Jumat, 31 Januari 2014

Prasasti Kerajaan Dharmasraya 3 (Habis)

Prasasti Grahi

Prasasti Grahi ditemukan di Ch'ai-ya, selatan Thailand, piagam ini ditulis dalam bahasa Khmer, bertarikh 1183.

Teks Prasasti

Pada Prasasti Grahi disebutkan, bahwa pada tahun Saka 1105 (1183), atas perintah Kamraten An Maharadja Srimat Trailokya raja Maulibhusanawarmadewa, hari ketiga bulan naik bulan Jyestha, hari Rabu, mahasenapati Gelanai yang memerintah Grahi menyuruh mraten Sri Nano membuat arca Budha. Beratnya 1 bhara 2 tula, dan nilai emasnya 10 tamlin[1]

Referensi

  1. ^ Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS.
Sumber

Arca Bhairawa

Arca Bhairawa adalah patung batu raksasa dan kini menjadi salah satu koleksi pameran utama di Museum Nasional Indonesia. Arca ini menggambarkan "Bhairawa", suatu dewa-raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana, yaitu pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Arca ini dikaitkan sebagai perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra.[1]

Deskripsi arca

Patung batu raksasa ini berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton [2] dan terbuat dari batu andesit. Bhairawa digambarkan sebagai raksasa mengerikan sebagai merupakan perwujudan Siwa sekaligus Buddha dalam aliran Tantrayana. Arca Bhairawa ini memiliki dua tangan, tangan kiri memegang mangkuk dari tengkorak manusia berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk menunjukkan upacara ritual Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah dalam upacara meminum darah.
Bhairawa merupakan dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa berkategori ugra (ganas) dan digambarkan bersifat kejam, berwujud mengerikan, memiliki taring, dan bertubuh sangat besar seperti raksasa. Rambutnya disanggul besar ke atas menyerupai bola, tetapi ditengahnya terdapat arca Buddha Amitabha, laksana atau atribut seperti ini merupakan atribut bodhisattwa Awalokiteswara, hal ini menggambarkan aspek sinkretisme Tantrayana yang memadukan unsur Hindu dan Buddha. Bhairawa mengenakan perhiasan yang raya berupa mahkota dan kalung, sementara kelat bahu, gelang tangan dan gelang kakinya berupa belitan ular, sedangkan ikat pinggangnya berukir kepala kala. Bhairawa ini digambarkan tengah menginjak orang cebol yang tengah terlentang dan berdiri di atas lapik delapan tengkorak berjajar yang menggambarkan lapangan mayat.

Penemuan

Arca raksasa ini aslinya terletak di bukit di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan dibawahnya mengalir sungai Batanghari. Dulu, di tempat strategis itu Bhairawa dengan gagah berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari, sehingga siapa pun yang melewati sungai tersebut akan mudah melihatnya. Dikatakan strategis karena Padang Roco merupakan gerbang masuk melalui Batanghari menuju pusat pemerintahan Kerajaan Malayu di Sumatera Barat, dan arca raksasa ini berfungsi sebagai markah tanah.
Arca raksasa ini sempat roboh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi. Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Patung yang dikaitkan dengan perwujudan Raja Adityawarman itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 ke Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia dan menghuni Museum Nasional hingga kini.

Referensi

Sumber

Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah adalah kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh kerajaan Melayu pada abad ke-14. Naskah ini merupakan naskah Melayu yang tertua, dan juga satu-satunya yang tertulis dalam aksara pasca-Palawa yang juga disebut sebagai aksara Malayu, dan naskah pada kitab ini masih menggunakan bahasa Sanskerta.[1]

Penemuan

Naskah ini ditemukan di Tanjung Tanah di Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci) dan masih disimpan sampai sekarang oleh pemiliknya. Naskah Tanjung Tanah sebetulnya ditemukan dua kali, pertama pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve' yang pada saat itu menjabat sebagai taalambtenar (pegawai bahasa di zaman kolonial) untuk wilayah Sumatera dan kemudian didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 dan tebal 181 halaman yang diberi judul Tambo Kerinci.[2][3] Penemuan kedua oleh Uli Kozok pada tahun 2002,[1] Kozok lalu membawa sampel naskah ini ke Wellington, Selandia Baru untuk diperiksa di laboratorium agar dilakukan penanggalan radiokarbon; hasil pengujian ini memperkuat dugaan Kozok bahwa naskah Tanjung Tanah adalah naskah Melayu yang tertua.
Naskah ini ditentukan tarikh penangggalan secara radiokarbon yaitu antara tahun 1304 dan 1436 dan berdasarkan data sejarah kemungkinan ditulis sebelum tahun 1397. Karena mengingat pada periode tersebut yaitu antara 1377 dan 1397 ditandai oleh ketidakpastian dan diwarnai peperangan, maka dapat disimpulkan bahwa naskah ini malahan ditulis sebelum tahun 1377, yaitu selama masa kejayaan Adityawarman.[4]

Bahan Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah ini telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjukan bahwa bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent)[5][6]. Daluang, juga disebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis[7]. Pemeriksaan mikroskop juga menunjukkan bahwa naskah ini tidak diolesi dengan kanji, dan pada seratnya masih terdapat pektin serta hemiselulose. Biasanya serat kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pektin dan hemiselulose. Pada proses pemurnian kulit kayu daluang untuk digunakan menjadi bahan tulis, kadar kedua hidrat arang biasanya menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya kadar pektin serta hemiselulose dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator bahwa proses pembuatan naskah termasuk sederhana. Di samping itu permukaan daluang Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembandingnya[4].

Analisis radiokarbon

Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (yang tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington, New Zealand[4], untuk dianalisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa, accelerator mass spectrometry (AMS)[8]. AMS dapat disebut terobosan baru dalam metode pengukuran radiokarbon karena memungkinan analisis radiokarbon pada sampel yang sangat kecil volumenya. Dengan menggunakan spektrometer, akurasi penentuan umur menjadi semakin tingi karena metode tersebut mampu melacak unsur C-14 dari bahan uji coba yang amat kecil. Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter menghasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai present — (sesuai dengan ketentuan konvensi yang berlaku). Akan tetapi umur yang konvensional tersebut tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun. Dimana waktu paruh adalah waktu yang diperlukan untuk meluruhkan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram material tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya. Setelah memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi karbon-14 dan selanjutnya penye¬suaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98 [9]. Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung Tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (51,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun demikian jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.

Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah

Transliterasi naskah Tanjung Tanah[4] telah disajikan dalam dua versi, yaitu transliterasi kritis dan transliterasi diplomatis. Transliterasi kritis merupakan salinan teliti secara huruf demi huruf, tanda demi tanda, sedapatnya mencerminkan setiap ciri atau kekhususan teks asli. Sedangkan transliterasi diplomatis yang merupakan salinan luwes yang bertujuan memperkirakan bagaimana bacaan teks tersebut sebagaimana yang dimaksudkan.

Arti beberapa kata

Beberapa kata-kata yang terdapat di dalam UU Tanjung Tanah, jika ditelusuri masih digunakan oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut, diantaranya:
  • Anjing Mawu[4] : Kata mawu sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk binatang yang telah terlatih dengan baik. Anjing mawu artinya anjing terlatih. Burung mawu artinya burung peliharaan yang akan segera berbunyi jika kita bersiul. (Silakan rujuk Naskah UU Tanjung Tanah pada alih bahasa nomor 10).

Referensi

  1. ^ a b Kozok, U., (2004), The Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge: St Catharine's College and the University Press.
  2. ^ Voorhoeve, Petrus, (1941), Tambo Kerinci, In Stukken uit Kerintji / verzameld door P. Voorhoeve. Leiden: KITLV Library.
  3. ^ Voorhoeve, Petrus, (1970), Kerintji Documents, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde. 126: 369-399.
  4. ^ a b c d e Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  5. ^ www.rarefruit.org Broussonetia papyrifera (diakses pada 15 Juli 2010)
  6. ^ plants.usda.gov Broussonetia papyrifera (diakses pada 15 Juli 2010)
  7. ^ Teygeler, René, (1995), Dluwang, van bast tot boek, Den Haag: Koninklijke Bibliotheek.
  8. ^ Budzikiewicz H., Grigsby R.D. (2006). "Mass spectrometry and isotopes: a century of research and discussion". Mass spectrometry reviews 25 (1): 146–57. doi:10.1002/mas.20061. PMID 16134128.
  9. ^ Stuiver M., P.J. Reimer, E. Bard, J.W. Beck, G.S. Burr, K.A. Hughen, B. Kromer, G. McCormac, J. van der Plicht and M. Spurk., (1998), INTCAL98 Radiocarbon age calibration, 24000-0 cal BP, Radiocarbon, 40:1041-1083.



Sumber

Prasasti Kerajaan Dharmasraya 2

Prasasti Suruaso

Prasasti Suruaso merupakan salah satu dari prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman. Prasasti ini juga dinamakan dengan Prasasti Batu Bapahek. Prasasti ini dinamakan Prasasti Suruaso karena pada manuskripnya tersebut kata Sri Surawasa yang merupakan asal kata dari nama nagari Suruaso di (wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang).
Kira-kira 1 km dari Suruaso terdapat sebuah pengairan menembus bukit yang dipahat, jaraknya hanya sekitar 2 meter dari tepi Batang Selo, dan pada bahagian kiri dan kanan saluran irigasi ini terdapat prasasti, dan salah satunya adalah prasasti ini. Prasasti ini menggunakan aksara Melayu dan sebuah lagi menggunakan aksara Nagari (Tamil).
Pembangunan saluran irigasi ini dapat menunjukan kepedulian Adityawarman untuk peningkatan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung dengan hasil hutan dan tambang saja.

Penafsiran teks prasasti

Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[1], yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya.
Dr. Uli Kozok berpendapat bahwa hal tersebut memastikan bahwa adat Minangkabau, yaitu pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (keponakan), sesungguhnya telah terjadi pada masa tersebut.[2]

Referensi

  1. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  2. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
Sumber

Prasasti Padang Roco

Arca Amoghapasa diatas alasnya yang disebut dengan prasasti Padang Roco.

Prasasti Padang Roco adalah sebuah prasasti yang ditemukan pada tahun 1911 di hulu sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Prasasti ini merupakan sebuah lapik (alas) arca Amoghapāśa yang pada empat sisinya terdapat manuskrip (NBG 1911: 129, 20e). Prasasti ini dipahatkan 4 baris tulisan dengan aksara Jawa Kuna, dan memakai dua bahasa (Melayu Kuna dan Sanskerta) (Krom 1912, 1916; Moens 1924; dan Pitono 1966). Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.198-6468 (bagian alas atau prasasti) dan D.198-6469 (bagian arca).

Asal usul

Prasasti ini berangka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi, dituliskan pada arca Amoghapāśa hadiah dari śrī mahārājādhirāja keṛtanagara wikrama dharmmottunggadewa raja dari kerajaan Singhasari di Jawa untuk rakyat dan Raja Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatera. Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun 1208 Saka, atas perintah raja Kertanegara dari Singhasari, sebuah arca Amoghapasalokeswara dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa

Isi prasasti

Isi dari prasasti tersebut adalah sebagaimana yang diterjemahkan oleh Prof. Slamet Muljana[1]:
  1. Bahagia ! Pada tahun Śaka 1208[2], bulan Bādrawāda, hari pertama bulan naik, hari Māwulu wāge, hari Kamis, Wuku Madaṇkungan, letak raja bintang di baratdaya ...
  2. .... tatkalai itulah arca paduka Amoghapāśa lokeśwara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata dibawa dari bhūmi jāwa ke swarnnabhūmi, supaya ditegakkan di dharmmāśraya,
  3. sebagai hadiah śrī wiśwarūpa kumāra. Untuk tujuan tersebut pāduka śrī mahārājādhirāja kṛtanagara wikrama dharmmottunggadewa memerintahkan rakryān mahā-mantri dyah adwayabrahma, rakryān śirīkan dyah sugatabrahma dan
  4. samagat payānan hań dīpankaradāsa, rakryān damun pu wīra untuk menghantarkan pāduka Amoghapāśa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di bhūmi mālayu, termasuk brāhmaṇa, ksatrya, waiśa, sūdra dan terutama pusat segenap para āryya, śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Referensi

  1. ^ Muljana, Slamet, 1981, Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu, hlm. 223.
  2. ^ berarti 1286 Masehi
 Sumber

Prasasti Amoghapasa



Tulisan pada bagian belakang Arca Amoghapasa, sedangkan bagian alasnya disebut dengan prasasti Padang Roco.

Prasasti Amoghapasa adalah prasasti yang tertulis pada bagian belakang stela (sandaran) patung batu yang disebut pāduka Amoghapāśa sebagaimana disebutkan dalam prasasti Padang Roco. Pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang patung tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.198-6469 (bagian arca).

Asal-usul

Patung ini merupakan hadiah dari Kertanagara raja Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Pada bagian lapik (alas) arca ini terdapat manuskrip yang disebut prasasti Padang Roco yang menyebutkan penghadiahan arca ini.
Terdapat manuskrip yang dipahat kembali pada bagian belakang patung ini, yang dituliskan dalam bahasa Sanskerta. Tata bahasa dari pahatan manuskrip ini tidak terstruktur, sehingga menyulitkan dalam menerjemahkannya secara benar. Sebagian besar isinya merupakan puji-pujian kepada Adityawarman[1].

Penafsiran teks prasasti

Dari beberapa teks yang sudah jelas, dapat membantu untuk memperkirakan maksud dari manuskrip ini. Fokus utama adalah tentang pengukuhan atau pratista, dari patung Amoghapasa oleh Ācārya (Pendeta Guru) Dharmaśekara atas perintah Adityawarman atau nama lainnya Ādityawarmodaya. Disebutkan pula, Adityawarman menyatakan dirinya menjadi Maharajadiraja dengan gelar Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa dengan memulihkan keadaan sebelumnya (Kerajaan Melayu) dan kemudian menamakannya Malayapura pada tahun 1347 Masehi.

Transliterasi teks prasasti

  • Salam sejahtera.
  • Dia, yang memelihara keyakinan dengan benar, Dia, yang memiliki jiwa yang besar, Dia, yang berbudi luhur yang selalu dicintai, Dia, yang mengetahui isi kitab suci, Dia, yang paling unggul, yang sangat taat dan melatih diri, dan Dia yang berkarakter mulia, Dia, yang semua ini karena sandoha Anda dan harapan Anda, Dia yang mengetahui dan mengalahkan musuhnya, Dia yang membenci (kegelapan) perpecahan, Dia yang paling hebat, Dia adalah Ādityavarmodaya.
  • Dia yang diberkahi dengan semua kebajikan, Dia yang sangat berpengalaman dalam perdagangan senjata, dan fasih dalam segala ilmu, Dia bagaikan lautan kebajikan seperti yang diharapkan oleh umat Buddha, Dia yang tahu bagaimana menangani hal-hal dengan bijaksana, Dia yang mengisi tubuh dan nafsunya dengan kemurnian, Dia yang [...][Catatan 1] mencapai apa-apa, Dia yang telah memperoleh kekayaan dan emas, Dia Deva (Kṣatriya) Tuhan, para Patih.
  • Pratista kehormatan Buddha telah dilakukan oleh Acarya (Pendeta guru) Dharmaśekhara, atas nama Gagaṇagañja, Dia yang rendah hati seperti Mañjuśrī, telah ditahbiskan untuk keselamatan (persatuan) dan kebahagiaan dari semua makhluk oleh Devair Amoghapāśa, Dia Raja yang Mulia Ādityawarmman.
  • saat Matahari pada orbitnya pada tahun 1269 Saka[Catatan 2], [...][Catatan 1] saat bulan purnama pada waktu posisi bintang di utara; yoga di Siddhi, dan setengah jam Kāruṇya; muhūrta svarāt; memulihkan keadaan sebelumnya[Catatan 3]; [...][Catatan 1].
  • Salam (untuk anda), dari dukungan seluruh dunia, yang menguasai emas, yang mengetahui segala tingkatan hidup dan sosial.
  • Dia yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Mahayana yang tiada terbatas, Dia yang telah menaklukan bahaya dan mengumpulkan seluruh permata dari jari-jari musuhnya, Dia di antara para penguasa di dunia ini, Dia yang telah mencapai keagungan.
  • Maharājādhirāja Śrīmat Śrī-Udayādityavarmma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Varrmmadeva, Dia yang berkuasa untuk diketahui semua.
  • di negeri yang memiliki emas, indah dengan kicauan burung dan gajah serta aroma hutan menyenangkan yang dihiasi oleh peri surga dengan kolam yang dikunjungi oleh Mātaṅginiśa dan Asura'.
  • Tuan dari semua Dewa, sandoha yang sangat berlimpah hāhā [...][Catatan 1].
  • hāhāhūhū, yang dinikmati [...][Catatan 1], indah bagaikan bulan purnama saat posisi rasi bintang yang baik, yang dihiasi oleh kebaikan hatinya, dan di bawah nama Udayawarmmagupta, pemimpin dari semua penguasa dunia, yang telah melepas dari bentuk Jina datang ke bumi untuk membantu dunia menghapus perasaan hampa di Mātaṅgini (ratu).
  • Semoga [...][Catatan 1] dari Mātaṅgini yang melindungi bumi ini dari pembusukan, menikmati harta yang telah dikumpulkan karena prestasinya sebagai prajurit, dengan kekuatan kemurahan (pengampunan), Dia yang bersabar, Dia yang menahan diri, Dia yang rendah hati dari keturunan yang sangat baik, Dia, Patih [...][Catatan 1] yang telah menunjukkan keunggulannya dalam menghukum orang jahat.
  • Patung yang berdiri ditempat pemujaan Buddha (Jina) ini adalah Tuan yang Mulia Amoghapasa sebagai sinar Udaya (Matahari terbit) yang indah.
  • Dengan tangan (kekuasaan) [...][Catatan 1] yang setuju dengan kebenaran, mereka yang telah mencapai ketenaran dengan menaklukkan musuh-musuh kerajaan, yang memiliki penampilan bagaikan seperti anak panah Tuhan, demi kemenangan tertinggi untuk Malayapura, yang berpengalaman dalam segala hal, yang unggul dan diberkahi dengan banyak kebajikan, Dia adalah deva-tuhan, para (patih) raja muda.
  • Udaya yang bersinar di atas gunung (Matahari terbit)[Catatan 4], berbakti kepada Udaya [...][Catatan 1] Udaya yang rendah hati, yang ditakuti musuh, yang mulia di bumi ini.

Catatan

  1. ^ a b c d e f g h i beberapa kata yang belum dapat dipahami.
  2. ^ pataṅga = 12, caraṇa = 6, nanda = 9.
  3. ^ jīrṇam uddhṛtam = memulihkan keadaan sebelumnya.
  4. ^ tarūpati tidak sama dengan rupati, jadi kemungkinan adalah matahari.

Referensi

  1. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.


Sumber

Prasasti Kerajaan Dharmasraya 1

Prasasti Batusangkar

Prasasti Batusangkar merupakan sebuah prasasti zaman Adityawarman, yang sekarang terletak pada kawasan Fort Van der Capellen, di depan rumah dinas bupati kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia.
Prasasti ini sebelumnya ditemukan di kawasan Bukit Gombak, nagari Baringin.
Dalam prasasti ini menyebutkan bahwa Ananggawarman sebagai putra mahkota[1], kemudian menggantikan posisi Adityawarman dalam suatu upacara hewjra, dan Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.

Rujukan

1. ^ Reichle, N., (2007). Violence and serenity: late Buddhist sculpture from Indonesia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2924-7.
Sumber

Prasasti Kuburajo

Prasasti Kuburajo (juga disebut Prasasti Kuburajo I atau Prasasti Koeboer Radja) ditemukan di daerah Kuburajo 0,463309°LS 100,578461°BT, Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1877 dan didaftarkan oleh N.J. Krom dalam "Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden" (OV 1912:41). Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta, yang terdiri atas 16 baris tulisan. Prasasti ini merupakan salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman.

Penemuan

Sewaktu Kern pertama kali mempublikasikasikan penemuan prasasti ini pada tahun 1913 [1], maka Kern beranggapan bahwa prasasti itu berasal dari "Kubur Raja" sehingga disimpulkannya bahwa prasasti itu merupakan nisan (bahasa Belanda: grafsteen) Adityawarman. Kesalahan tersebut diperbaiki oleh F.D.K. Bosch dalam "Laporan Arkeologi 1930" hal. 150, yang membuat kesimpulan bahwa prasasti ini adalah prasasti di Kubu (bahasa Minangkabau, artinya benteng) Raja.[2]
Selain prasasti ini, di daerah ini masih terdapat lagi beberapa buah prasasti, di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang agama Buddha) yaitu Prasasti Kuburajo II.

Teks prasasti

Tulisan pada prasasti ini tidak terstruktur, dan banyak kejanggalan dalam tata bahasanya, teks terdiri dari kata-kata tunggal dan majemuk tanpa struktur kalimat yang lengkap. Mengenai arti dari kata-kata yang terpahat adalah berisi tentang syair pujian dari Adityawarman untuk menjelaskan kedudukan dan keutamaannya.

Berikut ini teks pada prasasti tersebut (artikel H. Kern belakangan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kozok & Van Reijn) [3]
  1. Oṃ māṃla virāgara —
  2. Ādvayavarmma
  3. mputra Kaṇaka
  4. medinīndra — ǀ o ǀ
  5. śukṛtā ā vila
  6. bdhakusalaprasa —
  7. ǁ dhru ǁ maitrī karu
  8. ṇā ā mudīta u
  9. pekṣā ā ǁ yācakka
  10. jaṇakalpatarurupa
  11. mmadāna ǁ ā ǁ Ādi
  12. tyavarmma mbhūpa kulisa
  13. dharavaṅśa ǀ o ǀ pra
  14. tīkṣa avatāra
  15. śrīlokeśvara
  16. deva ǁ mai —

Penafsiran teks prasasti

Prasasti Kuburajo ini dapat ditafsirkan sebagai berikut (alih bahasa perkiraan):
  • Oṃ māṃla
  • virāga[ra]
  • Ādvayavarmma [m]putra Kaṇakamedinī[ndra] (kanakamedini)
  • śukṛtā[ā] vilabdha kusala(m) prasa(vati)
  • dhru(vati) maitrī karuṇā[ā] mudīta upekṣā[ā]
  • yāca[k]kajaṇa kalpataru[r] upa[m]madāna
  • Ādityavarmma mbhūpa kulisa dharavaṅśa
  • pratīkṣa avatāra śrī lokeśvara
  • deva mai(trī)
(Sapaan dalam agama Budha)
Dengan ikhlas
Putra Adwayawarman, penguasa bumi emas Dia yang telah menerima hasil dari jasanya
Yang teguh dan penuh dengan belas kasih, yang sabar dan menenangkan
Yang murah hati bagaikan kalpataru yang memenuhi semua keinginan
Adityawarman raja dari keluarga Indra
Reinkarnasi dari Sri Lokeswara
Dewa yang penuh cinta kasih
Catatan
  • [ ] kata-kata penghalus
  • ( ) tambahan

Warisan sejarah

Sebagai bagian dari warisan sejarah Indonesia, saat ini kondisi dari beberapa prasasti atau batu bersurat yang terdapat di kawasan Kuburajo ini, hampir tidak terawat atau tidak diurus dengan baik, bahkan pada prasasti ada yang dicoret oleh oknum yang tidak bertanggungjawab serta sampah yang berserakan di sekitar prasasti tersebut.

Referensi

  1. ^ Kern, H., (1913), Grafsteenopschrift van Koeboer Radja, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlands-Indië 67, 401-404.
  2. ^ Bosch, F.D.K. (1930) “Verslag van een reis door Sumatra.” Oudheidkundige Verslag hal. 133-57.
  3. ^ Kozok, Uli, & Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the Sumatran King of All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal. 135-158.
 Sumber

Prasasti Bukit Gombak

 Prasasti Bukit Gombak merupakan salah satu dari beberapa prasasti yang ada pada zaman Adityawarman. Prasasti ini dinamakan sesuai dengan nama tempat ditemukannya prasasti ini, yaitu di daerah Bukit Gombak yang sekarang termasuk dalam kawasan Kabupaten Tanah Datar), Sumatera Barat. Beberapa prasasti lainnya yang ditemukan di daeraqh ini sampai sekarang belum diterjemahkan.

Isi prasasti

Prasasti ini terdiri dari 21 baris tulisan, fokus utama dari prasasti ini adalah menjelaskan tentang status kedudukan Adityawaraman serta menyebutkan asal usul dari Adityawarman yaitu putra dari Adwayadwaja. Pada prasasti ini terdapat penanggalan pada 1278 Çaka atau 1357 serta ditulis oleh seorang Acarya (pendeta guru). Prasasti ini juga memiliki tinggi mencapai 2 meter lebih.

Teks prasasti

Berikut ini teks dari manuskrip yang dipahatkan tersebut[1]:
  1. swasyamtu prabhu adwayadwaya mputra adityawarman crya wangÇaÇari ammarayya
  2. wangsapati aradhita maitritwan karuna mupakÇa mudita satwopa
  3. karaguna yatwan raja sudharmmaraja krtawat lekhesi (t) tisthahati ॥O॥
  4. Çri kamaraja adhimukti sadas (trakintha) (t) amyabhisekasutathagata bajta (w) sys.s
  5. (g)ajna pancasadabhijna suparnna (gatra) adityawarnepate adhirajah ॥O॥ sawast॥
  6. Çrimat cri adityawarma prataparakrama rajendramaulimaniwarmmadewa marahadi
  7. raja sakolakajanapriva dharmarajakutilaka saranagataba jrapanjara ekanggrawira.du
  8. sta(ri) garahacrista paripalaka saptanggaraja sayada mangundharana patapustaka pratimalaya yam ta
  9. L(I) ah jirna pada sapta swarnabhumi diparbwat bhihara nanawiddhaprakara
  10. nan pancamaha Çabda jalanda harbwat maniyammakraya diparnnamasya di sanmuka
  11. k brahmana (w) aryyapaddyayatyada kapodra watyada mulisamun tyada rebut rentak
  12. sakala pya sampurna sakyanyam masina diwisak dadatu ya datra panyambarum yam ha
Prasasti Bukit Gombak, keadaan pada bulan Juli 2007.

Rujukan

1.^ Djafar, H., (1992). Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.




Sumber

Daftar Raja Pagaruyung

Kerajaan Pagaruyung
Bekas Kerajaan
Cap mohor kerajaan

Penguasa monarki pertama Adityawarman
(sebagai Raja)
Penguasa monarki terakhir Bagagarsyah dari Pagaruyung
(sebagai Sultan)
Tempat tinggal resmi Istana Pagaruyung
Istano Silinduang Bulan
Monarki dimulai 1347
Monarki berakhir 12 Februari 1849

Raja-raja Pagaruyung, berdasarkan cerita adat Minangkabau dan beberapa prasasti yang ditemukan, adalah merupakan keturunan dari Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya. Di antara keturunan Tribhuwanaraja adalah Adityawarman, sang pendiri kerajaan Pagaruyung dan senapati Majapahit, dan ibunya Dara Jingga. Kerajaan Pagaruyung pernah diperintah oleh beberapa dinasti, namun mengenai nama-nama rajanya banyak yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan karena hanya berdasarkan legenda (bahasa Minang: tambo) adat Minangkabau.[1][2] Kekuasaan raja-raja ini dimulai dengan berdirinya kerajaan ini pada tahun 1347,[3] namun dari Prasasti Suruaso diketahui ada nama lain yang menjadi raja sebelumnya, dan kemudian dalam selang 300 tahun berikutnya, siapa yang menjadi raja di Pagaruyung seperti hilang ditelan angin, dan baru muncul kembali pada awal abad ke-17, dan kemudian berakhir dimasa Perang Padri.

Menurut Tambo

Tambo Alam Minangkabau secara spesifik menyebutkan beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Minangkabau,[2] meskipun keberadaan para penguasa ini belum pernah diverifikasi secara faktual.
  1. Puti Reno Jamilan Sari Laut, ratu Minangkabau yang juga dikenal sebagai Bundo Kanduang, putri dari dari Yang Dipatuan Rajo Nan Sati;
  2. Dang Tuanku Sutan Rumandung, putra Puti Reno Jamilan Sari Laut;
  3. Cindur Mato (Bujang Kacinduan) bergelar Rajo Mudo, putra dari adik perempuan Puti Reno Jamilan yaitu Puti Kambang Bandahari;
  4. Sutan Lembak Tuah (Sutan Aminullah), putra Cindur Mato dengan Puti Reno Bulan, adik perempuan Puti Bungsu.
Bundo Kandung bersama Dang Tuanku dan Puti Bungsu, menurut legenda pergi menyelamatkan diri ke Nagari Lunang, sebuah nagari yang terletak dalam wilayah Kesultanan Inderapura. Mereka hijrah ke barat daya Minangkabau itu adalah demi menghindari ancaman Kerajaan Sungai Ngiang di Minangkabau Timur. Mande Rubiah dipercaya merupakan salah satu keturunan mereka di sana.

Zaman Hindu-Buddha

Berdasarkan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang bertarikh 1347, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja di Malayapura dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[4]. Adityawarman memerintah dari tahun 1347 [5]dan pernah mengirim utusan ke Cina sebelum meninggal dunia pada tahun 1375. Berikutnya sebagai penganti adalah anaknya yang bernama Ananggawarman yang diketahui dari Prasasti Batusangkar. Dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut.[1]
Serangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1409 dan 1411, melemahkan pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap daerah jajahan atau (Rantau dalam Bahasa Minang). Sejak serangan terakhir Majapahit tidak diketahui siapa yang menjadi penganti dari Ananggawarman, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi raja di Pagaruyung.

Masuknya Islam

Yang Dipertuan Pagaruyung (atau Raja Alam) merupakan gelar yang dinobatkan kepada raja-raja Pagaruyung terutama semenjak periode Islam, dan merupakan salah seorang dari tiga raja Minangkabau atau dalam Bahasa Minang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.

Maharajadiraja (1347-1417)

Raja-raja pada masa ini berasal dari dinasti Mauli yang sebelumnya memerintah kerajaan Malayapura di Dharmasraya.
Foto Nama Dari Sampai Keterangan Gelar
Adityawarman.jpg Adityawarman 1347 1375  • Pendiri kerajaan Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

Ananggawarman 1375 1417  • Putra Adityawarman dan Putri Reno Jalito Maharajadiraja Pagaruyung dan Malayapura

Yang Dipertuan Pagaruyung

Dinasti Islam pertama yang memerintah, dan mulai menggunakan gelar sultan.
Nama Dari Sampai Keterangan Gelar
Ahmadsyah 1668 1674  • Tidak diketahui, muncul berdasarkan dari korespondensi surat-menyurat antara seorang regent VOC di Padang, Jacob Pits dengan raja Minangkabau, salah satunya surat tertanggal 9 Oktober 1668. Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, penguasa Minangkabau yang kaya akan emas
Indermasyah 1674 1730  • Putra dari Ahmadsyah, diketahui berdasarkan surat yang diterima regent VOC di Padang dan gubernur Belanda di Melaka, dimulai sejak tahun 1670. Raja Suruaso, Yang Dipertuan Inderma
Muningsyah 1780 1821  • Tidak diketahui secara pasti. Sultan Arifin Muningsyah, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah
Bagagarsyah 1821 1833  • Sultan terakhir Pagaruyung. Kemenakan Sultan Arifin Muningsyah, ia diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai regent Tanah Datar pada 1821. Wafat dalam tahanan Belanda di Batavia. Sultan Tunggal Alam Bagagar, Sultan Alam Bagagar Syah

Regent Tanah Datar

Pada tanggal 10 Februari 1821, Sultan Bagagarsyah bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.[6] Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tangkal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung,[7] yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.[8] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah Hindia-Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.[9]
Pada masa awal Perang Padri, setelah jatuhnya Pagaruyung ke tangan Kaum Padri, kawasan Batipuh termasuk basis terakhir Kaum Adat di Luhak Tanah Datar yang berhasil bertahan terhadap serangan Kaum Padri. Kemudian Datuk Pamuncak yang waktu itu menyandang gelar Tuan Gadang di Batipuh, bekerja sama dengan Pemerintah Hindia-Belanda memerangi Kaum Padri. Setelah ditangkapnya Sultan Tangkal Alam Bagagar atas tuduhan pengkhianatan oleh Kolonel Elout, Datuk Pamuncak Tuan Gadang di Batipuh diangkat menjadi Regent oleh Belanda. Namun perubahan administrasi pemerintah Hindia-Belanda di Minangkabau serta ditolaknya permintaan Tuan Gadang untuk diakui sebagai raja di Minangkabau, mendorong rakyat Batipuh bersama Tuan Gadang pada tanggal 22 Februari 1841 melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Hindia-Belanda yang dimulai dengan menyerang pos garnisun tentara Belanda yang berada di Padangpanjang. Pengaruh perlawanan rakyat Batipuh ini cepat menyebar ke kawasan lain, menebarkan huru-hara pada kawasan Fort de Kock dan Fort Van der Capellen, di mana beberapa pejabat Eropa dan pribumi terbunuh. Perlawanan rakyat ini juga tidak lepas dari penerapan cultuurstelsel di Minangkabau. Walau perlawanan ini dapat cepat diredam oleh Belanda, Tuan Gadang sendiri berhasil ditawan dan diasingkan ke Batavia.[10]
Setelah berakhirnya Pemberontakan Batipuh, kedudukan Tuan Gadang ini tidak lagi ada diisi oleh penghulu yang ada di Batipuh dan kemungkinan sistem pewarisan gelar tersebut diwariskan kepada pihak kemenakan sebagaimana halnya dalam sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minang.[11]

Pewaris

Setelah kematian sultan Bagagarsyah selaku sultan terakhir dalam pengasingan di Batavia, ada beberapa klaim berbeda mengenai pewarisan takhta kerajaan. Pada 2009, Muchdin Bakri yang mengaku sebagai pewaris sah kerajaan, hadir dalam upacara penobatan Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan, Muhriz ibni Munawir di Istana Besar Seri Menanti, Kuala Pilah.[12] Ia mengklaim bahwa Bagagarsyah diasingkan ke Batavia bersama anak pertamanya, Sultan Mangun Tuah. Berdasarkan silsilah tersebut, menurutnya, Sultan Mangun Tuah mempunyai enam orang anak dan ia merupakan merupakan cucu dari anak pertama Sultan Mangun Tuah yang bernama Raja Sabaruddin.[12] Ia mengklaim sebagai pewaris yang sah terhadap pemerintahan Raja Alam Minangkabau terakhir dan menyatakan sedang menjejaki cucu Sultan Jamin (anak Sultan Mangun Tuah) yang dipercayai berada di Batu Kikir, Kuala Pilah.[12]
Sementara itu, di Pagaruyung sendiri terdapat seorang "pemangku daulat raja alam" bernama Sutan Haji Muhammad Taufiq Thaib Tuanku Mudo Mahkota Alam.[13]

Catatan kaki

  1. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  3. ^ Navis, Ali Akbar (1984). Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Grafiti Pers.
  4. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  5. ^ Berg, C.C., 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  6. ^ Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Pieter Johannes Veth (1850). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra 2. P.N. van Kampen.
  7. ^ Amran, R. (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
  8. ^ Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  9. ^ Dobbin, C.E., (1992), Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatera Tengah, 1784-1847, INIS, ISBN 979811612.
  10. ^ Dobbin, Christine E. (1992). Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784–1847. Inis. ISBN 9798116127.
  11. ^ Pamuncak, Chatib (1871). Asal Usul Tuan Gadang di Batipuh. Naskah tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.
  12. ^ a b c "Pewaris Pagaruyung cari keturunan Sultan Jamin". Utusan Malaysia, 22 Oktober 2009. Diakses 23 Juli 2013.
  13. ^ Rinaldi, Ingki. "Pagaruyung, Simbol Perekat Nusantara". Kompas, 22 Juni 2013. Diakses 23 Juli 2013.




Sumber

Raja Kerajaan Dharmasraya

1. Trailokyaraja

Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa merupakan seorang maharaja Melayu di Dharmasraya dan dianggap juga sebagai Maharaja Sriwijaya.
Secara etimologi Trailokya dalam Bahasa Sanskerta dapat bermaksud "tiga dunia",[1][2][3][4][5] "tiga tingkatan",[3] "tiga kehidupan", "tiga alam" dan "tiga wilayah".[4]

Biografi

Munculnya Trailokyaraja sebagai seorang Maharaja Melayu berdasarkan prasasti Grahi di selatan Thailand yang berangka tahun 1183, dan selanjutnya dikaitkan dengan nama seorang Maharaja Dharmasraya tahun 1286 berdasarkan prasasti Padang Roco. Kemudian sejarawan menganggap bahwa pada masa Trailokyaraja ini telah terjadi perubahan kekuasaan di bhumi malayu, di mana dahulunya kawasan yang disebut dengan San-fo-ts'i berdasarkan kronik Tiongkok, dirujuk kepada Sriwijaya namun telah digantikan oleh Dharmasraya.[6]

Rujukan

  1. ^ Monier-Williams (1899), p. 460, col. 1, (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/scans/MWScan/MWScanpdf/mw0460-trimala.pdf) and p. 462, col. 2, (http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.de/scans/MWScan/MWScanpdf/mw0462-tripu.pdf).
  2. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 301, (http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?p.1:129.pali)
  3. ^ a b Fischer-Schreiber, Ingrid, Franz-Karl Ehrhard, Michael S. Diener and Michael H. Kohn (trans.) (1991). The Shambhala Dictionary of Buddhism and Zen. Boston: Shambhala Publications. ISBN 0-87773-520-4., sinonim dari triloka termasuk trailokya dan traidhātuka.
  4. ^ a b Blavatsky (1892), pp. 336-7, (http://www.phx-ult-lodge.org/ATUVWXYZ.htm#t).
  5. ^ Purucker (1999), (http://www.theosociety.org/pasadena/etgloss/tho-tre.htm).
  6. ^ Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
Sumber

2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa

Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa merupakan salah seorang Maharaja Melayu yang pernah memerintah di Dharmasraya (sekarang Kabupaten Dharmasraya). Namanya disebutkan pada Prasasti Padang Roco sebagai penguasa di Bumi Melayu. Sementara jika membandingkan dengan Sulalatus Salatin, terdapat kemiripan namanya dengan tokoh pendiri Singapura yaitu Sri Tri Buana (Sang Nila Utama).[1]

Biografi

Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah merupakan keturunan dari Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa yang disebut dalam Prasasti Grahi (selatan Thailand).
Munculnya nama Dharmasraya sebagai kerajaan melayu menunjukan luasnya pengaruh kerajaan ini sampai ke pulai Jawa, sehingga raja Singhasari waktu itu Kertanagara perlu melakukan suatu kerjasama dengan kerajaan ini, sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu, dan pada tahun 1286 Kertanagara menghadiahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah persahabatan, sekaligus pengakuan dari Dharmasraya sebagai bahagian dari Singhasari.
Selanjutnya dari Pararaton dan Nagarakretagama, raja Melayu setelah menerima Arca Amoghapasa, menjodohkankan dua orang putrinya yaitu Dara Jingga dan Dara Petak untuk disunting oleh Kertanagara, namun dalam kepulangan kembali tim ekspedisi ini, Singhasari telah runtuh dan digantikan oleh Majapahit, Raden Wijaya sebagai ahli waris mempersunting Dara Petak, yang kemudian hari melahirkan raja kedua Majapahit yaitu Jayanagara, sedangkan Dara Jingga diserahkan kepada dewa (salah seorang bangsawan), sehingga Dara Jingga disebut juga dengan sira alaki dewa, yang kemudian hari melahirkan Adityawarman.[2][3] Namun Profesor Uli Kozok seorang filolog meragukan kalau Adityawarman adalah putra langsung dari Dara Jingga, tetapi memang keturunannya. Selanjutnya Uli Kozok meyakini bahwa yang dimaksud putra Dara Jingga tersebut adalah Akarendrawarman.[4]

Rujukan

  1. ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
  2. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP, Jakarta, Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  3. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5
  4. ^ us.detiknews.com Sejarah Adityawarman (diakses pada 11 Juli 2010)
Sumber

3. Akarendrawarman

Akarendrawarman merupakan salah seorang raja Melayu, naik tahta menggantikan Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa pada tahun 1316.[1]

Biografi

Berdasarkan prasasti Suruaso,[2] ia telah memulai pembangunan saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian di Surawasa (sekarang Suruaso). Kemudian pekerjaan ini diteruskan oleh raja penerusnya yaitu keponakannya sendiri, Adityawarman.[3]

Novel

Wisran Hadi menyebutkan namanya sebagai Angkerawarman dalam Novelnya Generasi Ketujuh.

Rujukan

  1. ^ Andaya, L. Y., (2008). Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6.
  2. ^ Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
  3. ^ Kozok, U., (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
Sumber

4. Adityawarman

 Untuk artikel Adityawarman anda bisa membuka pada Tokoh dan Raja Majapahit

5. Ananggawarman

 Ananggawarman adalah seorang raja di kerajaan Malayapura antara tahun 1375 sampai 1417.[rujukan?] Ia adalah putra sekaligus pewaris dari Adityawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar. Setelah Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.

Arti nama

Nama Ananggawarman berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya kurang lebih ialah "Yang perisainya tak berbadan".

Masa pemerintahan

Menurut cerita adat (tambo) Minangkabau, Ananggawarman adalah anak dari Adityawarman dan Puti Reno Jalito. Ananggawarman menikah dengan Puti Reno Dewi, dan memiliki tiga orang putri yaitu Puti Panjang Rambuik, Puti Salareh Pinang Masak, dan Puti Bongsu. Ketiga putrinya kemudian menikah dengan para pemuka adat, yang kemudian membentuk kaum bangsawan Pagaruyung.[rujukan?]
Pada masa Ananggawarman[1], kerajaan Majapahit mencoba menundukan kembali bhumi malayu, hal ini dimulai pada tahun 1409, Majapahit yang saat itu di bawah kekuasaan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk), sempat mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menaklukkan negeri ini. Ananggawarman dapat mengalahkan pasukan tersebut dalam pertempuran yang diperkirakan terjadi di Padang Sibusuk, sebuah nagari di Kabupaten Sijunjung. Legenda-legenda Minangkabau menyebutkan peristiwa heroik ini[2].
Setelah meninggalnya Ananggawarman, pengaruh kekuasaan Majapahit dan agama Hindu-Buddha berangsur-angsur menghilang di wilayah kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.

Penerus Ananggawarman

Karena Ananggawarman tidak mempunyai seorang putera pun, maka sepeninggalnya Pagaruyung mengalami huru-hara politik yang hebat seiring dengan kurangnya dukungan rakyat Pagaruyung atau Minangkabau terhadap sistem politik warisan Anannggawarman.
Minangkabau sebagai wilayah budaya atau Pagaruyung sebagai wilayah kekuasaan di Minangkabau mengalami kevakuman selama lebih dari satu abad kemudian. Di zaman ini banyak rakyat yang melakukan migrasi ke berbagai daerah rantau akibat ketidaknyamanan hidup di Luhak sebagai pusat kekuasaan. Sebagian merantau ke Kubuang Tigo Baleh terus ke Lubuk Kilangan dan sekitarnya (sebagian besar wilayah kota Padang sekarang) dan ke wilayah utara Bandar Sepuluh, sebagian lain migrasi ke Sungai Pagu Muaro Labuh terus ke Bandar Sepuluh bertemu dengan rakyat Kesultanan Inderapura dan berbagai daerah lainnya.
Polemik keberadaan kisah Bundo Kandung dan Cindur Mato diduga terjadi di zaman kevakuman yang penuh misteri ini.

Referensi

  1. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail, (1998), Sejarah Melayu, the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
  2. ^ A Dt. Batuah & A Dt. Madjoindo, (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.

Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.