Tampilkan postingan dengan label Lokasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lokasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 April 2014

Masjid Angke Al-Anwar: Tempat Rahasia Menyusun Strategi Perjuangan

Keberadaan masjid yang dulu disebut Masjid Angke ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke. Dia adalah seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, Dr. F. Dehaan, dalam bukunya, Oud Batavia, menuliskan bahwa Masjid Angke Al-Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tartar yang menikah dengan seorang pria Banten.1 Wanita tersebut bernama Ny. Tan Nio yang masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah.2

Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Karena itu dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al-Anwar tidak sedikit pun tergores oleh peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al-Mansur di Sawah Lio.3

Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Maka dari itu, di kompleks masjid ini para pemudanya sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk mengatur kegiatan menentang Belanda. Melalui khutbah-khutbah yang disampikan, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda.

Masjid ini juga dijadikan tempat penggemblengan para pejuang. Dari tempat yang agak tersembunyi ini disusun strategi perjuangan dalam menghadapi kekejaman serdadu-serdadu Belanda. Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini, Belanda tidak dapat mencium kegiatannya. Selamatlah masjid ini dari serbuan tentara Belanda.

Dalam kondisi demikian, Masjid Angke terus memenuhi peranannya sebagai tempat pengisian landasan perjuangan, benteng iman dan ketakwaan umat Islam dalam menghadapi penindasan penjajah Belanda.4

Masjid Angke Al-Anwar yang terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke ini juga berkait erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741). Beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda. Sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.

Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.

Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Di antaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syeikh Ja’far, tetapi tidak diketahui asal-usulnya. Di sebelahnya terletak juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syeikh Syarif Hamid al-Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya: “Meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 M”.5

Keberadaan batu nisan al-Qadri menunjukkan bahwa Masjid Al-Anwar menjadi basis perjuangan bagi pejuang yang dibuang dari daerah-daerah hingga akhir hayatnya. Adanya makam-makam di atas juga menunjukkan bahwa ternyata banyak pejuangan-pejuang daerah yang dalam perjuangannya dilandasi dengan Islam.  Mereka berjuang mati-matian di daerahnya masing-masing hingga akhirnya mereka di tangkap dan ‘dibuang’ ke Batavia.

Menurut sejarahwan Heuken dalam bukunya, Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia; sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.

Walaupun berukuran kecil—15x15m2 berdiri di atas lahan 200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. []




Sumber

Minggu, 06 April 2014

Palestina Masa Khilafah Ottoman

Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.

Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.

Nubuatan dan Kalkulasi Rabbi Judah Ben Samuel
Di akhir Abad ke-12, Rabbi Judah Ben Samuel telah menerbitkan hasil penyelidikan Alkitabiah, yang disebut Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak. Hasilnya di laporkan dalam majalah Israel Today, Nopember 2012. Ben Samuel mengatakan:

“Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 tahun). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi wilayah yang tidak dimiliki siapapun selama satu Yobel (50 tahun), lalu pada Yobel kesembilan, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yeng menunjukkan zaman Mesianik.”

Bahwa satu Yobel adalah 50 tahun dapat dibaca dalam Imamat 25:8-10, “Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.”

Kalkulasi Ben Samuel mulai menjadi realita 300 tahun kemudian. Khilafah Mamluk telah menguasai Yerusalem sejak 1250, lalu dikalahkan pada tahun 1517 oleh Kerajaan Ottoman. Khilafah Ottoman benar berkuasa selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 years), sampai tahun 1917, ketika Kerajaan Ottoman dikalahkan oleh Kerajaan Inggris. Awalnya tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua, ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun.

Lalu pada waktu Israel merebut Yerusalem dalam Perang Enam Hari, 1967, tepat satu Yobel (50 tahun) setelah kekalahan Ottoman. Sejak tahun 1967 itu, Yerusalem telah dipimpin oleh negara Yahudi, Israel. Menurut Judah Ben Samuel, zaman Mesianik sebagai permulaan akhir zaman telah mulai.

Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517
Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turkey modern yang telah menjadikan Turkey bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.

Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, namun Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.

Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turkey. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua Yerusalem sampai hari ini. (Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25.)

Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah zaman Sultan Sulaiman Alqanuni, keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Suria, Libanon dan Mesir, dan wilayah itu kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah zaman itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991.)

Bagaimana Keadaan Palestina 1517-1917?
Kesaksian para sejarahwan telah mencatat keadaan wilayah Palestina selama 400 tahun dominasi pemerintahan Ottoman sebagai masa yang sepi. Pada tahun 1590 seorang Inggris yang berkunjung ke Yerusalem telah menulis:
“Tidak ada apa-apa yang kelihatan selain sebagian tembok-tembok tua, yang lain hanya rumput, jamur dan jerami.” (Gunner Edward Webbe, Palestina Exploration Fund, Quarterly Statement, p. 86; de Haas, History, p. 338+).
“Tanah Palestina kekurangan orang untuk mengolah tanahnya yang subur”. (Arkeolog Inggris, Thomas Shaw, pertengahan 1700’an.)
“Palestina adalah tanah yang hancur dan sunyi”. (Count Constantine François Volney, sejarahwan dan penulis Perancis, Abad Ke-18.)
“Penduduk Arab sendiri hanya dapat dianggap penduduk sementara. Mereka memasang kemahnya di ladang rumput atau membangun pondoknya di antara reruntuhan kota-kota. Mereka tidak membangun apa-apa yang tetap. Karena mereka adalah orang asing di negeri ini mereka juga tidak menguasai keadaannya. Angin padang gurun yang membawa mereka ke sini juga satu hari akan membawa mereka ke lain tempat tanpa meninggalkan tanda apapun waktu mereka melewati daerah ini.” (Catatan Gereja tentang Suku Arab di Palestina pada tahun 1800’an.)
“Daerah itu sangat sunyi, dan kami telah jalan di antara berbagai air terjun yang tidak lagi ada air. Kami tidak melihat binatang-binatang yang bergerak di antara batu-batuannya; mungkin kami juga tidak melihat lebih dari 12 ekor burung di sepeanjang perjalanan.” (William Thackeray dalam “From Jaffa To Jerusalem”, 1844).
“Seluruh negeri sudah hampir kosong dari penduduk dan karenanya sangat memerlukan sejumlah besar penduduk.” (James Finn, British Consul, 1857).
“Tidak ada satu desa pun di sepanjang lembah Jizreel, Galilea; tidak ada sejauh tigapuluh kilometer dalam tiap arah... Seorang dapat jalan 16 km dari sini dan tidak melihat sampai 10 orang. Kalau mau mencari kesunyian yang akan melelahkan, datanglah ke Galilea. ... Keadaan Nazaret sungguh menyedihkan ... Yerikho adalah puing-puing yang berjamur ... Betlehem dan Betania, dalam kemiskinan dan kehinaannya ... tidak berpenduduk makhluk yang hidup ... Suatu negeri yang sunyi-senyap yang walaupun tanahnya cukup subur, namun hanya dipakai semata-mata untuk rumput dan jerami ... suatu tempat yang sunyi dan memilukan ... Kami tidak melihat seorang manusia di sepanjang perjalanan ... Hampir saja tidak ada pohon ataupun semak. Bahkan pohon-pohon zaitun dan kaktus, teman setia kepada tanah yang tak berharga juga sudah hampir melarikan diri dari negeri ini ... Wilayah Palestina seolah-olah duduk dalam kain kabung dan abu ... sunyi dan tidak indah”. (Mark Twain, “The Innocents Abroad”, 1867.)
“Ada banyak bukti, seperti reruntuhan masa lampau, terowongan air yang patah dan pecah, dan sisa-sisa jalan-jalan yang lama, yang menyatakan bahwa daerah ini tidak selamanya kosong seperti sekarang. Dalam lembah antara Bukit Karmel dan Jaffa jarang sekali kelihatan desa atau tanda manusia masih hidup di sini. Ada beberapa pabrik gilingan sederhana yang menggunakan tenaga air sungai. Perjalanan naik kuda selama setengah jam membawa kami ke peninggalan puing-puing kota Kaisaria, yang dulu berpenduduk 200.000 orang, ibu kota Palestina di zaman Romawi, tetapi sekarang sunyi total.” (B. W. Johnson, dalam “Young Folks in Bible Lands”: Chapter IV, 1892.)
Catatan para musafir dan peziarah sepanjang Abad Ke-16 sampai Abad Ke-19 telah memberi kesaksian yang serupa, termasuk nama-nama terkenal seperti Alphonse de Lamartine, Sir George Gawler, Sir George Adam Smith, Siebald Rieter, Pastor Michael Nuad, Martin Kabatnik, Arnold Van Harff, Johann Tucker, Felix Fabri, Edward Robinson dll. Semuanya telah menemukan tanah Palestina sunyi dan hampir kosong sama sekali, selain beberapa Arab Beduin yang mengembara sini-sana dan sejumlah pedesaan Yahudi di Yerusalem, Shekhem, Hebron, Haifa, Safed, Irsuf, Kaisaria, Gaza, Ramleh, Acre, Sidon, Tzur, El Arish, dan beberapa desa di Galilea, yaitu: Ein Zeitim, Pekiin, Biria, Kefar Alma, Kefar Hanania, Kefar Kana dan Kefar Yassif. Bahkan Napoleon I Bonaparte, setelah berkunjung ke Tanah Suci menyatakan wilayah itu sangat memerlukan penduduk.

Napoleon pernah membahas kemungkinan pemulangan Yahudi secara massal ke negerinya sendiri dari Eropa. Dia ingin mengatasi masalah Yahudi di Eropa dan dia mengakui bahwa Palestina adalah negeri asal Yahudi, bahkan adalah negeri milik Yahudi. Pengalaman kunjungannya ke sana tidak memberi kesan kepada Napoleon bahwa negeri Palestina dihuni, diduduki, dikuasai ataupun dipimpin kaum Arab dan selama berabad-abad tidak pernah didengar suara yang mengklaim tanah itu sebagai hak orang Arab Palestina. Sebaliknya Napoleon telah menyaksikan bahwa mayoritas penduduk Palestina pada zamannya adalah masyarakat Yahudi, bukan Arab. (Green, Elliott, A., The Land of Israel and Jerusalem in 1900.)

Karl Marx juga mencatat bahwa mayoritas penduduk Palestina pada pertengahan Abad Ke-19, adalah Yahudi (New York Tribune 04-15-1854).

Penulis Perancis, Gérardy Santine, yang menerbitkan bukunya tentang keadaan Yerusalem pada tahun 1860 (Trois ans en Judée, 1860), telah menulis bahwa masyarakat Yahudi “adalah lebih separuh penduduk Kota Kudus,” yaitu pada tahun 1860 itu.

Laporan Komisi Kerajaan Inggris, 1913
“Seluruh wilayah kekurangan penduduk sehingga tidak maju secara ekonomi sampai kedatangan pelopor Zionis pada tahun 1880’an, yang datang untuk membangun kembali tanah Yahudi itu. Negeri itu telah lama mempertahankan statusnya sebagai “Tanah Suci” dalam kesadaran agama, sejarah dan hati nurani manusia, yang telah mengkaitkannya dengan Alkitab dan sejarah masyarakat Yahudi. Dengan perkembangan yang dilakukakan kaum Yahudi baru maka telah mulai terjadi imigrasi baru pula, baik Yahudi maupun Arab. Jalan dari arah Gaza ke utara hanya merupakan jalan sempit yang hanya cocok untuk transportasi dengan unta atau gerobak. ... Semua rumah dibuat dari lumpur. Tidak ada jendela yang kelihatan ... Bajak dorongan yang dipakai dibuat dari kayu saja ... Hasil pertanian sangat minim ... Keadaan kesehatan dan kebersihan (MCK) di desa [Yabna] sangat parah ... Sekolah-sekolah tidak ada ... Angka kematian anak-anak sangat tinggi ... Bagian barat, ke arah laut, sudah hampir menjadi padang pasir ... Desa-desa di daerah itu sangat sedikit dan hanya sedikit penduduknya. Banyak reruntuhan desa-desa terlihat di berbagai tempat, dan karena banyak malaria, banyak desa lain ditinggalkan penduduknya”.

Demikianlah keadaan Palestina pada akhir Zaman Khilafah Ottoman. Hanya 50 tahun pertama dari 1517 sampai 1567 Palestina telah menikmati zaman emas itu lalu selama 350 tahun berikutnya, tanah Palestina telah melarat, menjadi sunyi, kosong dan miskin yang tidak disenangi. Tetapi dengan terjadi Perang Dunia Ke-I dan rubuhnya Khilafah Ottoman semua keadaan itu segera akan berubah. Palestina-Israel akan menjadi tanah yang dicari bahkan direbut dan hal itu akan menjadi bahan pembahasan berikut.

Apakah tanah itu disimpan dalam keadaan kosong oleh Tuhan sebagai persiapan penggenapan janji Firman-Nya? Baca dan fahamilah Yehezkiel 36:24, “Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.”




Sumber

Palestina Pasca Perang Salib

Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :
1. Periode 1095-1101;
2. Periode 1145-1147;
3. Periode 1188-1192;
4. Periode 1204;
5. Periode 1217;
6. Periode 1239;
7. Periode 1249-1252;
8. Periode 1270.
Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik, khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa. Terjadinya Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II. Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak. Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu, wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.

Masa Ayyubid – Mamluk
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).

Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci. Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya. Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen, Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. Serangan Khawarism Turki membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300 penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa.

Pada tahun 1260 tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali. Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44 madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.

Pada tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja penduduknya. Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu, pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia, datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk, ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.

Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518
Para Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa yang terlaknat dengan membunuh Yesus. Pada abad ke-11 Laskar Salib sama sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak berhasil. Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria. Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13. Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land?, hal. 97-110).

Masyarakat Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exile and Return, The Struggle for a Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)

Banyak orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka tidak pernah lagi meninggalkan Palestina. Pada tahun 1486, jumlah orang Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach. Setelah penganiayaan Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada 1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.

Gaza 1481
Sejarah telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa pemerintahan Mameluk. Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.

Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?
Setelah tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.





Sumber

Kamis, 27 Maret 2014

Bimaristan , Konsep Ideal Rumah Sakit Islam

Seperti yang ditulis dalam kitab Ajhizatu Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah) , Khilafah adalah negara yang manusiawi (daulah basyariah). Karena itu sangat mungkin terjadi kekurangan atau penyimpangan dalam sejarah perjalanan Khilafah. Meskipun sejarah bukanlah dalil hukum syara’, namun dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran, setiap penyimpangan dari syariah Islam akan menyebabkan persoalan. Sekali lagi , persoalan muncul , bukan karena sistem Khilafahnya, justru karena penyimpangan dari sistem Khilafah. Walhasil, menolak sistem Khilafah dengan mengutip penyimpangan dalam sistem ini, tidaklah obyektif dan rasional, dan tentu saja tidak jujur. Mengingat,sejarah Khilafah lebih banyak diisi dengan kegemilangan dan kejayaan. Berikut ini kami akan tampilkan beberapa kejayaan di era keemasan Khilafah Islam. (Redaksi)

Sebelum Islam datang dan mencapai masa kejayaannya, dunia ternyata belum mengenal konsep rumah sakit (RS), seperti saat ini. Bangsa Yunani, misalnya, merawat orang-orang yang sakit di petirahan yang berdekatan dengan kuil untuk disembuhkan pendeta. Proses pengobatannya pun lebih bersifat mistis yang terdiri dari sembahyang dan berkorban untuk dewa penyembuhan bernama Aaescalapius.

 
Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, sederet RS baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam. Pada masa itu tempat mengobati dan merawat orang yang sakit dikenal dengan sebutan `Bimaristan’ atau ‘Maristan’. ”Ide membangun RS sebagai tempat merawat orang sakit mulai diterapkan pada awal kekhalifahan Islam,” papar Husain.

RS pertama dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705 M – 715 M) – seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Tempat perawatan yang dikenal dengan nama `Bimaristan’ itu disediakan tak hanya pagi penderita leprosoria tapi juga bagi penderita lepra yang saat itu merajalela. Untuk merawat para pasien itu, khalifah menggaji tenaga perawat dan dokter.

”RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M – 809 M),” ungkap Husain. Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya. Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka.

Dalam catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.

Pada era keemasan, RS Islam yang tersebar di kawasan Arab itu memiliki karakteristik yang khas. Pertama, RS Islam melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul lainnya. RS Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang dokter. Di RS itu semua dokter dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu bekerja sama untuk menyembuhkan pasiennya.

Kedua, sudah menerapkan pemisahan bangsal. Pasien pria dan wanita menempati bangsal yang terpisah. Penderita penyakit menular juga dirawat di tempat yang berbeda dengan pasien lainnya. Ketiga, pembagian perawat. Perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita.

Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima waktu merupakan rukun Islam yang wajid bagi setiap Muslim. Baik dalam kondisi sehat maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.

Bagi mereka yang tak mampu, bisa shalat sembari tidur di atas kasur. Sebelum menunaikan ibadah shalat, setiap Muslim harus berwudhu membersihkan muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan itu, RS menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi.

Kelima, tak sembarang dokter bisa berpraktik di RS. Hanya dokter-dokter yang berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di RS. Khalifah Al-Mugtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan betul kualitas dokter yang bertugas di RS. Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan Ibn-Thabit untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.

Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Tak hanya di Baghdad, khalifah juga memerintahkan Abu Osman Sa’id Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu dilakukan, lantara dua kota suci itu setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.

Keenam, RS Islam pada zaman kekhalifahan tak hanya sekedar tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit. RS juga berfungsi sebagai tempat menempa mahasiswa kedokteran, tempat pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat pengembangan dunia kesahetan dan kedokteran secara keseluruhan. RS besar dan terkemuka dilengkapi dengan perpustakaan mewah yang memiliki koleksi buku-buku terbaru. Selain itu, RS Islam zaman kekhalifahan juga dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan. Di kompleks RS juga berdiri mess atau perumahan untuk mahasiswa kedokteran serta staf RS.

Ketujuh, untuk pertama kalinya dalam sejarah, RS Islam menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia. Kedelapan, selama era Islam ilmu farmasi dan prpfesi apoteker telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.
Apotek dan apoteker sudah berkembang pesat. Tak heran, jika obat-obatan baru tiap waktu terus bermunculan. Pada saat itu, umat Islam yang menguasai perdagangan telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa terkemuka di dunia. Ilmu kimia yang menopang farmasi juga berkembang pesat.

RS di era keemasan Islam bertugas untuk merawat seluruh pasien baik laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Tak hanya itu, seluruh biaya ditanggung pihak RS. Mereka yang dilayani secara prima dan cuma-cuma itu bisa pendatang, orang asing, orang pribumi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, bodoh atau pintar, cacat atau normal diperlakukan secara sederajat dan adil.

Tak ada persyarakat tertentu dan pembayaran. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Lagi-lagi, Islam lebih dulu unggul dan maju dibanding Barat.

Konsep RS Islam di era keemasan yang begitu modern itu kemudian ditiru dan dijadikan model oleh bangsa-bangsa di Eropa. Tak cuma itu, Barat juga banyak mempelajari kitab-kitab kedokteran yang dihasilkan para dokter Muslim. Adakah RS Islam di Indonesia yang meniru konsep RS di era keemasaan Islam itu? (Republika; 18/03/2008)



Sumber

Wasith: Kota Peradaban Umayyah

Oleh Heri Ruslan

Di Abad Pertengahan,  Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam.

‘’Telah menceritakan kepada kami Abdan. Telah mengabarkan kepada kami Abdullah. Telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Asy’ats dari bapaknya dari Masruq dari Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata; ‘Nabi SAW menyukai sebelah kanan sejauh beliau bisa melakukannya, yakni dalam bersuci, memakai terompah, dan menyisir, dan setiap urusannya’. Syu’bah mengatakan, Asy’ats di kota Wasith mengucapkan kata-kata lain sebelum ini.” (HR Bukhari).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas, tertulis  nama sebuah kota, yakni Wasith. Lalu di manakah kota itu terletak? Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi, Wasith adalah sebuah kota yang berada di kawasan Sawad, Irak. ‘’Kota ini dinamai Wasith karena terletak di tengah-tengah (tawassuth) antara Bashrah dan Kufah,’’ ujar pakar hadis itu.

Kota Wasith dibangun oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi — gubernur Irak untuk Kekhalifahan Umayyah yang berbasis di Damaskus, Suriah –  pada tahun 83 H/ 706 M. Menurut Ensiklopedi Britannica,  Wasith sempat menjelma sebagai kota perdagangan dan militer di abad pertengahan.

‘’Wasith menjadi pusat kota di Irak pada masa Kekhalifahan Umayyah,’’ papar Dr Syauqi.  Setelah menguasai kota itu,  Gubernur Irak, Al-Hajjaj melakukan pembangunan besar-besaran.  Ia membangun istana, masjid agung, membuka jaringan irigasi dan pertanian di seluruh kota Wasith.

Kota itu letaknya juga amat strategis, yakni di tepi Sungai Tigris yang menjadi pusat jaringan penghubung menuju seluruh bagian di wilayah Irak. Tak heran jika kota itu menjelma menjadi pusat galangan kapal yang besar dan pusat perdagangan.

Di abad pertengahan,  Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam. Kota itu tak hanya dikenal sebagai pusat bisnis dan perdagangan, namun juga masyhur sebagai pusat intelektual.  Tak heran jika dari kota itu lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka dalam bidang hukum, hadis, sastra dan syair.

Pada era kekuasaan Umayyah, Wasit tampil sebagai pusat intelektual dunia Islam. Ibnu Batuta, pengembara Muslim legendaris dari Maroko sempat berkunjung ke kota itu. Dalam catatan perjalanannya bertajuk Ar-Rihla, Ibnu Batutta mengagumi perkembangan keilmuwan di Wasith.

‘’Bagi orang-orang yang mengunjunginya, Wasith memberi manfaat dengan pengetahunan. Suasananya mendorong setiap orang untuk memiliki pemikiran yang maju.  Dan orang-orang Wasith adalah yang terbaik di Irak,’’ papar Ibnu Batuta menggambarkan geliat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dan dicapai masyarakat Wasith ketika itu.

Ketika era  kekuasaan Dinasti Ummayah berakhir Wasith masih menjadi salah satu kota yang penting.  Begitu Kekhalifahan Abbasiyah berdiri, ibu kota pemerintahan Islam  berpindah dari Damaskus (Suriah) ke Baghdad. Pada awal-awal perpindahan pusat kekuasaan itu,  kota Wasith masih tetap diperhitungkan.
Namun, seiring berkembangnya Baghdad menjadi metropolis dunia di Abad Pertengahan, pamor Wasith pun mulai meredup. Bahkan, sejak abad ke-15 M, kota itu hampir kurang dikenal lagi.  Seorang geografer asal Turki menggambarkan Wasith pada awal abad ke-17 M, sebagai kota yang terletak di tengah gurun.
Ketika Kekhalifahan Usmaniah atau Ottoman yang berpusat di Turki menguasai dunia,  Wasit menjadi provinsi dan Al-Kut menjadi ibu kotanya. Dinasti Ottoman membangun kembali Wasith sebagai pos terdepan untuk menghalau serangan dari Dinasti Safawiyah yang berpusat di Iran.

Kota Wasith kembali dikenal pada era Perang Dunia I, ketika pasukan Inggris melakukan invansi. Sekarang, Wasith menjadi salah satu provinsi di Irak dan letaknya di bagian tengah Irak.  Kota itu berjarak 172 kilometer dari Baghdad.

Provinsi Wasith luasnya mencapai 17.153 kilometer persegi atau sekitar 3,9 persen dari luas negara Irak. Wilayah itu merupakan sentra pertanian, karena memiliki jaringan irigasi yang bersumber dari Sungai Dijla.
Sehingga, Provinsi Wasith dikenal dengan hasil pertaniannya, seperti gandum, jerai, jagung, beras, kapas, dan bunga matahari. Tak hanya itu,  kota itu juga  menjadi penghasil aneka sayuran dan buah-buahan. Provinsi Wasith dihuni oleh 1,03 juta penduduk pada 2006. Populasinya mencapai 3,9 persen dari total penduduk Irak.

sumber: republika.co.id (13/5/2012)



Sumber

20 Negara Pemilik Cadangan Emas Terbesar

Emas memiliki peranan besar dalam menjaga sistem keuangan sebuah negara. Logam mulia ini menjadi aset terbesar di sejumlah devisa negara.

Nilai emas yang secara historis selalu mencatatkan kenaikan tahunan menjadi acuan bagi negara untuk mempertahankan kepemilikannya.

Dari tahun ke tahun, Amerika Serikat (AS) menempati posisi pertama dengan jumlah emas terbesar di antara negara maupun institusi keuangan di dunia. Paman Sam meninggalkan standar emas pada 1971.

Di posisi kedua, Jerman juga memiliki cadangan emas yang cukup besar. Bank Sentral Jerman, Deutsche Bundesbank, yang bermarkas di Frankfurt, menjadi manajer cadangan devisa negara. Namun ada kabar bahwa sebagian fisik emas milik Jerman itu disimpan di The Federal Reserves AS. Wartawan internasional Max Keiser menerima pengakuan beberapa bagian fisik emas The Fed dimiliki oleh Bundesbank.

Posisi ketiga diduduki oleh International Monetary Fund (IMF). Beranggotakan 187 negara, kebijakan kepemilikan emas di IMF selalu berubah dari tahun ke tahun. Cadangan ini dimaksudkan untuk membantu perekonomian anggotanya. Tergantung dari kondisi pasar, Dana Moneter Internasional ini selalu melakukan aksi beli maupun aksi jual sebagai inisiatif kondisi ekonomi.

Berikut adalah daftar pemilik emas terbesar di dunia :


Nama Negara Jumlah (ton) Porsi devisa (%)
1 Amerika Serikat (AS) 8.133,50 76,9
2 Jerman 3.396,30 74,2
3 IMF 2.814,10
4 Italia 2.451,80 73,9
5 Prancis 2.435,40 73,7
6 China 1.054,10 1,8
7 Swiss 1.040,10 16,8
8 Rusia 873,6 9,6
9 Jepang 765,2 3,3
10 Belanda 612,5 63
11 India 557,7 10
12 ECB 502,1 34,8
13 Taiwan 422,4 6,1
14 Portugal 382,5 89,8
15 Venezuela 372,9 71,1
16 Saudi Arabia 322,9 3,3
17 United Kingdom 310,3 18
18 Libanon 286,8 32,5
19 Spanyol 281,6 35,5
20 Austria 280 58,3

Sumber : World Gold Council, Data 13 Januari 2012
(kontan.co.id,25/1/2012)



Sumber

10 Negara Pemilik Cadangan Emas Terbanyak di Asia

Tak kalah dengan negara-negara maju di kawasan Eropa, sejumlah negara di Asia juga mampu mengoleksi emas sebagai cadangan  negaranya dalam jumlah besar.
Terbukti, sejumlah negara Asia mampu menempati posisi teratas sebagai negara penimbun emas terbanyak di dunia.
 
Mengutip laporan World Gold Council, Rabu (26/3/2014), China berhasil berada di posisi puncak sebagai negara pemilik cadangan emas terbanyak di Asia.
 
China tercatat memiliki cadangan emas sebesar 1.054,1 ton atau setara 1,1% dari total cadangan devisa negaranya.
 
Tak heran, di jajaran negara-negara pemilik emas terbanyak di dunia, China berhasil menempati posisi ke-6.
Posisi Negeri Tirai Bambu tersebut dikalahkan negara dengan perekonomian terbesar dunia, Amerika Serikat (AS).
 
Tak hanya China, beberapa negara Asia lainnya juga mampu menyimpan emas dalam jumlah besar. Jepang misalnya tercatat menimbun sebanyak 765,2 ton emas hingga Maret 2014.
 
Untuk diketahui, data cadangan emas setiap negara diperbarui secara berkala setiap kuarter oleh World Gold Council.
 
Data tersebut dikompilasi dari data statistik International Financial Statistics (IFS), Dana Moneter Internasional (IMF).
 
Hasilnya, berikut 10 negara penimbun emas terbanyak di Asia:
 
1. China
Jumlah cadangan emas: 1.054,1 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,1%
 
2. Jepang
Jumlah cadangan emas: 765,2 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 2,4%
 
3. India
Jumlah cadangan emas: 557,7 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 7,6%
 
4. Taiwan
Jumlah cadangan emas: 423,6 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 4,1%
 
5. Libanon
Jumlah cadangan emas: 286,8 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 23,9%
 
6. Filipina
Jumlah cadangan emas: 193,5 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 9,3%
 
7. Thailand
Jumlah cadangan emas: 152,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 3,7%
 
8. Kazakhstan
Jumlah cadangan emas: 145,3 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 23,8%
 
9. Singapura
Jumlah cadangan emas: 127,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,8%
 
10. Korea
Jumlah cadangan emas: 104,4 ton
Persentase jumlah emas dari cadangan devisa negara: 1,2%
(liputan6.com, 26/3/2014)





Sumber

Kamis, 13 Februari 2014

Al-Andalus 5 (Habis)

Ilmu pengetahuan

'Abbas bin Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad bin Ibas dari Qurthubah adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228) menulis tentang negeri-negeri Muslim di Laut Tengah dan Sisilia; serta Ibnul Khatib (1317-1374) menyusun riwayat Granada. Sejarawan di atas bertempat tinggal di Al-Andalus, yang kemudian pindah ke Afrika.

Keagamaan

Dalam bidang fiqh, Al-Andalus dikenal sebagai penganut madzhab Maliki. Yang memperkenalkan madzhab ini di sana adalah Ziyad bin 'Abdul Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam I. Ahli-ahli fiqh lainnya di antaranya adalah Abu Bakr bin Al-Quthiyyah, Mundzir bin Sa'id al-Balluthi dan Ibnu Hazm yang terkenal.

Kesenian dan sastra

Dalam bidang musik dan suara, Al-Andalus mencapai kecemerlangan dengan tokohnya Al-Hasan bin Nafi' yang dijuluki Ziryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Ziryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Al-Andalus. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor-duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibnu Malik yang mengarang Alfiyyah, Ibnu Khuruf, Ibnul Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqdul Farid karya Ibnu Abdu Rabbih, Al-Dzakhirahji Mahasin Ahlul Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab Al-Qalaid buah karya Al-Fath bin Khaqan, dan sebagainya.

Arsitektur

Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Iberia yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidraulik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia yang dinamakan naurah (bahasa Spanyol: La Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, permukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah Masjid Kordoba, Madinatul Zahra, Istana Ja'fariyah di Saraqusthah, tembok Toledo, Istana Al-Makmun, Giralda, dan Istana Al-Hamra' di Gharnathah.

Kordoba

Kordoba adalah salah satu kota utama Visigoth, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibukota Al-Andalus tersebut. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang Istana Damsyik. Di antara kebanggaan kota Kordoba lainnya adalah Masjid Agung Kordoba. Menurut Ibnu ad-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Kordoba saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.

Granada

Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Kordoba diambil alih oleh Granada pada masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana Alhambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Moor. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.

Faktor pendukung kemajuan dan kemunduran

Faktor pendukung kemajuan

Kemajuan Al-Andalus sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Iberia. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Al-Andalus, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Mulukul Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Al-Andalus. Setiap penguasa di Málaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordoba. Kalau sebelumnya Kordoba merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Iberia, Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang di antaranya justru lebih maju.

Faktor penyebab kemunduran

  • Konflik dengan kerajaan Kristen. Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Muslim Arab telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Kristen Iberia. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Iberia tidak pernah berhenti dari pertentangan antara dengan kerajaan-kerajaan Kristen.
  • Tidak adanya ideologi pemersatu. Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Iberia, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damsyik, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10, mereka masih memberi istilah 'ibad dan Muwallad kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut.
  • Kesulitan ekonomi. Di paruh kedua masa Islam di Iberia, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat "serius", sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan menpengaruhi kondisi politik dan militer
  • Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk ath-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Penguasa Katolik di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.
  • Keterpencilan. Al-Andalus bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.

Pengaruh atas Eropa

Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sisilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Al-Andalus.
Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Al-Andalus berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap panteisme dan antropomorfisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 dan rasionalisme pada abad ke-17. Buku-buku Ibnu Rusyd dicetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 di Napoli, Bologna, Lyon, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Al-Andalus, seperti yang berada di Qurthubah, Isybiliyyah, Malaqah, Gharnathah, dan Salamanca. Selama belajar di Al-Andalus, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Thulaithulah. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231, tiga puluh tahun setelah meninggalnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (Renaisans) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun kaum Muslimin akhirnya terusir dari Iberia dengan cara yang sangat kejam, tetapi warisannya telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (Renaisans Yunani) pada abad ke-14 yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16, rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan (aufklärung) pada abad ke-18

Catatan kaki

  1. ^ "Andalus, al-" Oxford Dictionary of Islam. John L. Esposito, Ed. Oxford University Press. 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press. Accessed 12 June, 2006.
  2. ^ Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West. Princeton University Press. ISBN 0691092702.
  3. ^ Bossong 2002[online]:1
  4. ^ Dozy, Reinhart P. 1881. Recherches sur l'histoire et la littérature des Arabes d'Espagne pendant le Moyen-Age.
  5. ^ Vallvé Bermejo, Joaquín. 1986. The Territorial Divisions of Muslim Spain. Madrid: CSIC (Consejo Superior de Investigaciones Científicas).
  6. ^ Halm 1989
  7. ^ Bossong 2002
  8. ^ Tertius Chandler. Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census (1987), St. David's University Press (etext.org). ISBN 0-88946-207-0.
  9. ^ Matthews, Jeff (2004). "The Arab Influence on the Italian Renaissance". Diakses 2007-10-18.
  10. ^ Badawi, Abdurrahman (Desember 1991). "The Toledo school - translators in Toledo, Spain during the Moorish rule - Al-Andalus: where three worlds met". UNESCO Courier. Diakses pada 18 Oktober 2007.
  11. ^ "The Black Death". Channel 4 (Britania). Diakses 2007-10-15.
  12. ^ "Peter of Castile". Encyclopædia Britannica Eleventh Edition. 1911.
  13. ^ Wasserstein, 1995, h. 101.
  14. ^ a b c Omaar, Rageh, An Islamic History of Europe. video dokumenter, BBC Four: August 2005.
  15. ^ The Ornament of the World by María Rosa Menocal, Accessed, 12 June, 2006.
  16. ^ a b The Jews in Islam, bab 1 hal. 4
  17. ^ "Orthodox Europe: St Eulogius and the Blessing of Cordoba". Diarsipkan dari aslinya tanggal 2012-05-26., diakses pada 12 Juni, 2006.
  18. ^ Harzig, Hoerder & Shubert, 2003, h. 42.
  19. ^ O'Callaghan, 1975, h. 286.
  20. ^ Roth, 1994, h. 113-116.
  21. ^ a b Islamic world. (2007). In Encyclopædia Britannica. Retrieved September 2, 2007, from Encyclopædia Britannica Online.
  22. ^ Frank and Leaman, 2003, p. 137-138.
  23. ^ Sephardim
  24. ^ Kraemer, 2005, pp. 16-17.
  25. ^ Previte-Orton , 1971, The Shorter Cambridge Medieval History: In Two Volumes, vol. 1, h. 376 ISBN 0-521-05993-3
  26. ^ Previte-Orton (1971), vol. 1, h. 377
  27. ^ a b c Dato' Dzulkifli Abd Razak, Quest for knowledge, New Sunday Times, 3 July 2005.
  28. ^ "Qurtuba". Albalagh. Diakses 2007-10-15.
  29. ^ UNESCO. Europe, Book production: number of titles by UDC classes, UNESCO Institute of Statistics.
  30. ^ Foundation for Medieval Genealogy dan Charles Cawley (2006-07). "Moorish Spain". Foundation for Medieval Genealogy. Diakses 2007-10-15. "He was effective ruler until his death in 1002, eclipsing the Caliph"
  31. ^ Maslama ibn Ahmad Al-Majriti - 1007, MuslimHeritage.com]
  32. ^ Studia Islamica, No. 84 (1996), h. 87-112
  33. ^ A. Martin-Araguz, C. Bustamante-Martinez, Ajo V. Fernandez-Armayor, J. M. Moreno-Martinez (2002). "Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", Revista de neurología 34 (9), p. 877-892.





Sumber

Al-Andalus 4

Halaman bagian dalam dari Masjid Kordoba.

Kebudayaan

C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis [25]
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam masa terpuruknya negara-negara Taifa, sebagai orang-orang paling beradab di Barat."
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat.[26] Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah.[27][28] Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.[27] Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi.[27] Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.[29]

Filosofi

Filosofi Islam Andalus

Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir), membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[30] Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi.[31]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[32] yang kemudian menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace), yang melahirkan magnum opus berjudul Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama lainnya adalah Ibnu Thufail, penduduk asli Wadi 'Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Qurthubah. Ia lahir pada tahun 1126 dan meninggal tahun 1198. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.

 Ibnu Rusyd: filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim terkemuka dari Al-Andalus.

Filosofi dan kebudayaan Yahudi

Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).[14]

Maimonides, filsuf dan dokter Yahudi terkenal dari Al-Andalus

Kedokteran

Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[33] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.

 Lukisan dari peralatan kedokteran pada masa Al-Andalus.



(Bersambung)

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.