Selasa, 11 Februari 2014

Mahalnya Biaya Capres

Seorang calon presiden butuh dana hingga Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. ”Dana yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Ini karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimulai”, kata Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta, Sabtu (25/1).
Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com, 26/1).
Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan model kampanye dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang punya duit banyak.
Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di iklan. Menurutnya, di 2014 nanti, setengah dana capres juga akan habis di iklan.
Faktor ketiga, pergeseran politik yang makin personal, maka orang makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang maju dalam pemilu legislatif.
Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.
Sementara itu Politico melaporkan bahwa ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah. Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)
Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu? Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan kecil-kecil dari individu.
Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan.
Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah, kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.
Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin besarnya biaya politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan akan makin kental. Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.
Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang pejabat akan dibuat sebesar mungkin.
Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan (http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).
Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu menyebutkan diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai peraturan.
Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu, ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji, tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan anggota legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.
Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.[]
Komentar:
Kepala PPATK M Yusuf mengatakan transaksi mencurigakan di partai politik meningkat 20-25 persen menjelang pelaksanaan pemilu. (Republika, 28/1)
  1. Itu terjadi akibat sistem politik yang berbiaya mahal. Itu adalah awal dari persekongkolan politisi-pemodal dan menguatnya korporatokrasi. Itulah salah satu sumber kebobrokan sistem poltiim demokrasi.
  2. Akibatnya, kepentingan rakyat terpinggirkan dan sumber daya kekayaan milik rakyat diserahkan kepada swasta. Rakyat tinggal gigit jari.
  3. Hanya dengan sistem politik Islam dalam naungan khilafah saja, penguasa, pejabat dan politisi akan benar-benar memperhatikan urusan rakyat; dan kekayaan milik rakyat benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.


Sumber

Fatwa Haram Golput Langgengkan Bobroknya Politik Indonesia

MUI mengeluarkan fatwa golput haram selama masih ada calon yang layak dipilih. Namun dengan fatwa tersebut MUI dinilai melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
“Kalau mereka dilarang untuk golput justru menjustifikasi sistem politik yang tidak baik. Fatwa harusnya menganjurkan kepada kebaikan,” jelas pengamat politik Indobarometer M Qodari kepada detikcom, Senin (26/1/2009).
Qodari menjelaskan banyak masyarakat tidak memilih atau golput karena merasa aspirasinya tidak terwakili. Rendahnya angka keikutsertaan masyarakat dalam pemilu ini harusnya menjadi pelajaran bagi politisi untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dipilih.
“Tapi kalau golput diharamkan maka parpol dan politisi tidak mendapat pelajaran karena angka keikutsertaan pemilih tetap tinggi,” jelas Qodari.
Terlepas dari adanya unsur politis atau tidak dalam fatwa ini, Qodari melihat MUI kurang melihat realitas di lapangan. Menurutnya lagi dengan fatwa ini juga keuntungan belum tentu berpihak pada partai Islam saja.
“Golput terjadi tidak di partai Islam saja tapi juga di partai nasionalis. Saya kira merata,” pungkasnya. (detik.com, 26/01/09)



Sumber

TANGGAPAN TERHADAP FATWA MUI TENTANG GOLPUT

Melalui forum Ijtima’ Ulama yang diselenggarakan pada 24 – 26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang, Sumatera Barat, MUI mengeluarkan sejumlah fatwa, diantaranya tentang Golput (Tidak Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum). Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut:
  1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
  2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
  3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.
  4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
  5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Terhadap fatwa di atas, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan tanggapan sebagai berikut:
1. Benar bahwa kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, maka kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) masyarakat agar tercipta kemashlahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam), yakni yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, agar terwujud kemashlahatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban. Tapi kewajiban di sini harus dikatakan sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah), dimana bila kepemimpinan yang Islami telah terwujud, maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.
2. Benar bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) adalah haram. Tapi harus dikatakan, bahwa meski secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu), sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata berdasarkan syariat Islam saja, karena kemashlahatan bersama hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariat Islam. Tanpa syariat Islam, meski pemimpin itu secara personal telah memenuhi syarat agama, yang terjadi bukan kemaslahatan, tapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini.
3. Telah ditetapkan melalui fatwa MUI sebelumnya bahwa Sekularisme hukumnya haram, maka memimpin berdasarkan Sekularisme juga harus dinyatakan haram. Karenanya, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan Sekularisme atau menolak syariat Islam demi mempertahankan Sekularisme, juga seharusnya dinyatakan haram.
4. Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, tidaklah tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat tersebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariat Islam.
5. Bagi siapa saja yang akan turut memilih pemimpin, maka wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama (Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariat Islam semata. Karena itu, rekomendasi poin 1 dimana umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tapi diwajibkan memilih pemimpin yang mampu mengemban tugas amar makruf nahi mungkar, bukan yang sebaliknya.
6. Adapun tentang pemilihan wakil rakyat, tidaklah bisa disamakan dengan pemilihan pemimpin karena hukum memilih wakil rakyat memang berbeda dengan memilih pemimpin. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariat Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah. Sedangkan memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah, mengingat hukumnya mengikuti hukum wakalah (perwakilan) dimana seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Maka, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan sekedar dianjurkan, tapi diwajibkan untuk memilih yang akan benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi munkar. Dan sebaliknya, dalam fatwa itu semestinya harus dinyatakan haram memilih wakil rakyat yang sekuler dan tidak mengemban amar makruf nahi munkar.



Sumber

Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim

Oleh: Ustadz Abu Sofyan Cholid Idham Ruray

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Diantara kaidah penting dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani berbicara dan berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati, dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah Ruwaibidhoh itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.”
[HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang terjadi beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”
Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin, dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri ini baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga presiden tidak akan berani melakukan diskriminasi.”
Tak ketinggalan, pemimpin sebuah partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas tidak berproduktif.”
Dan partai tersebut bahkan telah membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota nonmuslim, walaupun tidak berhasil memenangkan pemilihan.
Sebagian orang pun beralasan asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan masalah “perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi.. Masih pantaskah memilih pemimpin karena agamanya ?

Jawabannya tergantung dari sisi mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:
PERTAMA:
Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok, pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin. Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus tunduk di bawah demokrasi.
KEDUA:
Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin nonmuslim (baca: kafir) adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan seluruh Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”
[Al-Maidah: 51]
Ulama besar Syafi’iyah, Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan makna ayat ini,

ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }

“Allah ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim’.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah ta’ala,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.”
[An-Nisa: 141]
Ulama besar Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل

“Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh; Ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir maka harus dilengserkan.”
[Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا

“Syarat pemimpin haruslah seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum muslimin bagi orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi orang kafir selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]
Demikianlah perbedaan dua sisi pandang dalam menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah produk manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat terbatas, sedang yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya dia memandang.
Dan sang Pencipta, Allah jalla wa ‘ala menegaskan,

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
[Al-Baqorah: 147]
Allah ta’ala juga mengingatkan,

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ. السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ

“Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.”
[Al-Mu'minun: 71]



Sumber

Golput Haram?

Oleh: Rizqi Awal, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat, Pengamat di Lembaga Analisis Politik Indonesia
DI antara point-point dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang tidak menggunakan hak pilih di dalam Pemilihan Umum :
Salah satu dari dua rekomendasinya :
“Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.”
Butir-butir yang menjadi landasan rekomendasi tersebut :
butir ke-4 : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.
butir ke-5 : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
butir ke-1 : Pemilihan Umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Dan jika kita perhatikan dari point-point di atas tampak MUI begitu bijaksana dan sangat berhati-hati. Hal itu terlihat dari adanya tiga hukum yang terkait dengan penggunaan hak pilih didalam pemilihan umum :
  1. Dianjurkan (mandub atau sunnah) yang ada didalam rekomendasi.
  2. Wajib yang ada didalam butir ke-4.
3. Haram namun dengan persyaratan yaitu, haram golput selama ada calon yang memenuhi syarat, pada butir ke-5.
Didalam butir ke-5 tidak ada penjelasan rinci tentang kata-kata ‘memenuhi syarat’, apakah yang dimaksud syarat-syarat yang disebutkan didalam butir ke-1 atau butir ke-4 atau kedua-duanya.
Isi butir ke-5 “….. atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” dan jika menggunakan pemahaman berbalik maka bisa diartikan dengan “…. atau tidak memilih sama sekali (golput) ketika tidak ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah tidak haram”
Kemudian dalam Rekomendasinya MUI menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Kata-kata ‘menganjurkan’ berbeda dengan ‘mewajibkan’ begitu pula didalam konsekuensi hukumnya. Artinya seorang muslim yang melakukan perintah tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah swt dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidaklah tercela dan tidak juga mendapatkan dosa dari-Nya.
Dari butir ke-5 dan rekomendasi tersebut tampak tidak ada pengharaman GOLPUT oleh MUI secara mutlak namun demikian MUI menganjurkan agar umat islam memilih orang-orang yang mengemban amar ma’ruf nahi munkar.
Kemudian ukuran apakah seorang calon pemimpin atau wakil rakyat memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak, siap mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar atau tidak akan berpulang kepada pengetahuan dan pemahaman setiap pemilih yang memungkinkan terjadinya perbedaan diantara mereka. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon pemimpin atau wakil rakyat telah memenuhi syarat namun tidak menurut yang lainnya. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon dapat mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar namun tidak menurut yang lainnya.
Golput Haram, Di Sistem yang Kufur
Al-Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyahmengemukakan:

فماذا تخبرنا المراجع عن أصل هذه الكلمة، وعن حقيقة مدلولها؟ لقد تضافرت تعريفات القواميس والكاتبين ….. على أن “الديمقراطية” كلمة يونانية الأصل، وهي مكونة من كلمتين، أضيفت إحداهما إلى الأخرى.

“Lantas apa yang dijelaskan berbagai referensi tentang asal kata ini dan hakikat pengertiannya? Sungguh definisi yang dijelaskan dalam kamus-kamus dan penjelasan para penulis (buku tentang demokrasi) saling menguatkan….. Bahwa, demokrasi adalah kata yang berasal dari Yunani, terdiri dari dua kata, yang satu sama lain saling terkait.”
Makna demikian, sebenarnya ditemukan secara gamblangan tentang Demokrasi itu sendiri. Dimana pijakan hukum bukan bertitik tolak pada Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi kesepakatan masyarakatnya. Sementara Pemimpinnya menjalankan apa yang telah disepakati bersama.
Padahal jelas kita ketahui bahwa,
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)
Dan juga pada ayat:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 44)
Ini sangat kontradiktif dengan maksud dan tujuan Demokrasi. Seringkali diantara mereka yang menghalalkan Demokrasi, seringkali mengambil Demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Padahal kita ketahui bersama bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai perantara menegakkan hukum manusia, sehingga penerapan syariat islam sebagai tujuan perjalanan politik sebenarnya hanyalah barang jualan saja. Sementara saat mendudukkan jabatan, sebenarnya hukum yang dijalankan bukanlah islam.
Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan: “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Fatwa Golput haram sementara sistemnya hari ini adalah kekuasaan yang tidak bertitik tolak dengan islam, maka ini tak bisa diterapkan. Sementara, seruan golput itu haram, adalah tugasnya untuk mencari pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul. Sementara Presiden hari ini, harus taat pada UUD 1945 yang sebenarnya pijakannya bukan berasal dari islam.

Kepentingan Politik di Balik Golput Haram
Meskipun fatwa ini telah beredar semenjak tahun 2009. Nyatanya fatwa ini memang populis, tetapi bagi masyarakat fatwa ini sangat berbau politis. Kenapa demikian?
Berapa sebenarnya jumlah Golput pada Pemilu 2009 ? (berdasarkan dataPemilu Legislatif). Dari 171.265.442 pemilih, hanya 104.099.785 suara yang sah ! Suara yang tidak sah sebesar 17.488.581 (sebagian tentunya juga Golput). Jumlahnya suara yang tidak memilih paling sedikit 49.677.776 ~ 29,006 persen.
Lahirnya fatwa haram itu, bisa jadi merupakan tekanan politik kala itu. Karena masyarakat telah menilai bahwa tidak ada yang penting menurut mereka untuk melakukan pemilihan. Bahkan, masyarakat sepertinya tidak merasa “harus” memilih. Sebab masyarakat hari ini telah dewasa dan mengerti tentang makna pemilihan.
Ini kelak bisa menjadi tedensius sendiri buat MUI. Sebab di fatwa ini bisa membahayakan kepada ummat. Seolah-olah semua fatwa MUI penuh dengan kepentingan. Sementara bagi saya, masyarakat harus bijak melihat fatwa MUI itu sendiri. Apalagi di tahun 2014, sepertinya kepercayaan publik kepada pemilihan legislatif dan eksekutif sepertinya semakin menghilang. Jejak caleg yang penuh masalah, Partai-partai di masa lalu, ternyata tetap saja melakukan Korup, meskipun itu berasal dari partai berbasiskan islam sekalipun.
Pertanyaanya, bisakah Golput melahirkan tekanan kepada publik? Tentu bisa. Kepemimpinan yang tidak memiliki legitimasi kuat dari masyarakat adalah kepemimpinan yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat. Maka, tekanan perubahan amandemen undang-undang secara mendasar dan pergantian kepemimpinan begitu kuat. Begitulah proses yang dialami Indonesia selama 2 kali rezim kekuasaan. Soekarno dan Soeharto. Bukan dorongan dari dalam, tetapi dorongan masyarakat luaslah yang telah mengubah paradigma politik di suatu negeri. []



Sumber

Fatwa Golput Haram

Majlis Fatwa MUI di Padang memutuskan bahwa : Golput Haram, bagaimana menurut anda ?

Setelah membaca teks fatwa yang dimaksud, saya tidak menemukan kalimat "Golput Haram", barangkali itu hanya plintiran mass media. Kesimpulannya bahwa Fatwa MUI dalam masalah ini mengandung lima butir. Kebanyakan isinya masih bersifat umum, hanya saja ada beberapa butir yang perlu dicermati, diantaranya adalah butir pertama yang menyebutkan bahwa :  " Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa." Pengertian pemilihan umum yang disebutkan oleh MUi masih mengambang dan membutuhkan kejelasan.

Begitu juga pada butir kelima yang berbunyi : " Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram."

Butir kelima dari fatwa tersebut mengandung dua hal :

Pertama : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi kriteria adalah haram. Padahal kenyataannya dalam dunia perpolitikan Indonesia yang masih menganut sistem demokrasi sekuler ini, belum kita temukan pemimpin yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan MUI, sehingga – menurut fatwa MUI di atas- haram hukumnya bagi umat Islam untuk memilih salah satu calon yang ada. Ini juga berarti sebaliknya bahwa golput adalah wajib. Maka, fatwa ini perlu dikaji ulang.

Adapun isi fatwa pada bagian kedua adalah bahwa : " Tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram."

Kenyataannya, kita tidak mendapatkan pemimpin yang memenuhi syarat. Taruhlah, ada pemimpin yang memenuhi kriteria yang ditetapkan MUI- dan ini sulit di dapatkan – tetap saja fatwa tersebut sulit diterapkan, karena sistem kepemimpinan yang dianut oleh Indonesia adalah kepemimpinan kolektif ( partai ), yang di topang oleh demokrasi sekuler, sehingga seorang pemimpin yang baik bagaimanapun juga, tidak akan bisa banyak berbuat, selama pengaruh partai masih dominan.

Sebenarnya, permasalahannya bukan pada pemimpin, tetapi pada sistem yang salah. Oleh karenanya, yang kita harapkan dari MUI adalah fatwa bahwa sistem politik yang dianut bangsa Indonesia adalah sistem demokrasi sekuler yang bertentangan dengan Islam, dan wajib bagi umat Islam kembali kepada sistem politik Islam yang berdasarkan “ Syura “ dan mengangkat Dewan Syura atau Ahlul Halli wal Aqdi  - bukan DPR/ MPR- dari para ulama yang konsisten dan para ahli dalam bidangnya yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam Islam.

2.Sebagian masyarakat menilai ada nuansa politik dibalik fatwa itu, benarkah demikian ?

Menurut saya, memang ada nuansa politik di balik fatwa tersebut, salah satu indikasinya bahwa fatwa ini muncul setelah adanya usulan atau desakan dari ketua MPR yang notabenanya adalah salah satu mantan ketua partai politik yang berbasis Islam, bahkan diprediksikan dia  termasuk   salah satu bakal calon presiden atau wakil presiden yang akan ikut bertarung pada pemilu 2009 nanti. Kenyataan seperti ini, berpotensi menimbulkan kecurigaan bahwa munculnya fatwa semacam ini – jika dipahami darinya bahwa " golput haram ", -  dan ini tidak benar – akan bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perolehan suara pada pemilu nanti. Bisa jadi, MUI dengan fatwa ini tidak bermaksud kearah itu, tapi pihak lain bisa saja  menyalah gunakan fatwa tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.

3/ Bagaimana sebenarnya hukum syar’I memilih pemimpin ?

Islam telah meletakkan garis-garis besar tentang tata cara memilih pemimpin. Walaupun para ulama belum menyepakati tentang aturan baku dalam hal ini, tetapi paling tidak, ada kaidah-kaidah yang bisa dijadikan pedoman, diantaranya adalah :

Pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah, dan tidak harus dicalonkan oleh salah satu partai politik. Tetapi dengan beberapa cara-cara yang telah dilakukan kaum muslimin dahulu, diantaranya adalah : pemimpin yang lama memilih dan mengangkat langsung pemimpin baru sebagi penggantinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar, atau dengan cara musyawarah, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhajirin dan Anshor ketika memilih Abu Bakar menjadi khalifah, atau dengan cara pemimpin yang lama membentuk Ahlu Halli wa Al Aqdi yang terdiri dari para ulama dan tokoh –tokoh masyarakat kemudian mereka memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria syar’i, dan ini pernah dilakukan Umar bin Khattab ketika mengangkat Utsman bin Affan sebagai khalifah.

4/ Bagaimana menurut anda Pemilu ditinjau dari sisi Syari’at Islam ¿

Pemilu yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan Syari’at Islam, paling tidak dari dua sisi :

Pertama : Calon pemimpin ditentukan oleh partai yang mendapatkan suara banyak, dan ini tidak tepat, mestinya pemimpin yang dicalonkan adalah yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan syari’ah, bukan yang mendapatkan suara terbanyak dalam partai.

Kedua : Cara memilih dengan menyamakan seluruh elemen masyarakat, yaitu seorang ulama disamakan suaranya dengan seorang pelacur, atau seorang profesor disamakan suaranya dengan preman. Padahal Islam jelas-jelas telah membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Gambaran ini sangat jelas dalam “ konsep Ijma’ “ yaitu kesepakatan orang-orang berilmu ( dalam bidang Syari’at ) dalam suatu hukum tertentu. Kesepakatan ini harus diikuti oleh masyarakat umum, walaupun yang bersepakatan itu jumlahnya sedikit. Ini menunjukkan bahwa orang berilmu dihormati di dalam Islam dan pendapatnya sangat berbobot, bahkan bisa saja pendapat satu ulama sebanding dengan pendapat satu juta orang yang bukan ulama.

Oleh karena itu, cara yang tepat adalah bahwa untuk menentukan pemimpin sebuah negara seluas Indonesia ini, mestinya cukup dengan orang-orang tertentu yang memang  memiliki keahlian dalam bidang tersebut.

5. Bagaimana hubungan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai Islam ¿

Secara garis besar prinsip demokrasi bertentangan dengan prinsip Islam, karena demokrasi mengembalikan segala urusan kepada rakyat, baik urusan itu sudah diatur dalam Islam atau belum, disini rakyat diposisikan sebagai pembuat aturan secara mutlak. Sedang Islam menyuruh umatnya untuk mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya, ulama atau pemimpin hanya berijtihad atau bermusyawarah pada hal-hal yang belum diatur secara rinci di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Memang ada sebagian nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan Islam, tapi itu hanya sedikit saja, dan yang sedikit ini tidak bisa merubah status demokrasi, sehingga dia tetap bertentangan dengan Islam.



Sumber

Menelisik Misteri Sabdo Palon 2 (Habis)

SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?
Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.”  (merinding juga saya mendengar nama ini)
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha, lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
  1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
    Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
  2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
    Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
  3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
    Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
  4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
    Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
  5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )
    Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
  6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
    Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
  7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
    Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
  8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
    Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
  9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
    Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
  10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
    Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru. Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.”
“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”.  Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata illa billah…”
Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho.



Sumber

Menelisik Misteri Sabdo Palon 1

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :
3. Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)
4. Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)
5. Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)
6. Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)
7. Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
8. Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.).
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

(Bersambung)

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.