Sabtu, 01 Februari 2014

Kerajaan Minanga dan Prasasti Kedukan Bukit

Kerajaan Minanga 
 
Minanga
Malayu

645–682
Ibukota Minanga
Hulu Sungai Batang Hari
Bahasa Melayu Kuna, Sanskerta
Pemerintahan Monarki
Sejarah
 -  Didirikan 645
 -  Invasi Sriwijaya 682
Mata uang Koin emas dan perak

Minanga merupakan salah satu nama dari Kerajaan Melayu yang telah muncul pada tahun 645. Berita tentang keberadaan kerajaan ini didapat dari buku T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961 masa Dinasti Tang, dimana kerajaan ini mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya[1]. Kemudian didukung oleh Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682.

Asal Usul

Dari Prasasti Kedukan Bukit, disebutkan bahwa Dapunta Hyang pendiri Sriwijaya bertolak dari Minanga, dengan membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan[2]. Berita tentang Kerajaan Melayu ini juga disebut dalam catatan perjalanan Pendeta I-tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713) identik dengan kerajaan ini[3].
Selain dari berita buku T'ang-Hui-Yao, dari buku Tse-fu-yuan-kuei pada masa Dinasti Song yang dibuat atas dasar sejarah lama oleh Wang-ch'in-jo dan Yang I antara tahun 1005 dan 1013, juga menceritakan adanya utusan dari Kerajaan Melayu datang ke Cina antara tahun 644 dan 645.
Namun belum ada sumber yang menyebutkan dimana lokasi persisnya tempat yang menjadi ibukotanya serta siapa yang menjadi raja di kerajaan ini.

Sumber Cina

Artikel ini memuat teks berbahasa Tionghoa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari karakter yang dimaksud. 

Pada masa Dinasti Yuan dan Dinasti Ming, kata Ma-La-Yu disebutkan sering (dalam sejarah cina) untuk merujuk kepada suatu bangsa dari laut selatan dengan ejaan yang berbeda akibat perubahan dinasti.
   * (Cina: 木 剌 由)- Bok-la-yu, Mok-la-yu
   * (Cina: 麻 里 予 儿) - Ma-li-yu-er
   * (Cina: 巫 来由) - Oo-lai-yu (dijiplak dari sumber tertulis biarawan Xuan Zang)
   * (Cina: 无 来由) - Wu-lai-yu
Sebagian ekstrak dari Chronicle asli Mongol Yuan (dalam bahasa Cina): Chronicle of Mongol Yuan
   "以 暹 人 与 麻 里 予 儿 旧 相 仇杀, 至 是 皆 归顺, 有 旨 谕 暹 人" 勿 伤 麻 里 予 儿, 以 践 尔 言 ".

Perdagangan

Dengan adanya perlindungan dari Cina, Kerajaan Minanga menjadi penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu, dan memiliki hasil tambang emas dan perak.

Penurunan

Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, pada tahun 682 Dapunta Hyang bertolak dari Kerajaan Minanga dengan membawa 20.000 tentara kearah selatan lalu mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian pusat kerajaan berpindah ke wilayah muara sungai Musi atau Palembang sekarang.

Referensi

  1. ^ Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS.
  2. ^ George Cœdès, 1930, Les inscriptions malaises de Çrivijaya, BEFEO.
  3. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”.
 Sumber

Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Teks Prasasti

Alih Aksara

  1. svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu
  2. klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di
  3. sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
  4. vulan jyeşţha dapunta hiya<m> maŕlapas dari minānga
  5. tāmvan mamāva yamvala dualakşa dangan ko-(sa)
  6. duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
  7. tlurātus sapulu dua vañakña dātamdi mata jap
  8. sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>...
  9. laghu mudita dātam marvuat vanua...
  10. śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa...

Alih Bahasa

  1. Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas
  2. paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
  3. sampan mengambil siddhayātra. di hari ke tujuh paro-terang
  4. bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
  5. tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
  6. dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
  7. tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
  8. sukacita. di hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)
  9. lega gembira datang membuat wanua....
  10. Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....

Keterangan

Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan M. Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.[2]
Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique), tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan, sukses dalam perjalanannya.”
Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut:[3] Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera Selatan).[4] Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukkan oleh Dapunta Hyang, tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga.[5] Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau,[6] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang).[7] Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[8]

 Prasasti Kedukan Bukit

Referensi

  1. ^ The Encyclopedia of Malaysia: Languages and Literature, Volume 9 / edited by Prof. Dato' Dr. Asmah Haji Omar
  2. ^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
  3. ^ Damais, Louis-Charles, (1952), Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46.
  4. ^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X
  5. ^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
  6. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X.
  7. ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
  8. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1.






Sumber

Tokoh Kesultanan Melayu 2 (Habis)

Alauddin Riayat Syah dari Malaka

Sultan Alauddin Riayat Syah (Raja Hussain) adalah raja ketujuh Kesultanan Malaka. Dia mangkat dalam usia 30 tahun, tepat sebelum hendak berangkat naik haji ke Mekah, kemungkinan karena diracun.[1]. Dia dimakamkan di Pagoh.

Catatan

Sumber

Mahmud Syah dari Malaka

Sultan Mahmud Syah adalah raja kedelapan dan terakhir dari Kesultanan Malaka. Dia dipilih sebagai raja menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Syah I, melangkahi saudaranya yang lebih tua, Munawar Syah.
Pemerintahan Sultan Mahmud Syah atas Malaka berakhir dengan serangan Portugis yang menaklukkan Malaka pada 1511. Mahmud Syah kemudian memindahkan ibu kotanya ke Bintan. Setelah ibu kota di Bintan dibumihanguskan Portugis, dia kemudian mengundurkan diri ke Kampar, tempat dia wafat pada tahun 1528.
Putra ke-2 Sultan Mahmud Syah, Alauddin Riayat Syah II kemudian mendirikan kerajaan baru di Johor. dan Putra Sulang Sultan Mahmud Syah, Mudzaffar Syah kemudan mendirikan kerajaan baru di Perak


Sumber

Tokoh Kesultanan Melayu 1

Sang Sapurba

Sang Sapurba adalah tokoh mitos legenda di Bumi Melayu, keturunan dari Iskandar Zulkarnain.
Dalam Sulalatus Salatin, disebutkan dari tokoh ini semua raja-raja Melayu diturunkan. Sementara dalam Tambo Minangkabau, tokoh ini disamakan dengan Maharajadiraja pendiri Alam Minangkabau.[1]

Biografi

Sang Sapurba menikah dengan Wan Sundaria, putri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang, dan dari pernikahan tersebut memiliki 4 orang anak, 2 orang putri, Putri Sri Dewi dan Putri Chandra Dewi, kemudian 2 orang putra, Sang Mutiara dan Sang Nila Utama.[2]
Sebagai pewaris kekuasan Iskandar Zulkarnain dan salah satu dari tiga ahli waris kekuatan besar di dunia bersama dengan Tiongkok (Kaisar Cina) dan Romawi (Kekhalifahan di Turki) waktu itu. Sang Sapurba punya ambisi memelihara kebesaran kerajaannya, kemudian menjelajahi semua kawasan Melayu. Ia melakukan perjalanan mulai dari Palembang, Tanjungpura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Batang Kuantan sampai ke Minangkabau. Dari setiap kawasan yang dilaluinya menyatakan sembah setia sebagai rakyatnya.[2] Dalam Tambo Minangkabau, kedatangan Maharajadiraja bersama pembantunya Cati Bilang Pandai serta diiringi oleh 4 orang yang dikiaskan dengan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mu'alim.[1] Nama-nama ini mungkin juga menunjukan asal daerah dari para pengiring tersebut.[3]
Di Minangkabau, Sang Sapurba dinobatkan menjadi raja, setelah sebelumnya diuji oleh masyarakatnya untuk mengalahkan Ular Sakti Muna, seekor ular besar yang telah merusak perhumaan di kawasan tersebut.[2] Maharajadiraja ini kemudian membangun pusat pemerintahan di Lagundi Nan Baselo yang dirujuk pada kawasan Pariangan (Parhyangan).
Keturunan dari Sang Sapurba ini kemudian menyebar di Dunia Melayu, Sang Mutiara kemudian menjadi raja di Tanjungpura, Sang Nila Utama menjadi raja di Bintan sebelum pindah ke Singapura. Sementara putrinya dinikahkan dengan raja Jawa (Majapahit).[4]

Identifikasi dengan Raja Melayu

Sulalatus Salatin menyebutkan nama pendiri Singapura adalah Sri Tri Buana.[2] Kemudian berita ini dikaitkan dengan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, diketahui Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa sebagai Maharaja di Bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Jawa Kertanagara.[5] Pararaton menyebutkan kepulangan pasukan Ekspedisi Pamalayu ke Jawa tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri raja Melayu, Dara Jingga dan Dara Petak[6] yang kemudian dinikahi oleh sira alaki dewa dan pendiri Majapahit Raden Wijaya.[7]

Rujukan

  1. ^ a b Datuk Batuah, A., Datukt Madjoindo, A., (1957), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. ^ a b c d Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
  3. ^ Marihandono, Djoko, (2008), Titik balik historiografi di Indonesia, Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Departemen Sejarah FIB UI, ISBN 9793258802.
  4. ^ Raffles, T. S., (1817), The history of Java, Volume 2, Printed for Black, Parbury, and Allen.
  5. ^ Muljana, Slamet, (1981), Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu
  6. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  7. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5
Sumber

Sang Nila Utama

Sang Nila Utama tokoh legenda pendiri Singapura.

Biografi

Dalam Sulalatus Salatin, Sang Nila Utama disebutkan sebagai putra pasangan Sang Sapurba dengan Wan Sundaria (anak dari Demang Lebar Daun, penguasa Palembang). Ia menikah dengan Wan Sri Bini, dan awal menjadi raja di Bintan sebelum pindah ke Singapura.[1]

Pendirian Singapura

Dalam perjalanan pergi berburu pada suatu pulau di lepas pantai Sumatera, Sang Nila Utama melihat seekor rusa dan mengejarnya, kemudian mendaki sebuah batu besar, ketika mencapai puncak, ia memandang ke seberang laut dan melihat pulau lain dengan pantai berpasir yang memiliki penampilan selembar kain putih. Ia diberitahu salah satu menterinya bahwa itu adalah pulau Temasek.
Kemudian ketika mendarat pulau tersebut. Tiba-tiba, ia melihat seekor binatang aneh dengan tubuh merah, kepala hitam dan putih payudara. Itu adalah hewan yang tampan dan bergerak dengan kecepatan tinggi seperti menghilang ke hutan. Dia bertanya menteri kepala binatang apa itu, dan diberitahu bahwa ini mungkin adalah seekor singa. Ia senang dan percaya menjadi pertanda baik, kemudian memutuskan untuk membangun kota baru di Temasek. Kota ini diberi nama Singapura yang berarti Kota Singa.

Rujukan

  1. ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
Sumber

Parameswara

Parameswara merupakan pendiri Malaka dari Palembang[1] pada tahun 1405.[2] Ia mengunjungi Kaisar Cina pada tahun 1405 dan 1409 untuk mendapatkan legitimasi atas wilayah kedaulatannya serta perlindungan dari serangan Ayutthaya dan Majapahit.

Etimologi

Parameswara (परमेश्वर) adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Parama berarti "paling berkuasa", dan Iswara berarti "raja". Parameswara juga merupakan nama lain untuk Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu. Dalam Pararaton terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Sementara Sulalatus Salatin juga ada menyebutkan bahwa selepas Batara Majapahit meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh putrinya. Kemudian Ratu Majapahit tersebut menikah dengan putra Raja Tanjungpura.

Asal-usul keturunan

Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara), mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan 1409. Sementara dalam Sulalatus Salatin, tidak dijumpai nama tokoh ini, namun kemudian beberapa sejarahwan merujuk tokoh ini dengan Raja Iskandar Syah, dalam Sulalatus Salatin disebutkan sebagai pendiri Malaka. Sebelumnya Raja Iskandar Syah merupakan Raja Singapura, namun karena serangan Jawa dan Siam menyebabkan Raja Singapura memindahkan pusat pemerintahannya ke Malaka.[3]

Referensi

  1. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  2. ^ Gungwu, Wang, (2003), Only connect!: Sino-Malay encounters, Eastern Universities Press, ISBN 981-210-243-4.
  3. ^ Raffles, T.S., (1821), Malay annals, (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden)
Sumber

Megat Iskandar Syah

Megat Iskandar Syah adalah raja kedua Malaka yang menggantikan ayahandanya Parameswara. Seperti Parameswara dia juga menganut agama Islam, yang memudahkannya menjalin hubungan dengan jaringan pedagang Gujarat dan Benggala. Dia juga menjaga hubungan baik dengan Dinasti Ming.

Sumber

Muhammad Syah dari Malaka

Sultan Muhammad Syah adalah raja ketiga dari Kesultanan Malaka. Dia juga dikenal dengan sebutan Raja Tengah atau Radin Tengah. Pada awalnya dia mengambil gelar Seri Maharaja, namun kemudian dia memeluk agama Islam, kemungkinan karena perkawinannya dengan perempuan Tamil muslim. [1]

Catatan

Sumber

Sri Parameswara Dewa Syah

 Seri Parameswara Dewa Syah atau Raja Ibrahim merupakan raja keempat dari Kesultanan Malaka. Dia merupakan anak dari putri Kerajaan Rokan di Sumatera (sekarang termasuk Riau, Indonesia). Raja Ibrahim tampaknya tidak menganut agama Islam, dan terlibat ketegangan dengan masyarakat Tamil muslim di Malaka saat itu. Dia kemudian mangkat karena terbunuh, dan digantikan saudaranya lain ibu, Raja Kasim, yang kemudian bergelar Sultan Mudzaffar Syah. Raja Kasim berasal dari ibu etnis Tamil.

Sumber

Mudzaffar Syah dari Malaka

Sultan Mudzaffar Syah adalah raja kelima dari Kesultanan Malaka. Dia menggantikan saudara seayahnya, Raja Ibrahim atau Seri Parameswara Dewa Syah. Pada masa pemerintahannya Malaka mulai melaksanakan perang ekspansi ke negeri-negeri tetangganya, dan berhasil menundukkan Manjong, Selangor, Batu Pahat, Kampar dan Indragiri. Hal ini mengundang kemarahan Siam yang menyerbu Malaka dua kali, tahun 1445 melalui Pahang dan tahun 1456 melalui laut.
Mudzaffar Syah digantikan putranya, Raja Abdullah (Sultan Mansur Syah).

Sumber

Mansur Syah dari Malaka

Sultan Mansur Syah atau Raja Abdullah adalah raja keenam Kesultanan Malaka. Pada masa pemerintahannya Malaka menaklukkan Pahang dan Kedah, yang pada saat itu berada di bawah Siam. Menurut Sejarah Melayu pahlawan legendaris Melayu, Hang Tuah, pertama kali muncul pada masa pemerintahan raja ini.
Di bawah Sultan Mansur Syah Malaka menguasai sepenuhnya Selat Malaka. Baik Semenanjung Malaya dan pantai Timur Sumatera pada masa itu berada di bawah kendali Malaka.

Sumber

Hang Tuah

 Hang Tuah merupakan seseorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan.

Biografi

" Tak akan Melayu hilang di bumi "
— Sumpah Hang Tuah dalam Sulalatus Salatin.
Penggambaran Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. )[1] Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) dari Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit, Konon Taming Sari dikenal pandai berkelahi,kebal senjata dan dapat menghilang ,kemudian dilawan oleh Hang Tuah diketahui yang membuat Taming Sari sakti terletak pada kerisnya, Hang Tuah berhasil merebut keris tersebut kemudian membunuh Taming Sari. Kemudian keris tesebut diambil Hang Tuah dan diberi nama Taming Sari , setelah menjadi miliknya dan dipercaya bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah dari tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh dari hukuman raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya.Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.

Penghargaan

Kehebatan Hang Tuah, menginspirasikan masyarakat untuk tetap mengabadikan namanya. Selain digunakan untuk nama jalan, namanya juga dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan bahari. Nama Hang Tuah digunakan untuk beberapa institusi pendidikan kemaritiman, antara lain Universitas Hang Tuah di Surabaya serta Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran Hang Tuah di Kediri Jawa Timur. Selain itu salah satu kapal perang Indonesia, juga menggunakan namanya yaitu, KRI Hang Tuah.

Catatan kaki




Sumber

Kesultanan Melaka

Kesultanan Malaka pada abad ke-15, berdasarkan keterangan "Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia", PT Pembina Peraga Jakarta 1996

Ibukota Malaka
Bahasa Melayu
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sultan
 -  1405-1414 Parameswara
 -  1414-1424 Megat Iskandar Syah
 -  1424-1444 Sultan Muhammad Syah
 -  1444-1445 Seri Parameswara Dewa Syah
 -  1445-1459 Sultan Mudzaffar Syah
Sejarah
 -  Didirikan 1405
 -  Invasi Portugis 1511

Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun 1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka berikutnya.

Pendirian

Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura, kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3] Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[5][6]
Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan.[5] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[2] memerintah selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam[7] dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Hubungan dengan kekuatan regional

Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka, kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[6]
Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah menjadi tempat pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4] Sementara kemungkinan ada ancaman dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal.[7][9]

Masa kejayaan

Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatera, setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam.[8] Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik.[7] Penaklukan Malaka atas kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatera sampai Laut Cina Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.[10]
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.[11] Di bawah sultan yang sama Kampar, dan Siak juga takluk.[11] Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi merupakan hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka.[11] Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah namun memerintah tidak begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal[12] dan kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.[8]
Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.[12]

Penurunan

Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.[13] Perlawanan terhadap penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal 5000 tentara mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.[9] Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[13]
Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521, Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutu dari Sultan Malaka.
Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal dibawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian.[13] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor.[10] Kemudian pada masa berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.

Pemerintahan

Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam menjalankan pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan pemerintahan Islam sepenuhnya. Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu juga Undang-undang Laut Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.[12]
Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka. Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pembesar, antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi beberapa menteri yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.[14] Selain itu terdapat jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok masyarakat Orang Laut.[10]

Replika istana Kesultanan Malaka, dibangun kembali berdasarkan informasi dari Sulalatus Salatin

Daftar raja Malaka

Berikut daftar raja Malaka[5]
Periode Nama Raja Catatan dan peristiwa penting
1405-1414 Pai-li-mi-sul-la*
Parameswara
Raja Iskandar Syah**
Paramicura****
Berkunjung ke Nanjing dan minta pengakuan Kaisar Cina
1414-1424 Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*
Megat Iskandar Syah
Raja Kecil Besar**
Raja Besar Muda***
Chaquem Daraxa****
Berkunjung ke Nanjing dan mengabarkan kematian bapaknya
1424-1444 Hsi-li-ma-ha-la-che*
Sri Maharaja
Sultan Muhammad Syah**
Raja Tengah***

1444-1445 Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*
Sri Parameswara Dewa Syah
Sultan Abu Syahid**
Sultan Muhammad Syah***

1446-1459 Su-lu-t'an-wu-ta-fo-na-sha*
Sultan Mudzaffar Syah**
Sultan Modafaixa****

1459-1477 Sultan Mansur Syah**
1477-1488 Sultan Alauddin Riayat Syah**
1488-1511 Sultan Mahmud Syah**
Catatan:
* Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming.
** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi Raffles.
*** Berdasarkan Sulalatus Salatin versi William Shellabear.
**** Berdasarkan Suma Oriental Tomé Pires.

Rujukan

  1. ^ Gungwu, Wang (2003). Only connect!: Sino-Malay encounters. Eastern Universities Press. ISBN 9812102434.
  2. ^ a b Hooker, Virginia M. (2003). A Short History of Malaysia: linking east and west. Allen & Unwin. ISBN 1864489553.
  3. ^ Cleary, Mark; Kim Chuan Goh (2000). Environment and development in the Straits of Malacca. Routledge. ISBN 0415172438.
  4. ^ a b c d Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9794613614
  5. ^ a b c Institute of Southeast Asian Studies, (2005), Admiral Zheng He & Southeast Asia, ISBN 9812303294.
  6. ^ a b Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL. ISBN 9004135618.
  7. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  8. ^ a b c Raffles, T.S., (1821), Malay annals (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden).
  9. ^ a b Ricklefs, Merle C. (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press. ISBN 0804744807.
  10. ^ a b c Andaya, Leonard Y. (2008). Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0824831896.
  11. ^ a b c Samad, A. A., (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka
  12. ^ a b c Halimi, A.J., (2008), Sejarah dan tamadun bangsa Melayu, Utusan Publications, ISBN 9789676121554.
  13. ^ a b c Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
  14. ^ Nijhoff, M., (1976), Undang-undang Melaka.





Sumber

Kesultanan Kuntu dan Kerajaan Linge

Kesultanan Kuntu

Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Di wilayah itulah sekarang terletak kota dan kampung sebagai berikut: Payakumbuh, Suliki, Bangkinang, Temuan Kampar, Pelalawan, dan Kuntu. Wilayah itu terletak terbuka ke Selat Malaka, tanpa dirintangi oleh pegunungan. Ekonomi kesultanan ini terutama ditopang dari perdagangan lada.

Kerajaan Linge

Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge. Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.



 Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.