1,5 milyar di seluruh dunia.
Nasionalisme juga telah memecahbelah umat Islam dengan kehadiran nation-state (negara bangsa) yang jumlahnya banyak . Padahal Umat Islam diwajibkan hidup dalam satu kepemimpinan seorang khalifah dalam institusi Negara Khilafah, bukan justru mengadopsi konsepsi nation state yang dipimpin oleh banyak presiden atau raja seperti saat ini. “Jika dibaiat dua orang khalifah(kepala negara) maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).
Karena itu racun nasionalisme, sudah selayaknya dibuang jauh-jauh dari pemikiran umat. Dan kita harus bersungguh-sungguh untuk memperjuangkan kembalinya Khilafah Islam yang akan melindungi setiap tetes darah umat Islam dan menjaga setiap jengkal negeri Islam dari perampokan negara-negara yang memusuhi Islam. (Farid Wadjdi)




Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.