Sabtu, 15 Februari 2014

Denmark Melarang Penyembelihan Sesuai Syariah Islam

Menteri Pangan dan Pertanian di Denmark, Dan Jorgensen, secara resmi menandatangani keputusan yang melarang pembentukan tempat penyembelihan hewan yang sesuai syariah Islam di negeri ini.
Menurut keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Jorgensen, bahwa setiap hewan harus dipingsankan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyembelihan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan penyembelihan yang sesuai dengan syariah Islam. Namun setiap orang yang akan menyembelih hewan di Denmark harus dilakukan sesuai keputusan itu.
Menyusul petunjuk baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Denmark, para anggota komunitas Yahudi dan Muslim di negara ini mengumumkan bahwa mereka menentang keputusan tersebut (islammemo.cc, 14/2/2014).


Sumber

Banjir Jakarta: Bukan Bencana Alam...

Banjir di Ibu Kota Jakarta sudah menjadi siklus menahun. Setiap musim hujan – apalagi dengan intensitas tinggi – dipastikan akan membuat Jakarta nyaris lumpuh. Bukan kali pertama Jakarta di landa banjir hebat. Sejarah mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007. Sekarang baru saja memasuki tahun baru, kembali ibukota negara lumpuh akibat air bah tumpah di mana-mana, bahkan hingga ke istana negara.
Sungguh mengherankan dan memalukan kejahilan  manusia –bukan murni bencana alam– terus berulang-ulang tanpa ada pelajaran berharga yang dapat diambil sebagai kebijakan yang tepat. Kita bertanya; pernahkah ibu kota negara-negara Barat seperti London, Washington, Berlin, Moskow dilanda banjir berulang setiap tahun?
Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir adalah lari dari tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya; yakni keserakahan dan sikap abai terhadap pengurusan rakyat. Keserakahan pemerintah –khususnya pemerintah DKI Jakarta– terlihat dari bertambahnya titik banjir setiap tahun. Hal ini dikarenakan pemerintah DKI membiarkan, lebih tepatnya mengizinkan kawasan itu diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial.
Dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan  Bekasi  telah menghilang. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ.
Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah.
Akan tetapi keserakahan para penguasa dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah merusak lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena akar persoalannya bukanlah pada tata ruang wilayah, akan tetapi pada ideologi yang dianut oleh seluruh penguasa negeri ini di daerah maupun pusat. Persoalan banjir di ibu kota  –dan wilayah manapun– akan terus terjadi bila penguasa tidak memiliki kemauan politik (political will) mengurus kepentingan publik.
Sejarah kekhilafahan Islamiyyah telah menunjukkan betapa syariat Islam sanggup menciptakan pemerintah yang peduli pada masyarakat dan menjaga lingkungan mereka. Misalnya di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.  Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan.  Di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah.  Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter.  Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah.  Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak.  Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris.  Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan.
Kebusukan penguasa dan sistem yang saat ini diterapkan yang menyebabkan ibukota dan berbagai wilayah di tanah air setiap musim penghujan mengalami bencana banjir. Dengan mengubah pola pikir dan sistem sekarang menuju Islam maka persoalan ini tidak akan terjadi berlarut-larut seperti tanpa jalan keluar. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.




Sumber

Cara Khilafah Mensikapi Bencana

Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil

Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Banjir kembali terjadi dan kembali menelan korban . Di Jakarta, banjir sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran.  Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah.

Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik.  Kita punya 129 gunung api aktif.  Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika.  Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik.  Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung.

Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar.  Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana.  Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak belajar ke Indonesia.  Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru dihadapi dengan sebatas tawakal.
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?

Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam.  Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan.  Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.  Sementara itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan gempa.  Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar (variolla) atau pes.  Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad.  Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.

Untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa Muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan.  Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering.  Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim.  Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung kota.  Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun.  Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.

Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini.  Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.  Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani.  Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan bendungan.  Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.  Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya.  Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun.  Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?”  Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di rumah dan hartanya diawasi negara.  Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi Bapak Optika.  Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya.  Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika.  Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.

Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa.  Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.  Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil.  Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.

Jadi bencana-bencana alam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar tawakkal.  Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana.  Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat.  Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk.  Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.

Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat.  Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting.[]




Sumber

Ichsanuddin Noorsy: Indonesia Rugi, Amerika Untung 10 Kali Lipat!

Dalam hitungan hari Obama akan datang ke negeri ini. Menurut Pengamat Kebijakan Publik Ichsanoodin Noorsy  kedatangan Presiden AS itu untuk melanjutkan hegemoni bisnis mereka selama ini.
Kedudukan Indonesia dan Amerika saat ini jelas tidak setara. Karena faktanya Indonesia tidak lebih dari negara satelit negeri Paman Sam tersebut. Amerika mendominasi dan meraup banyak untung dari Indonesia.
Setidaknya dilihat dari kerjasama ekonomi saja, prinsip modal sekecil-kecilnya dengan keuntungan sebesar-besarnya benar-benar dipegang teguh Amerika. Maka tidak aneh tingkat keuntungan yang diperoleh AS terhadap Indonesia adalah 10 kali lipat. Jadi kalau Amerika melakukan investasi satu dollar, maka ia peroleh 10 dollar, kalau 10 berarti dapat 100 dollar.
“Tidak sebanding dengan keuntungan kita, Indonesia menanggung rugi, sedangkan AS untung 10 kali lipat!” ungkap Pengamat Kebijakan Publik Ichsanudin Noorsy dalam talkshow Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke-18, Selasa (16/3) di Wisma Antara, Jakarta.
Lebih lanjut Noorsy menjelaskan meskipun perusahaan multi nasional Amerika menyerap banyak tenaga kerja Indonesia, tetap saja keuntungan Indonesia yang hanya sebagai buruh dengan  Amerika sebagai tuan, tetap tidak merubah posisi dan keuntungan yang diperoleh kedua negara tersebut.
Senada dengan Noorsy, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto pun menyatakan bahwa kedatangan Obama tidak lepas dari kepentingan ekonomi AS. Ismail pun menjelaskan kaum Muslim Indonesia harus menolak kedatangan Obama, lantaran secara akidah posisi AS adalah kafir harbi fi’lan, melakukan permusuhan terhadap Islam secara terbuka.
Pembantaian jutaan kaum Muslimin di Irak dan Afghanistan terus dilakukan hingga hari ini, ditambah lagi penambahan 30 ribu pasukan AS untuk menginvasi Muslim Taliban terjadi ketika Obama berkuasa!. ”Pembantaian itu terus berlangsung,” tegas Ismail di hadapan sekitar 300 peserta yang menyimak.
Konstitusi yang ada di Indonesia sesungguhnya bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini. ”Dalam konstitusi jelas-jelas kalau Indonesia pro kepada perdamaian dunia, tapi secara diplomatik kita masih bermesraan dengan negara penjajah AS,” pungkasnya.
Pada  talksshow yang bertema: “Menolak Obama, Menyingkap Kejahatan Amerika dan Misi Dibalik Lawatan Obama” tersebut turut hadir pula sebagai pembicara mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Tyasno Sudarto dan Politisi Partai Amanat Nasional Abdillah Toha.[] helmy akbar



Sumber

Ichsanuddin Noorsy: Seorang Capres Butuh Dana Kampanye Setidaknya 5-6 Trilyun

Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy memprediksikan satu calon presiden membutuhkan biaya kampanye setidaknya 5-6 trilyun rupiah. “Jadi kalau cuma 3 trilyun itu terlampau sedikit. Saya duga dua kali lipat atau paling tidak 5 trilyun,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 121, Jum’at (7-20 Februari).
Noorsy berpatokan pada jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Kalau dihitung 524 kabupaten dan kota yang 60 persennya berbiaya tinggi karena ada di Pulau Jawa.
“Dari 524 itu sekitar 300-nya adalah kota dan kabupaten besar dan setiap kabupaten kotanya paling tidak butuh biaya seratus sampai dua ratus milyar saja itu sudah berapa?” ungkapnya.
Menurutnya, tentu saja sebagian besar dari uang yang dibutuhkan itu didapat dari sumbangan BUMN-BUMN –terutama BUMN  keuangan— juga perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun asing yang asetnya minimal Rp 15 milyar.
“Itu diakui kok, diterima kok dalam audit. Cuma auditnya dibuka ke publik atau tidak, itu saja,” ungkapnya.
Ia menegaskan hal itu biasa ditemukan oleh auditor akuntan publik. “Kalau auditor BPK saya tidak tahu, tapi kalau auditor akuntan publik itu ya sering menemukan di manajemen laba (earnings management),” ungkapnya.
Manajemen laba itu ada tiga komponen yakni manajemen kontrak, bonus dan politcal cost. “Nah, sumbangan ke capres itu masuknya ke political cost manajemen laba tadi atau di biaya transaksi,” bebernya.
Karena masuknya ke pos keuntungan, tentu saja sumbangan ke capres — yang akhirnya terpilih jadi presiden— sangat menguntungkan. Di antaranya adalah konsesi, lisensi, hak istimewa memperoleh proyek,  dan macam-macam.
“Kalau pakai APBN bisa di-input dan di-output. Kalau non APBN bisa dilisensi, bisa dikonsesi. Macam-macam manfaatnya bagi perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta,” lontarnya.
Dampak dari itu semua, masyarakat yang dirugikan. “Jadi  kerugiannya banyak, berkali-kali lipat. Dalam hitungan saya tiga kali lipat!” tegas Noorsy.
Pertama, kerugian harga-harga naik. Kedua, arah kebijakan pemerintah dikendalikan oleh perusahaan. Ketiga, organisasi politik dan birokrasi tidak lagi efektif mengelola aspirasi masyarakat tetapi mengelola aspirasinya korporasi. (mediaumat.com, 12/2)

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.