Selasa, 24 Desember 2013

Sultan Murad III, Pemberantas Minuman Keras

 Murad III adalah Sultan Turki Utsmani sejak 1574 hingga kematiannya. Murad III adalah putra sulung Sultan Salim II dan Nur Banu (Cecilia Venier-Baffo). Pemerintahan Murad III ditandai dengan perang dengan Persia dan Austria beserta penurunan dan pembusukan institusi Utsmani.

Sultan Murad III naik tahta setelah ayahnya meninggal. Dia memiliki kepedulian pada masalah-masalah keilmuan, sastra dan syair. Dia menguasai tiga bahasa sekaligus; Arab, Persia dan Turki. Ia pun banyak mempelajari ilmu tasawuf, terkenal takwa dan perhatian terhadap ulama.

Pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah mengeluarkan perintah agar semua bentuk minuman keras dilarang setelah sebelumnya kebiasaan ini merebak luas di masyarakat, apalagi di kalangan militer Utsmani, terutama pada pasukan elitnya. Larangan ini membuat pasukan elit Utsmani terusik dan memaksa agar larangan itu dicabut.

Hal ini menunjukkan bahwa tanda-tanda kelemahan telah muncul dalam pemerintahan Utsmani, di mana seorang sultan tidak mampu memberlakukan larangan minuman keras dan tidak mampu menerapkan syariat Islam di tengah rakyatnya. Selain juga menunjukkan adanya penyimpangan di kalangan elit tentara akan ajaran Islam yang murni. Mereka telah menyimpang dari nilai-nilai Islam serta jauh dari cinta jihad dan kerinduan mati syahid.

Sultan Murad III berusaha menjalankan kebijakan yang digariskan oleh ayahnya. Di zamannya, ia melakukan perang di beberapa tempat berbeda. Pada 982 H/1574 M, Raja Polska (Polandia) Henry De Palo melarikan di ke Prancis. Maka Sultan Utsmani memberikan petunjuk pada tokoh-tokoh Polska untuk memilih penguasa Transylvania untuk menjadi raja Polska. Jadilah Polska berada di bawah pemerintahan Utsmani pada 983 H/ 1575 M.

Sultan Murad III juga memperbaharui hak-hak Prancis dan Hungaria serta menambah hak-hak baru konsulat dan perdagangan mereka dengan ditambahkannya beberapa klausul yang menguntungkan. Yang terpenting di antaranya, Duta Besar Prancis akan mendapatkan posisi lebih utama dari duta-duta besar negara lain. Banyak duta besar yang menemui sultan untuk melakukan kesepakatan bisnis yang nantinya akan menjadi sarana ampuh untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah internal pemerintahan Utsmani.

Pada masa pemerintahan Sultan Murad III, Ratu Ezabela dari Inggris mendapatkan hak-hak khusus bagi para pelaku bisnis dari negerinya. Mulai saat itu, kapal-kapal Ingris berdatangan dengan membawa bendera Inggris dan masuk ke pelabuhan-pelabuhan Utsmani.

Pada 985 H/1577 M, akibat krisis yang terjadi di negeri Persia dan meninggalnya Tahmasab, pemerintah Utsmani mengirimkan ekspedisi militer yang memungkinkan Daulah Utsmaniyah memetik kemenangan yang gemilang di negeri-negeri Kaukaz. Pasukan Utsmani menaklukkan Taples dan Karjistan. Setelah itu, pasukan Utsmani mampu menguasai Azerbaijan, Georgia, Syairawan dan Luzastan.

Tatkala Syah Al-Kabir menjadi penguasa Persia, dia berusaha untuk membuat perjanjian dengan pemerintahan Utsmani. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa ia akan menyerahkan semua wilayah yang kini berada di tangan Utsmani menjadi wilayah kekuasaan mereka.

Tak lama setelah itu, Perdana Menteri Muhammad Pasya As-Shuqli dibunuh akibat kecerobohan sultan yang terpengaruh oleh rumor-rumor yang dihembuskan diplomat-diplomat asing. Mereka merasa tidak nyaman dengan adanya seorang pembantu sultan  yang memiliki kemampuan luar biasa, istiqamah dan berada di jalan yang lurus.

Tak ayal kematian Pasya menjadi pukulan yang sangat hebat dan mengguncangkan pemerintahan Utsmani. Muncullah pembangkangan dari beberapa kelompok tentara  dan pemerintah tidak berhasil meredam pemberontakan tersebut. Akibat krisis dan pemberontakan dalam negeri, Polandia melepaskan diri dari pemerintahan Utsmani dan memaksa Utsmani terlibat perang dengan mereka.

Sultan Murad III meninggal pada 16 Januari 1595 M dan usia mendekati 49 tahun. Dia dikuburkan di halaman depan Masjid Aya Sofia.


Sumber

Sultan Muhammad III, Sang Panglima Perang



Muhammad III adalah Sultan Turki Utsmani sejak 1595 hingga 1603. Ia dilahirkan pada 974 H, dan menduduki kursi kesultanan pada 1003 H, dua belas hari setelah kematian ayahnya. Ketika ayahnya meninggal, dia sedang berada di Magnesia. Ibunya bernama Sophia, wanita berdarah Italia.

Walaupun pemerintahan Utsmani tengah dilanda kelemahan, namun panji-panji jihad melawan kaum Salibis masih terpancang. Salah satu yang sangat patut disebutkan mengenai Sultan Muhammad III ini adalah tatkala ia menyadari bahwa salah satu pangkal kelemahan Kerajaan Utsmani ialah karena sultan tidak ikut terjun langsung ke medan perang. Oleh sebab itu, ia pun terjung langsung ke medan laga dan mengambil posisi yang sebelumnya ditinggalkan Sultan Salim II dan Sultan Murad III, yakni komandan perang.

Dia berangkat menuju Belgrade dan dari sana dia berangkat ke medan-medan jihad. Dengan terjunnya sultan ke medan perang, bangkitlah semangat perang di tengah-tengah pasukan Utsmani. Dia mampu menaklukkan benteng Arlo yang sebelumnya tidak mampu ditaklukkan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni pada 1557.

Dia juga mampu menghancur-leburkan pasukan Hungaria dan Austria di Lembah Karzat, dekat benteng tersebut pada 26 Oktober 1596. Peristiwa ini hampir diserupakan dengan peristiwa Muhakaz, di mana Sultan Sulaiman memenangkan peperangan yang sama pada 1526. Setelah itu, berlangsung peperangan terus-menerus, namun tak ada perang yang penting dan menegangkan.

Pada masa kekuasaannya, pemerintahan Utsmani menghadapi pemberontakan dalam negeri yang demikian sengit yang dipimpin oleh Qarah Yaziji dan pemberontakan Khayaliyah. Namun sultan mampu meredam semua pemberontakan tersebut walaupun dengan susah payah. Dari peristiwa-peritiwa ini, tampak pada semua peneliti sejarah yang jeli bahwa telah terjadi kelemahan organisasi militer serta ketidakmampuannya menjaga nama baik pemerintah dan kehormatannya di mata musuh-musuhnya.

Syekh Sa'duddin Afandi adalah salah seorang guru Sultan Muhammad III dan salah seorang yang mendorongnya memimpin langsung pasukannya. Dia berkata pada Sultan, "Sesungguhnya aku dan engkau adalah tawanan hingga aku bisa lepas dari dosa-dosa. Sebab sesungguhnya aku menjadi tawanan dosa-dosa itu."

Dalam sebuah pertempuran, hampir saja Sultan Muhammad III tertawan, sedangkan para pembantunya melarikan diri. Syekh Sa'duddin Afandi berujar, "Tegarlah wahai Raja, engkau akan ditolong oleh pelindungmu yang telah memberikan karunia padamu dan dengan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan padamu."

Sultan Muhammad III dikenal memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan kesusastraan yang luas. Dia dikenal sebagai sosok religius yang mencintai tasawuf. Selain itu, ia memiliki beberapa syair yang memiliki kandungan makna yang tinggi dan mendalam.

Sultan Muhammad III meninggal dunia setelah berhasil memadamkan semua gerakan pembangkangan dan pemberontakan yang demikian sengit, dan setelah ia sendiri yang memimpin pasukannya. Ia meninggal pada 18 Rajab 1012 H setelah berkuasa selama sembilan tahun dua bulan dua hari. Saat wafatnya, ia berusia 38 tahun.

Salah satu kebiasaan baik Muhammad III adalah jika mendengar nama Nabi Muhammad SAW disebutkan, dengan serta merta ia berdiri sebagai tanda penghormatan kepada kekasih Allah tersebut.



Sumber

Nabi Yesaya Digergaji Yahudi

Setelah Bani Israil ditinggal sangat lama oleh Nabi Sulaiman, Allah kemudian mengutus Nabi Yesaya (Isaiah). Ketika dia diutus, Bani Israil pun tengah dipimpin seorang raja yang saleh, Hizkia (Hezekiah). Itulah salah satu masa kedamaian bangsa Yahudi di Yerussalem.
Yesaya hadir memberikan nasihat kepada mereka. Ia juga menjadi penasihat bagi Hizkia, memberikan saran baik, ataupun melarang hal buruk bagi kerajaan Yahudi. Sang nabiyullah pula yang mengambil keputusan segala urusan bagi Bani Israil.
Suatu hari, Raja Hizkia ditimpa penyakit. Kakinya terkena infeksi yang berat sangat. Kematian sudah ada di hadapannya. Sementara raja sakit, rombongan pasukan Raja Babilonia, Sennacherib (Sinharib), dikabarkan tengah menuju Yerussalem. Mereka bermaksud menyerbu negeri pimpinan Hizkia dengan 60 ribu pasukan.
Raja Hizkia pun kebingungan. Ia khawatir rakyatnya tewas sia-sia dan negerinya porak poranda. Namun, ia tak dapat melakukan apa-apa dengan penyakit yang tengah dideritanya. Ia pun meminta nasihat kepada Yesaya, apa yang harus ia lakukan. "Apakah Allah memberikan wahyu kepada Anda mengenai pasukan Sanherib?" tanya raja, lemas. "Allah belum memberikan wahyu apa pun kepadaku tentang itu," jawab Yesaya.
Setelah beberapa hari, Yesaya mendapat perintah dari Allah agar Hizkia bersedia turun takhta dan mengangkat raja baru sebagai penggantinya untuk menghadapi serangan Babilonia. Pasalnya, takdir ajal telah dekat dengan Hizkia. Dengan berat hati, Yesaya pun mengatakannya pada sang raja. Namun, raja dengan lapang dada menerimanya.
Raja Hizkia kemudian segera menghadap kiblat lalu menengadahkan tangan berdoa. Dengan hati yang tulus, sang raja memanjatkan doa, "Ya Tuhan dari segala Tuhan, Ya Raja dari segala raja. Ya Tuhan yang penuh kebajikan dan penyayang, yang tidak tidur dan tidak mengantuk, Yang dapat mengalahkan segala sesuatu. Ingatlah hamba-Mu ini atas apa yang telah hamba perbuat bagi bangsa Israel. Dan Engkau tentu lebih mengetahuinya, Engkau mengetahui setiap perbuatan hamba dan segala rahasia hamba," ujar Raja Hizkia, menangis, meminta belas kasih dari Allah Ta'ala.
Allah pun menjawab doa raja yang saleh itu. Kepada Yesaya Allah berfirman, Dia sangat senang Hizkia memanjatkan doa kepada-Nya. Allah pun memperpanjang usia Hizkia hingga 15 tahun lagi. Mendapat wahyu itu, Yesaya pun segera memberi kabar kepada sang raja dengan gembira.
Mendengar kabar tersebut, Raja Hizkia pun segera menyungkur sujud dan memanjatkan syukur. "Ya Tuhan, Engkau memberikan kerajaan bagi siapa yang Engkau kehendaki. Engkau mengangkat kedudukan siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau mengetahui segala hal ghaib dan nyata. Engkau adalah al-Awwal dan al-Akhir, Engkau memberikan rahmat dan menjawab orang-orang yang kesulitan," ujar Hizkia memuji Tuhan seluruh  alam.
Usai sujud syukur, Yesaya meminta sang raja untuk mengusap kaki yang infeksi dengan sari daun ara. Dengan kehendak Allah, penyakit raja sembuh seketika. Tak hanya menyembuhkan penyakit raja, Allah pun menolong Bani Israil dengan mengalahkan tentara Sanherib. Tiba-tiba di pagi hari, seluruh pasukan mati tergeletak, kecuali sang Raja Sanherib dan kelima tangan kanannya, termasuk Nebukadnezar.
Mereka dibelenggu selama 70 hari, kemudian dipulangkan ke Babilonia. Saat kembali, Raja Sanherib pun menanyakan hal aneh yang terjadi pada mereka. Para tukang sihir negeri itu pun mengatakan kepadanya, "Kami bercerita tentang Tuhan dan nabi mereka, tapi Anda tak pernah mendengarkan kami. Mereka adalah bangsa yang memiliki Tuhan," ujar para tukang sihir. Sang raja Babilonia pun bergidik, ia kemudian merasa sangat takut akan Allah.
Sementara di Yerussalem, setelah perpanjangan usia yang diberikan Allah, Raja Hizkia pun menemui ajalnya. Pascameninggalnya Hizkia, Yerussalem porak poranda. Kondisi Bani Israil sangat buruk. Yesaya yang masih hidup di tengah mereka pun tetap mendakwahkan tauhid dan menyeru Bani Israil agar tetap di jalan Allah. Ia mengingatkan Bani Israil untuk tetap mengingat Allah meski kondisi negara karut-marut.
Namun, salah satu sifat Yahudi adalah menentang para nabi. Meski Yesaya selalu menjadi wali bagi mereka, bangsa Israil itu justru marah kepadanya. Mereka geram dengan ceramah Yesaya. Mereka pun kemudian memusuhi nabiyullah dan berencana membunuhnya.
Hingga suatu hari, Yesaya tengah melewati sebuah pohon. Sementara, Bani Israil mengejarnya untuk membunuhnya. Lalu, tiba-tiba pohon yang dilewati sang utusan Allah itu terbuka. Yesaya pun masuk dan berlindung di dalam pohon. Namun, setan melihat Yesaya masuk ke dalam pohon. Setan pun kemudian membuat jubah sang nabi terjepit sehingga terlihat oleh Bani Israil. Melihatnya, Bani Israil pun segera mengambil gergaji kemudian menggergaji pohon itu. Yesaya pun wafat dibunuh oleh umatnya sendiri.
Kisah Nabi Yesaya tersebut tak tercantum dalam Alquran, pun tak dikabarkan oleh Rasulullah. Dalam ajaran Islam, nama Yesaya juga tak termasuk dalam nama 25 nabi yang harus diketahui. Hanya saja, Ibnu Katsir memasukkan kisah Yesaya tersebut dalam kitabnya, Qashshashul Anbiya. Menurut Ibnu Katsir, mengutip dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq, Nabi Yesaya merupakan nabi yang muncul sebelum era Nabi Zakaria dan Yahya. Dia bahkan salah satu nabi yang bernubuat mengenai Nabi Isa dan Nabi Muhammad Rasulullah.



Sumber

Sultan Salim I, Penyelamat Khilafah Islamiyah



Salim I juga dikenal sebagai si Murung atau si Pemberani. Ia adalah sultan dari Turki Utsmani. Ia menandai naik tahtanya (1517-1520 M) dengan menghukum mati saudara-saudara dan kemenakannya yang laki-laki. Salim bertekad, ia tidak ingin menghadapi masalah-masalah yang sama dengan saudara-saudaranya sendiri.

Ia menyerang dan menghancurkan Kesultanan Mamluk dalam pertempuran Marj Dabiq dan Arl-Raidaniyya, yang menyebabkan direbutnya Suriah, Palestina dan Mesir. Ia juga memperluas kekuasaan Utsmaniyah hingga ke Kota Suci Makkah dan Madinah.

Ketika Mesir dan provinsi-provinsi Arab direbut dari tangan orang-orang Mamluk, ia mengangkat dirinya sebagai Khadimul Haramain (Pelayan Dua Kota Suci), yaitu Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah).

Seperti kakeknya, Fatih, ia juga menyebut dirinya sebagai khalifah yang dianggap sebagai pemimpin masyarakat dan agama seluruh umat Islam. Salim bertekad untuk mengadakan perang melawan Persia, yang  pemerintahnya, Shah Ismail I juga mengklaim diri sebagai khalifah. Perang yang kemudian terjadi merupakan kemenangan bagi Salim.

Selama pemerintahannya, ia memperluas wilayah Daulah Utsmaniyah dari 2,5 juta kilometer menjadi 6,5 kilometer. Ia memenuhi bendahara kerajaan dan menguncinya dengan materainya sendiri dan mengumumkan bahwa, “Barangsiapa membuat penuh perbendaharaan ini melebihi isinya sekarang, maka ia dapat menggunakan materainya sendiri untuk mengunci perbendaharaan.” Perbendaharaan ini dikunci dengan materai Salim hingga runtuhnya Khilafah Turki Utsmani 400 tahun kemudian.

Setelah kembali dari peperangan di Mesir, ia mempersiapkan sebuah ekspedisi untuk memerangi Rhodes. Di sana ia diserang penyakit, lalu meninggal dunia dalam usia 55 tahun. Ia meninggal karena sirpence, sejenis infeksi kulit yang telah menjangkiti tubuhnya selama berkuasa. Namun sebagian sejarawan percaya, ia diracuni oleh dokter yang merawat penyakitnya.

Sultan Salim cenderung menyingkirkan lawan-lawan politiknya, walaupun mereka adalah saudara-saudaranya atau anak-anak mereka. Ia dikenal sebagai sosok yang menyukai sastra Persia dan sejarah. Walaupun dikenal keras hati, namun dia masih senang berteman dengan orang laim. Dia selalu membawa para ahli sejarah dan penyair ke medan perang, dengan tujuan agar mereka mengabadikan apa yang terjadi dalam bait-bait syair dan tulisan.

Sultan Salim dan nenek moyangnya memiliki posisi tinggi yang sangat memungkinkannya menyandang gelar khalifah, di mana saat itu pusat kekhalifahan di Kairo sama sekali tidak diperhitungkan. Sejak ia berhasil memasukkan dua Kota Suci dalam wilayah kekuasaannya, Daulah Utsmaniyah menjadi tujuan dan tempat bergantung kaum Muslimin yang lemah.

Ketika Sultan Salim wafat pada 9 Syawwal 926 H, para menteri merahasiakan kematiannya. Mereka memberitahukan kematian sultan itu kepada anaknya, Sultan Sulaiman, ketika ia sampai di Konstantinopel. Barulah para pejabat mengumumkan kematiannya. Mereka menyalatkan jenazahnya di Masjid Jami’ Sultan Muhammad. Setelah itu, jenazahnya dibawa dan dimakamkan di tempat yang telah disediakan.

Sultan Salim I dikenal sebagai seorang sultan yang alim, memiliki sifat-sifat yang utama dan cerdik. Dia sosok yang memiliki perilaku yang baik, memiliki pandangan-pandangan brilian, bervisi dan berkemauan keras. Dia memahami tiga bahasa sekaligus; Arab, Persia dan Turki. Dia berhasil mengatur pemerintahan dengan cara yang sangat memuaskan dan selalu memikirkan kondisi rakyatnya.



Sumber

IBNU BATHUTHAH

By : Saiful Haq Al Fath dan Amin Hanafi 

Ia terlahir dengan nama Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Al Lawata At Tanjy. Ia dilahirkan di Tangier (Tanjy), Maroko, Afrika Utara, pada tanggal 24 Februari 1304 M (703 H) dan meninggal di Marakisy pada tahun 1369 M (770 H). Beliau merupakan keturunan dari keluarga yang menguasai dan ahli di bidang jurisprudensi Islam. Sehingga banyak dari keluarganya yang menjadi hakim, utamanya di tanah kelahirannya,  Tangier. Ia adalah pengembara dari Afrika Utara yang dijuluki ‘Si Keturunan Barber’. Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai masa pengembaraannya yang panjang,  ia meninggalkan Tangier pada tanggal 14 Juni 1325 M (735 H).

Ia telah mencatat segala yang dijumpainya dalam perjalanan selama hampir tiga dasawarsa. Ibnu Bathuthah tak bosan untuk merekam segala peristiwa dengan panca indranya, menulis perjalanan hidupnya ke dalam untaian sejarah dari berbagai belahan dunia. Pengalamannya merupakan mutu manikam khasanah umat Islam, sebagai peninggalan yang sangat berharga bagi generasi penerus. Selama kurang lebih 30 tahun ia melakukan pengembaraan dengan jarak tempuh sejauh 75 ribu mil, inilah sebuah rekor yang sangat istimewa pada zaman itu. Ia lebih hebat dibanding pelancong-pelancong kenamaan seperti Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake, dan Magellan. Ibnu Bathuthah memang termasuk yang terbesar dari pengembara-pengembara muslim.

Bahwa ia termasuk pengembara terbesar sepanjang sejarah penjelajahan ummat manusia di planet bumi ini, dibenarkan oleh seorang penulis barat George Sarton, dimana ia mengutip tulisan Sir Henry Yules (1820-1889 M). Ibnu Bathuthah telah mengunjungi hampir seluruh tanah Islam. Dan kehadirannya bukan sekedar menjadi penonton, karena Ibnu Bathuthah juga senantiasa mendiskusikan perkembangan dakwah Islam dengan pemimpin-pemimpin yang dijumpainya.

Pengalaman langsung Ibnu Bathuthah menjadi sangat kaya setelah ia hadir di Afrika Tengah, Afrika Utara, sebagaian Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan terus ke timur hingga Asia Tenggara dan Timur Jauh. Hingga saat inipun jarang orang bisa melakukannya. Ia memang sejak mula bercita-cita untuk bisa menjalin persaudaraan secara luas dengan semua lapisan masyarakat. Cita-citanya itu menjadi kenyataan setelah ia bisa melebur di tengah rakyat kecil dari berbagai penjuru dunia, hadir di antara para pengemis dan gelandangan, namun juga bisa berdiskusi denga para pendongeng, kalangan pedagang, pejabat kerajaan, hingga dengan para khalifah. Ia juga telah mengalami riuh rendahnya pesta dari yang ala penginapan sampai yang bergaya istana. Tidurnya, mulai yang beralas tikar sampai berlapis beludru istana yang bermandikan bunga-bunga. Itulah pengalaman yang tak mungkin terulang kembali.

KISAH PERJALANAN

Pendidikan agama dan sastra didapatkan dari lingkungan keluarga yang taat menjakankan syari’at. Disamping ia juga mempelajari dan mengembangkannya sendiri secara otodidak. Dari pemahamannya terhadap ajaran Islam inilah, akhirnya ia terdorong untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ke tanah suci di Makkah Al Mukarramah, yakni pada 14 Juni 1325 M bertepatan dengan umurnya yang memasuki usia 21 tahun, inilah awal perjalanannya.

Diseberanginya Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Ia tiba di Alexandria pada 15 April 1326 M dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir berupa hadiah dan uang untuk bekal menuju Tanah Suci. Menurut Ibnu Bathuthah, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan merupakan pusat perdagangan  serta pusat angkatan laut di daerah Laut Tengah (Mediterrania) bagian timur. Di negeri Seribu Menara ini, ia diterima oleh Sultan Mesir, dan memberinya sejumlah hadiah dan uang untuk bekal perjalanan berikutnya. Perjalanan ia lanjutkan melalui Kairo dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.

Ia kembali ke Kairo dan melanjutkan perjalanan ke Makkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah, Aleppo, dan Damaskus, Syiria. Ia tiba di Makkah pada bulan Oktober 1926. Selama di Makkah ini Ibnu Bathuthah bertemu dengan jama’ah haji dari berbagai negara. Karena pengalaman perjalanannya ke tanah suci yang menyenangkan dan pertemuan dengan jama’ah haji, Ibnu Bathuthah terdorong untuk mengenal langsung negara-negara asal jama’ah tersebut. Ia batalkan kepulangannya dan ia pun memulai pengembaraan untuk menjelajahi dunia. Maka sehabis ber-“Konferensi Akbar Tahunan” itu ia tidak kembali ke barat, melainkan ke timur, masuk Irak dan Iran. Perjalanan itu tak kalah beratnya, karena ia harus mengalahkan gurun pasir Arabia terlebih dahulu. Pada musim haji tahun berikutnya Bathuthah kembali ke Damaskus dan melanjutkan ke Mosul, India. Setelah itu ia hadir lagi di Makkah, dan menetap di Tanah Suci selama 3 tahun, antara tahun 1327-1330 M.

Dalam usia yang masih penuh semangat membara sehabis belajar di Makkah, ia memutuskan untuk menyeberangi laut Hitam. Maka kemudian ia melanjutkan pengembaraannya ke Aden (Yaman) dan berlayar ke Somalia, kemudian ia teruskan ke pantai timur Afrika termasuk Zeila dan Mambasa. Ia baru kembali ke Aden setelah menginjakkan kaki di Tanzania. Dari Aden yang kedua kali, ia melanjutkan perjalanan ke timur, menembus Oman, Hormuz (Teluk Parsai), dan Pulau Dahrain.

Untuk sementara pengembaraan dihentikannya, karena ia ingin menunaikan ibadah haji (1332 M) yang ketiga. Baru setelah itu ia menyeberangi Laut Merah, berkelana melewati Nubia, Nil Hulu, Iskandaria, Damaskus, dan tiba di Lhandhiqiya lalu berlayar dengan sebuah kapal Genoa ke Alaya (Candelor) di pantai selatan Asia kecil.

Pada tahun 1333 M, laki-laki gagah perkasa itu memutuskan untuk melakukan perjalanan darat di jazirah Anatolia. Sesampainya di pelabuhan Sanub, yakni sebuah pelabuhan di Laut Hitam, pengembaraannya dilanjutkan dengan menumpang sebuah kapal berbendera Yunani untuk menuju Caffa, dan menyeberangi laut Azow hingga ke stepa-stepa di Rusia selatan. Bahkan ia menyempatkan diri utuk bersilaturahmi ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan, yang terletak di tepi sungai Volga dengan ibu kotanya Serai. Konon kerajaan Sultan ini memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas yang membentang antara Eropa hingga Asia.
Ia juga meneruskan perjalanannya ke wilayah Siberia. Di sini ia mendapatkan pengalaman yang hanya sekali dalam seumur hidupnya, yaitu tatkala ia terjebak oleh iklim udara yang sangat dingin. Karena tidak betah dengan hawa yang terlalu dingin itu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Balghar.

Rupanya Allah menentukan lain. Setibanya di Balghar, Sultan Muhammad Uzbeg Khan mempercayainya dan mengangkatnya menjadi pengawal permaisurinya, Khantun Pylon, ketika hendak pulang menjenguk kedua orang tuanya di Konstantinopel. Kemudian Raja Byzantium, Audronicas III (1328-1341M) memberinya seekor kuda, pelana, dan sebuah payung.

Setelah tugasnya selesai ia berpamitan pada Sultan Muhammad Uzbeg Khan, dengan mengutarakan maksudnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Bukhara. Ia tertarik ke Bukhara disebabkan di kota inilah ilmu pengetahuan Islam berkembang dengan pesat. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia melakukan perjalanan dengan terlebih dahulu menaklukkan stepa kering dalam kondisi musim dingin. Akhirnya ia bisa mencapai Afghanistan dan beristirahat  di Kabul, ibukota Afghanistan.

Perjalanannya dilanjutkan ke India, yang pada saat itu di perintah oleh Gubernur Muhammad Tughlaq, dengan ibukotanya Multan. Untuk sampai disana terlebih dahulu ia harus menaklukkan banyaknya kelokan yang berada di sungai Sind dan melewati beberapa kota seperti Siwasitan, Lahari, Bakkar, Uja, Khusrawabat, Abohar, dan Ajudhan. Ia bercerita, “Perjalanan kami dua hari untuk sampai di Janani, sebuah kota besar yang indah yang berada di tebing sungai Sind (India). Dari Janani kami berjalan menuju Siwasitan, sebuah kota di tengah gurun pasir luas. Tak ada tetumbuhan kecuali pohon labu. Makanan penduduknya sorgum dan kacang polong yang telah dibuat roti. Disamping ikan dan susu kerbau, mereka juga makan sejenis kadal yang telah diawetkan dengan kurkum. Saya tertarik, saya mencobanya untuk makan, tapi saya jijik. Saat di Siwasitan berbarengan dengan musim panas. Aduh, panasnya luar biasa.”

Setibanya di Delhi ia juga mencatat peristiwa langka. Ia diangkat mejadi Qodhi oleh Sultan dan menetap di sana selama 8 tahun, lalu diangkat menjadi duta besar di kerajaan Cina. Dimulailah pengembaraannya ke Cina dengan melalui Bombay, Aligarh, dan Calcutta. Tapi sayang, disamping bekalnya habis dirampok oleh penyamun, kapalnya tenggelam dalam perjalanannya menuju Calcutta.

Dalam kondisi yang kurang menguntungkan itu, ia memilih untuk tidak kembali ke Delhi, melainkan bergabung untuk melakukan penaklukan atas Goa. Setelah berhasil ia lalu mengunjungi Maladewa. Di Maladewa ia diangkat menjadi Qodhi dan sempat pula mengawini empat wanita penduduk asli Maladewa.

SINGGAH DI SUMATRA

Pada tahun 1344 M ia mengunjungi Srilangka, kemudian berlayar ke timur menuju Chittagong dan Dakka (Bangladesh), lalu ke Aceh di ujung Sumatera. Diceritakannya, bahwa beliau dijemput di pelabuhan Samudra oleh Al Isfahany, Menteri Luar Negeri Kerajaan Samudra Pasai (menurut namanya, Al Isfahany adalah keturunan Persi-Republik Islam Iran sekarang).

“Saya telah berjumpa dengan Al Isfahany beberapa bulan yang lalu, waktu kami sama-sama berada di Kerajaan Acra, anak Benua India,” demikian tulis Ibnu Bathuthah kala itu. Saat itu yang menjadi Sultan Kerajaan Samudra Pasai adalah Raja Ahmad yang bergelar Al Malik Ad Dhahir II, beliau adalah pemimpin Kerajaan Samudra Pasai ketiga yang berkuasa pada tahun 1326 hingga 1348.

Menurut kebiasaan Sultan bahwa tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba, agar letihnya perjalanan menjadi hilang. Beliau ditempatkan dalam Bait Adh Dhuyuf (wisma tamu) yang terletak di tengah-tengah taman yang rindang, dengan pohon-pohon nampak berdaun hijau dan bunga-bunga aneka rupa.

Para pelayan di wisma tamu itu terdiri dari anak-anak muda yang peramah. Kecuali nasi dan roti semacam martabak, beliau dihidangkan aneka buah-buahan, seperti pisang, apel, anggur, rambutan dan sebagainya. Hari keempat Ibnu Bathuthah istirahat di wisma tamu yang mewah itu, kebetulan hari Jum’at. Menteri Luar Negeri Al Isfahany memberitahu, bahwa beliau akan diterima menghadap Sultan setelah Shalat Jum’at, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu.

Beliau memperhatikan, yang mana Al Malik Adh Dhahir diantara ribuan Jama’ah Masjid Jami’ yang luas itu. Semua orang sama, berpakaian putih. Juga tidak tersedia tempat khusus bagi Sultan dan tidak ada orang yang diberi penghormatan seperti layaknya para raja di zaman itu. “Apakah Sultan sakit sehingga tidak ke Masjid ?” tanya Ibnu Bathuthah dalam hati. Setelah selasai shalat Jum’at, Al Isfahany mempersilahkan Ibnu Bathuthah memasuki Aula Masjid yang luas itu, dan beliau diperkenalkan kepada Al Malik Ad Dhahir yang telah terlebih dahulu masuk Aula, dan masih berpakaian baju putih. Di dalam aula yang berwibawa itu, para menteri, para ulama terkemuka, para pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab sudah berada di situ. Ibnu Bathuthah didudukkan di sebelah kanan Sultan. Selesai makan siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya.

Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu sangat menarik. Semula yang hadir mengemukakan pendapatnya masing-masing, sekalipun kadang-kadang mengkritik kebijaksanaan Sultan. Semua pendapat diterima Sultan dengan senyum yang sejuk, demikian tulis Ibnu Bathuthah. Setelah waktu shalat Ashar, semua kembali ke ruang Masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat Ashar, Al Malik Ad Dhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan 15 menit kemudian beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi denga pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para pengawalnya, Sultan pulang ke istana. Dan di kiri-kanan jalan dielu-elukan rakyat yang rindu melihat Sultan yang adil itu.

Bathuthah menulis, rupanya waktu berangkat dari istana menuju Masjid, Al Malik Ad Dhahir hanya hamba Allah yang biasa seperti rakyat lainnya, tetapi waktu pulang ke istana barulah beliau tampil sebagai Sultan dari kerajaan Samudra Pasai. Bathuthah mendapati bahwa kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang berdiri di dunia Melayu, telah mempunyai tamaddun (peradaban), dan hubungan luar negeri; tidak seperti  kerajaan Islam Perlak yang diproklamirkan pada tangga 1 Muharram 225 H (sekitar pertengahan abad IX M), yang lahir setelah hampir lebih 50 tahun Islam bertapak di Nusantara.

Di Aceh ia tinggal selama 15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina melalui Malaysia. Di Indocina, Bathuthah mendarat di Amoy. Selama di Cina ia melakukan kunjungan ke Zaitun, sebuah pelabuhan terbesar kala itu. Dalam perjalanan pulang dari Cina, ia memilih jalur lewat Sumatra, Bathuthah singgah untuk yang kedua kalinya di Samudra Pasai. Pada waktu itu, kebetulan Sultan Al Malik Ad Dhahir sedang bersiap-siap mengadakan pesta besar untuk meresmikan pernikahan putrinya.

Ibnu Bathuthah mendapat kehormatan diundang untuk menyaksikan pesta perkawinan yang agung itu. Ia melihat ruang pangantin pelaminannya demikian cemerlang, dilengkapi dengan kain-kain beludru bersulamkan benang emas yang kemilau. Ia juga menyaksikan upacara adat yang agung, mulai malam berinai, yang pada malam ketiga disudahi denga tadarus Al Qur’an Al Karim, dan dimulai oleh merapulai (pengantin wanita). Bathuthah juga menyaksikan upacara tepung tawar, yang dalam bahasa adat Aceh disebut Peusijuk. Pada upacara ini kedua pengantin baru saling menyuapkan nasi kuning, lambang keberkatan.Upacara terakhir adalah pengantin lelaki dibimbing oleh Nyak Pengayo (pendamping wanita setengah baya) untuk menginjak telur mentah, lambang yang mengisyaratkan agar bibit pengantin lelaki segera menetas ke dalam pengantin wanita, yang kemudian menghasilkan keturunan.

MELANJUTKAN PERJALANAN

Lalu  ia melanjutkan perjalanan lewat Malabar, Bombay, Oman. Kemudian dengan perjalanan darat ia memotong jalur dari Irak ke Suriah menyeberangi padang pasir Palmyra. Pada tahun 1348 M ia menunaikan ibadah hajjinya yang keempat. Sekembalinya dari Makkah, ia melakukan perjalanan lewat Yerussalem, Gaza, Kairo, Tunis, Marakesh untuk mengujungi Dardinia. Akhirnya ia tiba di Fez, ibukota Maroko saat itu, pada tanggal 8 Nopember 1349 M, setelah berkelana hampir 24 tahun.

Pada tahun 1352 M ia menyeberangi gurun pasir sahara untuk menuju Eropa. Ia singgah di Spanyol, Romawi Timur, dan Rusia Selatan (sekarang sekitar Ukraina). Tak lupa ia juga melihat keindahan Laut Tengah dan Laut Hitam. Atas rahmat dan lindungan Allah, sekitar pertengahan tahun 1354 M ia bisa menginjakkan kembali kakinya di bumi tempat dilahirkan dulu, Tangiers. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Sekembalinya ke Maghrib, cerita dan catatan perjalanannya menjadi populer. Karenanya tak mengherankan jika penguasa Marini (Maroko), Abu Inan, tertarik akan hasil penuturan perjalanan tersebut, dan akhirnya memerintahkan penulis terkenal Ibnu Juza’i untuk membukukannya. Untuk pembukuan ini Ibnu Juza’i mendengarkan penuturan Ibnu Bathuthah terutama berdasarkan catatan yang dimilikinya. Namun tidak jarang Ibnu Bathuthah menuturkan beberapa pengamatannya berdasarkan ingatan saja, terutama apabila catatannya mengenai hal itu tercecer atau hilang. Penuturan ini diselesaikan pada 1355 (756 H).

Yang mengherankan, perjalanan dengan medan begitu sulit itu ditempuhnya sendirian. Artinya ia tidak punya rombongan khusus yang mengawalnya dan membantu mengatasi berbagai masalah. Sementara, karena saat itu belum ada mesin uap (kendaraan), perjalanan selain lambat juga beresiko sangat tinggi.
Kisah perjalanan itu di tuangkannya dalam kitab:

تحفة النظار في غرائب الأمصاروعجائب الأسفار

Tuhfatun Nadhdhaar fii Gharaaibul Amshaar wa ‘Ajaaibul Asfaar (Hadiah Pengamat, yang meneliti Keajaiban-Keajaiban kota dan Keanehan-Keanehan Perjalanan). Kini kitab itu telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Latin, Portugis, Jerman, dan Persia.



Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (sebuah analisis)

Pengantar

Banyak —kalau bukan mayoritas— aktifis Islam kontemporer yang mengaitkan kelemahan dan kemunduran umat Islam saat ini dengan keruntuhan khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M. Dan tentu saja, gerakan zionisme internasional, salibis internasional serta sekulerisme Kamal Pasha dianggap sebagai sutradara dan aktor utama yang paling bertanggung jawab di belakang tragedi sejarah tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah dengan menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Tidak heran bila akhirnya isu penegakkan khilafah menjadi tema sentral kajian dan wacana pemikiran di banyak kalangan aktifis Islam.

Wacana pemikiran seperti ini sebenarnya tidak seratus persen salah, meskipun juga tidak seratus persen benar. Yang jelas, tegaknya kembali kekhilafahan Islam –terutama dalam kondisi umat Islam seperti saat ini —, tidak akan otomatis membalik nasib umat Islam seratus delapan puluh derajat, dari kemunduran dan keterbelakangan menjadi kejayaan dan kemajuan.

Jauh sebelum daulah ‘Utsmaniyah runtuh pada tahun 1342 H (1924 M), umat Islam telah lama tengelam dalam kubangan lumpur kemunduran. Bahkan saat daulah ‘Utsmaniyah masih tegak dengan kokoh, umat Islam telah mengalamai kemunduran dan keterbelakangan yang parah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kerusakan dan penyelewengan dari bimbingan syariah Islam, di hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam.

Realita Umat Islam Abad XII dan XIII Hijriyah
Perjalanan sejarah umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah, terutama sekali abad XII dan XIII Hijriyah, diwarnai dengan penyimpangan aspek aqidah dan ilmiah (al-inhirafat al-‘aqdiyah wa al-‘ilmiyyah) yang sangat parah. Secara global, penyimpangan aqidah tersebut bisa disebutkan sebagai berikut  [1] :

A. Penyimpangan Akidah

1 – Membatasi konsep ibadah hanya dalam ritual peribadahan (al-sya’a’ir al-ta’abudiyah) yang sempit.
Ibadah hanya dimaknai dalam bentuk sholat, zakat, shaum, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ibadah yang berdimensi sosial —amar ma’ruf nahi munkar, jihad fi sabilillah, pendidikan, pertahanan dan militer— atau aktivitas-aktivitas ibadah yang lebih kental nuansa duniawinya —seperti aktivitas ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan penelitian, sosial budaya dan seterusnya — tidak dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep ibadah. Walhasil, pelan namun pasti, secara tidak sadar syarat ikhlas dan mutaba’ah mulai lepas dari sebagian besar aktifitas hidup umat Islam. Pelan dan pasti, kerusakan merembet ke berbagai bidang kehidupan. Fenomena yang telah mewabah ini menimbulkan dampak buruk :

Pertama. Ritual-ritual ibadah dilaksanakan dengan cara taqlid, tidak mempunyai pengaruh dan faedah karena dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam yang lain.

Kedua. Kaum muslimin meremehkan aktivitas-aktivitas ibadah yang lain, karena menganggapnya bukan ibadah.

Ketiga. Memusatkan perhatian kepada aspek personal (kesalehan pribadi) dan mengabaikan aspek sosial (kesalehan masyarakat).

Keempat. Membuat ibadah-ibadah yang bid’ah.

Kelima. Ibadah (dalam artian ritual-ritual peribadahan) telah menggantikan kedudukan amal. Ritual membaca Al-Qur’an dan Al-hadits sudah menggantikan posisi mengamalkan isi Al-Qur’an, membaca sejarah ketinggian akhlak salaf sholih sudah menggantikan posisi beramal dengan akhlak yang mulia. Dan seterusnya.[2]

2 – Pemikiran sekte sesat Murjiah menyebar luas di kalangan umat Islam.

Akidah sekte sesat Murjiah dengan seluruh alirannya, telah meracuni umat islam sehingga menghambat kemajuan umat Islam. Secara umum, ketiga aliran Murjiah telah menyerang akidah umat Islam. Ketiga aliran Murjiah[3] tersebut adalah :

Murjiah Fuqaha’ yang menyatakan iman hanyalah keyakinan dalam hati dan ucapan dalam lisan, sedang amal fisik hanyalah pelengkap semata.

Murjiah Jahmiyah (Murji’ah Ghulat) yang menyatakan iman hanyalah meyakini (al-yakin) atau mengetahui (al-ma’rifah) dalam hati. Tanpa perlu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan amal fisik.

Murjiah Karamiyah yang menyatakan iman hanyalah mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan, tanpa perlu meyakini dalam hati dan mengamalkan amalan fisik.

Murjiah Jahmiyah yang mengalahkan kedua aliran Murjiah lainnya, sebenarnya mulai redup dan turun pamornya. Sayang, keyakinan sesat mereka lantas diadopsi dan diteruskan oleh sekte sesat Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang saat itu menjadi madzhab akidah resmi sebagian besar dunia Islam, bahkan menjadi madzhab resmi daulah ‘Ustmaniyah. Dengan dukungan negara dan dunia pendidikan, akidah sesat ini semakin mencengkeram dunia Islam.

Keyakinan mereka sangat meracuni akidah umat Islam. Mereka meyakini, seorang yang meyakini dalam hati akan keberadaan Allah dan Rasulullah, maka di sisi Allah ia telah menjadi seorang mukmin, sekalipun ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Bila ia meyakini dalam hati dan mengucapkan dua kalimat syahadat, sekalipun sama sekali tidak beramal fisik, maka ia seorang mukmin di sisi Allah dan berlaku atasnya hukum-hukum yang berlaku atas seorang muslim di dunia. Demikianlah pernyataan tegas para ulama mereka, seperti imam Abu Manshur al-Baghdadi, Sa’dudien al-Taftazani, al-Dasuqi, Al-Bajuri dan lainnya. Buku-buku mereka diajarkan di seantero sekolah dunia Islam dan dijadikan aqidah resmi negara.

Menyebarluasnya akidah sesat ini menyebabkan mayoritas umat Islam di dunia Islam meyakini hakekat iman adalah meyakini dalam hati, tanpa perlu amalan lisan dan fisik. Menurut keyakinan mereka, itulah ukuran keselamatan di akhirat nanti. Akibatnya ajaran-ajaran Islam tinggal sebuah wacana dalam benak pemikiran dan keyakinan hati mereka, tidak perlu dilaksanakan. Hakekat sholat, zakat, shaum, haji, jihad, amar ma’ruf, menuntut ilmu dan seterusnya adalah meyakini adanya perintah, bukan melaksanakannya. Akibatnya, setiap orang bisa saja berbuat syirik akbar dan kufur akbar tanpa perlu takut akan keluar dari Islam (murtad), karena hatinya masih meyakini adanya Allah Ta’ala. Walhasil, berbagai syirik akbar dan kufur akbar, loyalitas kepada orang-orang kafir dan pembatal-pembatal Islam lainnya diterjang begitu saja, dengan hati yang tenang karena masih meyakini dirinya sebagai seorang muslim di sisi Allah Ta’ala !!!!!

[3]- Lemahnya akidah al-wala’ dan al-bara’.
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan kewajiban paling penting, setelah kewajiban tauhid dan haramnya syirik. Namun akidah ini mulai memudar dari aqidah umat Islam, terutama sekali dari aqidah para penguasa umat Islam saat itu.

Sultan Mahmud II (1808-1839 M) merupakan sultan daulah Utsmaniyah yang pertama kali mengadakan gerakan “reformasi” yang berintikan menghapus aqidah wala’ dan bara’ dari aqidah umat Islam. Ia menjadikan budaya Eropa sebagai standar kemajuan, dan berusaha keras menggiring umat Islam untuk berkiblat kepada budaya Barat. Mulai masa pemerintahannya, semua warga negara baik muslim, Nasrani maupun Yahudi mempunyai hak yang sama di hadapan hukum selama taat kepada sultan. Pada masa itu, orang-orang Nasrani mempunyai kebebasan yang luar biasa luasnya. Sekolah-sekolah Yunani, Armenia dan Katolik bertebaran di semua kawasan dunia Islam dengan perlindungan dan dorongan dari sultan. Berbagai identitas yang selama ini diatur Islam untuk orang-orang ahlu dzimah dihapuskan oleh sultan, sebaliknya tentara diperintahkan untuk berpakaian ala tentara salib Eropa. Sultan juga mendatangkan para pelatih militer Rusia untuk melatih tentara Utsmani. Akibatnya banyak rahasia militer bocor ke tangan Rusia dan Turki Utsmani mengalamai banyak kekalahan perang melawan Rusia.[4]

Pada masa pemerintahan Ibrahim Bek dan Murad Bek dari daulah mamalik, orang-orang nasrani mendapat kedudukan yang mulia di bidang militer. Mereka menjabat berbagai posisi penting. Kelak, ketika Perancis masuk ke Mesir tahun 1213 H, orang-orang nasrani inilah yang akan menghinakan dan membantai umat Islam.

Pada masa Mesir dibawah daulah ‘Utsmaniyah, gubernur Muhammad Ali Basya (memerintah selama 45 tahun), orang-orang nasrani kembali menempati posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan. Sebagian besar pejabat negara adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Gubernur memang seorang yang kebarat-baratan dan bangga dengan peradaban Eropa. Ia rapat dan lemah lembut dengan orang-orang Barat, namun keras dan bengis terhadap umat Islam. Pada masa itu, orang-orang Islam terkena pajak 10 % namun orang-orang kafir justru hanya 2,5 %. Gubernur membuka Mesir seluas-luasnya kepada pendatang kafir Eropa, juga penelitian seluas-luasnya bagi peneliti Inggris. Lewat penelitian mendalam terhadap seluruh kondisi Mesir, dengan mudah Inggris bisa menduduki Mesir pada tahun 1882 M.

Tentara daulah ‘Utsmaniyah di Mesir pada gubernur Muhammad Ali Basya adalah angkatan perang modern yang terlatih bentukan Perancis. Perancis mendidik angkatan perang daulah ‘Utsmaniyah ini dengan tujuan memperalat gubernur dan pasukannya untuk memerangi Islam. Dengan pasukan yang dipimpin oleh jendral Perancis bernama Sulaiman, Muhammad ‘Ali Basya memberontak dan menyatakan merdeka dari daulah Utsmaniyah. Inggris turut campur dengan pura-pura membela daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya mendukung Muhammad ‘Ali Basya untuk merdeka. Akhirnya Muhammad ‘Ali Basya di atas kertas tetap mengakui daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya telah lepas dari Turki Utsmani. Keterlibatan Inggris ini sekedar politik belaka, agar niat jahat Muhammad ‘Ali Basya tetap terlaksana dan di sisi lain Inggris mempunyai pengaruh di Mesir seperti Perancis. Inggris menjamin kekuasaan Mesir akan turun temurun di tangan keluarga Muhammad ‘Ali Basya. Meski begitu, Muhammad ‘Ali tetap dikeroyok oleh negara-negara salib Eropa ketika menyerang Yunani. Kelak, tentara Muhammad Ali Basya inilah yang memerangi sampai ke akar-akarnya gerakan dakwah salafiyah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau. Muhammad ‘Ali Basya menumpas gerakan dakwah salafiyah ini dengan kedok mentaati sultan Turki Utsmani, padahal sebenarnya demi merealisasikan kepentingan Inggris dan Perancis.

Untuk program sekulerisasi dan westernisasi, Muhammad ‘Ali Basya menempuh dua hal :

- Mengirim para mahasiswa muslim belajar di Barat. Pada tahun 1842 M, mahasiswa yang dikirim ke Barat sudah mencapai jumlah 100 orang. Pada masa Khudaiwi Ismail, kedua anaknya Abbas Hilmi (12 tahun) dan Muhammad ‘Ali (10 tahun) sudah dikirim ke Swis. Sejak saat itu, anak-anak di bawah umur sudah mulai dikirim ke Barat.

- Menerapkan pendidikan Barat di Mesir dengan memakai kurikulum Barat dan meminggirkan peranan Al Azhar.

Para penggantinya, seperti Sa’id Basya mendukung dan membiayai gerakan kristenisasi sepenuhnya. Pada tahun 1859 M, ia memberi bantuan 30.000 frank kepada gerakan kristenisasi. Sekolah-sekolah Yahudi dan Nasrani mulai tumbuh bertaburan di seantero Mesir dengan dukungan pemerintah. Sekolah Yahudi pertama kali berdiri pada masa Muhammad ‘Ali Basya, sekolah Nasrani berdiri pada masa Khudaiwi Ismail, sekolah Yunani berdiri pada tahun 1847 dan sekolah Italia berdiri pada tahun 1860 M. Pada masa Khudaiwi, tepatnya 1869 M, seluruh agama yang ada telah mempunyai sekolah gratis. Pada tahun 1875 M, jumlah sekolah asing (non Islam) telah mencapai 93 buah dengan 8916 murid, sementara sekolah negeri hanya 36 buah dengan jumlah murid 4878 anak.  Pada tahun 1887 M, jumlah sekolah negeri sebanyak 40 buah dengan murid sebanyak 5500 anak, sementara sekolah asing sebanyak 191 buah dengan murid sebanyak 22764 anak.[5]

Inilah cikap bakal sekulerisme, westernisasi dan liberalisme yang saat ini mencengkeram dunia Islam. Jelas, akidah wala’ dan bara’ telah jauh ditinggalkan oleh para penguasa negeri-negeri Islam, bahkan saat daulah ‘Utmaniyah masih berdiri. Sebagiannya bahkan dipelopori oleh para penguasa daulah ‘Utsmaniyah.

[4]- Asingnya umat Islam dari aqidah shahihah. Bahkan, aqidah shahihah diperangi.

Secara umum, dunia Islam saat itu telah terasing dari aqidah shahihah. Berbagai kesyirikan dan kekufuran melanda dan merajalela. Ketika sebagian umat Islam mendakwahkan aqidah yang benar, permusuhan dari daulah ‘Utsmaniyah dan umat Islam sangat keras. Dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah satu contoh nyata atas hal ini.

Ketika gerakan dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merebut Makkah dan Madinah dari penguasa sebelumnya yang melindungi berbagai kesyirikan, bid’ah dan khurafat merajalela, maka orang-orang sufi dan para pengikut kesyirikan memendam kemarahan, kebencian dan dendam yang mendalam. Mereka menyiarkan berita-berita bohong tentang dakwah beliau, antara lain gerakan ini menghalangi ummat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Mereka juga menghalangi mengalirnya dana bantuan umat Islam seluruh dunia untuk kemakmuran kedua masjid suci, sehingga terjadi krisis ekonomi di kedua kota suci. Lebih jauh mereka menyiapkan tentara untuk memerangi gerakan ini.

Daulah ‘Utsmaniyah yang berada dibawah kendali kaum shufi berhasil menghasut sultan untuk memerangi gerakan ini. Berdasar fatwa para ulama saat itu, sultan menganggap gerakan dakwah ini sebagai gerakan kafir dan khawarij yang harus diperangi.

Pada tanggal 19 Shafar 1223 H, gubernur Syam Kanj Yusuf mengirim surat kepada gubernur Mesir Muhammad ‘Ali Basya mendorongnya untuk segera melaksanakan perintah sultan Daulah ‘Utsmaniyah. Menurut pakar sejarah Mesir imam Abdurahman al-Jibrati, ketika pada akhir Jumadil Tsaniyah 1228 H pasukan Mesir berhasil mengalahkan gerakan dakwah dan menguasai kembali dua kota suci, maka sultan Daulah ‘Utsmaniyah masa itu yaitu sultan Mahmud Khan bin sultan Abdul Hamid Khan bin sultan Ahmad Khan al-Maghazi mendapat gelar yang diakui oleh segenap umat Islam “Khadimu al-Haramain al-Syarifain” atas keberhasilannya mengusir gerakan khawarij dan kafir ini.

Dengan bantuan Inggris dan Perancis, Muhammad ‘Ali Basya terus menerus mendesak gerakan dakwah salafiyah ini. Para ulama di Al-Azhar Mesir diperintahkan untuk membaca shahih Bukhari demi kemenangan pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Basya. Setelah kemenangan diraih, mereka mengadakan pesta besar-besaran. Kota Kairo dihias selama tujuh hari (27 Dzulhijah 1228 H – 4 Muharram 1229 H), sebanyak 110 meriam dikeluarkan di muka umum, pada setiap jamnya ditembakkan tak kurang dari 80.000 peluru. Ini belum terhitung tembakan senapan ringan. Masyarakat tenggelam dalam pesta dan begadang siang malam.Yang lebih mengherankan lagi, para ulama dan fuqaha’ ikut meramaikan seluruh pesta ini bersama para pejabat Mesir.

Dalam peperangan menghadapi dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini, sultan ‘Utsmaniyah telah bekerja sama dengan Napoleon Bonaparte. Dalam perang ini, daulah ‘Utsmaniyah telah melakukan sejumlah kekejian, antara lain :

-          Setiap prajurit yang membunuh pengikut syaikh Muhammad akan mendapat bonus, dengan syarat membawa bukti telinga si korban. Maka pasukan ‘Utsmaniyah memotong telinga para syuhada’ pengikut syaikh Muhammad di kota Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dharma dan lain-lain.

-          Menghancurkan kota dan desa, dan bahkan membakar masjid-masjid.

-          Menawan kaum wanita dan anak-anaka pengikut dakwah syaikh Muhammad, dan menjual mereka sebagai budak. Ini terjadi pada bulan Shaafar 1235 H, pasca perang.

Pada bulan Desember 1234 H (1818 M), imam Abdullah bin Su’ud, imam terakhir dari pengikut dakwah syaikh Muhammad digiring sebagai tawanan bersama dua orang tangan kanan beliau. Mereka diborgol, dibawa ke Istambul lewat Kairo. Kepala mereka dipenggal, dipertontonkan di hadapan rakyat dan setelah tiga hari dilemparkan ke laut. Sultan ‘Utsmani merayakan kemenangan ini dengan sholat syukur dan sejak saat itu ia digelari “Khadimu al-Haramain” (pelayan dua kota suci).

Penumpasan terhadap gerakan dakwah salafiyah ini adalah buah dari akidah yang menyeleweng yang dianut oleh sebagian besar sultan dan umat Islam saat itu. Perang ini juga bukan timbul karena kesalahpahaman. Perang ini murni perang antara penganut tradisi kesyirikan sufi-Murjiah dengan pengikut dakwah salafiyah. Perang ini didahului oleh fatwa dan rekomendasi para ulama masa itu yang mengkafirkan dakwah salafiyah. Tercatat di antara para ulama besar yang ikut mengkafirkan gerakan dakwah ini adalah imam Ibnu Abidin Al Hanafi, pengarang Ar Raddul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin). Ulama lain yang paling getol memerangi gerakan ini dan menyebarkan berita-berita bohong tentang gerakan ini ke seluruh dunia adalah mufti Makkah, syaikh Ahmad Zaini Dahlan (wafat 1304 H).

Pada saat itu, orang-orang yang menampakkan tauhid dan memusuhi syirik, bid’ah dan shufi akan mendapat perlawanan keras seluruh masyarakat dan negaa dengan tuduhan menjadi pengikut Wahhabi. Di mana-mana para ulama yang mendakwahkan dakwah salafiyah ini diperangi. Pada masa berkuasanya Syarif Husain bin ‘Ali di Makkah,  syaikh Abu Bakar bin Muhammad Khauqir seorang mufti madzhab Hambali (wafat 1349 H) dipenjara selama 18 bulan dan dilepas kemudian dipenjara lagi selama tujuh puluh bulan (7 tahun tiga bulan) dikarenakan beraqidah salaf dan mengingkari para penyembah kuburan.

Di Qazan, Rusia seorang ulama besar Syaikh Abdu Nashir Abu Nashr bin Ibrahim al-Qaurashawi (wafat 1227 H) menyebarkan aqidah salaf dan terang-terangan mengingkari perbuatan syirik dan bid’ah. Ketika pada tahun 1223 H ia berdakwah di Bukhara, seluruh ulama Bukhara menentang dan mengkafirkannya. Ia dihadapkan kepada gubernur Bukhara, Haidar bin Ma’shum al-Bukhari. Terjadi debat terbuka, sampai akhirnya syaikh Abdu Nashir harus berpura-pura meninggalkan aqidah salaf karena ancaman gubernur untuk membunuhnya. Meski sudah demikian, gubernur tetap menyesal karena tidak membunuhnya.

Di India, gerakan dakwah salaf ini mendapat tantangan hebat. Syaikh Ahmad Ridha al-Brilwi dalam bukunya Al-Kawakib al-Syihabiyah fi Kufriyati Abi Wahabiyah” mengatakan,” Sesungguhnya kelompok Wahhabi telah jelas kekafiran mereka berdasar ribuan alasan.” Ia juga menulis ,” Sesungghnya orang-orang Wahhabi lebih buruk dan lebih berbahaya dari orang-orang yang kafir asli yaitu orang-orang Yahudi, penyembah berhala dan lain-lain.”[6] Di Indonesia sendiri, para pengikut tradisi kesyirikan ini memerangi para pengikut dakwah salafiyah dalam perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Paderi”, sebuah penamaan yang bermakna pelecehan dari penjajah salibis Belanda.

[5]- Filsafat dan ilmu kalam mewarnai buku-buku akidah karya para ulama.

Hal ini dimulai dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan Romawi kuno pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H), pada masa daulah ‘Abbasiyah. Khalifah al-ma’mun sendiri yang secara langsung menjadi pembina dan penanggung jawab penerjemahan secara resmi dan besar-besaran buku-buku filsafat ini. Menurut penelitian ustad Abu Hasan Ali al-Nadawi, penerjemahan ini terus berlangsung sampai sekitar abad IV Hijriyah. Pada masa itu, pembelajaran filsafat Yunani kuno sangat digalakkan oleh negara. Herannya, gerakan penerjemahan ini dilakukan oleh para pekerja beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi yang menguasai bahasa Yunani kuno. Awalnya, gerakan ini mendapat tantangan dan penolakan keras para ulama ahlu sunah. Namun perlahan dan pasti, pada abad VIII Hijriyah, filsafat Yunani telah menguasia akal sebagian besar ulama dan umat Islam saat itu.

Meski beberapa ulama besar, seperti imam Ibnu Shalah dan Ibnu Taimiyah telah berjuang keras membantah filsafat Yunani dan membersihkan akidah umat, namun buku-buku filsafat Yunani dan ilmu kalam telah terlanjur begitu dalam merasuki buku-buku akidah umat, yang mayoritas dikarang para ulama Asya’ariyah dan Maturidiyah. Mereka tetap bersemangat mengajarkan buku-buku akidah yang bercampur baur dengan filsafat tersebut. Tidak saja mengajarkannya, mereka juga mengarang buku-buku yang berfungsi memberi syarah, hasyiyah dan ikhtishar. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), syaikh ulama Malikiyah di al-Azhar, Mesir ; imam al-Shaban (wafat 1206 H), ulama al-Azhar yang sejawat dengan imam al-Dardir ; imam Muhammad bin Muhammad bin Abdu al-Qadir al-Maliki al-Azhari, imam Sa’dudien al-Taftazani,  imam al-Habib bin ‘Ali al-Buslimani al-Susi al-Maghribi (wafat 1352 H), syaikh Habibu al-rahman al-Hindi, syaikh Muhammad al-Sanusi, syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Tadili (wafat 1311 H). Demikianlah, pemaparan akidah yang telah bercampur baur dengan filsafat dan ilmu mantiq ini menjadi tradisi pembelajaran aqidah di seantero dunia Islam, termasuk di al-Azhar.

____________________
Footnote :
[1] – Ali bin Bakhit al-Zahrani, Al-Inhiraafat al-‘Aqdiyah wa al-‘Ilmiyyah fi al-Qarnaini al-Tsalitsi ‘Asyar wa al-Rabi’i al-‘Asyar al-Hijriyaini, Makah, Daru al-Risalah, 1415 H, hal 79-619.
[2] – Untuk memahami dengan baik hubungan ritual ibadah dan berbagai aktifitas kehidupan manusia dalam konsep ibadah, silahkan membaca Muhammad Qutub, Mafahimu Yanbaghi an Tushahahu, Kairo, Daru al-Syuruq, dan Sayid Qutub, Khashaishu al-Tashawur al-Islami wa Muqawwimatuhu, Kairo, Daru al-Syuruq.
[3] – Tulisan para ulama kontemporer yang banyak membahas tuntas Murjiah kontemporer dan menjawab syubhat-syubhat mereka, antara lain DR. Safar al-Hawali (Dzahiratu al-Irja’ fi al-Fikr al-Islami), syaikh Abu Bashir Al-Syami (Al-intishar li Ahli al-Tauhid; Mulahadhat wa Rudud ‘ala ‘ala Mujmali Masaili al-Iman al-Ilmiyah fi Ushuli al-‘Aqidah al-Salafiyah; Munaqasyatu Qauli Ibni Bazz wa Ibni ‘Utsaimin fi Isytiratihima al-Istihlal li-Kufri man Baddala Syari’ati al_Rahman; Al-‘Udzru bi al-Jahli wa Qiyami al-Hujah), syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi (Imta’u al-Nadzar fi Kasyfi Syubuhati Murji’ati al-‘Ashr; Tabshiratu al-‘Uqala’ bi-Talbisati Ahli al-Tajahum wa al-Irja’; Kasyfu Syubuhati al-Mujadilin ’an ‘Asakiri al-Syirki wa al-Qawanin; Al-Risalah al-Tsalatsiniyah fi al-tahdzir min al-Ghulu fi al-Takfir), syaikh Hamid Abdullah al-‘Ali (Bayahu Haqiqati al-Iman wa Al-Raddu ‘ala Murji’ati al-‘Ashr fima Khalafu fihi Muhkama al-Qur’an), syaikh Abdur al-Rahman bin Abdu al-Khaliq (Al-Burhan fi Anna Tarika al-‘Amal Ikhtiyaran Faqidun li-Ashli al-Iman), syaikh Abu Qatadah al-Filisthini  (Haula Murji-ati al-‘Ashr), syaikh Alwi bin Abdu Al-Qadir al-Saqaf (Al-tawasuthu wa al-Iqtishadu fi Anna al-Kufra Yakunu bi al-Fi’li wa al-Qauli wa al-I’tiqad), syaikh Nashr bin Hamd al-Fahd (Risalatun fi Al-Raddi ‘Ala Syubhatin li al-Murji’ah Min Kalami Syaikhil Silam Ibni Taimiyah), syaikh Abdullah bin Abdu al-Rahman Ab Bathin (Hukmu Takfiri al-Mu’ayyan), syaikh Ishaq bin Abdurahman bin Hasan Alu Syaikh (Takfiru al-Mu’ayan wa al-Farqu Baina Qiyami al-Hujah wa fahmi al-Hujah), syikah Muhammad bin Salim al-dausari (Raf’u al-Laimah ‘an Fatwa al-Lajnah al-Daimah), syaikh DR. Muhammad Abu Rahim (Haqiqatu al-khilaf Baina al-Salafiyah al-Syar’iyah wa Ad’iyaiha fi Masaili al-Iman), syiakh Hamud bin ‘Uqla al-Syu’aibi (al-Raddu ‘ala Iftira-ati al-‘Anbari) dan lain-lain.
[4] – Ali bin Bakhit Al-Zahrani, ibid, hal 147-149.
[5] – Ali bin Bakhit Al-Zahrani, ibid, hal 158-191.
[6] – Ali Bakhit al-Zahrani, ibid, hal 211-234.



Khilafah Diruntuhkan?

 1. hari ini, 3 maret 2012, 88 tahun sejak khilafah dihapuskan pada 3 maret 1924
2. bukan mengenang, namun mengambil makna agar memahami apa obat bagi kehancuran Khilafah Islam yg pernah menaungi seluruh Muslim
3. meniti sejarah memahami kesalahan masa lalu untuk jadi amaran bagi jalan yang dibangun di masa depan ketika menyambut kembalinya Khilafah
4. betul ucapan Ibnu Khaldun, bahwa peradaban itu seperti pendulum, awalnya tak terorganisir, lalu menjadi rapi, dan kembali lagi rapuh
5. begitu pula Islam, setelah menikmati zaman keemasan (Islamic Golden Age) pada kurun 750-1500, dari sana perlahan mengalami degradasi
6. Khilafah Abbasiyah menimati puncak keemasan sains dan teknologi, sementara Khilafah Utsmaniyah tandai keemasannya dengan wilayah terluas
7. masa Sultan Fatih Mehmed II dan Khalifah Suleyman Qanuni, Islam sudah sangat kuat, sayangnya tak digunakan utk perbaiki pemahaman Islam
8. maka pada masa Khalifah Suleyman, Islam mencapai puncak kejayaan dan luasan, Islam memiliki hegemoni di daratan maupun lautan
9. terlena oleh harapan kemenangan dan kemewahan hidup, pd 1683 pasukan Islam tertahan dan kalah menyakitkan di gerbang Vienna
10. itulah terakhir kalinya kaum Muslim lakukan jihad, tanpa disadari, ini adl satu faktor yg sebabkan lemahnya Islam dan bangkitnya barat
11. tak diragukan lagi, kejadian Vienna 1683 jadi titik tolak mundurnya Islam
12. saat jihad ditinggalkan, barat mulai ekspansi muliter dengan 3G (gold-gospel-glory), lalu menjajah negeri muslim
13. penyebab kedua runtuhnya Khilafah Islam adl karena ditinggalkannya bahasa arab sebagai bahasa Islam, sehingga lemahlah pemahaman Islam
14. sebagaimana jamak diketahui, Khilafah Islam berasal dari sultan2 mamalik, tentara2 ajam yang akhirnya jadi pemimpin kaum Muslim
15. masalah mulai muncul saat kaum mamalik ini tak menjadikan bahasa arab sebagai bahasa ibu kecuali pada sultan2 yg sedikit
16. terjadilah pemisahan “potensi Islam” dan “potensi bahasa arab” yang merupakan pokok dari pengetahuan dan ilmu dalam Islam
17. rendahnya pemahaman Islam akibat ditinggalkannya bahasa arab dapat terlihat ketika Al-Qaffal menutup pintu ijtihad, sehingga ummat resah
18. permasalah mulai muncul ditengah ummat tanpa ada penyelesaian, “apakah TV halal atau haram?”, “bolehkah Al-Qur’an dicetak?” dan semisal
19. lengkap kemunduran berpikir kaum Muslim tatkala diserang oleh filsafat persia dan yunani yang menyusup dalam pikir kaum Muslim
20. filsafat persia sangat nyata pada pemikiran tasawuf pd masa itu, penyucian diri dgn cara menyiksa fisik sebagai ganti ketinggian ruh
21. filsafat yunani pun nyata menyerang pemahaman tentang taqdir, qadha-qadar, hingga melahirkan fitnag khalqul qur’an gaya mu’tazilah
22. saat kondisi pemahaman ummat melemah dan ketakwaan mereka pada Allah mulai memudar, serangan2 barat diintensifkan
23. akhir abad ke-16, para misionaris mulai mengacaukan pemahaman ummat, dumulai di malta, tugas mereka membuat ragu ummat akan ajaran Islam
24. prancis dan inggris, serta amerika urun rembuk pula pada abad 18-19, menabur benih kehancuran dengan menanam paham nasionalisme
25. paham nasionalisme disebarkan hingga kaum Muslim mengelompokkan diri sbg arab, turki atau mesir, daripada menganggap mereka satu Muslim
26. salah satu kota besar tempat dakwah nasionalisme ini adalah di beirut, American University of Beirut misalnya dibentuk pd 1866
27. sebab selanjutnya keruntuhan Khilafah juga terkait dengan serangan fisik, peperangan dan imperialisme serta melalui perjanjian2
28. perjanjian karlowitz 1699, passarowitz 1718, Belgrade 1739, Küçük Kaynarca 1774, semuanya mengerat habis wilayah Khilafah Utsmani
29. russia mengerat wilayah Khilafah di utara sampai berbatasan dengan laut hitam di masa Catherine
30. sementara prancis menjajah mesir pd 1698, aljazair pd 1830, tunisia pd 1881, moroko pd 1912
31. inggris mengambil wilayah india, cina barat, sudan, dan akhirnya merebut mesir dari prancis, kaum Muslim seperti hidangan yg direbutkan
32. ditengah-tengah kekacauan ini, internal Muslim goyah karena seringnya pemberontakan yg dilakukan oleh pasukan inti yeniseri
33. pembubaran pasukan yeniseri oleh Khalifah Mahmud II pd 1826 menambah daftar panjang penyebab lemahnya Islam dan lemahnya pasukannya
34. saat pasukan yeniseri bubar, maka pengaruh barat yang deras masuk memaksa kaum Muslim mengadakan pembaruan militer dan hukum
35. reformasi inilah yg dinamakan ‘tanzimat’ sebuah reformasi yg agaknya lebih cenderung kepada sekuleriasi Khilafah Islam
36. pasca tanzimat ini, Khilafah mulai mengadopsi sistem keuangan, hukum sipil dan hukum pidana Prancis
37. reformasi militer berdasarkan sistem militer prancis dan swedia, sehingga militer kaum Muslim mulai dikuasai secara tak langsung
38. hapuskan jizyah, dirikan pasar saham, non-muslim diizinkan jadi tentara reguler, boleh dirikan universitas2 barat, dan dirikan parlemen
39. selain itu juga dibuat hemayun script, lalu terapkan sistem parlementer, membagi dua mahkamah, dan mengekor hukum positif barat
40. bersamaan dengan itu, benih2 nasionalisme mulai tumbuh di dunia Islam, fatatul turk (pemuda turki), fatatul arab (pemuda arab) buktinya
41. kaum pemuda berlandaskan nasionalisme ini mulai menyerukan disintegrasi Islam berdasar etnis, semisal gerakan ittihad wa taraqiy turki
42. dan gerakan2 ini dapat sambutan dan sokongan hangat dari loji2 freemasin di yunani, dan membiayai mereka, izinkan rapat di loji mereka
43. masya Allah, begitulah kaum Muslim dikerat dengan pisau nasionalisme, ukhuwah dinomordiakan warna kulit dan bentuk wajah
44. tokoh2 antek barat laksana jamaluddin al-afghani pun diorbitkan untuk menolak Khilafah dan munculkan pan-arabisme (persatuan etnis arab)
45. khusus jamaludiin ini, Khalifah Abdul Hamid II dlm catatan hariannya menyebutnya “pelawak” dan orang yang sangat berbahaya
46. dan pukulan pamungkas dari barat datang ketika PD1 1914-1917, kaum Muslim terjebak perang melawan sekutu dan kalah total
47. maka lewat perjanjian sykes-picot (inggris-prancis) wilayah Islam secara formal dikerat penjajah, dipecah belah
48. antek inggris lawrence of arabia menginisiasi pemberontakan negeri2 arab di syam pada 1916-1918, muncullah negeri2 baru
49. termasuk ibnu saud yg didukung melakukan pemberontakan, serta raja faisal yg memimpin “revolusi arab” juga disupport inggris
50. maka inggris menggariskan wilayah2 kaum Muslim, dan mengerat mereka menjadi satuan2 yg lemah
51. lewat inggris pula mustafa kemal berhasil mengganti Khilafah Utsmani menjadi Republik Turki, dan Khilafah resmi dihapus pd 3 Maret 1924



Ibnu Abbas : Guru para Tabiin

 Ibnu Abbas ra dan para sahabatnya rutin mengadakan halaqoh ilmu di masjid. Diantara mereka ada Ikrimah, Atho, Aus dan Mujahid. Nama-nama yang tentuk tak asing bagi penggemar sejarah dan fiqh islam. Suatu ketika dalam sebuah pertemuan, Ibnu Abbas minta ijin untuk mengerjakan sholat sunnah. Tiba-tiba datang seseorang yang bertanya, " Apakah ada mufti (pemberi fatwa) disini ? ". Maka beberapa sahabat Ibnu Abbas ra menjawab dengan percaya diri, " bertanyalah ! ". Maka terjadilah dialog :
Fulan                            :  Setiap kali aku buang air kecil selalu diikuti dengan keluarnya cairan hangat "
Sahabat Ibnu Abbas     : Apakah cairan yang bisa menghasilkan keturunan ?
Fulan                            : " Betul, sama persis "
Sahabat Ibnu Abbas    : " jika memang demikian, berarti engkau wajib mandi janabah ! "
Kemudian sang penanya pamit untuk kembali pulang. Ibnu Abbas yang sedang sholat mendengar dialog tadi, maka ia segera mempercepat sholatnya. Kemudian ia segera menghampiri para sahabatnya dan memerintahkan, " Panggil kemari laki-laki yang tadi bertanya pada kalian ". Setelah laki-laki tadi kembali hadir di masjid, Ibnu Abbas pun menginterogasi para sahabatnya.
Ibnu Abbas     : " Apakah tadi engkau berfatwa menjawab pertanyaan laki-laki ini dengan mengambil dari Al-Quran ? "
Sahabat             : " Tidak .."
Ibnu Abbas        : " jika demikian , apakah dari sunnah Rasulullah SAW ? "
Sahabat             : " Tidak juga wahai ibnu Abbas "
Ibnu Abbas       : " Apakah dari perkataan para sahabat Rasul ? "
Sahabat             : " Tidak "
Ibnu Abbas        : " Jika begitu dari mana fatwa kalian itu ? "
Sahabat             : " itu murni dari pendapat kami wahai Ibnu Abbas .."
Ibnu Abbas    : " Jika demikian, benar sekali apa yang Rasulullah SAW sabdakan : Bahwa satu orang faqiih (ahli ilmu agama) itu lebih ditakuti syaitan daripada seribu orang ahli ibadah ! "

Ibnu Abbas menyindir para sahabatnya yang berani menjawab pertanyaan tanpa ilmu yang kuat, bahkan dari pendapat mereka sendiri. Kemudian ia menghampiri laki-laki yang tadi bertanya.

Ibnu Abbas    : " jika benar cairan itu yang keluar darimu, apakah engkau merasakan syahwat pada kemaluanmu ketika mengeluarkannya? "
Penanya             : " Tidak "
Ibnu Abbas        : " Benar engkau tidak merasakan syahwat atau nikmat ? "
Penanya             : " Tidak sekali lagi wahai ibnu abbas "
Ibnu Abbas        : " Lalu, apakah tubuhmu merasa lemas setelahnya ? "
Penanya             : " Tidak juga "
Ibnu Abbas     : " Jika demikian, itu berarti hanya karena rasa dingin. Cukup engkau berwudhu saja dan tidak perlu mandi "

Permasalahan pun rampung dengan kepuasan semua pihak. Mereka pun kembali ke halaqohnya dengan membawa sebuah pelajaran : bahwa syaitan senantiasa mengincar mereka yang kurang ilmu. Sekali lagi terbukti, kemuliaan orang-orang yang berilmu atas yang lainnya. Dan dengan ilmu pula, kita mendapatkan banyak kemudahan dari kerumitan yang awalnya kita bayangkan, benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW : Barang siapa yang Allah menginginkan kebaikan ada pada dirinya, maka akan dipahamkan dalam hal agama. Maka mari perdalam ilmu agama, dan temukan solusi-solusi yang mudah atas segenap permasalahan kehidupan. Insya Allah.

*kisah di atas ada dalam riwayat Sunan Ibnu Majah, hadits marfu'.



Sumber

Muadz bin Jabal


 Muadz bin Jabal seorang pemuda anshor teladan, termasuk golongan Ashor yang pertama masuk Islam dan turut serta dalam baiatul aqobah dua. Kepandaian dan kepahamannya dalam ilmu agama diakui oleh banyak sahabat, tak terkecuali sang pemimpin Rasulullah SAW yang memberikan testimoni menyejarah : “ sepandai-pandainya umatku dalam masalah halal dan harom adalah Muadz bin Jabal”,  bahkan di riwayat yang lain disebutkan Muadz adalah pemimpin para ulama di akhirat nanti.

Karena kefaqihannya inilah Muadz pun dipercaya menjadi duta dakwah di Yaman. Sebuah amanah dan tugas berat menanti disana, menyebarkan islam dengan benar sesuai ajaran Rasulullah SAW. Tak heran jika di awal keberangkatan Muadz ke Yaman, serangkaian fit and proper test pun dijalankan oleh Rasulullah SAW. Maka ketika Muadz sukses menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan begitu cerdas dan elegan, wajah Rasulullah SAW pun berseri-seri dan bertutur lugas : “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah . . . .”

Di Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan Islam, Muadz bin Jabal juga berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Karena kepandaian dan ketekunannya pulalah, maka ia berhasil meningkatkan omset dagangya dan berubah menjadi pribadi yang kaya raya, santun dan faqih. Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu’adz masih berada di Yaman. Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Madinah, dan di awal kedatangannya terjadi sebuah kisah indah penuh ukhuwah antara Muadz, Abu Bakar dan Umar bin Khottob.

Saat Muadz datang dari Yaman, Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya. Kekayaan pribadinya meningkat tajam dari beberapa tahun sebelumnya. Seperti biasa, ketegasan dan kewaspadaan ala Umar bin Khottob berjalan, beliau sebagai penasehat khalifah segera mengusulkan kepada Abu Bakar agar membagi dua kekayaan Muadz dan menyerahkannya kepada negara, sebagai bentuk kehati-hatian sebagai pengelola negara. Abu Bakar tidak segera menyetujui usulan dari Umar, namun tanpa menunggu persetujuan Abu Bakar, secara pribadi Umar bersegera mendatangi Muadz untuk datang sebagai sahabat.

Mu’adz bin Jabal sebagaimana kita ketahui dalam testimoni Rasulullah SAW, adalah orang yang faham tentang halal dan haram. Termasuk halal dan haram dalam transaksi dan perdagangan. Ia tidak mengenal bertransaksi dengan unsur maysir (spekulasi), ghoror (tipuan), gheis (curang) apalagi ikhtikar (menimbun barang) dan riba. Kekayaan yang didapatpun tak lebih dari buah ketekunan dan kecerdasan, yang mendapatkan taufiq dari ar-rozzaq Allah SWT, jauh dari segala syubhat apalagi yang haram.

Maka ketika Umar datang ke rumahnya dan mengemukakan usulannya untuk membagi dua harta tersebut, Muadz pun menolak dengan argumen yang cerdas dan hujjah yang kuat.  Diskusi hangat dua sahabat mulia itu pun berakhir dan Umar berpamitan meninggalkannya. Sungguh ia tidak hasad dan iri dengan kekayaan Muadz, tidak pula ia menuduh Muadz bermaksiat dengan mencari jalan haram dalam menumpuk kekayaan, namun ia hanya takut karena saat itu Islam sedang mengalami kejayaan dan kegemilangan, diluar sana banyak tokoh-tokoh yang memanfaatkan hal tersebut dengan bergelimang harta tanpa kejelasan sumber halalnya. Inilah yang ditakuti Umar, tidak lebih.

Namun uniknya, pagi-pagi sekali keesokan harinya Mu’adz bin Jabal terlihat segera bertandang ke rumah Umar. Apa yang dilakukan Muadz setelah apa yang terjadi pada hari sebelumnya ? Sungguh pemandangan ukhuwah yang indah tak tergambarkan.  Sampai di sana, Muadz segera merangkul Umar dan memeluknya kuat, bahkan air mata Muadz pun mengalir dan terisak menceritakan mimpinya tadi malam yang begitu kuat mengingatkannya.
“Wahai Umar, malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, dan menyelamatkan saya . . . . !”.

Nampaknya mimpi tersebut membuat Muadz ingin segera menuruti usulan Umar bin Khottob untuk membagi dua harta kekayaannya yang diperoleh dari Yaman.  Maka keduanya pun segera menghadap Abu Bakar, dan Mu’adz pun mengutarakan niatnya, meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
Namun apa jawab khalifah Abu Bakar yang mulia ? Khalifah yang timbangan imannya tak tertandingi oleh penghuni bumi ini menolak dengan tegas, ia mengatakan : “ “Tidak satupun yang akan saya ambil darimu”.  Abu Bakar tahu dan yakin bahwa Muadz memperoleh kekayaan dari jalan yang baik, maka ia tidak ingin mengambil satu dirham pun dari harta sahabatnya tersebut, yang itu berarti kedzaliman dan akan berbuah kehinaan di akhirat.



Muadz belum puas dengan jawaban sang khalifah, ia pun menoleh dan meminta pendapat Umar bin Khottob, ia teringat dengan mimpinya semalam yang begitu mendebarkan. Apa komentar Umar sebagai pihak yang mengawali usulan pembagian harta tersebut, ia berujar singkat : “ Cukup .. sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”.  Subhanallah, kegelisahan pun berakhir dengan kehangatan ukhuwah dan kemuliaan iman.

Selalu ada hikmah dalam setiap kejadian dan masalah, mari kita ambil inspirasi dan semangat dari kisah di atas yang melibatkan tiga sahabat yang mulia :

Pertama : Sosok Muadz yang cerdas dan santun. Dengan kesungguhannya ia bisa memperoleh kekayaan yang luar biasa di usia muda ( beliau meninggal usia 33 tahun di masa Umar), dari jalan yang halal dan jauh dari syubhat. Meski demikian, beliau seorang yang lembut hatinya dan perasa, sebuah mimpi di malam hari mampu membuatnya berubah dari sikap teguh pendiriannya atas usulan Umar.

Kedua : Abu Bakar memberikan contoh pada kita tentang kebijaksanaan dan kecermatan dalam berfikir. Tidak tergesa bersikap meski terlihat penuh kemaslahatan. Beliau juga tegas menolak segala tawaran dan kebijakan yang bernuansa kedzaliman.

Ketiga : Umar adalah teladan dalam sikap waro, kehati-hatian dan mawas diri, sekaligus ketegasan yang luar biasa. Dialah sosok yang terlihat angkuh di hadapan kekayaan sebagian sahabat. Para panglima perang yang bertaburkan kemenangan dan pakaian nan indah pun dihinakan oleh Umar dengan lemparan kerikil di wajah mereka. Dia adalah negarawan yang cerdas dan teliti melihat kepiawaian para aparat di bawahnya.



Sumber

Motivator Pejuang Badar Sejati


 Miqdad bin Amr dikenal sebagai fursan atau penunggang kuda  pertama dalam sejarah Islam. Penunggang kuda bukan tugas biasa2 saja. Fursan adalah pasukan yang berada digaris depan, dan menjadi target empuk sasaran panah lawan, dialah daya dobrak pasukan.  Dalam perang badar, hanya tiga saja penunggang kuda ! yang lainnya berjalan kaki dan mengendarai onta. Miqdad bin Amr termasuk yang pertama masuk islam, dia ada dalam urutan ke tujuh mereka yang gagah memproklamirkan keislamannya.

Perannya dalam perang Badr, membuat Ibnu Mas'ud terkagum seraya menyatakan : posisi Miqdad saat itu lebih aku cintai dari dunia seisinya. Perang badar ujian berat kaum muslimin yg masih sedikit, tak terduga menyambut musuh yg begitu kuat tertata, pilihan berat ada dihadapan. Maka Rasul yang mulia pun membuka majelis musyawarah, agar yang ragu menjadi kuat, yang takut menjadi semangat, semua bebas berpendapat. Setelah Abu bakar dan Umar mengungkapkan persetujuannya untuk terus mendukung Rasul bergerak maju, giliran Miqdad mengajukan pendapatnya.

Ucapan Miqdad melenggang melintasi sejarah, terngiang begitu gagah melibas gundah dan ragu di dada sebagian besar prajurit badar. Miqdad berteriak lantang :


Ya Rasulullah, jangan ragu!
Laksanakan apa yang dititahkan Allah. Kami akan bersamamu.
Demi Allah kami tidak akan berkata spt yg dikatakan Bani Israel kpd Musa, Pergilah kamu bersama Tuhanmu & berperanglah! Kami duduk2 di sini.
Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, ‘Pergilah bersama Tuhanmu dan berperanglah! Kami akan berperang di sampingmu.’
Demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami menerjuni lautan lumpur, kami akan patuh.
Kami akan berjuang bersamamu dengan gagah berani hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirmu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, sampai Allah memberimu kemenangan.”

Ucapan tersebut memotivasi sahabat lainnya, membakar semangat untuk total berjuang, membuat Saad bin Muadz dari Anshor terpana, dan berucap lantang memotivasi kaumnya. Bahkan Rasulullah SAW pun tersenyum dan mendoakannya. Dilain kesempatan sabda beliau begitu menggugah kita tentang sosok Miqdad : “Tuhanku memerintahkanku untuk mencintaimu, dan memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintaimu !” .

Maka Pasukan badar pun bergejolak hebat, siap menerjang pasukan kekufuran. Miqdad sang penunggang kuda mendobrak di barisan depan. Motivasi Miqdad bin Amr melecuti semangat mereka bak ribuan cambuk dihentakkan bersamaan. Tiga ratus pasukan Tauhid pada hari itu mencatatkan kemenangan bersejarah, yang mengundang keridhoan abadi dari Robbul Izzati.

Hari ini, saat perjuangan terasa berat, musuh seolah begitu kuat, godaan dan tantangan menyeruak begitu hebat, maka kita membutuhkan kembali sosok-sosok Miqdad yang mampu memotivasi kita, melecutkan semangat untuk melanjutkan perjuangan menuju kemenangan dunia akhirat.


Sumber

Umar bin Khattab

Masa Awal Pemerintahan
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai tahun 23H/644M. Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.

Ahlu Al Halli Wal ‘Aqdi
Secara etimologi, ahlul halli wal aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka. Dinamakan ahlul halli wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan dan membatalkan. Penjelasan tentangnya merupakan deskripsi umum saja, karena dalam pemerintahan Islam, badan ini belum dapat dilaksanakan (Rahman, 1994 :194).

Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu: pertama, mereka yang telah mengabdi dalam dunia politik, militer, dan misi Islam, selama 8 sampai dengan 10 tahun. kedua, orang-orang yang terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan tentang yurisprudensi dan Quran (Al Maududi, 1995:261).
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul halli wal aqdi, di antaranya adalah:
1.    Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :


  • Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
  • Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
  • Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.


  1.  Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
  2. Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
  3. Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
  4. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
  5. Departemen Pendidikan dan lain-lain (Ali Khan, 1978:122-123). Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya (Hasjmy , 1995:61-69).
Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri daulah Islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya).

Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum Muslim. Di situlah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund (Majid, 1978:86). Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar di samping tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).

Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Di antaranya adalah :
  1. Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus.
  2. Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz, dengan ibu kota Mekkah.
  3. Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran, dengan ibu kota Basrah.
  4. Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota Kufah.
  5. Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat.
  6. Alqamah bin Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem.
  7. Umair bin Said, Gubernur jazirah Mesopotamia, dengan ibu kota Hims.
  8. Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil.
  9. Khalifah sebagai penguasa pusat di Madinah (Suaib, 1979:185)..
Tentang ghanimah, harta yang didapat dari hasil perang Islam setelah mendapat kemenangan, dibagi sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Setelah dipisahkan dari assalb, ghanimah dimasukkan ke baitul maal. Bahkan ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola harta tersebut, tidak seperti zaman Nabi yang membagi menurut ijtihad beliau.

Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).

Di samping itu, Umar juga mengadakan “Dinas Malam” yang nantinya mengilhami dibentuknya as-syurthah pada masa kekhalifahan Ali. Di samping itu Nidzamul Qadhi (departemen kehakiman) telah dibentuk, dengan hakim yang sangat terkenal yaitu Ali bin Abu Thalib. Dalam masyarakat, yang sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan kasta, setelah Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus sya’by). Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan. Istana dan makanan Khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap golongan minoritas (Yahudi- Nasrani), diberikan kebebasan menjalankan perintah agamanya. Tidak ada perbedaan kaya-miskin. Hal ini menunjukkan realisasi ajaran Islam telah nampak pada masa Umar.

Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, di mana penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.

Di samping ilmu pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil (imarah madaniyah), bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan militer (imarah harbiyah), mengalami kemajuan yang cukup pesat pula.

Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah, Hijaz, Syam, dan Kuffah seakan menjadi idola ulama dalam menggali keberagaman dan kedalaman ilmu pengetahuan.

Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yaitu :
  1. Al ulumul Islamiyah atau al adabul Islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis, kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah (tarikh).
  2. Al adabul arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
  3. Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan filsafat.
Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:


  • Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an
  • Sering terjadi perkosaan terhadap hukum.
  • Dibutuhkan dalam istimbath (pengambilan) hukum.
  • Kesukaran dalam membaca Al Qur’an.


Oleh karena itulah, banyak orang yang berasumsi bahwa kebangkitan Arab masa itu didorong oleh kebangkitan Islam dalam menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Apabila ada orang menyebut, “ilmu pengetahuan Arab”, pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu pengetahuan Islam”.

Dalam masalah peradilan Umar bin Khattamb melimpahkan wewenang kepada hakim daerah yang ditunjuk melalui surat yang Beliau kirim kepada Abu Musa Al-Asy’ari (hakim Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok atau prinsip-prinsip berperkara di persidangan dalam lingkungan peradilan. Isi surat tersebut adalah:


  • Memutuskan perkara di pengadilan adalah kewajiban yang harus dikokohkan dan sunah yang harus diikuti.
  • Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar (hakim) dapat bertindak adil. Sesungguhnya berbicara keadilan tanpa ditegakkan, tidaklah bermanfaat.
  • Pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, baik dalam persidangan maupun dalam menetapkan keputusan, sehingga pejabat tidak mengharap menang (karena ketidakadilan peradilan) dan orang-orang lemah tidak putus asa dalam memperjuangkan keadilan.
  • Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada pihak tergugat. Kelima, damai –sebagai jalan keluar dari persengketaan- dibolehkan selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
  • Berilah waktu kepada penggugat untuk mengumpulkan alat-alat bukti; dan persengketaan diputuskan harus berdasarkan alat-alat bukti.
  • Hakim harus berani mengakui kesalahan apabila ternyata dalam keputusannya terdapat kekeliruan (prinsip peninjauan kembali).
  • Kesaksian seorang muslim dapat diterima kecuali muslim yang pernah memberikan kesaksian palsu, pernah dijatuhi hukuman had, atau yang asal-usulnya diragukan. Kedelapan, seorang hakim dibenarkan melakukan analogi (qiyas) dalam memutuskan perkara apabila perkara yang hendak diselesaikan tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
  • Dalam proses menyelesaikan dan memutuskan perkara, hakim tidak boleh dalam keadaan marah, berpikiran kacau (goyah), jemu, bersikap keras, dan hendaklah memutuskan perkara dilakukan dengan ikhlas hati dan berharap pahala dari Allah SWT



Dalam masa kekhalifahannya pula, Umar bin Khatab telah membuat masyarakat semakin makmur. Umar memperlihatkan kejeniusan dalam mengatur administrasi sipil. Setiap negeri dibagi menjadi propinsi-propinsi, pendataan tanah dan sensus diadakan, kantor-kantor didirikan, angkatan kepolisian disusun, saluran-saluran digali, kas negara dimulai. Kalender Hijriyah yang sangat membantu pencatatan sejarah juga mulai dikenalkan.

Kesimpulan
Khalifah Abu Bakar dalam masa yang singkat telah berhasil memadamkan kerusuhan oleh kaum riddat yang demikian luasnya dan memulihkan kembali ketertiban dan keamanan di seluruh semenanjung Arabia. Selanjutkan membebaskan lembah Mesopotamia yang didiami suku-suku Arab. Di samping itu, Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama Islam adalah beliau memerintahkan mengumpulkan naskah-naskah setiap ayat-ayat Al-Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya, dan menyimpan keseluruhan naskah di rumah janda Nabi SAW, yakni Siti Hafshah.

Tidak lebih dari dua tahun, Khalifah Abu Bakar mampu menegakkan tiang-tiang agama Islam, termasuk di luar jazirah Arab yang begitu luas. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar berlangsung hanya 2 tahun 3 bulan 11 hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling singkat bila dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya.

Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Abu bakar, Umar menjadi khalifah yang ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “Abad Emas” Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional.

Pada masa pemerintahan beliau, banyak wilayah-wilayah yang telah ditaklukan Islam, misalnya di kawasan barat, Islam berhasil menaklukan Damaskus, wilayah pantai Syam, Mesir, Libya. Sedangkan di kawasan sebelah timur, Islam telah menaklukan Madain, Jalawla’, Nahawand dan ke berbagai wilayah Persia. Selain itu juga beliau berhasil dalam hal pemerintahan negara, ilmu keislaman, sistem pertahanan dan lain sebagainya.

Gagasan Umar mengenai prinsip peradilan dapat dijadikan dasar untuk menjadikan Umar sebagai “Bapak Peradilan”. Khalifah Umar telah memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan, dan hari kematiannya sangat tragis, Abu Lu’luah secara tiba-tiba menyerangnya dengan tikaman pisau tajam ke arah Umar yang sedang melaksanakan shalat subuh.
 
 
 

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.