Minggu, 02 Februari 2014

Bali: RAJA - RAJA KLUNGKUNG

  1. Dewa Agung Jambe I (1686-c. 1722)
  2. Dewa Agung Gede (c. 1722-1736)
  3. Dewa Gede Agung (c. 1722-1736)
  4. Dewa Agung Made (1736-c. 1760)
  5. Dewa Agung Śakti (c. 1760-1790
  6. Dewa Agung Putra I Kusamba (c. 1790-1809)
  7. Gusti Ayu Karang (regent 1809-1814
  8. Dewa Agung Putra II (1814–1850
  9. Dewa Agung Putra III Bhatara Dalem (1851–1903)
  10. Dewa Agung Jambe II (1903–1908
  11. Dewa Agung Oka Geg (1929–1950
Agung Arybuwana:
Berdasarkan Babad Dalem/Prasasti di Puri Klungkung /Pedharman Dalem Raja-raja Klungkung adalah sbb:
1. Ida Idewa Agung Jambe Raja I.
2. IDWG Dimade Raja II,
3. IDWG Dimadia Raja III.
4. I DWG Sakti Raja IV,
5. IDWG Panji Raja V.
6. I DWG Putra I Raja VI.
7. IDWGIsteri Kania Raja VII.
8. IDWG Putra II Raja VIII
9. IDWG Putra III Raja IX
10. IDWG Jambe Raja X.
11. IDWG Alir Raja XI dan
12. I DWG Oka Geg Raja XII




Sumber

Bali: Sejarah Kerajaan Bangli

Puri Susut Bangli

Tersebut empat para Hyang bersaudara bernama Sanghyang Angsanabra (Sekar Angsana) di Gelgel, Sanghyang Subali di Gunung Tolangkir, Sanghyang Aji Rembat di Pura Kentel Gumi. Sanghyang Mas Kuning di Giri Lor Abang. Sanghyang Subali pergi ke jurang Melangit menciptakan air suci yang harum (Tirta Harum) pada hari Selasa, Kliwon, Julungwangi, purnama bulan keempat.

Kemudian Sanghyang  Subali mendirikan taman yang indah di sebelah barat laut Tirta Arum, diberi nama Taman Bali. Kemudian Sanghyang Subali menyerahkan Tirta Arum dari Taman itu kepada Sanghyang Aji Rembat. Sanghyang Subali moksa, menghadap Sanghyang Wisnu Bhuana memohon seorang anak, diberi nama Sang Angga Tirta.

Anak tersebut diletakkan pada saluran air (pancuran) di Tirta Arum. Sanghyang Aji Rembat memungut bayi tersebut. Dan menerima wahyu, (sabda angkasa) dari Sanghyang Subali, bahwa anak itu adalah anugrah Dewa Wisnu bernama Angga Tirta dan kemudian agar diberi nama Sang Anom.

Anak tersebut diupacarai oleh Sanghyang Aji Rembat dan berdiam di pura Agung Guliang. Tersebut bahwa Sanghyang Angsana di Gelgel mempunyai seorang putri bernama Dewa Ayu Mas Dalem. Sering terserang penyakit, kemudian sembuh berkat pengobatan Sanghyang Aji Rembat di asramnya.

Terjadi hubungan gelap (seperti suami istri) antara Sang Anom dengan Dewa Ayu Mas Dalem. Dewa Ayu Mas Dalem diantar ke Gelgel, Segera Sanghyang Sekar Angsana mengusut putrinya karena menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sang putri mengaku terus terang berkat hubungannya dengan Sang Anom.

Sanghyang Sekar Angsana mengirim pasukan untuk menyerang ke Pura Agung Guliang, menangkap Sang Anom namun gagal, Sang Anom tidak dijumpai. Sang Anom melarikan diri ke Alas Jarak Bang kemudian desa itu disebut Jagat Bali. Pengejaran terus dilakukan dan Sang Anom tertangkap dan dibawa ke Gelgel.

Sanghyang Aji Rembat amat kecewa, melaporkan hal itu secara gaib kepada Sanghyang Sekar Angsana di Gelgel perihal riwayat Sang Anom serta pantas menjadi suami Dewa Ayu Mas Dalem. Pernikahan pun segera dilakukan. Kembali ke Pura Agung Guliang. Kemudian lahir seorang putra diberi nama Korda Anom Oka Den Bancingah.

Korda Anom Oka Den Bancingah berputra I Dewa Garba Jata. I Dewa Garba Jata berputra I Dewa Ngurah Den Bancingah. I Dewa Ngurah Den Bancingah menikah dengan putri Dalem (?) di Dasar Gelgel berputra Cokorda Den Bancingah, Cokorda Den Bancingah berputra I Dewa Pamecutan; I Dewa Pulasari, I Dewa Batanwani, I Dewa Tangeb, I Dewa Mundung, I Dewa Beranjingan, I Dewa Auman. I Dewa Pamecutan berputra I Dewa Gde Pering pindah ke Nyalian, I Dewa Kaler di Taman Bali, I Dewa Pindi pindah ke Gagahan, I Dewa Perasi di Gada, yang bungsu (= pingajeng) I Dewa Gde Ngurah bertahta di Taman Bali.

I Dewa Gde Pering memohon pada ayahnya untuk membawa Keris "Ki Lobar" ke Nyalian sebagai tanda kebesaran. Permohonannya itu dapat dikabulkan, segera dibawa ke Nyalian. Nyalian dan Taman Bali pun aman dan sentosa. I Dewa Gde Ngurah penguasa Taman Bali mengirim utusan untuk membunuh I Gusti Paraupan di Bangli. Tetapi karena kesaktian I Gusti Paraupan, maka utusan itu menyampaikan niatnya terang-terangan.

I Gusti Paraupan kembali memerintahkan untuk membunuh I Dewa Gde Ngurah, dengan catatan bila berhasil akan dijadikan penguasa di Taman Bali. Terjadi perkelahian antara I Dewa Gde Ngurah dengan kedua utusannya yang disuruh membunuh I Gusti Paraupan. Keduanya mati dan I Dewa Gde Ngurah menderita luka- luka. I Dewa Kaler putra I Dewa Gde Ngurah tidak membantunya. I Dewa Gde Ngurah dalam keadaan sakit karena luka-luka dirawat oleh para istri dan lain-lainnya.

Pada saat-saat demikian salah seorang istri I Dewa Gde Ngurah berbuat serong (abamia) dengan I Dewa Kaler. Diperintahkan untuk membunuh I Dewa Kaler dan istrinya yang serong itu. Namun tidak diijinkan oleh Dalem Gelgel. Hanya derajat kebangsawanannya diturunkan menjadi Pungakan, kemudian bernama Pungakan Bagus atau Pungakan Den Yeh, I Dewa Gde Ngurah meninggal dunia digantikan oleh putranya bernama I Dewa Gede Ngurah Anom Oka.

Ia tahu sebab kematian ayahnya karena upaya I Gusti Paraupan. Maka bersama keluarga dan pemuka-pemuka serta rakyatnya mengadakan serangan balasan ke Bangli (I Gusti Paraupan). Terjadi peperangan antara Bangli dengan Taman Bali yang dibantu oleh I Dewa Pering (=Nyalian). Bangli kalah, gugurnya I Gusti Paraupan, Ki Lurah Dawuh Waringin, Ki Lurah Dawuh Pamamoran, Maka I Dewa Perasi diangkat sebagai penguasa di Bangli dibantu/ didampingi oleh sanak keluarganya antara lain I Dewa Tangeb, I Dewa Batan Wani, I Dewa Pulasari.

Lama kelamaan ganti berganti keturunan I Dewa Gde Perasi menjadi raja Bangli. Salah seorang raja bernama I Dewa Kompiang Perasi mempunyai seorang-anak wanita bernama Dewa Ayu Den Bancingah. Maka mengangkat menantu, putra raja Taman Bali, bernama I Dewa Gde Anom Rai. Raja Taman Bali I Dewa Gde Raka, kakak I Dewa Gede Anom Rai. Bangli dan Taman Bali aman sentosa. I Dewa Gde Anom Rai dengan Dewa Ayu Den Bancingah berputra seorang wanita bernama Dewa Ayu Comel. I Dewa Gede Anom Rai mengambil istri lagi, dan amat terikat hati beliau kepadanya. I Dewa Gde Oka/ cucu I Dewa Gde Tangkeban dinikahkan dengan I Dewa Ayu Comel, menggantikan tahta di Bangli.

Tetapi pernah berbuat serong (seperti suami istri) dengan ibu mertuanya. I Dewa Gde Anom Rai berusaha untuk membunuh Dewa Ayu Den Bancingah, tetapi gagal. Dan terbalik Dewa Ayu Den Bancingah kini berusaha untuk membunuh I Dewa Gede Anom Rai, berbagai siasat dilakukan, dan seorang petugas/ algojo bernama Ida Waneng Pati (brahmana Kemenuh) berhasil masuk ke peraduannya, tetapi tidak mempan senjatanya.

Hanya senjata Dewa Ayu Den Bancingah yang sanggup mencabut nyawa I Dewa Gede Anom Rai. Dukuh Suladri (turunan Sirarya Rembat) mempunyai anak dua orang wanita. Ki Dukuh kedatangan seorang laki-laki dari Majapahit anak Sri Aji Ayu Murub. Anak laki-laki tersebut diajak menetap di ashram Dukuh Suladri dan dikawinkan dengan putrinya yang sulung, putri yang kedua menikah dengan raja/ Dalem di Gelgel.

Dalem memberikan iparnya (menantu Dukuh Suladri di Padukuhan) rakyat dua ratus orang, pada akhirnya mengurusi rakyat lima ratus orang. Putri Ki Dukuh menjadi istri Dalem mempunyai seorang anak wanita bernama I Dewa Ayu Den Bancingah kemudian bersuamikan anak dari Kanca di Padukuhan beribu putrinya Ki Dukuh, Mereka menetap di Gelgel di sebelah utara istana.

Kemudian pindah ke Nyalian membawa Ki Lobar, karena di Gelgel terjadi perebutan kekuasaan oleh Anglurah Agung. Terjadi perebutan kekuasaan di Gelgel oleh Anglurah Agung, Dalem mengungsi ke Guliang, dan wafat di sana. Seorang putranya pindah ke Singarsa dengan pengiring 150 orang, berkat kesetiaan Lurah Singarsa.

Dari Singarsa (Sidemen) direncanakan perebutan kembali kerajaan Gelgel atas prakarsa bekas punggawa dari Gelgel (?) dengan Lurah Singarsa, minta bantuan ke Buleleng dan Badung, kemudian dilakukan pengepungan dari beberapa penjuru, terjadi peperangan sengit, Anglurah Agung mengalami kekalahan. I Dewa Den Bancingah dengan gelar I Dewa Gde Tangkeban tetap bertahta di Nyalian. Dalem (raja) Smarajaya meminta kembali keris Ki Lobar.

I Dewa Gde Tangkeban, mengadakan perundingan dengan I Dewa Gde Rai (Bangli) dan I Dewa Gede Oka (Taman Bali) , dikuatkan dengan sumpah setia mereka tidak akan mengembalikan Ki Lobar dengan catatan berani menanggung segala resiko. Dalem Smarajaya tetap menuntut keris itu agar dikembalikan. Namun I Dewa Gde Tangkeban tetap pada pendiriannya semula.

Akhirnya terjadi peperangan antara Smarawijaya melawan Nyalian Bangli dan Taman Bali tidak menepati perjanjian. I Dewa Gde Tangkeban mengalami kekalahan, Sebelum meninggal sempat mengutuk raja Taman Bali dan Bangli, dan memotong ujung keris (Ki Lobar), merestui putranya yang bernama I Dewa Gde Oka agar menyerang Taman Bali dan Bangli. Lalu I Dewa Gde Oka mengamuk membabibuta di puri Nyalian. Banyak jatuh korban. Akhirnya ia juga meninggal berkat Ida Bagus Made Gelgel, namun Ida Bagus Made Gelgel meninggal pula.

Ki Sedahan Kasub yang berperang dalam istana, mengumpulkan mayat- mayat dan harta benda, kesudahannya juga mati terbunuh, Maka daerah I Dewa Gede Tangkeban mutlak ditaklukkan oleh Sri Aji Dalem di Smarajaya dengan bantuan Raja Karangasem dan Gianyar.

Kutukan I Dewa Gde Tangkeban meresap di Bangli dan Tamanbali, akhirnya terjadi perang saudara. Raja Bangli terbunuh oleh istrinya sendiri, Dewa Ayu Den Bancingah bertahta di Bangli I Dewa Gde Tangkeban, putra I Dewa Gde Oka (yang mengamuk di Nyalian) cucu I Dewa Gede Tangkeban demikian turun temurun. Lama kelamaan terjadi perlawanan dan Bangli (I Dewa Gde Oka Tangkeban) dengan Tamanbali (I Dewa Gde Oka) dibantu oleh Gianyar (I Dewa Manggis) pasukan Gianyar dipimpin oleh Cokorda di Mas.

Pasukan Tamanbali kalah dengan gugurnya Cokorda Mas dan I Dewa Gede Oka raja Tamanbali. Dilanjutkan dengan susunan sila- sila keturunan I Dewa Gde Tangkeban yang masih hidup di desa-desa. Raja Tamanbali yang telah wafat meninggalkan seorang putra bernama I Dewa Sukawati, dan bermukim di Tumuhun, berputra lima orang. Dilanjutkan dengan sila-sila keturunan. Riwayat I Dewa Putu Sekar, yang semula di Nusa Penida.

Kemudian kembali menjadi kepercayaan raja Bangli (I Dewa Gede Tangkeban) ditempatkan di Susut, putra- putra yang di Nusa Penida I Dewa Gde Dauh dan I Dewa Gde Dangin kemudian menjadi kepercayaan raja Tabanan ditempatkan di desa Jelijih, lama kelamaan mendirikan Pura Aseman. Selanjutnya mempunyai keturunan. kemudian dalam peperangan Tabanan melawan Badung dan Mengwi I Dewa Gde Dangin gugur karena pihak Tabanan kalah, putra- putranya pindah ke Jembrana, I Dewa Gde Dauh tetap di Jelijih bersama anak-anaknya.
 




Sumber

Bali: Raja Kerajaan Gelgel 3 (Habis)

4. Dalem Di Made
Putra Mahkota dari Dalem Sagening setelah dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Gelgel bergelar Dalem Di Made atau Sri Di Made. Dalam kehidupan keagamaannya beliau lebih mengutamakan ajaran Siwa dibandingkan dengan agama Budha terbukti dalam kitab “Srat Raja Purana” gelar baginda disebutkan “Adi Paramartha siwa”. Sekalipun demikian beliau tidak mengabaikan ajaran agama Budha karena penduduk di Bali kebanyakan memeluk kudua agama tersebut yang dinamakan agama Siwa Budha.

(Gambar kiri: Prajurit Bali)

Semasa beliau memerintah adalah Kiyai Agung Maruti yang menjabat sebagai patih Agung yang merupakan cucu dari Kiyai Widya, untuk jabatan Demung dijabat oleh Kiyai Kaler dan Tumenggung dijabat oleh Kiyai Babelod yang kesemuanya itu masih satu hubungan kekeluargaan. Patih Agung yang masih muda tersebut bertenaga seperti angin topan “ Maruti adalah nama lain dari hanoman yang merupakan salah seorang abdi Ramayana yang termasyur akan kedigjayaannya dalam perang melawan Rahwana.


PEMBERONTAKAN DI NUSA PENIDA

Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.

Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.

Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.


EKSPEDISI KE WILAYAH BLAMBANGAN

Menurut ‘Kidung Pamancanggah” disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Dalem Di Made telah dilakukan pertemuan penting di istana Gelgel yang dihadiri oleh seluruh pemuka pemuka di wilayah Bali yang mana pertemuan tersebut membahas tentang perebutan wilayah Kerajajaan Gelgel didaerah Pasuruan yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Seperi diketahui bahwa pada Jaman Pemerintahan Dalem Waturenggong yang merupakan masa Keemasan Kerajaan Gelgel wilayahnya meliputi Pasuruan dan Blambangan di Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa wilayah tersebut harus direbut kembali dan Dalem Dimade akan mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk melaksanakan misi tersebut.

Adalah Kiyai Wayahan Pemandekan dan adiknya Kiyai Made Pemandekan anak Jawa Cokorda Winalwan Raja Tabanan Kiyai Pacung ditunjuk oleh Dalem Di Made sebagai pimpinan laskar Bali untuk membebaskan wilayah Blambangan dari pendudukan Kerajaan pasuruan Timur dengan kekuatan laskar 20.000 pasukan. Maka pada hari yang ditentukan yaitu sasih keempat Minggu pon berangkatlah pasukan dari Bali dengan persenjataan lengkap dan mendarat di pantai Jawa Timur.

Rupanya kedatangan pasukan dari Bali telah diketahui oleh Kerajaan Mataram sehingga pertempuran yang sengit bisa dihindarkan lagi. Pasukan dari Bali walaupun jumlahnya lebih sedikit namun tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut mereka terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Namun demikian karena kalah dalam jumlah pasukan maka Laskar Bali dapat dipukul mundur oleh Kerajaan Mataram.

Merasa kekalahan sudang diambang mata maka sebagai pimpinan pasukan Kiyai Wayahan Pemandekan memerintahkan adiknya Kiyai Made pemandekan untuk mundur dan segera balik ke Bali. Sedangkan Kiyai Wayahan Pemandekan terus bertekad maju ke garis depan tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Beliau dikurung oleh ratusan prajurit Mataram, walaupun beliau kebal dan tidak terluka sedikitpu oleh senjata musuh namun lama kelamaan tenaga beliau habis sehingga jatuh lemas ditanah.

Pada saat itulah beliau berwasiat “ Semoga keturunanku kelak turun temurun tidak ada yang kebal agar tidak mengalami siksaan seperti yang kualami” Di Hadapan Raja Mataram beliau mengatakan bahwa beliau telah kalah dan sekarang menjadi tawanan dan sebagai seorang kesatria maka kekalahan harus ditebus dengan kematian. Beliau mempersilahkan Raja Mataram untuk membunh dirinya.

Raja Mataram termanggu dan kagum akan keberanian serta jiwa satria Kiyai Wayahan Pemandekan dan merasa yakin bahwa tawanan ini bukanlah orang sembarangan. Raja Mataram kemudian menyakan asal usul Kiyai Wayahan Pemandekan dan dijawab oleh Beliau bahwa beliau adalah anak dari Raja Winalwan yang berkuasa di Tabanan keturunan Arya Kenceng dari Kerajaan Majapahit.
Raja Mataram semakin tertarik akan prilaku tawanannya ini dan menawarkan kepada Kiyai Wayahan Pemandekan untuk tinggal di Mataram karena orang orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh Kerajaan Mataram untuk mempertahankan wilayah kekuasaanya. Bahkan Raja Mataram memberikan anak perempuannya untuk dijadikan istri oleh Kiyai Wayahan Pemandekan agar kelak menurunkan putra putra yang perkasa seperti ayahnya. Demikianlah sejak itu Kiyai Wayahan Pemandekan tinggal di Kerajaan Mataram dan dari pernikahannya tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tumenggung.

Dengan kekalahan tersebut maka gagal pula usaha dari Kerajaan Gelgel untuk merebut kembali wilayah Blambangan yang dulu dikuasai pada jaman pemerintahan Dalem Waturenggong dari tangan Kerajaan Mataram.

Berita VOC menyebutkan bahwa pada waktu yang bersamaan wilayah Kerajaan di wilayah Timur yaitu Kerajaan Bima telah direbut oleh kerajaan Makasar dibawah pemerintahan Sultan Alaudin. Kerajaan Bali dibawah pimpinan Dalem Di Made pernah menjalin persahatan dengan Sultan Alaudin yang didesak oleh kepentingan bersama dalam rangka membantu desakan dari VOC yang semakin meluas di wilayah Nusantara. Dengan adanya peristiwa tersebut maka persahabatan antara Kerajaan Gelgel dan Makasar menjadi terputus pada tahun 1633.



PEMBERONTAKAN SAGUNG MARUTI
Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.

Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).

Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.

Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.





Sumber

Bali: Raja Kerajaan Gelgel 2

HURU HARA DI KERAJAAN GELGEL
Suasana di kerajaan Gelgel tampak mulai keruh semenjak Dalem Pamahyun naik tahta di kerajaan Gelgel. Perbuatan yang melanggar norma norma kesusilaan kerap terjadi yang dilakukan oleh Pejabat pejabat tinggi kerajaan maupun yang melibatkan beliau sendiri.
Diceritakan salah seorang abdi Kriyan Pande mempunyai seorang istri yang sangat cantik menjalin hubungan gelap dengan salah seorang pejabat kerajaan yang bernama Kiyai Telabah. Hubungan gelap tersebut akhirnya diketahui oleh suaminya dan karena sakit hati maka suaminya memutuskan untuk bunuh diri.
Maka sesuai hukum adat yang berlaku pada saat itu maka janda abdi tersebut menjadi milik Kriyan Pande sebagai majikannya. Janda muda tersebut ternyata tidak mampu melepaskan diri dari hubungan percitaannya dengan Kiyai Telabah. Dalam pertemuannya, janda tersebut diberikan nasi sisa oleh Kiyai Telabah yang mana hal tersebut diketahui oleh Kryan Pande sehingga menimbukan kemarahan beliau kepada Kyai Telabah.
Untuk melampiaskan kemarahannya maka dicarilah suatu cara untuk menyingkirkan Kyai Telabah. Beliau teringat bahwa Kiyai Telabah pernah diketahui menjalin hubungan gelap dengan selir Raja yang bernama Ni Gusti Samwantiga dan Kiyai Telabah diberikan sebentuk cincin mirah yang tiada bandingannya.
Kriyan Pande sesuai dengan namanya beliau terkenal ahli membuat barang barang perhiasan dari emas dan perak. Pada suatu ketika Kriyan Pande datang menghadap ke istana, dengan sengaja beliau memakai perhiasan yang baru selesai dibuatnya kehadapan Raja Gelgel.
Perhiasan kalung tersebut begitu indah sehingga Raja terkagum kagum memandangnya dan atas pertanyaan raja maka Kriyan Pande menerangkan bahwa perhiasan tersebut dibuat sendiri olehnya dan jika Raja berkeinginan memiliki maka maka dengan senang hati Kriyan Pande akan mempersembahkan kepada Raja. Namun Raja menyatakan keengganannya menerima persembahan barang yang sudah pernah dipakai oleh orang lain.
Raja berkeinginan untuk dibuatkan yang baru dengan permata yang tidak ada bandingnya dan untuk itu beliau menugaskan Kriyan Pande untuk mencarikan permata dimaksud. Maka sesuai rencana, Kriyan Pande kemudian memberitahu Raja bahwa ia pernah melihat permata yang begitu indah tiada bandingnya dipakai oleh Kiyai Telabah yang mana mungkin berkenan di hati Raja.
Setelah mohon diri kehadapan Raja, Kriyan Pande kemudian pergi kerumah Kyai Telabah untuk menjelaskan maksud kedatangannya atas perintah Raja untuk meminjam cincin yang dikenakan oleh Kiyai Telabah. Mengetahui rahasianya akan segera terbongkar maka Kiyai Telabah kemudian menyerahkan cincin tersebut kepada Kriyan Pande dan dengan tergesa gesa meninggalkan Wilayah Gelgel menuju Desa Kuta Badung.
Tersebutlah Kriyan Pande setelah menghadap Raja dan memperlihatkan cincin tersebut, Raja menjadi sangat terkejut dan merasa yakin bahwa cincin tersebut adalah kepunyaan beliau yang diberikan kepada selirnya
Ni Gusti Samwantiga. Beliau menduga bahwa jatuhnya cincin tersebut ketangan Kiyai Telabah pastilah karena terjadinya hubungan yang tidak senonoh diantara keduanya. Bangkit kemarahan Raja dan memberikan perintah kepada Kriyan Pande untuk mencari jalan untuk melenyapkan Kiyai Telabah yang telah berani mencemarkan kehormatan istana Kerajaan Gelgel.
Oleh karena hal ini merupakan aib yang bila diketahui oleh khalayak umum akan meruntuhkan kewibawaan Kerajaan Gelgel maka Raja memerintahkan agar hal tersebut dilakukan secara rahasia mengingat keluarga Kiyai Telabah banyak yang menjadi pemuka pemuka masyarakat. Kriyan Pande menyatakan kesanggupannya untuk menjalankan titah raja asalkan Raja bersedia melindungi dirinya apabila rahasia pembunuhan tersebut terbongkar nantinya. Dan sebagai pengikat atas janji mereka berdua maka Raja dan Kriyan Pande pergi ke Pura Warapsari untuk mengucapkan sumpah bersama.
Raja mengucapkan sumpah sebagai berikut "Ya Dewa yang maha pengasih di gunung Agung jika Kriyan Pande berhasil membunuh Kyai telabah dan kalau patik mengingkari sumpah/ janji agar Dewa Yang Maha Kuasa mengetahui melipatgandakan kesalahan patik dan patik bersedia menanggung segala duka nestapa dan derita masyarakat dibumi ini "
Kemudian disambung oleh Kriyan Pande "Ya Paduka Dewa Yang Maha Adil di Gunung Agung jika usaha patik untuk membunuh Kiyai Telabah tidak berhasil maka patik bersedia
menanggung segala duka nestapa dan derita rakyat Bali "
Demikianlah sumpah yang diucapkan bersama oleh Raja dan Kriyan Pande dan setelah itu dilanjutkan dengan sembahyang bersama.
Setelah sampai dirumah Kriyan Pande kemudian memikirkan segala cara untuk melenyapkan Kyai Telabah dengan ilmu kamandaka. Setelah beberapa lama memikirkannya maka ditemukanlah suatu cara yang licik untuk melenyapkan kiyai Telabah. Adalah seorang abdi setia setia Kriyan Pande yang bernama Ki Capung yang akan diberikan tugas untuk melaksanakan pembunuhan tersebut. Untuk melaksankan tugas tersebut Ki Capung dibekali dengan sebilah keris yang sangat ampuh yang bernama "Kapal Angsoka".
Ki Capung segera berangkat ke Kuta untuk melaksanakan perintah tersebut dan sesampainya disana ia menyamar sebagai seorang perempuan. Dahulu ada seorang pelaut yang hukum dan disiksa oleh kiyai Telabah walaupun tidak sebanding dengan kesalahan yang telah dilakukannya. Pelaut inilah yang menuntun Ki Capung menuju kediaman Kiyai Telabah.
Ketika hari mulai senja Kiyai Telabah baru sekali pulang dari laut dan ketika melangkahkan kakinya memasuki gerbang rumahnya tiba tiba diserang oleh 2 orang bersenjata. Beliau sempat membalas serangan tersebut dengan menikam salah seorang penyerangnya yaitu pelaut itu dengan kerisnya "Ki Tinjak Lesung" yang menyebabkan penyerangnya tersebut tewas seketika, akan tetapi Kiyai Telabahpun tak luput terkena tikaman keris pula yang dilakukan oleh Ki Capung sehingga Kiyai Telabah tewas seketika itu juga.

Ki Capung segera menyingkir dari tempat tersebut dan membiarkan mayat pelaut tersebut dan Kiyai Telabah tergeletak di tempat tersebut. Sesaat kemudian barulah orang berdatangan ketempat itu dan menyangka bahwa Kitai Telabah telah tewas karena perang tanding dengan pelaut tersebut dan tidak mengira adanya orang ketiga dibalik peristiwa tersebut.
Tersebutlah Ki Capung setelah berhasil melaksanakan misinya tersebut kemudian melapor hasilnya kepada majikannya yaitu Kriyan Pande dan segera melaporkannya kehadapan Raja. Raja sangat bersuka cita dan yakin bahwa pembunuhan tersebut akan tetap gelap selama lamanya. Atas jasanya tersebut Ki Capung kemudian diberikan hadiah yang istimewa dari Raja.
Suasana di Kota Gelgel tetap tenang setelah kejadian tersebut , keluarganya sama sekali tidak menduga bahwa pembunuhan tersebut melibatkan pihak ketiga. Setelah beberapa bulan lamanya terjadilah suatu peristiwa yang mengemparkan kota Gelgel dimana peristiwa tersebut bermula dari tewasnya Ki Capung ditombak oleh peronda yang memergokinya sedang memanjat rumah Kriyan Pande pada malam hari.
Keesokan harinya datanglah istrinya menangisi jasad suaminya yang malang sambil mencerca Kriyan pande yang dikatakan tidak tahu membalas budi. Rahasia pembunuhan atas Kiyai Telabah tersebut keluar dari mulutnya sehingga didengar oleh Kyai Byasama yang merupakan anak dari Kriyan Pande. Kriyan Pande mengancam Istri Ki Capung untuk tutup mulut namun tidak dihiraukan olehnya. Tangisnya malah semakin menjadi jadi dan rahasia pembunuhan tersebut terus menerus keluar dari mulutnya.
Karena hilang kesabaran Istri Ki Capung kemudian diseret oleh Kiyai Byasama ke tengah pasar dengan maksud untuk membuat malu istri Ki Capung di lihat orang banyak. Namun hal tersebut malah membuat Istri Ki Capung semakin menjadi jadi sambil berteriak-teriak ia membongkar rencana pembunuhan tersebut yang dilakukan oleh suaminya atas perintah Kriyan Pande.
Untuk menghindari semakin banyaknya rahasia tersebut terbongkar maka Kyai Bysama kemudian menikam Istri Ki Capung dengan sebilah keris yang menyebabkan Istri ki Capung tewas seketika. Namun apa yang telah dikatakan oleh Istri Ki Capung telah didengar oleh orang banyak sehingga menimbulkan kegemparan di Kota Gelgel.
Adalah Kiyai Anglurah Kanca salah seorang kerabat dekat Kiyai Telabah segera menghadap Raja Gelgel menuntut agar Kriyan Pande dijatuhi hukuman atas perbuatannya membunuh Kiyai Telabah. Mengingat Keluarga kiyai Telabah sangat banyak jumlahnya maka Raja mengabulkan tuntutan tersebut dan memerintahkan agar dilakukan " sumpah Cor Pangrerata " apabilan Kriyan Pande mangkir dari tuduhan tersebut.
Keputusan Raja diterima dengan baik oleh Kiyai Anglurah Kanca berserta keluarganya dan mereka akhirnya membubarkan diri sambil menungu kelanjutan dari tuntutan mereka tersebut. Tersebutlah Kriyan Pande amat gelisah mendengar keputusan yang diambil atas dirinya oleh Raja tersebut sehingga dengan segera Kriyan Pande pergi Menghadap ke istana untuk menanyakan kebenaran hal tersebut dan Raja menyarankan kepada Kriyan Pande untuk mengangkat sumpah saja untuk memperpendek urusan tersebut.
Jawaban Raja tersebut menimbulkan kekecewaan didalam hati Kriyan Pande dan segera meninggalkan raja tanpa mohon diri terlebih dahulu. Ia yakin Raja sengaja cuci tangan terhadap permasalahan tersebut dan raja telah mengingkari sumpahnya dulu untuk melindungi dirinya apabila rahasia pembunuhan tersebut terbongkar.
Demi kehormatan keluarganya Kriyan Pande bertekat akan menghadapi resiko yang akan terjadi. Untuk itulah sebelum sesuatu yang tidak baik akan menimpanya beliau mengarang syair yang berjudul "Nathamartha" yang menggambarkan kebahagian seorang kesatria kelak di alam baka apabila mati didalam medan pertempuran. Setelah itu beliau kemudian memanggil seluruh keluarganya akan kebulatan tekadnya untuk menghadapi apapun yang akan terjadi dan keluarganya serempak menjawab bahwa mereka mendukung keputusan yang diambil oleh Kriyan Pande dan bersedia mati untuk membela kehormatan keluarga.
Pada hari yang ditentukan untuk melaksanakan sumpah Cor tersebut ternyata Kriyan Pande tidak datang dan oleh pemerintah Kriyan Pande dinyatakan telah berani melawan perintah Raja dan oleh karenanya Kriyan Pande patut mendapat hukuman yang setimpal.
Pasukan bersenjata segera dikerahkan untuk mengepung rumah Kriyan Pande. Dengan pengikutnya sebanyak 400 orang kriyan Pande dan ketiga anaknya yaitu Kiyai Agra Byasama, Kiyai Plampung dan Kiyai Jalengkong keluar dari rumahnya menghadapi pasukan Gelgel. Nasib kerajaan Gelgel tertolong oleh Banjirnya Sungai Unda sehingga pendukung terbesar Kriyan Pande disebelah Timur sungai Unda tidak dapat menolong majikannya dalam menghadapi musuh. Ikut serta Kiyai Anyar Rame yang berupakan adik Kriyan Pande bergabung dengan kakaknya untuk menghadapi pasukan Gelgel.
Akhirnyan pertumpahan darah tidak bisa dihindari lagi yang menimbulkan korban yang sangat banyak dikedua belah pihak. Pasukan Gelgel dibawah pimpinan Kiyai Bedahulu dapat dipukul oleh laskar Kriyan Pande sampai kesebelah selatan kota. Disana Pasukan Gelgel menyusun kekuatannya kembali sambil bertahan. Dalam pertempuran tersebut tewas Kyai Nyam Rame yang merupakan adik Kriyan Pande.
Kematian pamannya membangkitkan kemarahan Kiyai Bysama yang segera menggantikan memimpin pasukannya menerjang Pasukan Gelgel. Serangan yang membabi buta tersebut menyebabkan Pasukan Gelgel kucar kacir dan berhasil dipukul mundur dan pimpinan pasukannya kiyai Bedahulu lari menyelamatkan diri untuk bergabung dengan induk pasukannya dibawah pimpinan kiyai Pinatih dan Kiyai Kebon Tubuh.
Pertahanan Pasukan Gelgel disebelah selatan dan Barat telah berhasil dipukul mundur oleh Kriyan Pande selanjutnya pasukannya diarahkan ke arah utara kota. Disana telah menanti pasukan dalam jumlah besar dibawah pimpinan Kiyai Tabanan, kiyai Kaba Kaba, Kiyai Buringkit dan Kiyai Tegeh Kori. Terjadi pertempuran yang sangat dahsyat disana sehingga menewaskan 300 laskar Kriyan Pande namun pertahanan pasukan Gelgel dapat ditembus sehingga dengan sisa pasukannya Kriyan Pande melanjutkan serangan kearah timur langsung ke istana Raja.
Istana Raja dikawal oleh ki Pendarungan yang telah siap sedia menunggu kedatangan Kriyan Pande. Kriyan Pande masih merupakan anak keponakan di sepupu oleh Ki Pendarungan karena Rakyan Pendarungan adalah putera Kriyan Kapal. Kriyan Pande mengutarakan maksudnya untuk menghadap Raja namun Kriyan Pendarungan tidak mengijinkan selama beliau masih hidup. Maka terjadilah perang tanding diantara keduanya yang mengakibatkan beliau sama sama tewas dalam perang tanding tersebut.
Adapun Kyai Bysama dapat meloloskan diri dan berhasil menerobos kedalam pagar istana namun beliau berhadapan dengan I Gusti Lurah Sidemen yang yang merupakan mertuanya sendiri. I Gusti Ngurah Sidemen telah menasehati menantunya untuk mengurungkan niatnya dan beliau berjanji akan memohonkan ampun untuk Kiyai Bysama kehadapan Raja bila mau menuruti nasehatnya. Namun hal tersebut tidak digubris oleh Kyai Bysama, pasukan yang melakukan pengawalan tersebut seketika diterjang olehnya dan karena kalah banyak Kiyai Bysama akhirnya tewas direbut oleh pengawal pengawal istana.
Melihat menantunya tewas dengan cara menyedihkan I Gusti Ngurah Sidemen pingsan dan segera ditandu ketempat yang aman. Sementara anak Kriyan pande yang lain yaitu Kyai Plampung dan Kiyai Jalengkong berhasil masuk ke istana melalui selokan pembuangan air namun sebelum dapat berbuat apa mereka keburu disergap oleh pengawal istana dan mereka tewas seketika.
Hancurlah putera dan cucu Ki Gusti Dawuh Baleagung, Riuh ratap tangis rakyat yang telah menunggu disebelah timur kali Unda, hasrat mereka membantu tidak tercapai karena terhalang oleh banjir besar. Jika tidak terhalang banjir besar mungkin kerajaan Gelgel akan menderita kehancuran dan banyak pejabat pejabat Kerajaan akan menjadi korban karena Kriyan Pande sangat disegani oleh rakyatnya karena beliau sangat menyayangi dan mengayomi dan tidak pernah ingkar janji kepada rakyatnya.
Setelah peristiwa huru hara tersebut ibu kota kerajaan Gelgel terasa sangat sunyi karena banyaknya rakyat dan pejabat pejabat pemerintah yang gugur dalam peristiwa tersebut, hanya I Gusti Manginte dan Ki Gusti Kanca yang luput dari peristiwa tersebut karena beliau tinggal disebalah timur laut istana.
Adapun Kiyai Dawuh Baleagung yang merupakan ayah dari Kriyan Pande setelah peristiwa itu sempat mengarang sebuah nyanyian yang bernama Arjuna Pralaba dan beliau sering menghadap ke istana untuk mohon pekerjaan tulis menulis karena beliau adalah seorang juru tulis yang telah berhasil menyelesaikan beberapa karya tulis ilmu kerohnian yang utama. Kedatangannya ditolak oleh raja sehingga beliau kembali pulang dengan perasaan pilu dan sedih dan beliau merasa hidupnya sudah hampa karena ditinggal oleh anak dan cucunya yang menyebabkan beliau akhirnya jatuh sakit dan tidak berapa lama beliau akhirnya meninggal dunia.
Setelah peristiwa yang menimbulkan perang saudara tersebut Raja Pamahyun sudah dianggap tidak berwibawa lagi, Beliau seperti tersadar akan keiklafannya sehingga timbulnya peristiwa hebat tersebut. Baginda selalu terkenang dengan kehancuran kota Gelgel tersebut. Setelah memikirnya secara masak masak beliau akhirnya memutuskan meletakkan mahkota sebagai Raja Gelgel dan pergi dari istananya menuju ke daerah sebelah Barat istana yang bernama Jero kapal. Disinalah beliau tinggal mengasingkan diri dari keramaian dan semenjak itu beliau mendapat sebutan " Sang Ing Bedauh " yang artinya yang dipetuan di Barat dan oleh karena beliau tidak mempunyai keturunan maka beliau diberi julukan Dalem Bekung.
Setelah Dalem Bekung meletakkan jabatannya maka berdasarkan hasil rapat antara Pejabat pejabat Kerajaan memutuskan Ida I dewa Anom Sagening diangkat sebagai raja Gelgel ke IV pada tahun 1580 M atau tahun caka 1502.
Oleh karena Dalem Bekung selama memerintah kerajaan Gelgel dianggap tiada berjasa maka roh beliau tidak dibuatkan tempat pemujaan di pura Besakih tidak seperti Raja raja pendahulu beliau. Demikianlah kisah pemerintahan Dalem Singharsa/ Dalem Pamahyun / Dalem Bekung yang menjadi Raja di Gelgel tahun 1560 s/d 1580 M.


Sumber

3. Dalem Saganing
I DEWA SAGENING

Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, setelah meredanya pemberontakan Batan Jeruk menyusul terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Krian Pande sebagai pembalasan atas kegagalan Batan Jeruk.

Dan pemeberontakan inipun dapat dipadamkan dengan terbunuhnya Karian Pande, karena situasi mulai kacau, maka oleh pembesar Kerajaan Gelgel diangkatlah I Dewa Segening sebagai raja menggantikan kakaknya Dalem Bekung. I Dewa Segening kemudian bergelar Dalem Segening. Dengan sukarela dan ihklas Dalem Bekung menyerahkan tahta kepada adiknya karena merasa dirinya tidak mampu mengemban amanat dari leluhurnya. Satu perubahan yang paling menonjol dari pemerintahan Dalem Segening adalah kembalinya kerajaan-kerajaan Sasak (Lombok), Sumbawa yang mengakui kekuasaan Gelgel.

Dan satu hal yang penting adalah Dalem Segening mulai menyebarkan golongan ksatria Dalem hampir ke seluruh Bali. Dan gelar ksatria itupun sudah dibagi-bagi mulai status yang paling tertinggi seperti Ksatria Dalem, ksatria predewa, kesatria prangakan dan ksatria prasanghyang. Sama seperti halnya pemerintahan Gelgel terdahulu, hampir tidak ada peninggalan yang dapat diinformasikan baik berupa dokumentasi maupun benda lainnya oleh penyunting sebagai bukti kebesaran Gelgel dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.

Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :

  1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.

  2. I Dewa Manggis Kuning, ( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.

  3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang :
  1. Amurwatembang
  2. Rangga Wuni
  3. Amerthamasa
  4. Gigateken
  5. Patal
  6. Sahawaji
  7. Rarengtaman
  8. Rarakedura
  9. Kebo Dungkul
  10. Tepas dan
  11. Kakansen.
Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara

AKHIR MASA PEMERINTAHAN


Dalem Anom Pemahyun
, Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.


Dalem Dimade Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.



Sumber

Bali: Raja Kerajaan Gelgel 1

1. Dalem Waturenggong ( th 1460 – 1550 M)

Pada Masa Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir telah dinobatkan putra beliau yaitu Dalem Waturenggong sebagai Raja Muda tahun caka 1380 atau tahun 1458 M. Dengan wafatnya ayah beliau pada tahun 1460 maka Dalem Waturenggonglah yang menggantikan kedudukan beliau sebagai Raja di Kerajaan Gelgel dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong Kerajaan Bali mencapai masa keemasannya hal tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam mengatur pemerintahan dan penegakan hukum serta perhatian beliau terhadap kesejahteraan rakyat. Begitu juga orang orang Bali aga (asli) diberikan kedudukan dalam pemerintahan dan diperlakukan secara adil.
Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang merupakan pemerintahan Pusat pada tahun 1478 maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah yang merdeka. Kerajaan Gelgel kemudian memperluas wilayah kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun 1512 M dan menguasai Pulau Lombok tahun 1520 M. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram. Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Islam.
Menteri Mentri pada Jaman pemerintahan ayahnya yang sudah berusia lanjut digantikan oleh putra putranya diantaranya Ki Gusti Batan Jeruk sebagai patih Agung digantikan oleh oleh putranya yaitu Rakyan petandakan juga Ki Gusti Abian Tubuh dan Ki Gusti Pinatih telah menunjukkan rasa baktinya menuruti jejak orang tuanya masing masing kehadapan Dalem Waturenggong.
Dalem Waturenggong mewarisi keris pusaka Ki Lobar , Si tandang langlang dan Si begawan Canggu yang diberikan oleh Patih Gajahmada kepada Kakek beliau Dalem Sri Kresna Kepakisan pada saat pertama kali memegang pemerintahan di Pulau Bali yang mana keberadaan senjata sakti tersebut sangat ditakuti oleh musuh musuh beliau karena dapat mencari sasarannya sendiri atas perintah si empunya.
Pasukan inti dari Kerajaan Gelgel adalah Dulang Mangap dengan kekuatan inti sebanyak 1600 orang dipimpin oleh patih Ularan yang merupakan warga Bali Aga (Bali Asli) keturunan Ki Pasung Grigis yang merupakan patih Kerajaan Bedulu sebelum dikalahkan Majapahit.
Akibat jatuhnya Majapahit maka banyak para arya dan Brahmana dari Majapahit yang datang ke Bali diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali terkenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dang Hyang Dwijendra dan di Lombok terkenal dengan sebutan Sangupati dan di Pulau Sumbawa beliau disebut dengan Tuan Semeru.
Kedatangan Dang Hyang Nirarta ke Bali disambut oleh I Gusti Dauh Bale Agung. Beliau kemudian diangkat sebagai Bagawanta Kerajaan Gelgel. Peranan belaiu sebagai Bagawanta sangat besar dalam bidang keagamaan, arsitektur dan kesusatraan sehingga Kerajaan Gelgel pada abad ke 6 tersebut mencapai puncak kejayaannya. Beliau selalu memberikan petunjuk dan nasehat kepada Dalem Waturenggong dalam menjalankan pemerintahan, dan salah satu ajaran beliau yang diwarisi sampai sekarang adalah konsep TRI PURUSA (Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa yaitu :

  • Parama Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai Brahma yang merupakan sumber dari segala sumber di alam semesta
  • Sada Siwa yaitu sifat Tuhan sebagai Asta Iswara dan Cadu Sakti
  • Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai jiwa alam semesta.
Dalam wujud tempat persembahyangan dinamakan Padmasana yang memadukan ajaran Tri Murti dari Mpu Kuturan dan Konsep Tri Purusa dari Dang Hyang Nirarta yang dipergunakan hingga saat ini.
Pada Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong wafatlah I Dewa Tegal Besung yang merupakan Paman beliau atau anak dari Dalem Kresna Kepakisan Raja Bali I setelah ekspedisi Majapahit tahun 1343 M. Beliau meninggalkan 5 orang putra yaitu :
  1. I Dewa Anggungan
  2. I Dewa Geding Artha
  3. I Dewa Nusa
  4. I Dewa Bangli
  5. I Dewa Pagedangan
Putra putra beliau senantiasa mengabdikan diri kepada Dalem Waturenggong karena masih bersepupu dengan beliau dan oleh Dalem Waturenggong ke lima saudara sepupunya masing masing diberikan tempat tinggal dan sandang pangan secukupnya.

PEMBANGUNAN PURA-PURA
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
  1. Pura Purancak di Jembrana
  2. Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
  3. Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
  4. Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan
  5. Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih)
  6. Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Dalem Batur Enggong wafat tahun 1550 M beliau meninggalkan 2 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
  1. Raden Pangharsa/ Dalem Bekung
  2. Raden Anom Sagening/ Dalem Sagening
  3. Seorang putri tidak diceritakan
Setelah Dalem Watur Enggong Wafat maka putra tertua yaitu Raden Pangharsa dinobatkan sebagai Raja Gelgel tahun 1560 dengan Gelar Sri Aji Pamahyun/ Dalem Bekung karena beliau tidak mempunyai keturunan.
Sumber
2. Dalem Bekung
SRI AJI PAMAHYUN BEKUNG/I DEWA PAMAHYUN (1560 M/CAKA 1482)

Raden Pangharsa yang berhak menggantikan kedudukan Dalem Batur Enggong yang telah wafat tahun 1550 M, karena usianya masih sangat muda maka dibentuklah suatu perwalian mahkota yang terdiri dari bangsawan bangsawan putra dari Dewa Tegal Besung dengan tugas menjalankan pemerintahan sehari-hari Kerajaan Gelgel sampai putra mahkota dinyatakan dapat memimpin Kerajaan Gelgel. Adapun Perwalian tersebut beranggotakan :
I Dewa Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I Dewa Anggungan, dan I Dewa Bangli. Sri
Aji Tegal Besung pada adalah putra bungsu dari Dalem Wawu Rawuh/ Sri Kresna Kepakisan (yang pertama di Bali).

Menurut catatan orang Belanda yang bernama Aernoudt lintgens yang pada bulan Pebruari 1597 mengunjugi Bali dan berkesempatan bertemu dari Raja Bali yang bernama Dalem Pambahyun Bekung mengungkapkan bahwa Bali dibawah pemerintahan Dalem Bekung berada dalam keadaan makmur dan hidup tenang dibawah pimpinan seorang Raja yang berwibawa.
Lintgens menceritakan bahwa Raja Bali pada saat dia berada di Kuta sedang mempersiapkan keberangkatan kurang lebih 20.000 pasukan menuju Blambangan Jawa Timur yang pada watu itu diduduki oleh Kerajaan Mataram. Raja Bali berkeinginan untuk merebut kembali wilayah tersebut. Raja duduk diatas pedati yang dihias atapnya dan ditarik dua ekor kerbau putih, sedangkan pengawalnya terdiri dari beberapa ratus orang yang mendahului kendaran Raja yang semuanya memanggul tombak yang dilapisi oleh emas sedangkan raja bersenjatakan keris yang berhulu dari parung emas dengan hiasan permata yang berkilau.
Raja dikelilingi oleh bangsawan bangsawan yang bersenjatakan keris yang bentuknya sama dengan yang dipakai Raja dan dibelakang raja berjalan lagi ratusan pengawal yang bersenjatakan bedil dan panah. Lintgens juga sempat berkunjung ke kerajaan Gelgel untuk menghadap raja diistananya. Dia menggambarkan
keadaan istana yang serba besar, megah dan mewah. Disana dia melihat lagi ratusan tombak yang berhiaskan emas, perhiasan perhiasan dan tempayan dari emas.
Namun demikian walaupun di Bali keadaan begitu aman tidak demikian dengan wilayah kekuasaan beliau di luar pulau Bali. Pada masa Pemerintahan Dalem Bekung adalah awal kesuraman kerajaan

Gelgel. Karena pada masa pemerintahannya ini pula terjadi banyak masalah dan kesulitan. Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--1580 M) putra sulung Dalem Waturenggong , Kerajaan -kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Dalem Waturenggong satu per satu melepaskan diri.

PEMBERONTAKAN GUSTI BATAN JERUK
Ada beberapa versi yang menjelaskan mengenai pemberontakan pada masa pemerintahan Dalem Bekung

Versi Pertama
Setelah Dalem Waturenggong wafat maka putra beliau yang tertua Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung dinobatkan sebagai Raja di Gelgel, namun pada saat itu usia beliau masih sangat muda sehingga paman paman beliau ingin mengambil kedudukan beliau sebagai Raja Gelgel.
Mengetahui hal tersebut I Gusti Agung Batan Jeruk sebagai patih agung yang merupakan orang kedua setelah raja mengambil prakarsa untuk mengamankan raja dari kemungkinan terjadinya pengambilalihan kekuasaan, karena itu I Gusti Batan Jeruk membatasi orang orang yang ingin bertemu dengan Raja.
Hal tersebut dirasakan oleh pejabat pejabat kerajaan yang lain sebagai suatu perebutan kekuasaan karena itu harus dilawan dan Raja harus diselamatkan. Oleh karena itu Kiyai Kebon Tubuh kemudin minta bantuan kepada Kiyai Manginte dari Kapal untuk mengembalikan kedudukan Dalem Bekung sebagai raja Gelgel.

Versi Kedua
Versi ini menyatakan bahwa I Dewa Anggungan yang merupakan paman dari Raja Gelgel sekaligus pendamping raja yang masih muda berambisi untuk menggantikan kedudukan sebagai raja, oleh karena itu beliau bersekongkol dengan Gusti Batan Jeruk untuk menggulingkan kekuasaan raja.

Versi Ketiga
Versi ini ditulis oleh Dr. Soegianto Sastrodiwiryo (Perjalanan Danghyang Nirarta) yang menyatakan bahwa terdapat suatu keyakinan bahwa keturunan Arya Kepakisan sebagai keturunan kesatria lebih memiliki hak untuk memerintah dari pada keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan yang berasal dari keturunan Brahmana.
Perasaan perasaan seperti itu muncul karena adanya kemelut didalam istana Kerajaan Gelgel yang diakibatkan oleh pertentangan politik dan hubungan percintaan. Raja Gelgel dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat dan terlibat dalam skandal skandal yang bertentangan dengan kehidupan sebagai seorang kesatriya. Maka timbullah ajakan dari para akhli waris Arya Kepakisan untuk bangkit mengatasi pergolakan dan adanya kesamaan kepentingan dari I Dewa Anggungan untuk berkuasa maka terjadilah perlawanan terhadap kekuasaan Raja.
Namun versi manapun yang dianggap benar yang jelas peristiwa perlawanan terhadap raja memang benar terjadi. I Dewa Pamahyun/ Dalem Bekung yang menduduki tahta kerajaan belum berusia dewasa sehingga belum mengerti cara cara menghadapi serangan musuh. Rupanya tindakan Gusti Batan Jeruk dilakukan tanpa memperhitungkan kekuatan lannya di luar istana Gelgel.
Tekad Kriyan Gusti Batan Jeruk bertambah besar dengan terdamparnya kapal Portugis di Bali Selatan (Bukit Pecatu) yang mana kapal tersebut mengangkut persenjataan dan meriam yang semuanya dirampas atas perintah yang berkuasa di Kerajaan Gelgel karena adanya hukum Hak Tawan Karang di Kerajaan Bali tersebut.
Dengan persenjataan yang dimiliki tersebut akan dipergunakan untuk menghadapi siapapun yang berani menghalangi tekadnya untuk merebut kekuasaan Kerajaan Gelgel.
peristiwa karamnya kapal ini menurut catatan orang Portugis Lintgenan yang mencatat bahwa kapal tersebut menhantam batu karang yang terletak di "Verkenshuk" yaitu tanah yang berbatu batu, orang Belanda menyebutnya "Tafelhoek"
Kriyan Gusti Batan Jeruk sudah dinasehati oleh pendeta Budha sebagai bagawanta di Kerajaan Gelgel agar jangan sekali kali menyamai kedudukan Dalem sebagai penguasa di Kerajaan Gelgel namun nasehat tersebut diacuhkan oleh beliau. Demikianlah akhirnya pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyerbu kedalam istana Gelgel oleh Gusti Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Tohjiwa dan Kriyan Pande sebab Kriyan Pande merupakan satu keluarga dengan Gusti Bantan Jeruk terhitung menekan dari sepupu putra tertua dari Kriyan Dawuh Baleagung dan cucu Pangeran Akah.
Pemberontakan tersebut berhasil menahan putra putra raja di dalam istana. Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1556 M tahun caka 1478 dengan sebutan candrasangkala " Brahma Nyarita Kawahan Wani " Brahmana = angka 8, Nyarita = angka 0, Kawahan = angka 5 dan Wani angka 1.
Peristiwa tersebut menggemparkan Kerajaan Gelgel dan menyulut para pendukung yang masih setia kepada Raja untuk membebaskan kedua putra raja tersebut. Dalam peristiwa tersebut para menteri dan pejabat pejabat tinggi kerajaan hampir semuanya memihak kepada Gusti Batan Jeruk. Hanya Kyai Kebon Tubuh dan keempat pamannya yang masih setia kepada Dalem Bekung.
Tersebutlah Kriyan Dawuh Nginte yang bermukim di Kapal mendengar berita adanya pemberontakan tersebut, memohon ijin kepada ayahnya untuk membantu menyelamatkan Raja Gelgel. Setelah mendapat ijin ayahnya maka mulailah perjalanan beliau dengan pasukannya menuju Kerajaan Gelgel dengan diiringi oleh Kiyai Pedarungan Putra Kriyan Patih Tuwa.
Singkat cerita setelah Dawuh Nginte tiba di Istana Gelgel beliau kemudian membujuk para menteri yang semula berpihak kepada Gusti Batan Jeruk untuk kembali berpihak kepada raja. Usaha beliau berhasil sehingga para menteri tersebut akhirnya membatu Dawuh Nginte untuk berperang melawan Gusti Batan Jeruk.
Kriyan Dawuh Nginte tampil sebagai pimpinan pasukan diikuti oleh Kyai Panatyan, Kiyai Ngurah Tabanan, Kyai Tegeh Kori, Kyai Kaba Kaba, Kyai Buringkit, Kiyai Pering, Kiyai Cagahan, Kyai Sukahet dan Kyai Berangsinga. Ketika Kriyan Batan Jeruk sedang sibuk menyusun kekuatannya di luar istana maka Kriyan Dawuh Nginte dan yang lainnya serempak masuk keistana untuk membebaskan dua putra Raja yaitu Dalem Bekung dan Dalem Segening yang ditawan oleh pihak pemberontak.
Kiyai Kebon Tubuh berhasil menyelamatkan Putra raja tersebut dengan melewati lubang tembok pagar tembus ke rumah Kryan Dawuh Bale Agung di sebelah barat pasar kemudian keluar dari Pikandelan. Disana sudah bersiap pasukan yang masih setia kepada pemerintahan dalam jumlah besar.
Tidak berselang beberapa lama datanglah Kriyan Batan Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan Tohjiwa mengamuk secara membabi buta didalam istana. Adapun adik Raja Dalem Bekung seorang putri masih berada didalam istana dibunuh tanpa perlawanan. Kriyan Pande bersama Kriyah Tohjiwa bermaksud untuk merusak pintu istana dengan kapak namun dapat dicegah oleh Kriyan Dawuh Nginte sehingga terjadi perang tanding diantara mereka. Kriyan Tohjiwa tewas dalam perang tanding tersebut dan Kriyan Pande menyerahkan diri.
Pasukan yang setia kepada pemerintahan Dalem kemudian mengepung kediaman Gusti Batan Jeruk namun sebelumnya Gusti Batan Jeruk telah meloloskan diri beserta sanak keluarganya menuju ke arah timur dengan mengenakan kain lembaran sudamala. memakai kampuh sutera lumut dan menyunting sehelai bunga kembang sepatu. Demikian pula Dewa Anggungan ikut melarikan diri kearah timur.
Namun pelarian tersebut terkejar pasukan yang setia kepada Dalem sampai di desa Jungutan Bungaya Karangasem sehingga terjadilah perang tanding yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Batan Jeruk. I Dewa Anggungan kemudian meyerahkan diri tetapi hubungan kekeluargaanya dilepas oleh keempat saudaranya dengan menurunkan derajat kebangsawanannya menjadi Sang Anggungan dan tidak diakui lagi sebagai Dewa.
Keluarga Gusti Batan jeruk lainnya seperti Kriyan bebengan, Kriyan Abian Nangka dan Kriyan Tusan yang turut terlibat dalam pemberontakan tersebut menyelamatkan diri dari kejaran pasukan yang setia kepada Raja bersembunyi di dibawah tumbuh tumbuhan jawa yang diatasnya bertengger burung perkutut yang sedang berkicau. Karena terhindar dari bahaya tersebut maka maka keturunannya pantang makan jawa dan burung perkutut.
Setelah Gusti Batan Jeruk tewas maka sanak keluarganya tidak berani lagi tinggal di Gelgel mereka berpencar ke segala arah serta menyembunyikan indentitas dirinya (Nyineb Wangsa). Adalah Kiyai Agung Petandakan putra pertama pangeran Nyuhaya yang ikut melarikan diri kearah timur. Adapun janda Gusti Batan Jeruk dan anak angkatnya I Gusti Oka dapat meloloskan diri dan tinggal di desa Budakeling (Persraman Danghyang Astapaka).
Setelah sekian lama janda Gusti Batan Jeruk yang bernama Ni Gusti Ayu Singarsa dijadikan istri oleh I Dewa Karangamla yang merupakan penguasa daerah Karangasem, namun dengan syarat dikemudian hari anak angkatnya atau keturunannya diangkat sebagai penguasa di wilayah Karangasem
. Syarat tersebut disetujui maka setelah dewasa I Gusti Oka menikah dan mempunyai 6 orang putra diantaranya Gusti Nyoman Karang yang setelah dewasa menikah dengan keturunan I Gusti Tusan melahirkan seorang putra bernama I Gusti Anglurah Ketut Karang ditetapkan sebagai Raja Karangasem. Pada tahun 1661 M beliau membangun Puri Amlapura yang terletak di Puri Kelodan sekarang, beliaulah yang menurunkan Raja Raja Karangasem dan Lombok.
Setelah pemberontakan Gusti Batan Jeruk dapat dipadamkan maka keamanan dan ketentraman Istana Gelgel segera puluh kembali. Untuk mengantikan Kriyan Batan Jeruk ditetapkan Kriyan Dawuh Nginte sebagai patih Agung merupakan keturunan Arya Kepakisan anak dari Pangeran Asak. Beliau juga diberi julukan Ki Gusti Dawuh.
Setelah beberapa tahun Raden Pangharsa/ Kiyai Pamahyun sudah meningkat dewasa kemudian dinobatkan sebagai Raja Gelgel ke III
dan Dalem Seganing adik Dalem Bekung ditetapkan sebagai " Iwa Raja " yang artinya raja muda. Baginda Raja Pahmahyun setelah bertahta ternyata kurang cakap memimpin kerajaan, syukurlah adiknya Anom Sagenin pandai memikat hati rakyat sehingga pemerintahan Kerajaan Gelgel tetap berdiri tegak.
Sesudah berselang beberapa lama dikisahkan Kriyan Pande menghadap Dalem Pamahyun untuk mohon ampun atas perbuatannya ikut serta dalam pemberontakan Gusti Batan Jeruk atas prakarsa Kyiyan Dawuh Manginte dan Kriyan Dawuh Baleagung ayah Kriyan Pande.
Dalem Bekung menyambut baik menyerahan diri tersebut dan memberikan pengampunan terhadap Kriyan Pande mengingat Jasa Kriyan Nginte yang telah meyelamatan kedudukan Raja Gelgel. Dan untuk menguji kesetiaan Kriyan Pande maka Dalem Pamahyun kemudian menugaskan Kriyan Pande ke Sumbawa untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan dengan tujuan membebaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Gelgel. Berkat keberanian dan ketangkasan Kriyan Pande maka pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dan sepulangnya beliau ke Gelgel diberikan penghargaan atas jasa nya.
Pada tahun 1587 terjadilah pendaratan besar besaran di Pantai Tuban (Bali Selatan) yang dilakukan oleh Kerajaan Pasuruan dan Mataram dengan tujuan menundukkan Pulau Bali. Kriyan Pande yang telah memiliki pengalaman bertempur kemudian ditugaskan kembali membendung serangan dari pulau Jawa tersebut. Dengan gagah berani beliau memimpin laskar Bali sampai kriyan pande tertembak giginya hingga rontok dan peluru musuh tersebut disemburkan dari mulutnya.
Beliau lalu mengangkat senjata sambil berteriak " mudah mudahan peluru ini mengenai musuh " dan Ki Gusti Nginte menimpali " mudah mudahan berhasil dan saya akan mohonkan hadiah daerah sebelah timur sungai Unda ". Peperangan ini berhasil dengan Gemilang penyerangan dari Pulau Jawa dapat dipukul mundur, dan atas permohonan Kriyan Nginte, Dalem Pamahyun Bekung kemudian menganugrahkan daerah sebelah Timur sungai Unda kepada Kriyan Pande. Dengan anugrah tersebut Kriyan Pande diberikan hak untuk menentukan nasib penduduk penduduk desa yang bermukim di daerah tersebut.
Pada Jaman pemerintahan Dalem Pamahyun Bekung pola pikir beliau mengalami perubahan dengan tidak mau lagi menerima saran dan usul dari keempat pamannya yaitu I Dewa Geding Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli dan I Dewa Pagedangan karena masih bersaudara dengan Sang Anggungan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dalem Bekung. Beliau memerintahkan keempat pamannya untuk keluar dari Istana Gelgel dan masing masing diberikan tempat pemukiman yang baru :

  • I Dewa Gedong Arta bersama keluarga pergi menuju Desa Manggis
  • I Dewa Nusa bersama keluarga menuju Desa Sibang
  • I Dewa Bangli pergi menuju Desa Bangli
  • I Dewa Pagedangan menuju desa Tohpati.
Dalem Pamahyun Bekung kemudian menyuting seorang putri bernama Sri Dewi Pamahyun dan tidak berselang beberapa lama beliau menyunting seorang putri lagi yang bernama I Gusti Ayu Samwantiga.



(Bersambung)

Bali: Sejarah Kerajaan Gelgel

 Pembangunan Pura Dasar Gelgel

AWAL BERDIRI
Gelgel adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km menuju jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan Bali dan di sebelah Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari lereng Gunung Agung yaitu mata air yang bernama Telaga Waja.

Ada tiga hal yang dapat diamati pada proses perpindahan dari ibu kota dari Samprangan ke Sweca pura (Gelgel). Pertama, proses perpindahan tersebut berjalan secara lancar dan Agra Samprangan menerima kenyataan bahwa ia tidak mendapat dukungan lagi dari pembesar kerajaan. Kedua, perpindahan pusat pemerintahan ini lebih banyak dipertimbangkan atas dasar kebijaksanaan dalam bidang politik. Ketiga, ada kemungkinan juga dipertimbangkan latar belakang komunikasi dan transportasi.

STRUKTUR PEMERINTAHAN

Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

SISTEM KEPEMIMPINAN

Golongan ksatria memegang pimpinan di dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau "Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.
Untuk mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang Agama.


KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Pengaruh agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua aspek kehidupannya dipancari oleh ajaran-ajaran agama Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan bersifat keagamaan atau sosial religious.
Kepercayaan agama Hindu yang terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang mencakup :

  1. Percaya akan adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan Siwa mempralina.
  2. Percaya terhadap konsep atman (roh abadi).
  3. Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa).
  4. Percaya terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan).
  5. Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Pengaruh kepercayaan dalam masyarakat juga amat besar. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan aktifitas upacara yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca yadnya, yaitu :
  1. Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi.
  2. Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
  3. Pitra Yadnya, merupakan upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.
  4. Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu.
  5. Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN, KESUSASTRAAN
(Gambar kanan: Pura Dasar Gelgel)

Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elite atau inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan.
Orang-orang yang memberikan pendidikan terdiri dari orang-orang Brahmana. Orang-orang yang memberikan pelajaran disebut Sang Guru. Orang yang belajar disebut "sisya". Dalam proses belajar di sebut "aguru" sedangkan proses memberikan pelajaran disebut "asisia". Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan-peraturan yang ketat.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat di bawa, termasuk seni dan budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayoman terhadap perkembangan kesenian khususnya seni tari di samping pemerintahan yang aman dan tentram.
Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah lontar banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian tidak terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan Jawa Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa naskah Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.

 Pura Segening Gelgel

Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :

  1. Pura Purancak di Jembrana,
  2. Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
  3. Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
  4. Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan.
  5. Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
  6. Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.
PEMERINTAHAN RAJA RAJA GELGEL
  • DALEM KETUT NGULESIR ( 1320 - 1400 ) M
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang pada Asta Brata.
(Gambar kanan: Pura Dasar Gelgel)

Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa "Sanghyang" dengan sebutan "Sang" kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.
Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).
  • DALEM BATUR ENGGONG ( 1460 - )
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.

Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
  • DALEM BEKUNG
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.
  • DALEM SAGENING
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
  • I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
  • I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis) beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
  • Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
  • Dalem Anom Pemahyun. Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
  • Dalem Dimade. Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.
  • KRYAN AGUNG MARUTI
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.



Sumber

Bali: Raja-raja Pemecutan 11 (Habis)

11. Raja Pemecutan XI
IDA COKORDA PEMECUTAN XI /A.A. NGURAH MANIK PARASARA, SH

(Gambar kiri: Ida Cokorda Pemecutan XI)

Dengan wafatnya Kiyayi Agung Gede Lanang Pemecutan pada har Senin Wage Julungwangi tanggal 8 Januari 1962 dan wafatnya Kiyayi Anglurah Pemecutan X/ Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan pada haris senin Pon Dungulan tanggal 17 Maret 1986 maka terjadilah kekosongan kepemimpinan bagi warga Ageng Pemecutan.

Kekosongan tersebut sangat terasa bila mana ada kegiatan adat maupun keagamaan di Puri Agung Pemecutan seperti Acara Mekiyis sebelum hari raya Nyepi dan Upacara Pujawali di Pura Tambanan Badung. Warga Ageng merasakan perlunya seorang tokoh atau figur yang dapat memegang kendali kepemimpinan di Puri Agung Pemecutan.


Kekosongan kepemimpinan tersebut telah menjadi bahan pemikiran di kalangan Warga Ageng Pemecutan. Untuk itu sebagai langka awal maka pada hari Kamis Wage Tolu tanggal 29 Oktober 1987 diadakanlah pembahasan tentang suksesi kepemimpinan tersebut bertepatan dengan Pujawali purnama kelima di Pemerajan Agung Puri Pemecutan yang dilanjutkan dengan rapat di Jero Taensiat Denpasar pada hari Minggu umanis langkir tanggal 20 Desember 1987 dan di puri Agung Pemecutan pada selasa paing pujut tanggal 5 januari 1988 dipimpin oleh A.A.Ngurah Oka Moncol Lanang Taensiat.

Pembahasan terakhir dilaksanakan di Pura Tambangan Badung yang tanggal 6 Nopember 1988 dengan dihadiri oleh perwakilan warga Ageng Pemecutan dan penglingsir/ Moncol yang menghasilkan keputusan sebagai berikut :
  1. Secara aklamasi menetapkan A.A Ngurah Manik Parasara putra tertua dari Cokorda Pemecutan X sebagai Penglingsir di Puri Agung Pemecutan dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan XI dan Anak Agung Ngurah Made Dharmawijaya putera tertua dari Anak Agung Gde Lanang Pemecutan sebagai wakil dengan gelar Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan
  2. Penyusunan awig-awig bagi Warga Ageng Pemecutan untuk menyempurnakan awig-awig yang dibuat pada jaman pemerintahan Belanda
  3. Penyusunan Babad keluarga besar Puri Agung Pemecutan sebagai pedoman bagi generasi yang akan datang.
  4. Penetapan Simbul Warga Ageng Pemecutan
  5. Pengesahan Penglingsir Agung
Dalam rapat tersebut juga dihadiri oleh 14 Pedanda yang pada hakekatnya mendukung keputusan warga Ageng Pemecutan karena kehadiran seorang pemimpin keluarga akan sangat penting artinya dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di lingkungan keluarga besar Pemecutan dimana didalamnya masih terkandung nilai nilai budaya tradisional yang luhur yang perlu dilestarikan keberadaanya.

Hadir pula warga semeton Islam dari Kepaon Denpasar yang dipimpin oleh Bapak Muhamad Ali Mansyur dan warga semeton Bugis di Suwung Serangan Sesetan Denpasar dipimpin oleh Bapak Abdul Fatah.

ABISEKA RATU IDA COKORDA XI

Pada hari Minggu tanggal 16 Juli 1989 Redite Kliwon Tolu dilaksanakan Abiseka Ratu A.A Ngurah Manik Parasara sebagai Penglingsir di Puri Agung Pemecutan dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan XI dan Anak Agung Ngurah Made Dharmawijaya sebagai wakil dengan gelar Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan

Abiseka Cokorda Pemecutan XI dipuput oleh 21 Peranda Siwa dan Budha yang ada kaitannya dengan sejarah Puri Agung Pemecutan. Adapun Pedanda tersebut antara lain :
  1. Ida Pedanda Geniten / Geria Carik Taensiat
  2. Ida Pedanda Oka / Geria Karang Tampakgangsul
  3. Ida Pedanda Gede Rai / Geria Ngenjung Bindu
  4. Ida Pedanda Gede Oka / Geria Ngenjung Bindu
  5. Ida Pedanda Gede Ngurah / Geria Tegeh Bindu
  6. Ida Pedanda Gede Ngurah Bajing / Geria Bajing Kesiman
  7. Ida Pedanda Gede Putraka Timbul / Geria Timbul Kesiman
  8. Ida Pedanda Gede Putra Bajing / Geria Bajing Lebah
  9. Ida Pedanda Istri Raka Telaga / Geria Telaga Tegal
  10. Ida Pedanda Putra Telaga / Geria Pancoran Tegal
  11. Ida Pedanda Gede Putra / Geria Sari Tegal
  12. Ida Pedanda Istri Raka / Geria Pemedilan
  13. Ida Pedanda Istri Rai / Geria Telabah
  14. Ida Pedanda Made Sukehet / Geria Taman Sari Sanur
  15. Ida Pedanda Gede Putra / Geria Puseh Sanur
  16. Ida Pedanda Gede Buruan / Geria Buruan Sanur
  17. Ida Pedanda Istri Telaga Tawang / Geria Telaga Tawang
  18. Ida Pedanda Gede Telaga / Geria Dalem Kerobokan
  19. Ida Pedanda Istri Kanya / Geria Budha Kaliungu
  20. Ida Pedanda Bodha Jelantik Lilasrsana / Geria Budha Sukawati
  21. Ida Pedanda Gede Beluwangan / Geria Delod Peken Sanur
Warga dari kampung Islam Kepaon Denpasar ikut pula memeriahkan acara tersebut dengan menampilkan tari Rudat yang merupakan suatu sikap dan penampilan yang simpatik dari masyarakat Islam yang masih ada ikatan sejarah dengan Puri Agung Pemecutan.

AWAL KEPEMIMPINAN IDA COKORDA PEMECUTAN XI

Ida Cokorda Pemecutan XI selaku Penglingsir di Puri Agung Pemecutan sangat menyadari bahwa keberadaan awig-awig dan sejarah bagi bagi keluarga Besar Puri pemecutan sangat penting artinya sebagai pegangan dan petunjuk dalam menjalankan kepemimpinan.
 
Oleh karena itulah maka kedua hal tersebut menjadi prioritas beliau bersama sama dengan para moncol dan para pemuka warga Ageng Pemecutan untuk mewujudkannya. dan Atas Asung wara Nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa maka pada hari Kamis Umanis Gumbreg tanggal 14 Nopember 1989 selesailah penyusunan Awig Awig Lembaga Warga Ageng Pemecutan.

Dengan disahkannya Awig Awig Lembaga Warga Ageng Pemecutan , penglingsir Agung telah mempunyai pegangan dasar sebagai pedoman dalam memimpin Keluarga Besar Pemecutan. Dan sebagai langkah kedua dibentuklah Pengurus pusat yang bertugas membantu Penglingsir Agung dalam mengendalikan organisasi terutama konsolidasi kedalam untuk membenahi kelengkapan organisasi dan pembentukan pengurus Cabang masing masing kelompok atau Kemoncolan.

Untuk itu dibentuk pula pengurus dikalangan pemangku yang terkait langsung dengan Pura Tambangan Badung seperti pemangku pura prasanak Tambangan Badung, Para penyungsung paibon di Pura Tambangan Badung dan juga dilaksankan pendataan jumlah warga di masing masing kemoncolan.


PELAKSANAAN UPACARA PANCA WALIKRAMA DI PURA TAMBANGAN BADUNG

Ida Cokora Pemecutan XI tidak mengabaikan pembinaan mental spritual warga Ageng Pemecutan, beliau menyadari bahwa Pura Tambangan Badung adalah tali pengikat dan mempersatukan segenap warganya karena itulah dilakukan persiapan untuk melaksanakan Karya Panca Walikrama di Pura Tambangan Badung.

Sebagai tahap awal maka dilakukan perbaikan tembok penyengker Pura, gedong pelingih Bhatara Ratu Ayu, pelinggih di pura Taman, Pelinggih para Paibon yang rusak, bale semanggen dan bale gajah. Hal lainnya yaitu memindahkan dan membangun bale Wantilan di Jaba Tengah, memperbesar dapur dan menata halaman tengah dan pura Taman. Selain itu dibangun pula pintu masuk di utara untuk memperlancar jalannya persembahyangan pada saat pujawali.

Setelah perbaikan tersebut selesai, maka dilaksanakanlah upacara Panca Walikrama yang dimulai dari hari Rabu Pon Watugunung tanggal 6 Maret 1991 dan mencapai puncaknya pada purnama sasih kedasa, senin paing warigadian tanggal 29 April 1991 yang berjalan dengan lancar dan aman.
 
 (Gambar kanan:Tari Rudat Muslim kepaon)

Dalam Puncak acara tersebut kembali ditampilkan tari rudat dari warga kampung Islam Kepaon yang merupakan suatu bukti keharmonisan hubungan keagamaan antara Warga Hindu di Puri Pemecutan dan Warga Muslim dari sejak dulu yang patut dipelihara dan dikembangkan karena keberadaan Warga muslim di wilayah Badung
sangat besar peranannya dalam perjalanan sejarah Puri Agung Pemecutan.

Tamu kehormatan yang hadir selain Raja Raja dari seluruh Bali, hadir pula Sri Sultan Hamengku Bhuwono X Raja Yogyakarta dan Gubernur Bali Prof Dr. Ida Bagus Oka. Sebagai acara tambahan juga diremikannya Koperasi berbadan Hukum milik warga Ageng Pemecutan yang diberi nama Koperasi Serba Usaha Eka Bandana Pemecutan

UPACARA PELEBONAN ANAK AGUNG BIANG RAI ISTRI KE IV IDA COKORDA PEMECUTAN X IBU DARI IDA COKORDA PEMECUTAN XI

Upacara Pelebon Pengelingsir Puri Agung Pemecutan Anak Agung Biang Rai, Ibunda Cokorda Pemecutan XI tanggal 14 Juni 2009 Di pagi yang cerah dengan sinar matahari yang menyengat, halaman Puri Pemecutan sudah nampak ramai dikerumuni oleh para pemuka Puri dan para keluarga besar puri, mengantarkan jenazah Ibunda dari Cokorda Pemecutan ke Setra Badung untuk melakukan upacara pelebon/pembakaran jenazah.

Iring-iringan pelebon yang sangat panjang dengan deretan barisan tombak (prajurit perang), gadis-gadis cantik dengan aneka pakaian Bali bercorak kuno, tarian sakral seperti baris Ketekok Jago, tarian Rodat yang berasal dari kaum Muslim, serta diiringi tabuh gamelan yang semarak. Kelihatan sangat indah dan menakjubkan.

Saat hari menjelang siang, suasana mulai dipadati dari orang-orang yang ingin menyaksikan perjalanan terakhir dari Almarhum Anak Agung Biang Rai menuju tempat pembakaran.

Beberapa iringan wadah/bade dari para pengiring juga ramai dan sangat meriah, seakan-akan upacara ini tidak ada lelahnya, dan sesampainya di tempat tujuan terakhir, jenazah Anak Agung Biang Rai di masukkan ke dalam Lembu dan di perciki air suci agar perjalanan beliau damai di alam sana.





Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.