Kamis, 23 Januari 2014

7 'Istana dongeng' yang ada di dunia nyata

Syi’ah sebuah kelompok agama yang memiliki prinsip-prinsip ajaran: - See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/tausiyah-nubuwah-rasulullah-saw-tentang-syiah-waiat-rasulullah-untuk-memerangi-syiah.html#sthash.8xXHjzjr.dpuf

1. Neuschwanstein

Neuschwanstein terletak di sebuah bukit terjal di dekat Fuessen di barat daya Bayern. Kastil ini menjadi inspirasi untuk istana dongeng dalam cerita Sleeping Beauty. Kastil ini dibangun oleh Raja Ludwig II sebagai penghormatan kepada Richard Wagner. Pembangunan kastil ini hampir selesai pada tahun 1886, ketika pada tahun 1886, Raja Ludwig II dinyatakan gila oleh komisi negara dan ditemukan tewas beberapa hari kemudian. Kini, lebih dari 50 juta orang telah mengunjungi Neuschwanstein. Neuschwanstein adalah bangunan yang paling banyak difoto di Jerman dan merupakan salah satu tujuan wisata paling populer di negara itu.
Sumber

2. Alcazar of Segovia

Berdiri di atas batu karang, di atas pertemuan sungai Eresma dan Clamores di Segovia, Alcazar adalah salah satu istana Spanyol yang paling terkenal. Alcazar awalnya dibangun sebagai benteng Arab, namun kemudian difungsikan sebagai istana kerajaan, penjara negara, Royal Artillery College dan akademi militer. Selama Abad Pertengahan, kastil ini menjadi salah satu tempat tinggal favorit para raja dari Kerajaan Castile dan benteng kunci dalam pertahanan kerajaan.
Sumber

3. Krak des Chevaliers

Krak des Chevaliers secara luas diakui sebagai benteng Tentara Salib. Kata Krak berasal dari bahasa Suriah karak, yang berarti benteng. Namun sayangnya situs ini agak terisolasi dan berada di atas puncak bukit setinggi 650 meter. Benteng aslinya dibangun pada tahun 1031 untuk emir Aleppo dan berhasil diduduki selama Perang Salib Pertama. Benteng ini kemudian menjadi markas Ksatria Hospitaller. Kini, Krak des Chevaliers merupakan salah satu atraksi wisata yang populer di Suriah.
Sumber

4. Warwick Castle

Warwick Castle dibangun oleh William pada tahun 1068. Sejak dibangun pada abad ke-11, kastil ini telah mengalami perubahan struktural dengan penambahan menara dan bangunan tempat tinggal yang telah didesain ulang. Pada tahun 2001, Warwick Castle dinobatkan sebagai salah satu dari Top 10 historic houses and monuments (Top 10 rumah dan monumen bersejarah) oleh British Tourist Authority dan merupakan salah satu tempat wisata paling populer di Inggris.
Sumber

5. Kastil Matsumoto

Dibangun pada abad ke-16, Kastil Matsumoto dianggap sebagai salah satu istana yang paling terkenal di Jepang. Menariknya, istana ini tidak dibangun di puncak bukit atau di tengah sungai, tetapi di daerah datar. Selama periode Edo, kastil ini diperintah oleh 23 raja Matsumoto yang mewakili 6 keluarga daimyo yang berbeda. Pada periode tersebut, kastil ini juga dikenal sebagai Kastil Gagak, karena dinding dan atapnya yang berwarna hitam tampak seperti sayap.
Sumber

6. Chateau de Chillon

Terletak di antara Danau Jenewa dan Pegunungan Alpen, Chateau de Chillon adalah monumen bersejarah Swiss yang paling sering dikunjungi. Kastil ini terdiri dari 100 bangunan independen yang secara bertahap terhubung dan membentuk satu kesatuan. Kastil ini pernah direbut oleh musuh, namun kemudian berpindah tangan melalui perjanjian.
Sumber

7. Chateau du Haut-Koenigsbourg

Chateau du Haut-Koenigsbourg terletak di lokasi yang strategis di bukit yang tinggi, yang menghadap dataran Alsatian di pegunungan Vosges, Prancis. Kastil ini digunakan oleh bentang pertahanan selama Abad Pertengahan sampai Perang Tiga Puluh Tahun, ketika akhirnya benteng ini dibakar dan dijarah oleh pasukan Swedia setelah pengepungan 52 hari. Setelah itu, kastil ini dibiarkan tidak terpakai selama beberapa ratus tahun. Pada tahun 1899, Chateau du Haut-Koenigsbourg
diberikan kepada kaisar Jerman Wilhelm II dan dibangun kembali.

Inilah tujuh kastil indah dan megah yang dianggap menginspirasi istana dongeng. Tertarik untuk mengunjunginya?




Sumber

janin hewan di dalam rahim induk

Gajah

Beruang Kutub

Ular

Lumba-lumba

Kuskus

Hiu Macan

Macan Tutul

Hiu Lemon

Penguin

Chihuahua

 Kelelawar; ini adalah embrio yang telah dikeluarkan dari rahim dan diawetkan selama bertahun-tahun.

Kuda
Kelelawar (Ini adalah embrio yang telah dikeluarkan dari rahim dan diawetkan selama bertahun-tahun) - See more at: http://www.arrahmah.com/foto/ciptaan-allah-yang-luar-biasa-12-foto-janin-hewan-di-dalam-rahim-induk-mereka1.html#image-9
Kelelawar (Ini adalah embrio yang telah dikeluarkan dari rahim dan diawetkan selama bertahun-tahun) - See more at: http://www.arrahmah.com/foto/ciptaan-allah-yang-luar-biasa-12-foto-janin-hewan-di-dalam-rahim-induk-mereka1.html#image-9

Kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta begitu tak tertandingi. Foto-foto berikut merupakan foto buatan yang menunjukkan janin 12 hewan di dalam rahim induk mereka (dan beberapa di dalam telur) yang benar-benar menakjubkan.
Produser Peter Chinn menggunakan kombinasi dimensional ultrasound scans, kamera kecil dan grafik komputer untuk membuat gambar-gambar embrionik 12 hewan yang masih berada di perut induk mereka untuk sebuah film dokumenter National Geographic yang ditayangkan beberapa tahun yang lalu.
MasyaAllah, foto-foto ini merupakan penggambaran yang relatif akurat yang menunjukkan kepada kita betapa luar biasa janin-janin makhluk ciptaan Allah di dalam rahim induk-induk mereka. (banan/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/foto/ciptaan-allah-yang-luar-biasa-12-foto-janin-hewan-di-dalam-rahim-induk-mereka1.html#image-12
Produser Peter Chinn menggunakan kombinasi dimensional ultrasounds scans , kamera kecil, dan grafik komputer untuk membuat gambar-gambar embrionik 12 hewan yang masih berada di dalam perut induknya untuk sebuah film dokumenter National Geographic yang ditayangkan beberapa tahun yang lalu.

Foto-foto ini merupakan penggambaran yang relatif akurat yang menunjukkan kepada kita betapa luar biasa janin-janin makhluk ciptaan Allah SWT di dalam rahim induk-induk mereka.



Sumber

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 5

Pemangku adat Yogyakarta

Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X

Upacara Jumenengan atau naik takhta Sultan Hamengkubuwono X, tampak melintas di depan Pagelaran didamping Gusti Kanjeng Ratu Hemas, 7 Maret 1989.

Para Abdi Dalem di depan Gedhong Kaca, Museum Hamengku Buwono IX Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Filosofi dan mitologi seputar Keraton

Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam[69].
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran [?])merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya[70].
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (Tamarindus indica [?]) dan tanjung (Mimusops elengi [?]) yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven)[57].
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan)[71].
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi benteng baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947 (?). Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu hutan Beringan tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.

Catatan kaki

  1. ^ Witton, P.; Elliott, M. (2003). Indonesia (ed. 7th). Footscray: Lonely Planet Publications. hlm. hlm. 217. ISBN 1740591542. (lihat di Penelusuran Buku Google)
  2. ^ Pesanggrahan bermakna 'istana kecil' atau 'vila'
  3. ^ Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.
  4. ^ Murdani Hadiatmadja. Tulisan ini selain menggunakan bahan referensi yang diterbitkan juga menggunakan cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat.
  5. ^ Penamaan kompleks/bagian dari Keraton Yogyakarta, begitu pula dengan bangunan maupun lain-lain yang terkait, sengaja menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut merupakan suatu kesatuan makna. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia, apabila ada/memungkinkan, akan diberikan di dalam tanda kurung (…). Terjemahan hanya dilakukan sekali saat bagian, gedung, atau yang lain disebutkan untuk pertama kalinya. Untuk seterusnya tidak diberikan keterangan mengingat keterbatasan tempat.
  6. ^ a b c Tulisan awal
  7. ^ Kota ini memiliki batas utara Tugu Yogyakarta, timur Sungai Code, selatan Panggung Krapyak, dan barat Sungai Winongo.
  8. ^ Plengkung bermakna gerbang lengkung (arched gate).
  9. ^ Chamamah Soeratno et. al. (Buku dari Chamamah Soeratno et. al. banyak berisi ilustrasi terutama foto yang sangat membantu dalam hal arsitektur dan kadang foto-foto tersebut menjelaskan lebih banyak detail arsitektur dibandingkan dengan teks yang ada. Banyak keterangan dari foto-foto tersebut yang digunakan dan diuraikan di sini).
  10. ^ Murdani Hadiatmadja. Murdani hanya menyebutkan bagian utama dari Keraton Yogyakarta mulai dari Siti Hinggil Ler sampai Siti Hinggil Kidul. Untuk arsitektur dan tata ruang, termasuk detailnya, buku dari Murdani dan Chamamah banyak digunakan.
  11. ^ Dalam bahasa jawa regol dapat dimaknai sebagai pintu yang besar/gerbang.
  12. ^ Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
  13. ^ misal pada Bangsal Witono dan Bangsal Kencono
  14. ^ Pada bagian ini buku Chamamah Soeratno et. al. digunakan di sebagian besar tulisan. Deskripsi berasal dari teks maupun dari foto-foto yang ada. Selain itu juga digunakan buku Murdani Hadiatmadja.
  15. ^ Pangurakan berasal dari kata “urak” dapat dimaknai daftar jaga atau pengusiran.
  16. ^ Chamamah Soeratno et. al. begitu pula dengan Murdani Hadiatmadja.
  17. ^ a b Murdani Hadiatmadja.
  18. ^ a b c d Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  19. ^ a b c On location Desember 2007
  20. ^ Aslinya Alun-alun ditutupi dengan pasir dari pantai selatan (Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat [Media])
  21. ^ Gambaran dinding pagar di sekeliling alun-alun yang relatif masih seperti aslinya dapat dilihat di Alun-alun Kidul, dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan lebih utuh (On location Desember 2007)
  22. ^ Versi lain bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru.
  23. ^ Pepatih Dalem adalah pegawai kerajaan tertinggi yang diangkat oleh Sultan untuk mengelola kerajaan.
  24. ^ Tapa Pepe bermakna menjemur diri. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.
  25. ^ Pisowanan ageng bermakna pertemuan besar. Dalam kegiatan ini rakyat dan pejabat menghadap/menemui Sultan sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Sultan dan Kesultanan.
  26. ^ Jejak Boto secara harfiah bermakna menendang batu bata.
  27. ^ semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan.
  28. ^ Dahulu Tratag Pagelaran merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang besar pada 1934.
  29. ^ Nama/jenis kelompok pegawai Kesultanan Yogyakarta
  30. ^ Sebagian besar bagian ini merujuk pada Murdani Hadiatmadja dan Bangunan Keraton Kasultanan Yogyakarta (Pranala luar)
  31. ^ abdi-Dalem Mertolulut dan abdi-Dalem Singonegoro adalah kelompok pegawai kerajaan yang bertugas sebagai algojo/eksekutor putusan hakim pengadilan kerajaan.
  32. ^ Dahulu Tratag Siti Hinggil merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang megah pada 1926.
  33. ^ Kedua bangsal ini direnovasi oleh Sultan HB VIII pada 1925.
  34. ^ KK singkatan dari Kangjeng Kyai, suatu derajat gelar bagi pusaka kerajaan. Untuk lebih jelasnya silakan lihat bagian pusaka kerajaan dibagian lain halaman ini.
  35. ^ Murdani Hadiatmadja, Chamamah et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media), dan on location.
  36. ^ a b Murdani Hadiatmadja, Chamamah Soeratno et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
  37. ^ Praja Cihna adalah Lambang Kesultanan Yogyakarta. Di bagian atas terdapat Songkok, mahkota Sultan, menggambarkan bentuk Monarki. Di bawah songkok sebelah kanan dan kiri terdapat Sumping, hiasan telinga, yang menggambarkan sifat waspada dan bijaksana. Di sebelah bawahnya terdapat sepasang sayap mengapit tulisan Ha Ba, singkatan dari Hamengku Buwono yaitu dinasti yang memerintah, dalam aksara Jawa.
  38. ^ Kraton Kilen bermakna Istana Barat
  39. ^ Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa
  40. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menunggu para penari untuk pentas di bangsal Kencana
  41. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat abdi-Dalem Musikan memainkan ansambel musik diatonis, misalnya Wilhelmus van Nassau, lagu kebangsaan Kerajaan Belanda
  42. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat mempersiapkan minuman teh
  43. ^ Bangunan yang digunakan sebagai kantor Bendahara
  44. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan lampu/lentera
  45. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan makan dan minum
  46. ^ Bangunan yang digunakan sebagai tempat memainkan orkestra gamelan, misalnya Gendhing Monggang, suatu hymne khusus bagi Sultan
  47. ^ Mesjid Keputren
  48. ^ Tahun 1682 dalam perhitungan Kalender Jawa atau tahun 1756 menurut Kalender Gregorian
  49. ^ Murdani Hadiatmadja, Chamamah Soeratno et. al.
  50. ^ Murdani Hadiatmadja dan Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
  51. ^ Murdani Hadiatmadja
  52. ^ Murdani Hadiatmadja dan on location.
  53. ^ Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media) (?).
  54. ^ a b c On location
  55. ^ Cerita rakyat
  56. ^ a b c d e f g h i Chamamah Soeratno et. al.
  57. ^ a b Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)
  58. ^ On location dan Murdani Hadiatmadja
  59. ^ Chamamah Soeratno et. al. dan sebagian kecil dari on location
  60. ^ Pathok Negoro bermakna tapal batas Nagari Ngayogyakarta, sebutan Ibukota Kesultanan Yogyakarta
  61. ^ Sebagian besar bagian ini diambil dari pranala luar: Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg
  62. ^ Pawohan berasal dari kata “uwoh” yang berarti buah.
  63. ^ Sebagian besar bagian ini diambil dari pranala luar: Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg, cerita rakyat, dan on location
  64. ^ Cerita rakyat dan on location
  65. ^ Sebagian besar artikel ini diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  66. ^ Sebagian besar artikel ini diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).
  67. ^ Keterangan derajat kehormatan dan kepemilikan pusaka dalam paragraf ini dan dua paragraf berikutnya diterangkan sendiri oleh Sultan HB X dalam acara Jemparing yang ditayangkan oleh TVRI Stasiun Yogyakarta. Contoh dan keterangan lanjut dikembangkan penyusun/editor dengan analogi nama masing-masing pusaka dan kegunaannya
  68. ^ Macam/jenis pusaka pada paragraf ini dan tiga paragraf berikutnya sebagian besar diambil dari Chamamah Soeratno et. al.. Contoh detail dari masing-masing pusaka yang tidak diberikan dalam Chamamah Soeratno et. al. dikembangkan sendiri oleh penyusun/editor berdasarkan cerita rakyat yang berkembang.
  69. ^ Sebagian diambil dari Murdani Hadiatmaja.
  70. ^ Sebagian diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)
  71. ^ Murdani Hadiatmaja



Sumber

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 4

Warisan budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Tumplak Wajik

Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.[61]

Garebeg

Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan[62] terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.[63]

 Upacara Garebeg pada masa kolonial Hindia Belanda (kurun 1925-1942).

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.[64]

Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan

Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[65] tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi Suraksa Harga atau lebih dikenal dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[66]

Pusaka kerajaan

Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah[56].
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri[56].
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.[67]
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.[68]

Regalia

Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:
  1. Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
  2. Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
  3. Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
  4. Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
  5. Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
  6. Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
  7. Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
  8. Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
  9. Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.[56]

Lambang kebesaran

KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa (busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari bulu merak); KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah (karpet/tikar ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.[56]

Gamelan

Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).[56]

Kereta kuda pilihan

Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.[56]

Tanda jabatan

Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana beliau menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK Joko Piturun merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng Karaton (Lembaga Istana). Keris KK Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.[56]

(Bersambung)

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 3

Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta

 Bangsal Kencono, bagunan utama dalam kompleks Keraton Yogyakarta, di belakangnya terdapat nDalem Ageng Proboyakso.

Ukiran kepala Kala di Bangsal Manis

Kamagangan

Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta[48]. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.[49]

Kamandhungan Kidul

Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang.[50]

Siti Hinggil Kidul

Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil : tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya[6]. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)[6] [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.[51]

Kompleks belakang

Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.[52]

Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang[53]. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.

Bagian lain Keraton

Pracimosono

Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.[54]

Roto Wijayan

Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.[54]

Kawasan tertutup

Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan[55]. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.[56]

Taman Sari

Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.[18]

Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta

Kadipaten

Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran Adipati Anom". Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.[57]

Benteng Baluwerti

Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung, dua diantaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.[58]

Bagian lain yang terkait

Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar lingkungan Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan yang erat dan boleh jadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Tugu Golong Gilig

Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white pole) merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali. Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang (Januari 2008). Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.[18]

Panggung Krapyak

Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga kerajaan. Berlokasi dekat Ponpes Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah menimba ilmu, bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Namun demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.[19]

Kepatihan

nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.[59]

Pathok Negoro

Mesjid Pathok Negoro[60] yang berjumlah empat buah menjadi penanda batas wilayah ibukota (?). Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas utara), Mlangi (batas barat), Kauman Dongkelan (batas selatan), dan Babadan (batas timur). Pendirian masjid ini juga memiliki tujuan sebagai pusat penyiaran agama Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid ini adalah setingkat dibawah masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari kedudukan para imam besar/penghulu (jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi anggota Al-Mahkamah Al-Kabirah, badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan agama Islam, dimana imam besar masjid raya kerajaan (Kangjeng Kyai Pengulu) menjadi ketua mahkamah.[56]

Bering Harjo

Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo sampai saat ini menjadi salah satu pasar induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar tradisional yang merakyat.[54]

(Bersambung)

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.