Minggu, 06 April 2014

Palestina Masa Khilafah Ottoman

Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.

Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.

Nubuatan dan Kalkulasi Rabbi Judah Ben Samuel
Di akhir Abad ke-12, Rabbi Judah Ben Samuel telah menerbitkan hasil penyelidikan Alkitabiah, yang disebut Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak. Hasilnya di laporkan dalam majalah Israel Today, Nopember 2012. Ben Samuel mengatakan:

“Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 tahun). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi wilayah yang tidak dimiliki siapapun selama satu Yobel (50 tahun), lalu pada Yobel kesembilan, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yeng menunjukkan zaman Mesianik.”

Bahwa satu Yobel adalah 50 tahun dapat dibaca dalam Imamat 25:8-10, “Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.”

Kalkulasi Ben Samuel mulai menjadi realita 300 tahun kemudian. Khilafah Mamluk telah menguasai Yerusalem sejak 1250, lalu dikalahkan pada tahun 1517 oleh Kerajaan Ottoman. Khilafah Ottoman benar berkuasa selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 years), sampai tahun 1917, ketika Kerajaan Ottoman dikalahkan oleh Kerajaan Inggris. Awalnya tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua, ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun.

Lalu pada waktu Israel merebut Yerusalem dalam Perang Enam Hari, 1967, tepat satu Yobel (50 tahun) setelah kekalahan Ottoman. Sejak tahun 1967 itu, Yerusalem telah dipimpin oleh negara Yahudi, Israel. Menurut Judah Ben Samuel, zaman Mesianik sebagai permulaan akhir zaman telah mulai.

Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517
Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turkey modern yang telah menjadikan Turkey bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.

Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, namun Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.

Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turkey. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua Yerusalem sampai hari ini. (Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25.)

Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah zaman Sultan Sulaiman Alqanuni, keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Suria, Libanon dan Mesir, dan wilayah itu kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah zaman itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991.)

Bagaimana Keadaan Palestina 1517-1917?
Kesaksian para sejarahwan telah mencatat keadaan wilayah Palestina selama 400 tahun dominasi pemerintahan Ottoman sebagai masa yang sepi. Pada tahun 1590 seorang Inggris yang berkunjung ke Yerusalem telah menulis:
“Tidak ada apa-apa yang kelihatan selain sebagian tembok-tembok tua, yang lain hanya rumput, jamur dan jerami.” (Gunner Edward Webbe, Palestina Exploration Fund, Quarterly Statement, p. 86; de Haas, History, p. 338+).
“Tanah Palestina kekurangan orang untuk mengolah tanahnya yang subur”. (Arkeolog Inggris, Thomas Shaw, pertengahan 1700’an.)
“Palestina adalah tanah yang hancur dan sunyi”. (Count Constantine François Volney, sejarahwan dan penulis Perancis, Abad Ke-18.)
“Penduduk Arab sendiri hanya dapat dianggap penduduk sementara. Mereka memasang kemahnya di ladang rumput atau membangun pondoknya di antara reruntuhan kota-kota. Mereka tidak membangun apa-apa yang tetap. Karena mereka adalah orang asing di negeri ini mereka juga tidak menguasai keadaannya. Angin padang gurun yang membawa mereka ke sini juga satu hari akan membawa mereka ke lain tempat tanpa meninggalkan tanda apapun waktu mereka melewati daerah ini.” (Catatan Gereja tentang Suku Arab di Palestina pada tahun 1800’an.)
“Daerah itu sangat sunyi, dan kami telah jalan di antara berbagai air terjun yang tidak lagi ada air. Kami tidak melihat binatang-binatang yang bergerak di antara batu-batuannya; mungkin kami juga tidak melihat lebih dari 12 ekor burung di sepeanjang perjalanan.” (William Thackeray dalam “From Jaffa To Jerusalem”, 1844).
“Seluruh negeri sudah hampir kosong dari penduduk dan karenanya sangat memerlukan sejumlah besar penduduk.” (James Finn, British Consul, 1857).
“Tidak ada satu desa pun di sepanjang lembah Jizreel, Galilea; tidak ada sejauh tigapuluh kilometer dalam tiap arah... Seorang dapat jalan 16 km dari sini dan tidak melihat sampai 10 orang. Kalau mau mencari kesunyian yang akan melelahkan, datanglah ke Galilea. ... Keadaan Nazaret sungguh menyedihkan ... Yerikho adalah puing-puing yang berjamur ... Betlehem dan Betania, dalam kemiskinan dan kehinaannya ... tidak berpenduduk makhluk yang hidup ... Suatu negeri yang sunyi-senyap yang walaupun tanahnya cukup subur, namun hanya dipakai semata-mata untuk rumput dan jerami ... suatu tempat yang sunyi dan memilukan ... Kami tidak melihat seorang manusia di sepanjang perjalanan ... Hampir saja tidak ada pohon ataupun semak. Bahkan pohon-pohon zaitun dan kaktus, teman setia kepada tanah yang tak berharga juga sudah hampir melarikan diri dari negeri ini ... Wilayah Palestina seolah-olah duduk dalam kain kabung dan abu ... sunyi dan tidak indah”. (Mark Twain, “The Innocents Abroad”, 1867.)
“Ada banyak bukti, seperti reruntuhan masa lampau, terowongan air yang patah dan pecah, dan sisa-sisa jalan-jalan yang lama, yang menyatakan bahwa daerah ini tidak selamanya kosong seperti sekarang. Dalam lembah antara Bukit Karmel dan Jaffa jarang sekali kelihatan desa atau tanda manusia masih hidup di sini. Ada beberapa pabrik gilingan sederhana yang menggunakan tenaga air sungai. Perjalanan naik kuda selama setengah jam membawa kami ke peninggalan puing-puing kota Kaisaria, yang dulu berpenduduk 200.000 orang, ibu kota Palestina di zaman Romawi, tetapi sekarang sunyi total.” (B. W. Johnson, dalam “Young Folks in Bible Lands”: Chapter IV, 1892.)
Catatan para musafir dan peziarah sepanjang Abad Ke-16 sampai Abad Ke-19 telah memberi kesaksian yang serupa, termasuk nama-nama terkenal seperti Alphonse de Lamartine, Sir George Gawler, Sir George Adam Smith, Siebald Rieter, Pastor Michael Nuad, Martin Kabatnik, Arnold Van Harff, Johann Tucker, Felix Fabri, Edward Robinson dll. Semuanya telah menemukan tanah Palestina sunyi dan hampir kosong sama sekali, selain beberapa Arab Beduin yang mengembara sini-sana dan sejumlah pedesaan Yahudi di Yerusalem, Shekhem, Hebron, Haifa, Safed, Irsuf, Kaisaria, Gaza, Ramleh, Acre, Sidon, Tzur, El Arish, dan beberapa desa di Galilea, yaitu: Ein Zeitim, Pekiin, Biria, Kefar Alma, Kefar Hanania, Kefar Kana dan Kefar Yassif. Bahkan Napoleon I Bonaparte, setelah berkunjung ke Tanah Suci menyatakan wilayah itu sangat memerlukan penduduk.

Napoleon pernah membahas kemungkinan pemulangan Yahudi secara massal ke negerinya sendiri dari Eropa. Dia ingin mengatasi masalah Yahudi di Eropa dan dia mengakui bahwa Palestina adalah negeri asal Yahudi, bahkan adalah negeri milik Yahudi. Pengalaman kunjungannya ke sana tidak memberi kesan kepada Napoleon bahwa negeri Palestina dihuni, diduduki, dikuasai ataupun dipimpin kaum Arab dan selama berabad-abad tidak pernah didengar suara yang mengklaim tanah itu sebagai hak orang Arab Palestina. Sebaliknya Napoleon telah menyaksikan bahwa mayoritas penduduk Palestina pada zamannya adalah masyarakat Yahudi, bukan Arab. (Green, Elliott, A., The Land of Israel and Jerusalem in 1900.)

Karl Marx juga mencatat bahwa mayoritas penduduk Palestina pada pertengahan Abad Ke-19, adalah Yahudi (New York Tribune 04-15-1854).

Penulis Perancis, Gérardy Santine, yang menerbitkan bukunya tentang keadaan Yerusalem pada tahun 1860 (Trois ans en Judée, 1860), telah menulis bahwa masyarakat Yahudi “adalah lebih separuh penduduk Kota Kudus,” yaitu pada tahun 1860 itu.

Laporan Komisi Kerajaan Inggris, 1913
“Seluruh wilayah kekurangan penduduk sehingga tidak maju secara ekonomi sampai kedatangan pelopor Zionis pada tahun 1880’an, yang datang untuk membangun kembali tanah Yahudi itu. Negeri itu telah lama mempertahankan statusnya sebagai “Tanah Suci” dalam kesadaran agama, sejarah dan hati nurani manusia, yang telah mengkaitkannya dengan Alkitab dan sejarah masyarakat Yahudi. Dengan perkembangan yang dilakukakan kaum Yahudi baru maka telah mulai terjadi imigrasi baru pula, baik Yahudi maupun Arab. Jalan dari arah Gaza ke utara hanya merupakan jalan sempit yang hanya cocok untuk transportasi dengan unta atau gerobak. ... Semua rumah dibuat dari lumpur. Tidak ada jendela yang kelihatan ... Bajak dorongan yang dipakai dibuat dari kayu saja ... Hasil pertanian sangat minim ... Keadaan kesehatan dan kebersihan (MCK) di desa [Yabna] sangat parah ... Sekolah-sekolah tidak ada ... Angka kematian anak-anak sangat tinggi ... Bagian barat, ke arah laut, sudah hampir menjadi padang pasir ... Desa-desa di daerah itu sangat sedikit dan hanya sedikit penduduknya. Banyak reruntuhan desa-desa terlihat di berbagai tempat, dan karena banyak malaria, banyak desa lain ditinggalkan penduduknya”.

Demikianlah keadaan Palestina pada akhir Zaman Khilafah Ottoman. Hanya 50 tahun pertama dari 1517 sampai 1567 Palestina telah menikmati zaman emas itu lalu selama 350 tahun berikutnya, tanah Palestina telah melarat, menjadi sunyi, kosong dan miskin yang tidak disenangi. Tetapi dengan terjadi Perang Dunia Ke-I dan rubuhnya Khilafah Ottoman semua keadaan itu segera akan berubah. Palestina-Israel akan menjadi tanah yang dicari bahkan direbut dan hal itu akan menjadi bahan pembahasan berikut.

Apakah tanah itu disimpan dalam keadaan kosong oleh Tuhan sebagai persiapan penggenapan janji Firman-Nya? Baca dan fahamilah Yehezkiel 36:24, “Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.”




Sumber

Palestina Pasca Perang Salib

Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :
1. Periode 1095-1101;
2. Periode 1145-1147;
3. Periode 1188-1192;
4. Periode 1204;
5. Periode 1217;
6. Periode 1239;
7. Periode 1249-1252;
8. Periode 1270.
Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik, khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa. Terjadinya Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II. Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak. Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu, wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.

Masa Ayyubid – Mamluk
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).

Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci. Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya. Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen, Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. Serangan Khawarism Turki membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300 penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa.

Pada tahun 1260 tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali. Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44 madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.

Pada tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja penduduknya. Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu, pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia, datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk, ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.

Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518
Para Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa yang terlaknat dengan membunuh Yesus. Pada abad ke-11 Laskar Salib sama sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak berhasil. Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria. Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13. Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land?, hal. 97-110).

Masyarakat Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exile and Return, The Struggle for a Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)

Banyak orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka tidak pernah lagi meninggalkan Palestina. Pada tahun 1486, jumlah orang Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach. Setelah penganiayaan Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada 1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.

Gaza 1481
Sejarah telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa pemerintahan Mameluk. Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.

Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?
Setelah tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.





Sumber

Israel di Zaman Byzantium-Arab (638M-1099M)

Masa kini mayoritas penduduk wilayah Palestina-Israel terdiri dari orang-orang Arab. Di dalam sejarah Timur Tengah ditemukan istilah-istilah Arab Yahudi, Arab Kristen dan Arab Muslim. Proses Arabisasi kebudayaan dan bahasa di wilayah itu telah mulai dari tahun 638M, dan berangsur-angsur terjadi selama 1360 tahun. Walaupun proses itu sering disamakan dengan proses Islamisasi hal itu tidak tentu benar. Arabisasi terutama adalah berkaitan dengan kebudayaan dan bahasa namun dampak perkembangan Islam juga merupakan suatu pengaruh yang sangat besar.

Dalam bukunya, “Arab and Jew in the Land of Canaan” dijelaskan oleh Ilene Beatty bahwa ada pelbagai suku bangsa yang datang di Kanaan dan mereka “merupakan tambahan, kelompok-kelompok yang dicangkokkan pada pohon silsilah penduduk Palestina. Para penyerbu Arab di abad ke-7M telah mengislamkan sebagian besar penduduk asli dan sejak itu telah bermukim sebagai penduduk, dan kawin-campur dengan penduduk asli sehingga semua orang di sana kemudian mengalami Arabisasi sampai kita tidak dapat menyatakan kapan peradaban Kanaan berakhir dan kapan peradaban Arab mulai.”

Orang-orang Yahudi dibagikan antara Yahudi Arab, Yahudi Eropa, Yahudi Asia dan Yahudi Afrika. Kenapa ada sekelompok yang disebut ’Yahudi Arab’? Ini terjadi karena di sepanjang sejarah Timur Tengah ada sejumlah besar orang Yahudi yang mengalami Arabisasi bahasa dan kebudayaan walaupun mayoritas orang Yahudi tidak menjadi penganut agama Islam.

Kemenangan dan Pemerintahan Arab di Israel (635M-638M)
Sesudah kematian Muhammad, Islam telah mulai berekspansi ke negara-negara yang lain dengan tujuan akhir, menggenapi seruan jihadnya untuk menghancurkan kekuasaan Kerajaan Bizantium dan Kekristenan dan merebut kota Konstantinopel. Tentara-tentara jihad telah masuk dan menguasai kota Yerusalem sekitar tahun 635-638. Namun pada masa itu kota Yerusalem lebih dikenal dengan nama Romawi, Aelia, sampai abad ke-10 ketika diberi nama bahasa Arab, al-Quds (Kota Kudus). Wilayah Yerusalem ataupun wilayah Palestina-Israel tidak pernah dipimpin bangsa-bangsa Arab sebagai sebuah ’bangsa’. Ketua Delegasi Syria di Konferensi Perdamaian Paris, Februari 1919 mengatakan: "Satu-satunya dominasi Arab sejak dikuasai pada tahun 635M hanya bertahan, pada dasarnya, 22 tahun".

Wilayah it hanya didominasi secara "politik" saja sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi “kehilangan tanahnya”, karena tidak pernah mereka meninggalkannya sehingga kosong secara fisik, ataupun meninggalkan klaimnya atas wilayah itu sebagai bangsanya.

Selanjutnya kota Yerusalem adalah kota kudus untuk tiga agama keturunan Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam). Waktu tentara-tentara Arab mengambil alih kota Yerusalem, mereka telah menduduki lokasi-lokasi sakral yang telah menjadi tujuan ziarah Kristen dan Yahudi. Mulai dari waktu itu sudah ditanam benih-benih konflik tentang hak milik semua lokasi sakral yang kemudian diperebutkan umat Kristiani selama Perang Salib bahkan sampai masa kini oleh kaum Yahudi, khususnya Bukit Moria, tempat Abraham mempersembahkan anaknya kepada Tuhan, yang juga adalah lokasi Bait Suci Solomo dan hari ini lokasi Quba Emas dan Mesjid Al-Aqsa.

Membangun Mesjid Umar, atau Quba Emas
Umar (kalif pertama), waktu tiba di Yerusalem meminta agar diantar ke Bukit Bait Suci, suatu pengakuan bahwa agama Islam menerima dan mengakui tradisi para nabi Ibrani. Setelah mencapai puncak Bukit itu, Kalif Umar merasa mual melihat daerah itu telah menjadi daerah pembuangan sampah oleh orang-orang Kristen sebagai penghinaannya terhadap agama orang-orang Yahudi. Umar, karena telah menghormati orang-orang Yahudi, telah memberi perintah agar lokasi itu dibersihkan. Tindakan tersebut menjadi langkah pertama untuk mempersiapkan lokasi sakral Yahudi menjadi lokasi ibadah Muslim.

Pada awal zaman Arab, mayoritas penduduk Yerusalem beragama Kristen. Konstruksi Dome of the Rock, Quba Emas itu, pada tahun 691, gedung sakral Muslim pertama di Israel, bertujuan menyaingi Gereja Makam Kudus. Baik Quba Emas, yaitu Dome of the Rock dan Gereja Makam Kudus dibangun berdasarkan gambar bentuk dan ukuran yang sama, tetapi Dome of the Rock dihiasi dengan ayat-ayat anti Ketritunggalan Allah dari Al-Qur’an. Awalnya, orang-orang Muslim seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi di Arab Saudi, telah menghadap ke Yerusalem waktu berdoa. Namun, pada waktu orang-orang Yahudi yang adalah mayoritas penduduk Medina telah menolak kerja sama secara agama dan politik dengan umat Islam bahkan menolak klaim kenabian Muhammad, maka ada pewahyuan baru yang turun dari Allah yang memerintahkannya memindahkan arah doa, kiblat, dari Yerusalem ke Mekka (John L. Esposito; Islam: the Straight Path; Oxford University Press: New York, 1991; hal.16).

Quba Emas dibangun di atas lokasi Bait Suci Herodes dan dekat dengan Tembok Ratapan, satu-satunya bagian dekat Bait Suci Solomo yang masih ada. Ajaran tradisi-tradisi Islam menunjukkan bukit batu kudus itu sebagai tempat awal kenaikan Muhammad ke Surga untuk menerima pewahyuan akhir Allah dalam bahasa Arab.

Dalam membangun Quba Emas, para pemimpin Arab di Palestina telah menyampaikan respek mereka untuk kota Yerusalem, sebagai kota para nabi dari Abraham ke Musa ke Yesus, dan berakhir dengan Muhammad, “meterai para nabi.” Quba Emas adalah monumen Islam tertua di dunia dan untuk kebanyakan orang adalah yang terhebat. Pembangunan Quba Emas telah menjadi simbol kemenangan Islam atas agama Yahudi, agama Kristen, dan rasa tidak aman umat Islam di dalam sebuah kota yang mayoritas Kristen sampai Salah al-Din mengusir para Laskar Salib dari Yerusalem pada tahun 1187. Dalam membuat Quba Emas sebagai kopian Gereja Makam Kudus yang lebih tinggi dan lebih mulia agar menjadi saksi nyata kepada semua orang Yahudi dan Kristen, tentang kuasa dan keabadian agama Islam di Kota Kudus (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; pg. 207).

Kalif Umar juga telah memenuhi aspirasi umat Yahudi dengan menolak permintaan para pemimpin Gereja untuk menolak izin untuk orang-orang Yahudi memasuki kota Yerusalem. Kebencian umat Kristen terhadap orang Yahudi di zaman itu sangat kuat karena umat Yahudi dianggap pembunuh Mesias. Pada tahun 638, setelah hampir 500 tahun orang-orang Yahudi dilarang masuk Yerusalem, maka komunitas Yahudi diizinkan lagi masuk dan tinggal di Yerusalem. Lalu sebagian kota Yerusalem dibangun kembali oleh masyarakat Yahudi di kota Solomo dan kota Daud (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; pg. 214).

Orang Yahudi di Palestina-Israel di sepanjang zaman
Di balik propaganda bahwa orang-orang Yahudi setelah 1900 tahun meninggalkan tanah itu dan hanya belakangan “kembali lagi” ke Palestina-Israel dan menemukan tanah itu sekarang diduduki "Arab Palestina" adalah asumsi yang tidak benar. Walaupun mayoritas orang Israel telah mengungsi dari daerah Palestina-Israel, fakta sejarah menunjukkan bahwa ada seratus ribu orang Yahudi yang tidak pernah meninggalkan daerah itu bahkan ada banyak orang Yahudi yang menjadi penduduk di bangsa-bangsa lain di kawasan itu, seperti di Syria, Arab Saudi, Mesir, Yaman, Irak, Iran, Turki dan Etiopia, selain yang mengungsi ke Eropa dan Afrika (Palestine Royal Commission Report (London, 1937), pp. 2-5, 7, 9, khususnya hal. 11, para. 23).

James Parkes, seorang ahli tentang hubungan Yahudi/non-Yahudi di Timur Tengah telah menganalisa “hak milik tanah” masyarakat Yahudi sebelum tahun 1948 dalam bukunya Whose Land? A History of the Peoples of Palestine (Harmondsworth, Middlesex, Great Britain: Penguin Books, 1970, p. 26,31,266). Diungkapkannya bahwa ternyata sejarah orang Yahudi setelah perlawanan Bar-Cochba di Masada tidak berakhir tetapi mereka telah mempertahankan eksistensi mereka di sepanjang sejarah walaupun ada banyak perlawanan terhadap kehadiran mereka secara fisik dan rohani di tanah tersebut, bahkan mereka tidak pernah menyerahkan klaim dan hak milik mereka yang dimilikinya sejak zaman eksodus (keluaran) dari Mesir dan masuknya Kanaan sekitar tahun 1500 sM.

Pada tahun 438M orang-orang Yahudi dari Galilea dengan optimis mendeklarasikan bahwa, "masa pembuangan kami sudah berakhir" ketika Ratu Eudokia mengizinkan orang Yahudi berdoa di lokasi Bait Suci, tetapi tak lama kemudian mereka dibuang kembali dari Yerusalem (Avraham Yaari, Igrot Eretz Yisrael (Tel Aviv, 1943), p. 46).

Penemuan arkeologi telah membuktikan bahwa orang-orang Yahudi telah menyambut dengan senang bahkan bergabung dengan tentara Persia pada tahun 614M dan "telah mengalahkan pasukan Byzantium, penjaga Yerusalem," dan telah menguasai kota itu selama lima tahun (A. MaIamat, H. Tadmor, M. Stern, S. Safrai, Toledot Am Yisrael Bi'mei Kedem (Tel Aviv, 1969), p. 348, dikutip oleh Katz, Battleground, p. 88). Dua dekade kemudian, tahun 635-638, waktu tentara Arab masuk ternyata orang-orang Yahudi “telah menderita intoleransi dan kekerasan rejim Kristen selama tiga abad.” (Parkes, Whose Land? p. 72.) Karena itu, harapan orang-orang Yahudi adalah mereka menjadi bebas dari dominasi rejim Kristen sehingga mereka menyambut tentara Arab sebagai tentara pemerdeka.

Tentara Arab Muslim yang masuk Yerusalem pada abad ke-7 telah menemukan masyarakat Yahudi yang sangat nyata. Pada waktu itu, "kita memiliki bukti bahwa orang-orang Yahudi telah tinggal di berbagai sudut bangsa itu dan di kedua tepi Sungai Yordan, dan bahwa mereka mendiami baik kota-kota dan desa-desa, dengan tetap melakukan perkebunan dan berbagai kerajinan tangan." Sejumlah orang Yahudi juga telah tinggal di Lydda dan Ramle.”Masyarakat besar dan penting” orang-orang Yahudi telah tinggal juga di "Askalon, Kaesaria dan lebih lagi di Gaza, yang dijadikan sejenis Ibu Kota setelah mereka diusir dari Yerusalem."( Parkes, Whose Land? P.72 dan A Mediterranean Society, 3 vols. Berkeley, Los Angeles, London, 1971, vol. 2, p. 61).

Al-Waqidy, ahli sejarah Arab abad ke-9 mengatakan bahwa Yerikho juga punya masyarakat Yahudi. Pada abad ke-7 ada juga bukti masyarakat Yahudi di Yerikho (Itzhak Ben-Zvi, The Exiled and the Redeemed, Philadelphia, 1961, p. 146). Al-Waqidy yang datang dari Medina, dan telah mengunjungi Khaibar tak lama setelah terjadi suatu tragedi pembantaian Yahudi di situ pada abad ke-9. Dia mengatakan bahwa masyarakat Yahudi di Khaibar adalah mereka yang telah diusir dari Medina, dan sejak waktu itu orang-orang Yahudi tidak pernah lagi diizinkan tinggal di Medina. Dasarnya adalah implementasi dekrit Muhammad oleh Kalif Omar, “Jangan mengizinkan dua agama berada di Semenanjung Arabia” (Ibid., hal. 146). Masyarakat Yahudi yang pada waktu itu bergabung dengan Islam diizinkan tinggal di Medina sampai abad ke-13 (Dikutip dari Sheikh Abd Allah Al Meshad, dalam D.F. Green, ed., Arab Theologians on Jews and Israel (Geneva, 197 1), p. 22).

Zaman Khilafah Umayyad dan Abbasid
Khilafah Umayyad, telah meluas di seluruh Timur Tengah. Spanyol, Portugal bahkan sampai ke perbatasan Perancis dan India. Memang abad ke-7 dan ke-8 telah menyaksikan kemajuan teratorial Islam yang memulai zaman emas Islam dalam berbagai bidang. Kemajuannya telah melihat Syria jatuh pada tahun 634, Yerusalem 638, Mesir 638, Persia (Iran) 640, Afrika Utara 689, Portugal dan Spanyol 711 sampai Khilafah Umayyad diganti dengan Khilafah Abbasid pada tahun 750.

Setelah Khilafah Abbasid berkuasa di wilayah Palestina-Israel, peranan kota Yeruslem menurun drastis. Damaskus yang adalah ibu kotanya Khilafah Umayyad lalu Bagdad menjadi ibu kota Khilafah Abbasid. Daerah Palestina-Israel tidak lagi menjadi perhatian besar para sejarawan sampai muncul Perang Salib yang telah mulai tanggal 27 Nopember 1099. Masa Perang Salib itu akan dibahas di dalam artikel berikut.
Akhirnya, di sepanjang sejarah, sejak Israel menduduki wilayah Palestina di bawah pimpinan Yosua pada tahun 1500sM sampai masa jaya Islam di Timur Tengah tak pernah putus ada masyarakat Yahudi yang tetap menduduki wilayah itu, telah mengklaimnya sebagai Tanah Airnya, bahkan yang mengklaim mereka adalah korban jajahan, dari zaman Asyur, Babelonia, Yunani, Romawi, Kristen Bizantin bahkan sampai ke zaman Arab.




Sumber

Israel di Zaman Perang Salib (1095 - 1291 M)

Banyak orang yang percaya bahwa Perang Salib adalah serangan biadab oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam tanpa alasan. Apakah hal itu benar?

Apa Penyebab Perang Salib?
Awal mula Perang Salib adalah perang defensif bukan ofensif. Selama lima abad lamanya, Timur Tengah merupakan bagian dari Israel-Palestina, Yordan, Mesir, Lebanon dan Syria yang adalah wilayah Kristen. Hal itu terjadi karena pemberitaan Injil yang menyebabkan pertobatan penduduk dan para penguasa. Oleh karena itu, setelah Kaisar Konstantin menjadi Kristen, maka agama Kristen berubah menjadi kekuatan politik, sehingga makin lama semakin kehilangan kuasa rohaninya. Ke dalam situasi seperti ini, maka tentara jihad dari Arab Saudi mengubah peta politik dan agama utama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Perubahan ini terjadi melalui penumpahan darah dan pembantaian terhadap banyak sekali orang Kristen.

Alasan pertama Perang Salib adalah untuk membela dan membebaskan orang-orang Kristen yang dijajah oleh orang-orang Islam. Sebagaimana sudah kita selidiki dan ketahui bahwa dalam waktu kurang dari satu abad Islam berhasil merebut dua pertiga dari dunia Kristen: Palestina, Syria, Mesir, Turki, Spanyol, Portugal dll. Di bawah Khalifah Fatimid Kalif al-Hakim, dua ribu gereja dihancurkan termasuk Gereja Makam Kudus pada tahun 1009. Jadi, Paus Innocent III menulis: “Apakah kamu tidak tahu bahwa ribuan orang Kristen diperbudak dan ditawan oleh orang Islam, disiksa dengan siksaan yang tak dapat terhitung?” Itulah sebabnya, Perang Salib dianggap sebagai kewajiban umat Kristen untuk mengungkapkan kasih mereka kepada saudara-saudaranya yang menderita dan untuk mengungkapkan kasih kepada Kristus. Pada waktu itu, Islam dipandang sebagai musuh Kristus dan Gereja. Tujuan dari Perang Salib adalah untuk mengalahkan Islam dan membebaskan umat Kristen dari jajahannya. Berdasarkan pada pandangan itu, maka Gereja membuat sumpah kudus sehingga banyak orang yang rela berangkat ke Israel untuk memerdekakan Tanah Kudus dari tangan orang Islam.

Sebab kedua terjadi Perang Salib, adalah supaya umat Kristen merebut kembali Yerusalem, kota kudus, dari tangan dan kuasa orang Islam. Sejak Konstantin, banyak orang Kristen berziarah ke Tanah Suci. Walaupun daerah itu dikuasai oleh Islam sejak tahun 638, mereka masih bisa mengunjunginya. Tetapi pada abad kesebelas, orang Seljuk dari Turki menguasi Yerusalem dan melarang kunjungan Umat Kristen ke sana.

Jadi, pada tahun 1095, Paus Urban II menyerukan adanya Perang Salib untuk menghentikan serangan Islam terhadap wilayah-wilayah Kristen. Dalam pidatonya di Musyawarah Clermont di Perancis pada November 27, 1095, ia memanggil orang Kristen dari semua Negara Kristen untuk berziarah ke Tanah Suci dan mengadakan Perang Salib.

Tujuh Perang Salib
I. Yang pertama, 1095-1099, dicanangkan oleh Paus Urban II
II. Yang kedua: 1147-1149, dipimpin oleh Raja Louis VII yang gagal, dan yang mengakibatkan kehilangan salah satu dari empat Kerajaan Latin, yaitu, Edessa.
III. Yang ketiga: 1188-1192, dicanangkan oleh Paus Gregory VIII sesudah kegagalan perang salib yang kedua. Dipimpin oleh Emperor Frederick Barbarossa, Raja Philip Augustus dari Perancis dan Raja Richard "Coeur-de-Lion" dari Inggris.
IV. Yang keempat: di mana Konstantinopel dihancurkan, 1202-1204
V. Yang kelima: termasuk yang direbutnya Damietta, 1217-1221.
VI. Yang keenam: di mana Frederick II ikut berperang (1228-1229); juga Thibaud de Champagne dan Richard dari Cornwall (1239).
VII. Yang ketujuh: dipimpin oleh St. Louis (Raja Louis IX dari Perancis), 1248-1250.

Kerajaan Perang Salib (1099 sampai 1187)
Pada tahun 1099, Yerusalem diduduki oleh para Laskar Salib. Banyak orang Yahudi yang dibunuh dan hampir semua diusir. Ada empat “Kerajaan Krusader” yang didirikan di Israel pada waktu itu. Salah satu Kerajaan Krusader didirikan di Yerusalem dan Baldwin I diangkat sebagai Raja Yerusalem. Selama adanya kerajaan itu, banyak sekali perubahan yang terjadi di Yerusalem dan sekitarnya. Orang-orang Yahudi diusir, sehingga mayoritas penduduk Yerusalem menjadi orang Kristen. Yerusalem menjadi kota besar, ibu kota kerajaan, bahkan menjadi kota penting bagi orang Kristen. Jadi, terjadilah perubahan besar dari yang sebelumnya hanya merupakan sebuah kota kecil di pedalaman.

Banyak pembangunan terjadi pada masa itu yang menghasilkan gedung-gedung besar dan membentuk tata kota yang masih bertahan bentuknya sampai sekarang. Yang paling utama dibangun adalah gereja, biara dan asrama bagi peziarah. Dome of the Rock diubah fungsinya dari mesjid menjadi gereja, mesjid al-Aqsa, diberi nama baru, Bait Salomo, dan menjadi tempat tinggal raja. Harus diakui bahwa walaupun awalnya Perang Salib bersifat defensif, makin lama semakin jahatlah perbuatan yang dilakukan oleh Tentara Salib, termasuk pembunuhan atas banyak orang Yahudi dan Muslim. Karena itu, tanggapan umum yang terjadi di hampir semua kalangan terhadap Perang Salib sampai masa kini adalah sangat negatif.

Dampaknya atas orang Yahudi
Walaupun banyak orang Yahudi yang dibunuh dan diusir dari Yerusalem, tetapi masih ada yang tetap tinggal di daerah Palestina dan sekitarnya. Pada 1165, Benjamin dari Tudela, seorang Spanyol yang terkenal, melaporkan bahwa "Akademi Yerusalem" sudah didirikan di Damsyik. Meskipun banyak orang Yahudi yang diusir dari Jerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tetapi masih ada yang tetap tinggal di desa-desa di Galilea.
Pada abad ketigabelas, Acre juga memiliki suatu akademi Yahudi. Dilaporkan bahwa selama abad keduabelas dan ketigabelas, masih ada orang-orang Yahudi yang tetap masuk daerah Palestina dari daerah Islam lain, khususnya dari Afrika Utara.

1187 -1291 Zaman Islam di bawah Khalifah Ayyoubite
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) seorang Kurdi, sesudah mendirikan pemerintahan Abbasid atas Fatimid Mesir, ia merebut kota Yerusalem dalam Perang Hattin. Tentaranya mengalahkan tentara Kristen dan kota-kota Kristen lain pun mulai menyerah. Benteng Krusader terakhir, yakni Acre pun jatuh pada tahun 1291. Pada waktu itu, tidak ada lagi sisa-sisa kerajaan dari Perang Salib karena semuanya dibunuh atau pun diusir. Walaupun ada berbagai usaha dan rencana lagi, namun orang Kristen tidak pernah lagi berkuasa di daerah itu sampai abad kesembilanbelas.

Akhirnya, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam diizinkan untuk kembali tinggal di Yerusalem. Pada tahun 1192, Richard “the Lion Heart” berusaha merebut kembali Yerusalem, namun tetap gagal. Jadi, diadakanlah perjanjian dengan Salah al-Din (Saladin) yang mengizinkan orang Kristen mengunjungi dan beribadah di tempat-tempat kudus mereka. Sesudah Yerusalem direbut kembali, Salah al-Din tidak mau membunuh penduduknya dan juga tidak menghancurkan gedung-gedungnya. Ada usaha besar dari orang Kristen selama Perang Salib untuk menghapuskan tanda penguasaan Islam di sana, tetapi tidak bisa. Di dalam pemerintahan baru Islam, gedung seperti Dome of the Rock, dijadikan mesjid lagi dan banyak gedung lain dijadikan sebagai institusi Islam.

Ketika Salah al-Din diancam dengan Perang Salib ketiga, ia membangun kembali tembok Yerusalem. Namun pada tahun 1219, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memerintahkan agar tembok tersebut dihancurkan kembali. Pada waktu itulah hampir semua penduduk Yerusalem meninggalkan kota tersebut. Sampai zaman Ottoman, 320 tahun kemudian, kota Yerusalem tetap tidak memiliki tembok.

1244, Orang Turki Khawariz merebut Yerusalem.
Waktu orang Turki Khawariz merebut Yerusalem, sekitar 7.000 orang Kristen yang tinggal di Yerusalem dibunuh selain 300 orang yang lari ke Yafa. Bukan hanya itu, serentetan serangan di seluruh daerah itu dari orang Mongol yang menyebabkan banyak penduduk mengungsi untuk mencari ke tempat yang aman. Pada tahun 1260, orang-orang Mamluk mengalahkan orang-orang Mongol pada Perang Ein Jalut di Lembah Yizril di depan Lembah Harmagedon. Setelah terjadinya serangan Khawariz dan Mongol, maka kota Yerusalem hampir kosong dan tidak berpenduduk. Hanya sesudah orang Mamluk menetapkan pemerintahan, maka kota itu dapat diduduki lagi. Tapi, karena pemerintahan Mamluk tidak mengembangkan ekonomi Yerusalem, maka kota itu tidak berkembang. Ia hanya membangun institusi agamawi, seperti mesjid, madrasah, zawia (biara), khanakah (pusat mistik Sufi) dan rumah sakit.

Setelah semua peristiwa itu terjadi, maka Yerusalem bukan lagi menjadi ibu kota kerajaan. Karena itulah, Yerusalem kembali menjadi kota kecil di pedalaman yang tanpa tembok dengan penduduknya sangat sedikit. Keadaan seperti inilah yang terus-menerus terjadi di Yerusalem sampai awal abad ke-20.



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.