“Saat aku memangku pemerintahan, total utang kami sekitar 300
juta lira dan berhasil ditekan hingga tinggal 30 juta lira, atau tinggal
sepersepuluhnya saja”. Demikianlah tulis Sultan Abdul Hamid (1842-1918M), Khalifah Utsmaniyah di dalam catatan hariannya (terj. Mudzakaraat as Sulthan abdul Hamid. Dr Muhammad Harb hal 26).
Posisi utang negara Utsmaniyah pada dua masa sultan sebelumnya,
yaitu Abdul Majid (ayah Abdul Hamid) dan Abdul Aziz (pamannya) telah
mencapai 252 juta lira emas (tahun 1881 M), dan jumlah tersebut harus segera dibayar karena jatuh tempo.
Saat berkuasa, Abdul Hamid dihadapkan kepada berbagai macam
permasalahan, seperti pembangkangan Serbia dan Montenegro, yang telah
dimulai sejak akhir pemerintahan Sultan Abdul Aziz. Demikian juga
keberadaan para pejabat pengkhianat Islam dan sebagian gubernur yang
serakah, di antaranya Khudaiwi Ismail, gubernur Utsmaniyah di Mesir yang
telah menjabat sejak masa pemerintahan pamannya, Sultan Abdul Aziz.
Gubernur Ismail telah berhasil memaksa Sultan Abdul Aziz untuk
menerima utang luar negeri dari Inggris dan Prancis sebesar 100 juta
Junaih. Tindakan Abdul Aziz menerima usulan Ismail ini telah membuat
Ustmaniyah jatuh ke dalam kubangan utang luar negeri. Sifat serakah
Ismail juga telah mendorongnya menjual saham-saham pribadinya atas
kepemilikan Terusan Suez pada November 1875 M di pasar gelap.
Saham-saham itu akhirnya jatuh ke tangan Inggris setelah melalui
persaingan dengan Prancis yang kalah cepat. Jatuhnya saham-saham ke
tangan Inggris ini menjadi sebab munculnya gerakan perlawanan di Mesir
untuk mengenyahkan Inggris dari Mesir di kemudian hari.
Untuk menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri dan
berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh,
Abdul Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk di antaranya
gubernur Mesir, Khudaiwi Ismail. Ismail dipecat melalui dekrit tahunan
yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.
Pemerintahan Khalifah Abdul Hamid sangat terbebani dengan banyaknya
utang luar negeri. Sementara itu, sumber pendapatan negara dari hari ke
hari semakin menciut. Produktivitas dalam negeri pun hari demi hari
semakin menurun, sehingga sepanjang periode pembenahan tersebut, Sultan
harus mendatangkan barang-barang kebutuhan bagi rakyatnya dari Eropa.
Komoditas tekstil Eropa ada di mana-mana, membanjiri negara. Kondisi ini
berdampak pada bangkrutnya sejumlah pabrik di dalam negeri, karena
pendapatan yang terus defisit. Pemasukan cukai lintas batas pun
mengalami penurunan hingga pada tingkat yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Keadaan demikian itu sebagai konsekuensi dari
diberlakukannya perjanjian perdagangan dengan negara-negara besar yang
dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.
Kondisi buruk tersebut bertambah parah dengan adanya persoalan tanah
tempat tinggal dan lapangan pekerjaan bagi jutaan Muslim Utsmaniyah yang
eksodus dari Bulgaria ke Istanbul. Eksodus ini sebagai akibat dari
adanya perang yang terjadi antara Rusia dan Utsmaniyah yang berlangsung
dari tahun 1877 sampai 1878 M. Sebagai langkah solusi atas persoalan
ini, dibuatlah perjanjian untuk mengakhiri perang pada 31 Januari 1878
M.
Sultan Abdul Hamid telah berhasil menyelesaikan persoalan utang ini
hingga berkurang separuh dari jumlah asalnya. Keseriusan Sultan untuk
melunasi utang ini telah menyebabkan para pegawai negara, terutama para
pemegang kebijakan gelisah karena gaji mereka dibayarkan terlambat.
Besarnya utang luar negeri Khilafah Utsmaniyah telah dimanfaatkan
oleh Yahudi Eropa sebagai jalan untuk mendapatkan tanah Palestina. Para
Yahudi terkutuk itu menjanjikan sultan untuk membantu melunasi
utang-utang negaranya. Namun, tipu muslihat mereka yang keji dan licik
itu tidak mendapatkan respon positif dari Sultan Abdul Hamid. Pada
tanggal 28 Juni dan 7 Juli 1890 M, Sultan mengeluarkan dua perintah
kesultanan, yaitu ditolaknya keinginan Zionisme untuk memiliki
tanah-tanah Utsmaniyah dan mengembalikan mereka ke asal mereka. Abdul
Hamid telah menetapkan perintah itu dengan suatu pandangan bahwa
Khilafah Utsmaniyah harus tetap memelihara kekayaan Palestina dan tidak
menjual tanahnya kepada para imigran yang datang kepadanya. Semoga Allah
menerima amal kebaikan Sultan Abdul Hamid dan mengampuni segala
kekurangannya. Amin. (Mediaumat.com, 12/11/2013)
Sumber
Tampilkan postingan dengan label Dinasti Utsmani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dinasti Utsmani. Tampilkan semua postingan
Minggu, 30 Maret 2014
Kamis, 27 Maret 2014
Kebijakan Sultan Abdul Hamid II Terhadap Para Penghina Rasulullah SAW
Posted By:
Unknown
on 22.57
Pemimpin adalah perisai (junnah), umat berperang di belakang serta
berlindung dengannya. Demikianlah sabda baginda Rasulullah SAW
menggambarkan tugas keberadaan pemimpin bagi umat. Ia adalah pelindung
umat dari segala bahaya (dharar) yang menimpa harta, jiwa, kehormatan,
akal, dan agamanya. Dialah seorang khalifah yang dibaiat untuk
menerapkan syariah, yang dengannya fungsi-fungsi ini bisa terwujud. Tak
heran ketika perisai ini lenyap, bukan hanya harta, jiwa dan kehormatan
umat yang terbaikan tanpa pelindung, namun kehormatan Rasulullah SAW
pun berulangkali dihina dan dinistakan.
Hal ini berbeda ketika Daulah Khilafah masih ada. Seterpuruk apapun kondisi umat saat itu, setiap upaya dan tindakan yang menistai Islam dan umatnya, tetap bisa ditindak tegas. Inilah yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid Ats-Tsani. Pada akhir abad ke-19, tahun 1890, ketika seorang penulis Prancis, Henri de Bornier, membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW, Sultan Abdul Hamid mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama itu di seluruh Prancis. Prancis pun memenuhi permintaan itu dan mengambil keputusan melarang pementasan drama itu.
Prancis mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid yang di antara isinya: “Kami percaya, keputusan yang kami ambil sebagai pemenuhan atas keinginan yang mulia Sultan akan memperkuat hubungan hangat di antara kita ..”. Ketika penulis itu berusaha mementaskannya di Inggris dan mulai membuat persiapan pementasannya di Allesiyom yang terkenal, Sultan mengetahuinya dan mengirimkan surat agar pementasan itu dilarang. Maka pementasan itu pun dilarang. Padahal kala itu, Inggris merupakan negara adidaya, namun ia tetap meminta maaf atas persiapan pementasannya, meski drama itu belum sempat dipentaskan.
Sumber
Hal ini berbeda ketika Daulah Khilafah masih ada. Seterpuruk apapun kondisi umat saat itu, setiap upaya dan tindakan yang menistai Islam dan umatnya, tetap bisa ditindak tegas. Inilah yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid Ats-Tsani. Pada akhir abad ke-19, tahun 1890, ketika seorang penulis Prancis, Henri de Bornier, membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW, Sultan Abdul Hamid mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama itu di seluruh Prancis. Prancis pun memenuhi permintaan itu dan mengambil keputusan melarang pementasan drama itu.
Prancis mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid yang di antara isinya: “Kami percaya, keputusan yang kami ambil sebagai pemenuhan atas keinginan yang mulia Sultan akan memperkuat hubungan hangat di antara kita ..”. Ketika penulis itu berusaha mementaskannya di Inggris dan mulai membuat persiapan pementasannya di Allesiyom yang terkenal, Sultan mengetahuinya dan mengirimkan surat agar pementasan itu dilarang. Maka pementasan itu pun dilarang. Padahal kala itu, Inggris merupakan negara adidaya, namun ia tetap meminta maaf atas persiapan pementasannya, meski drama itu belum sempat dipentaskan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan pun memanggil seluruh
duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah. Ketika
mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di
depan pintu kekhilafahan. Kemudian Sultan datang menemui mereka dengan
berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa
dan nada mengancam, ia berkata kepada mereka: “la in lam tantahi faronsa
‘an fi’latiha, la anta’ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta’ilu
hadzal hidza biyadii, fahkhrijuu qobbahakumullah” Artinya: “Seandainya
Prancis tidak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina
Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku
perlakukan mereka seperti sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah,
semoga Allah SWT menimpakan keburukan kepada kalian”. Para duta itu pun
segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang mereka dengar
dan mereka saksikan dari sang khalifah. Terkejut mendengar acaman di
atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya.
Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti’al
artinya adalah Lubs an na’l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta’ala
al-ardha, artinya saafara ‘alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi’aha
(menginjakkan kaki di atasnya). Selain itu, sang Sultan tidak memandang
bahwa tindakan penghinaan tadi, seandainyaa pementasan drama itu
benar-benar terlaksana, hanya ulah salah seorang warga Prancis, tetapi
ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang dilakukan oleh institusi
negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada satu negara pun yang
bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar warganya, apalagi
berlindung di balik alasan kebebasan. Tak heran berselang tiga tahun
setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di
Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul “Muhammad
at-Tsaniy”. Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.
Sikap khalifah ini jugalah yang membuat umat menjadi
tenang. Mereka merasa senang dan bangga dengan sikap sang Sultan.
Berbagai surat ucapan selamat dikirim oleh kaum Muslimin dari berbagai
penjuru dunia, bahkan sebagian mereka mengadakan perayaan atas kabar
gembira tersebut. Hal ini jauh berbeda dengan kondisi umat saat ini.
Persoalan demi persolan yang menimpa umat Islam serta penghinaan demi
penghinaan terhadap Rasulullah SAW semakin menunjukkan bahwa para
pemimpin sekuler yang ada saat ini, bukan hanya tidak mampu melindungi
kehormatan Islam dan kaum Muslimin, namun juga semakin jelas menunjukkan
bahwa keberadaan mereka justru untuk melindungi kepentingan asing yang
membenci dan memusuhi kaum Muslimin. Wajar, meski tidak semuanya dapat
dibenarkan, bila umat saat ini, melakukan tindakannya masing-masing,
dengan caranya sendiri-sendiri demi membela agama dan kehormatannya.
Wallahu a’lam, (mediaumat.com, 8/10/2012)
Sumber
Sultan Abdul Hamid II: Sang Pembela Sejati Palestina
Posted By:
Unknown
on 22.55
Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha
tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam
cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah
Palestina.
Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ”Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”
Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.
”Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!” Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.
(republika.co.id, 14/7/2010)
Sumber
Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ”Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”
Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.
”Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!” Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.
(republika.co.id, 14/7/2010)
Sumber
Kholifah Sulaiman Al Qonuni
Posted By:
Unknown
on 22.33
Pemimpin Agung dari Abad XVI
Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia – baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.
Pemimpin Muslim yang didapuk peradaban Barat dengan gelar ‘Solomon the Magnificient‘ atau ‘Solomon the Great‘ itu adalah Sultan Sulaeman I. Sulaeman pun tersohor sebagai negarawan Islam yang terulung di zamannya. Kharismanya yang begitu harum membuat Sulaeman dikagumi kawan dan lawan. Di masa kekuasaannya, Kekhalifahan Turki Utsmani memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh dan kuat.
Sultan Sulaiman pun begitu berjasa besar penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ketika berkuasa, Sulaiman Agung – begitu orang Barat menjulukinya – berhasil menyemaikan ajaran Islam hingga ke tanah Balkan di Benua Eropa meliputi Hongaria, Beograd, dan Austria. Tak cuma itu, dia pun sukses menyebarkan ajaran Islam di benua Afrika dan kawasan Teluk Persia.
Gelar Al-Qanuni yang melekat pada nama besarnya dianugerahkan atas jasanya dalam menyusun dan mengkaji sistem undang-undang Kesultanan Turki Usmani. Tak hanya menyusun, Sultan Sulaeman pun secara konsisten dan tegas menjalankan undang-undang itu. Sulaiman menerapkan syariah Islamiyah dalam memimpin rakyat yang tersebar di Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah.
Pantaslah bila Sulaeman dikagumi lawan dan kawan. Ia adalah seorang penguasa kuat yang merakyat. Baginya, setiap rakyat di Kesultanan Usmani memiliki hak yang sama. Tak ada pembedaan pangkat dan derajat. Kebebasan dan toleransi menjalankan kehidupan beragama pun dijunjungnya. Tak heran, jika pada masa kekuasaannya umat Islam serta Yahudi dapat hidup dengan aman dan damai.
Salah satu upaya penting yang dilakukan Sulaeman agar pemerintahannya kuat dan dicintai rakyat adalah dengan mememilih gubernur yang benar-benar berkualitas. Ia memilih gubernur yang mewakilinya di setiap provinsi dengan selektif dan ketat. Popularitas dan status sosial tak menjadi syarat dalam mencari kandidat gubernur. Agar tak kecolongan, ia sendiri yang turun langsung menyelidiki jejak rekam serta kepribadian setiap calon gubernur.
Hasilnya sungguh memuaskan. Setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin yang besih dan benar-benar berkualitas. Itulah mengapa, wilayah kekuasaan Usmani Turki yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia. Syariat Islam pun bisa dijalankan dengan baik.
Sulaiman pun dikenal sebagai pemimpin yang turut memajukan kebudayaan. Ia mencinta seni dan kebudayaan. Selain menduduki tahta kesultanan, Sulaiman pun dikenal sebagai salah seorang penyair yang hebat dalam peradaban Islam. Pada era kekuasaannya, Istanbul – ibukota Usmani Turki menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta filasafat. Inilah periode yang paling kreatif dalam sejarah kesultanan Usmani.
Sulaiman merupakan putera Sultan Salim I. Dia terlahir pada 6 November 1494 M di Trabzon, kawasan pantai Laut Hitam. Sejak kecil, dia sudah didik sang ayah pelajaran dan ilmu seni berperang serta seni berdamai. Menginjak usia tujuh tahun, Sulaiman cilik dikirim ke sekolah Istana Topkapi di Istanbul.
Di sekolah itu, dia mempelajari beragam ilmu pengetahuan seperti, sejarah, sastra, teologi serta taktik militer. Meski berdarah ningrat dan putera mahkota sebuah kesultanan yang sangat besar, sejak muda Sulaiman sudah sangat merakyat. Sahabat dekatnya justru adalah seorang budak bernama, Ibrahim. Kelak, sahabatnya itu menjadi penasehat yang amat dipercayainya.
Sebelum menduduki tahta kesultanan Usmani, pada usia 17 tahun dia ditunjuk sang ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia). Lalu setelah itu, dia diuji dengan menduduki jabatan Gubernur Sarukhan (Manisa) dan kemudian memimpin masyarakat di Edirne (Adrianople). Delapan hari setelah sang ayah tutup usia, pada 30 September 1520 M, Sulaeman naik tahta menjadi sultan ke-10 Kesultanan Usmani.
Seorang utusan dari Venesia, Bartolomeo Contarini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul Turki menggambarkan sosok Sultan Sulaiman. Menurut Contarini, saat itu Sulaiman baru berusia 22 tahun. ”Postur tumbuhnya tinggi, tapi kurus dan kuat serta corak kulitnya lembut,” tutur Contarini. Selain itu, sang sultan digambarkan memiliki leher yang sedikit lebih panjang dan wajahnya yang tipis serta hidungnya bengkok seperti paruh rajawali.
”Dia adalah pemimpin yang bijaksana, sangat cinta pada ilmu. Sehingga semua orang berharap banyak dari kepemimpinannya,” imbuh Contarini memuji akhlak Sultan Sulaiman I. Sebagian sejarawan mengklaim pada masa remajanya mengagumi Aleksander Agung. Menurut sejarawan, Sulaiman sangat terpengaruh visi Aleksander dalam membangun sebuah kerajaan yang dapat berkuasa dari Timur hingga Barat.
Masa pemerintahannya terbilang sangat panjang, jika dibandingkan Sultan-Sultan Ottoman lainnya. Selama berkuasa selama 46 tahun, Sultan Sulaeman begitu banyak mencapai kemenangan dalam berbagai peperangan. Sehingga, wilayah kekuasaan Kesultanan Usmani terbentang dari Timur ke Barat.
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mendirikan Universitas As-Sulaimaniyah. Sama seperti halnya pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman pun sempat menulis salinan Alquran dengan tangannya sendiri. Kini, salinan Alquran itu masih tersimpan di Masjid Agung Sulaiman.
Sulaiman tutup usia pada usia 71 tahun saat berada di Szgetvar, Hongaria pada tanggal 5 Juni 1566 M. Jasadnya dimakamkan di Masjid Agung Sulaiman yang berada di kota Istanbul, Turki. Kehebatan dan kebaikannya selama memimpin kesultanan Usmani hingga kini tetap dikenang.
(heri ruslan/ Republik online : Senin, 09 Juni 2008)
Sumber
Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia – baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.
Pemimpin Muslim yang didapuk peradaban Barat dengan gelar ‘Solomon the Magnificient‘ atau ‘Solomon the Great‘ itu adalah Sultan Sulaeman I. Sulaeman pun tersohor sebagai negarawan Islam yang terulung di zamannya. Kharismanya yang begitu harum membuat Sulaeman dikagumi kawan dan lawan. Di masa kekuasaannya, Kekhalifahan Turki Utsmani memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh dan kuat.
Sultan Sulaiman pun begitu berjasa besar penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ketika berkuasa, Sulaiman Agung – begitu orang Barat menjulukinya – berhasil menyemaikan ajaran Islam hingga ke tanah Balkan di Benua Eropa meliputi Hongaria, Beograd, dan Austria. Tak cuma itu, dia pun sukses menyebarkan ajaran Islam di benua Afrika dan kawasan Teluk Persia.
Gelar Al-Qanuni yang melekat pada nama besarnya dianugerahkan atas jasanya dalam menyusun dan mengkaji sistem undang-undang Kesultanan Turki Usmani. Tak hanya menyusun, Sultan Sulaeman pun secara konsisten dan tegas menjalankan undang-undang itu. Sulaiman menerapkan syariah Islamiyah dalam memimpin rakyat yang tersebar di Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah.
Pantaslah bila Sulaeman dikagumi lawan dan kawan. Ia adalah seorang penguasa kuat yang merakyat. Baginya, setiap rakyat di Kesultanan Usmani memiliki hak yang sama. Tak ada pembedaan pangkat dan derajat. Kebebasan dan toleransi menjalankan kehidupan beragama pun dijunjungnya. Tak heran, jika pada masa kekuasaannya umat Islam serta Yahudi dapat hidup dengan aman dan damai.
Salah satu upaya penting yang dilakukan Sulaeman agar pemerintahannya kuat dan dicintai rakyat adalah dengan mememilih gubernur yang benar-benar berkualitas. Ia memilih gubernur yang mewakilinya di setiap provinsi dengan selektif dan ketat. Popularitas dan status sosial tak menjadi syarat dalam mencari kandidat gubernur. Agar tak kecolongan, ia sendiri yang turun langsung menyelidiki jejak rekam serta kepribadian setiap calon gubernur.
Hasilnya sungguh memuaskan. Setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin yang besih dan benar-benar berkualitas. Itulah mengapa, wilayah kekuasaan Usmani Turki yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia. Syariat Islam pun bisa dijalankan dengan baik.
Sulaiman pun dikenal sebagai pemimpin yang turut memajukan kebudayaan. Ia mencinta seni dan kebudayaan. Selain menduduki tahta kesultanan, Sulaiman pun dikenal sebagai salah seorang penyair yang hebat dalam peradaban Islam. Pada era kekuasaannya, Istanbul – ibukota Usmani Turki menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta filasafat. Inilah periode yang paling kreatif dalam sejarah kesultanan Usmani.
Sulaiman merupakan putera Sultan Salim I. Dia terlahir pada 6 November 1494 M di Trabzon, kawasan pantai Laut Hitam. Sejak kecil, dia sudah didik sang ayah pelajaran dan ilmu seni berperang serta seni berdamai. Menginjak usia tujuh tahun, Sulaiman cilik dikirim ke sekolah Istana Topkapi di Istanbul.
Di sekolah itu, dia mempelajari beragam ilmu pengetahuan seperti, sejarah, sastra, teologi serta taktik militer. Meski berdarah ningrat dan putera mahkota sebuah kesultanan yang sangat besar, sejak muda Sulaiman sudah sangat merakyat. Sahabat dekatnya justru adalah seorang budak bernama, Ibrahim. Kelak, sahabatnya itu menjadi penasehat yang amat dipercayainya.
Sebelum menduduki tahta kesultanan Usmani, pada usia 17 tahun dia ditunjuk sang ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia). Lalu setelah itu, dia diuji dengan menduduki jabatan Gubernur Sarukhan (Manisa) dan kemudian memimpin masyarakat di Edirne (Adrianople). Delapan hari setelah sang ayah tutup usia, pada 30 September 1520 M, Sulaeman naik tahta menjadi sultan ke-10 Kesultanan Usmani.
Seorang utusan dari Venesia, Bartolomeo Contarini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul Turki menggambarkan sosok Sultan Sulaiman. Menurut Contarini, saat itu Sulaiman baru berusia 22 tahun. ”Postur tumbuhnya tinggi, tapi kurus dan kuat serta corak kulitnya lembut,” tutur Contarini. Selain itu, sang sultan digambarkan memiliki leher yang sedikit lebih panjang dan wajahnya yang tipis serta hidungnya bengkok seperti paruh rajawali.
”Dia adalah pemimpin yang bijaksana, sangat cinta pada ilmu. Sehingga semua orang berharap banyak dari kepemimpinannya,” imbuh Contarini memuji akhlak Sultan Sulaiman I. Sebagian sejarawan mengklaim pada masa remajanya mengagumi Aleksander Agung. Menurut sejarawan, Sulaiman sangat terpengaruh visi Aleksander dalam membangun sebuah kerajaan yang dapat berkuasa dari Timur hingga Barat.
Masa pemerintahannya terbilang sangat panjang, jika dibandingkan Sultan-Sultan Ottoman lainnya. Selama berkuasa selama 46 tahun, Sultan Sulaeman begitu banyak mencapai kemenangan dalam berbagai peperangan. Sehingga, wilayah kekuasaan Kesultanan Usmani terbentang dari Timur ke Barat.
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mendirikan Universitas As-Sulaimaniyah. Sama seperti halnya pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman pun sempat menulis salinan Alquran dengan tangannya sendiri. Kini, salinan Alquran itu masih tersimpan di Masjid Agung Sulaiman.
Sulaiman tutup usia pada usia 71 tahun saat berada di Szgetvar, Hongaria pada tanggal 5 Juni 1566 M. Jasadnya dimakamkan di Masjid Agung Sulaiman yang berada di kota Istanbul, Turki. Kehebatan dan kebaikannya selama memimpin kesultanan Usmani hingga kini tetap dikenang.
(heri ruslan/ Republik online : Senin, 09 Juni 2008)
Sumber
Khilafah membantu Kelaparan di Irlandia (1845)
Posted By:
Unknown
on 22.20
Tahun
1845, adalah awal tahun dimana terjadi kelaparan besar yang melanda
Irlandia yang mengakibatkan lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Ketika
itu Khilafah Usmani, Sultan Abdülmecid menyatakan keinginannya untuk
mengirimkan 10,000 sterling kepada para petani Irlandia tapi Ratu
Victoria meminta Sultan untuk mengirim hanya 1,000 sterling, karena dia
telah mengirim hanya 2,000 sterling. Sultan
mengirim 1,000 sterling. Namun secara diam-diam mengirim 3 kapal penuh
makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi
makanan sampai di pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para
Pelaut Usmani. Dikarenakan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya
mereka yang tinggal dii Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki.
Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya symbol-simbol Usmani (source: http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda) Sebuah Blog Osmanli Traveller
telah mengcopy sebuah laporan oleh seorang Pendeta Kristen yang menulis
mengenai Sultan pada saat pengembaraanya. Laporanya menyebutkan
peristiwa ini secara singkat. Apa yang menarik adalah bahwa tanpa mengetahui
pengiriman kapal secara diam-diam itu, pendeta tadi telah terkesan
dengan karakter Sultan dalam menanggapi permintaan Ratu. Mengenai karakter Sultan Abdul Majid Khan, yang ditulis Rev. Henry Christmas M.A. (Pendeta Kristen) tahun 1853: ‘Satu atau dua anekdot akan memberikan karakter dia yang sebenarnya. Selama
tahun kelaparan di Irlandia, Sultan mendengar penderitaan yang dialami
oleh negara malang itu, maka dia langsung mengutarakan kepada Duta Besar
Inggris niatnya untuk membantu meringankan keadaan itu, dan menawarkan
bantuan sejumlah besar uang. Dia
maklum bahwa adalah hak dari Ratu untuk membatasi jumlah uang, sehingga
uang yang lebih besar tidak bisa diterima dari Sultan. Untuk sopan
santun maka diapun setuju atas keinginan Ratu itu, dan dengan rasa penuh
simpati mengirimkan bantuan yang terbesar yang dibolehkan. Tercatat
dalam sejarah mengenai perasaan pribadinya untuk memberikan jawaban atas
ancaman tuntutan dari Austria dan Rusia bagi dilakukannya ekstradisi
pengungsi Polandia dan Hongaria. “Saya
bukan tidak peduli,” jawabnya. “atas kekuatan imperium itu, bukan juga
atas maksud tersembunyi dari isyarat yang mereka tunjukkan tunjukkan ,
tapi saya dipaksa oleh agama saya untuk memperhatikan aturan aturan
sopan santun, dan saya percaya atas perasaan dan niat baik Eropa tidak
akan mengizinkan pemerintah saya untuk terlibat pada perang ini, karena
saya memutuskan dan percaya pada mereka.” Ini
memang adalah semangat sejati dari Kristen, tapi ada yang lebih dari
itu atas diri Muhammad Sultan dari Turki, lebih daripada semua pangeran
Kristen di Eropa Timur. ‘
(Sultan Turki, Abdul Medjid Khan: A Brief Memoir of His Life and
Relign, with Notices of The Country, its Navy, & present Prospects”
by the Rev. Henry Christmas, M.A., 1853) Juga
tercatat, kedermawanannya dan kesabarannya yang terjadi selama apa yang
dianggap sebagai ‘kejatuhan’ Imperium Usmani menurut buku-buku sejarah
Barat, padahal Sultan Abdul Madjid sendiri tidaklah dianggap sebagai
salah satu Sultan terbesar dari Imperium Usmani. Peristiwa membuktikan ketinggian karakter Sultan yang digabungkan dengan kemampuan lihai mereka untuk melalui rintangan politik untuk mencapai tujuan moral yang Islami. Dan berapa banyak lagi misi-misi rahasia yang hingga sekarang belum terungkap?
Catatan: tahun 1845, 10,000 ponds yang diberikan kepada penduduk Irlandia dari Sultan itu bernilai kurang lebih 800,000 pond pada hari ini, itu sama dengan $1,683,280 US Dollar. Di sisi lain, Ratu memberikan uang senilai 160,000 pond pada hari ini atau 336,656 US Dollar. (Riza Aulia; www.khilafah.com)
Sumber
Catatan: tahun 1845, 10,000 ponds yang diberikan kepada penduduk Irlandia dari Sultan itu bernilai kurang lebih 800,000 pond pada hari ini, itu sama dengan $1,683,280 US Dollar. Di sisi lain, Ratu memberikan uang senilai 160,000 pond pada hari ini atau 336,656 US Dollar. (Riza Aulia; www.khilafah.com)
Sumber
Minggu, 05 Januari 2014
Barbarosa Pahlawan Islam
Posted By:
Unknown
on 20.54
Anda yang gemar
membaca komik Asterix dan anda yang pernah menonton film ‘Pirates of The
Carribean’, tentu ingat karakter jahat ‘Barbarossa’ bukan? Sejak zaman
pertengahan, aneka macam karya fiksi Eropa dan Amerika biasa menggunakan
nama Barbarossa untuk menamai karakter seorang penjahat –biasanya
seorang bajak laut jahat. Makna negatif Barbarossa terus dipropagandakan
hingga zaman sekarang, meski di dalam setting-setting yang berbeda. Tak
ada asap jika tak ada api, kebiasaan para penulis fiksi Eropa dan
Amerika ini tentu ada sebabnya.
The Barbarosa Brothers
Pada abad ke-15 masehi, di Laut Mediterania ada dua bajak laut bersaudara yang disebut The Barbarossa Brothers. Kedua tokoh ini menjadi legenda dalam dunia ‘per-bajak-laut-an’ dan merupakan tokoh bahari yang sangat ditakuti orang-orang Eropa pada zamannya. Kebiasaannya ialah membajak barang-barang berharga yang diangkut oleh kapal-kapal milik kerajaan-kerajaan Eropa yang melintasi Laut Mediterania. Awak kapal yang dibajak biasanya diberi dua pilihan; mati karena melawan atau hidup dengan menyerah secara sukarela.
Siapakah sebenarnya Barbarossa yang sangat ditakuti oleh orang-orang Eropa selama berabad-abad itu? Mengapa hingga zaman sekarang nama itu terus menghantui benak dan pikiran mereka?
Barbarossa bukanlah sebuah nama. Barbarossa merupakan kata dalam bahasa Latin –gabungan dari kata barber (janggut) dan rossa (merah). Jadi Barbarrossa berarti janggut merah. Barbarossa merupakan julukan yang diberikan oleh para pelaut Eropa kepada kakak-beradik Aruj dan Khairuddin dari Turki. Kedua kakak beradik ini hanyalah pelaut-pelaut biasa yang rutin berlayar di wilayah perairan Yunani dan Turki.
Awal Gerakan Barbarosa
Pada suatu hari, tanpa sebab yang jelas, kapal milik keluarga mereka diserang secara brutal oleh kapal militer Knight of Rhodes. Dalam peristiwa ini, adik bungsu Aruj dan Khairuddin tewas terbunuh. Aruj dan Khairuddin sangat terpukul dengan kematian adik bungsu mereka. Sejak saat itu, mereka melakukan aksi bajak laut kepada semua kapal-kapal militer milik kerajaan-kerajaan Kristen. Aksi-aksi mereka sangat menggemparkan dan membuat mereka ditakuti militer Kristen. Aruj dan Khairuddin pun kemudian dikenal sebagai The Barbarossa Brothers Pirates karena keduanya berjanggut merah.
Kaum Eropa menyebut Barbarossa sebagai bajak laut, meskipun tidak ada bendera hitam dan tengkorak yang menjadi simbol bajak laut. Bendera yang dipasang Aruj dan Khairuddin di kapal mereka adalah sebuah bendera berwarna hijau berisi kaligrafi doa Nashrun minallaah wa fathun qariib wa basysyiril mu’miniin, ya Muhammad, empat nama khulafaur rasyidin, pedang Zulfikar dan bintang segi enam Yahudi (Bintang David). Awak kapal yang dipimpin kedua bersaudara ini terdiri atas orang-orang Islam dari bangsa Moor, Turki, dan Spanyol, serta beberapa orang Yahudi.
Pada tahun 1492 M, Andalusia yang sejak tahun 756 M dikuasai oleh Daulah Khilafah Islamiyah, jatuh ke tangan Pasukan Salib yang terdiri atas pasukan gabungan Aragon dan Spanyol. Dalam peristiwa penaklukan Andalusia ini, jutaan orang Islam dan Yahudi tewas dibantai pasukan yang dipimpin Raja Ferdinand II dari Aragon.
Perjuangan Jihad Barbarosa
Peristiwa itu mengubah haluan misi dendam Aruj dan Khairuddin menjadi misi Jihad Islam. Bahu-membahu bersama sekelompok milisi bangsa Moor, mereka kemudian menyelamatkan puluhan ribu Umat Islam dari Spanyol ke Afrika utara (Maroko, Tunisia dan Aljazair). Kemudian mereka membangun basis pertahanan laut di Aljazair untuk menghadang gelombang serangan Pasukan Salib dari jalur Afrika Utara menuju Tanah Suci Palestina.
Khalifah Islam saat itu, Sulaiman I, mendengar cerita-cerita heroik Barbarossa bersaudara. Sulaiman I sangat kagum pada heroisme mereka. Karena prestasi mereka di lautan, akhirnya Sulaiman I mengangkat Aruj dan Khairuddin sebagai Kapudan Pasha (Panglima Angkatan Laut) Khilafah Islamiyyah untuk membenahi Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah yang amburadul.
Adu Domba Pihak Spanyol
Pada tahun 1518 Spanyol berhasil menghasut Amir kota Tlemcen (Tilmisan) untuk melancarkan pemberontakan kepada kepemimpinan Aruj. Aruj kemudian menyerahkan pemerintahan Aljazair kepada Khairuddin untuk sementara. Lalu ia memimpin pasukan untuk berangkat ke Tlemcen. Hati Aruj sangat pilu karena ia malah berperang dengan saudara sendiri sesama Muslim. Akibatnya ia kurang berkonsentrasi dan pasukannya kocar-kacir. Aruj sempat lolos, namun banyak pasukannya yang tertangkap. Karena hubungan emosionalnya dengan anak buahnya, Aruj kembali ke Tlemcen untuk bertempur dan ia gugur dalam pertempuran tersebut.
Dengan gugurnya Aruj, kepemimpinan Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah beralih ke tangan Khairuddin. Spanyol mengira bahwa era kejayaan Barbarossa di Laut Tengah telah berakhir. Lalu, dengan percaya dirinya, Spanyol mengirim 20.000 tentaranya ke Aljazair. Pertempuran hebat pun terjadi, namun Khairuddin berhasil menghajar pasukan laut tersebut.
Sejarah dan Kehebatan Pasukan Janissary
Guna meminimalisir ancaman dari negeri sekitar Aljazair, selain ancaman utama Spanyol, Khairuddin kemudian meminta kepada Khalifah Sulaiman I agar kekuasaan Amir Tunisia dan Tlemcen dialihkan kepadanya. Sulaiman I pun setuju. Pada 1519, Khalifah mengangkat Khairuddin sebagai beylerbey (Bakhlair Baik) atau wakil Khalifah untuk wilayah Aljazair dan sekitarnya. Kemudian Khairuddin juga ditugasi memimpin pasukan-pasukan elit Daulah Khilafah Islamiyah, Pasukan Janissary.
Dalam masa kepemimpinan Khairuddin, Pasukan Janissary berhasil melakukan banyak penyelamatan Umat Islam di Andalusia. Tercatat mereka melakukan 7 kali pelayaran dengan 36 buah kapal untuk mengangkut Umat Islam Spanyol yang diburu bagai hewan oleh Ferdinand II dan Pasukan Salibnya.
Pertengahan dekade 1520-an, Pasukan Darat Janissary yang dipimpin langsung Khalifah Sulaiman I berhasil memenangkan semua pertempuran darat. Pada saat bersamaan, Pasukan Laut Janissary di bawah pimpinan Khairuddin juga berhasil mengontrol lalu lintas pelayaran di Laut Tengah sepenuhnya. Kondisi ini membuat Pasukan Salib Kristen Eropa menjadi pusing tujuh keliling.
Awal Mula Minuman Capucchino
Dalam suasana putus asa, pada tahun 1529 di pulau Penon, Spanyol menembakkan meriam ke menara masjid saat Adzan sedang berkumandang. Maka terjadilah peperangan hebat di Penon dan setelah 20 hari pulau tersebut berhasil dikuasai kembali oleh Khairuddin. Sementara di daratan, Sulaiman I membombardir Wina (Ibukota Austria) dengan dua kali serangan namun keduanya gagal. Pasukan Islam yang mundur dari pertempuran meninggalkan beberapa karung kopi yang kemudian mengubah aturan Paus Roma yang sebelumnya mengharamkan minuman yang biasa diminum kaum muslim itu. Kemudian mereka menyebut minuman itu sebagai dengan nama cappuccino.
Pada tahun 1535 Pasukan Salib Gabungan Spanyol dan Genoa di bawah pimpinan Charles V dan Andrea Doria (Knight of Malta) menyerang Tunisia dengan kekuatan 25.000 orang pasukan dan 500 kapal. Pertempuran pun berjalan tidak imbang hingga Tunisia pun jatuh ke tangan Spanyol. Pada tahun-tahun selanjutnya, Khairuddin Sang Barbarossa mengalami banyak kekalahan. Namun ia berhasil menduduki kepulauan Beleares dan merampas kapal-kapal Portugis dan Spanyol di selat Gibraltar.
Akhir Gemilang Barbarosa Sebelum Tutup Usia
Tahun 1538, Pasukan Salib Gabungan Italia-Spanyol menyerang Preveza yang saat itu merupakan pelabuhan penting di Laut Tengah. Andrea Doria memimpin 40 kapal dan Barbarossa hanya memimpin 20 kapal. Namun dengan kecerdikannya, Barbarossa memecah armadanya ke tiga arah dan menjebak Pasukan Andrea Doria di tengah untuk kemudian membombardir armada Andrea Doria habis-habisan. Andrea Doria dan armada lautnya pun lari dari pertempuran. Walau begitu, Khairuddin tak mengejarnya karena ia tak ingin berperang di laut lepas, mengingat kapal-kapal armada laut Spanyol mempunyai peralatan yang lebih canggih. Apalagi ia hanya memimpin 20 kapal.
Tiga tahun kemudian, Pasukan Salib Gabungan Spanyol-Genoa kembali menyerang Aljazair dengan kekuatan 200 kapal. Mereka sengaja melancarkan serangan di luar musim berlayar, untuk menghindari pertemuan dengan Pasukan Barbarossa. Rakyat Aljazair di bawah komando Hasan Agha berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan Aljazair. Charles V dan Andrea Doria yang memimpin serangan tak mengira bahwa pertahanan dan strategi perang Hasan Agha sangat matang, sehingga armadanya pun kacau-balau. Ketika itu pula tiba-tiba badai laut dahsyat menghantam Laut Mediterania. Andrea Doria dan Charles V berhasil selamat, dan kembali ke negerinya dengan kekalahan pahit.
Tahun 1565, dalam usia senja, Khairuddin Barbarossa memimpin pasukan untuk merebut Malta dari tangan Knight of St. John. Namun dalam pertempuran itu, Khairuddin gugur. Kemudian Khairuddin dimakamkan di Istanbul. Di dekat kuburannya didirikan masjid dan madrasah untuk mengenangnya. Hingga kini makam tersebut masih terawat untuk menjadi bukti kepahlawanan Khairuddin alias Barbarossa yang namanya masih ditakuti bangsa Eropa hingga zaman sekarang.
Sumber
The Barbarosa Brothers
Pada abad ke-15 masehi, di Laut Mediterania ada dua bajak laut bersaudara yang disebut The Barbarossa Brothers. Kedua tokoh ini menjadi legenda dalam dunia ‘per-bajak-laut-an’ dan merupakan tokoh bahari yang sangat ditakuti orang-orang Eropa pada zamannya. Kebiasaannya ialah membajak barang-barang berharga yang diangkut oleh kapal-kapal milik kerajaan-kerajaan Eropa yang melintasi Laut Mediterania. Awak kapal yang dibajak biasanya diberi dua pilihan; mati karena melawan atau hidup dengan menyerah secara sukarela.
Siapakah sebenarnya Barbarossa yang sangat ditakuti oleh orang-orang Eropa selama berabad-abad itu? Mengapa hingga zaman sekarang nama itu terus menghantui benak dan pikiran mereka?
Barbarossa bukanlah sebuah nama. Barbarossa merupakan kata dalam bahasa Latin –gabungan dari kata barber (janggut) dan rossa (merah). Jadi Barbarrossa berarti janggut merah. Barbarossa merupakan julukan yang diberikan oleh para pelaut Eropa kepada kakak-beradik Aruj dan Khairuddin dari Turki. Kedua kakak beradik ini hanyalah pelaut-pelaut biasa yang rutin berlayar di wilayah perairan Yunani dan Turki.
Awal Gerakan Barbarosa
Pada suatu hari, tanpa sebab yang jelas, kapal milik keluarga mereka diserang secara brutal oleh kapal militer Knight of Rhodes. Dalam peristiwa ini, adik bungsu Aruj dan Khairuddin tewas terbunuh. Aruj dan Khairuddin sangat terpukul dengan kematian adik bungsu mereka. Sejak saat itu, mereka melakukan aksi bajak laut kepada semua kapal-kapal militer milik kerajaan-kerajaan Kristen. Aksi-aksi mereka sangat menggemparkan dan membuat mereka ditakuti militer Kristen. Aruj dan Khairuddin pun kemudian dikenal sebagai The Barbarossa Brothers Pirates karena keduanya berjanggut merah.
Kaum Eropa menyebut Barbarossa sebagai bajak laut, meskipun tidak ada bendera hitam dan tengkorak yang menjadi simbol bajak laut. Bendera yang dipasang Aruj dan Khairuddin di kapal mereka adalah sebuah bendera berwarna hijau berisi kaligrafi doa Nashrun minallaah wa fathun qariib wa basysyiril mu’miniin, ya Muhammad, empat nama khulafaur rasyidin, pedang Zulfikar dan bintang segi enam Yahudi (Bintang David). Awak kapal yang dipimpin kedua bersaudara ini terdiri atas orang-orang Islam dari bangsa Moor, Turki, dan Spanyol, serta beberapa orang Yahudi.
Pada tahun 1492 M, Andalusia yang sejak tahun 756 M dikuasai oleh Daulah Khilafah Islamiyah, jatuh ke tangan Pasukan Salib yang terdiri atas pasukan gabungan Aragon dan Spanyol. Dalam peristiwa penaklukan Andalusia ini, jutaan orang Islam dan Yahudi tewas dibantai pasukan yang dipimpin Raja Ferdinand II dari Aragon.
Perjuangan Jihad Barbarosa
Peristiwa itu mengubah haluan misi dendam Aruj dan Khairuddin menjadi misi Jihad Islam. Bahu-membahu bersama sekelompok milisi bangsa Moor, mereka kemudian menyelamatkan puluhan ribu Umat Islam dari Spanyol ke Afrika utara (Maroko, Tunisia dan Aljazair). Kemudian mereka membangun basis pertahanan laut di Aljazair untuk menghadang gelombang serangan Pasukan Salib dari jalur Afrika Utara menuju Tanah Suci Palestina.
Khalifah Islam saat itu, Sulaiman I, mendengar cerita-cerita heroik Barbarossa bersaudara. Sulaiman I sangat kagum pada heroisme mereka. Karena prestasi mereka di lautan, akhirnya Sulaiman I mengangkat Aruj dan Khairuddin sebagai Kapudan Pasha (Panglima Angkatan Laut) Khilafah Islamiyyah untuk membenahi Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah yang amburadul.
Adu Domba Pihak Spanyol
Pada tahun 1518 Spanyol berhasil menghasut Amir kota Tlemcen (Tilmisan) untuk melancarkan pemberontakan kepada kepemimpinan Aruj. Aruj kemudian menyerahkan pemerintahan Aljazair kepada Khairuddin untuk sementara. Lalu ia memimpin pasukan untuk berangkat ke Tlemcen. Hati Aruj sangat pilu karena ia malah berperang dengan saudara sendiri sesama Muslim. Akibatnya ia kurang berkonsentrasi dan pasukannya kocar-kacir. Aruj sempat lolos, namun banyak pasukannya yang tertangkap. Karena hubungan emosionalnya dengan anak buahnya, Aruj kembali ke Tlemcen untuk bertempur dan ia gugur dalam pertempuran tersebut.
Dengan gugurnya Aruj, kepemimpinan Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah beralih ke tangan Khairuddin. Spanyol mengira bahwa era kejayaan Barbarossa di Laut Tengah telah berakhir. Lalu, dengan percaya dirinya, Spanyol mengirim 20.000 tentaranya ke Aljazair. Pertempuran hebat pun terjadi, namun Khairuddin berhasil menghajar pasukan laut tersebut.
Sejarah dan Kehebatan Pasukan Janissary
Guna meminimalisir ancaman dari negeri sekitar Aljazair, selain ancaman utama Spanyol, Khairuddin kemudian meminta kepada Khalifah Sulaiman I agar kekuasaan Amir Tunisia dan Tlemcen dialihkan kepadanya. Sulaiman I pun setuju. Pada 1519, Khalifah mengangkat Khairuddin sebagai beylerbey (Bakhlair Baik) atau wakil Khalifah untuk wilayah Aljazair dan sekitarnya. Kemudian Khairuddin juga ditugasi memimpin pasukan-pasukan elit Daulah Khilafah Islamiyah, Pasukan Janissary.
Dalam masa kepemimpinan Khairuddin, Pasukan Janissary berhasil melakukan banyak penyelamatan Umat Islam di Andalusia. Tercatat mereka melakukan 7 kali pelayaran dengan 36 buah kapal untuk mengangkut Umat Islam Spanyol yang diburu bagai hewan oleh Ferdinand II dan Pasukan Salibnya.
Pertengahan dekade 1520-an, Pasukan Darat Janissary yang dipimpin langsung Khalifah Sulaiman I berhasil memenangkan semua pertempuran darat. Pada saat bersamaan, Pasukan Laut Janissary di bawah pimpinan Khairuddin juga berhasil mengontrol lalu lintas pelayaran di Laut Tengah sepenuhnya. Kondisi ini membuat Pasukan Salib Kristen Eropa menjadi pusing tujuh keliling.
Awal Mula Minuman Capucchino
Dalam suasana putus asa, pada tahun 1529 di pulau Penon, Spanyol menembakkan meriam ke menara masjid saat Adzan sedang berkumandang. Maka terjadilah peperangan hebat di Penon dan setelah 20 hari pulau tersebut berhasil dikuasai kembali oleh Khairuddin. Sementara di daratan, Sulaiman I membombardir Wina (Ibukota Austria) dengan dua kali serangan namun keduanya gagal. Pasukan Islam yang mundur dari pertempuran meninggalkan beberapa karung kopi yang kemudian mengubah aturan Paus Roma yang sebelumnya mengharamkan minuman yang biasa diminum kaum muslim itu. Kemudian mereka menyebut minuman itu sebagai dengan nama cappuccino.
Pada tahun 1535 Pasukan Salib Gabungan Spanyol dan Genoa di bawah pimpinan Charles V dan Andrea Doria (Knight of Malta) menyerang Tunisia dengan kekuatan 25.000 orang pasukan dan 500 kapal. Pertempuran pun berjalan tidak imbang hingga Tunisia pun jatuh ke tangan Spanyol. Pada tahun-tahun selanjutnya, Khairuddin Sang Barbarossa mengalami banyak kekalahan. Namun ia berhasil menduduki kepulauan Beleares dan merampas kapal-kapal Portugis dan Spanyol di selat Gibraltar.
Akhir Gemilang Barbarosa Sebelum Tutup Usia
Tahun 1538, Pasukan Salib Gabungan Italia-Spanyol menyerang Preveza yang saat itu merupakan pelabuhan penting di Laut Tengah. Andrea Doria memimpin 40 kapal dan Barbarossa hanya memimpin 20 kapal. Namun dengan kecerdikannya, Barbarossa memecah armadanya ke tiga arah dan menjebak Pasukan Andrea Doria di tengah untuk kemudian membombardir armada Andrea Doria habis-habisan. Andrea Doria dan armada lautnya pun lari dari pertempuran. Walau begitu, Khairuddin tak mengejarnya karena ia tak ingin berperang di laut lepas, mengingat kapal-kapal armada laut Spanyol mempunyai peralatan yang lebih canggih. Apalagi ia hanya memimpin 20 kapal.
Tiga tahun kemudian, Pasukan Salib Gabungan Spanyol-Genoa kembali menyerang Aljazair dengan kekuatan 200 kapal. Mereka sengaja melancarkan serangan di luar musim berlayar, untuk menghindari pertemuan dengan Pasukan Barbarossa. Rakyat Aljazair di bawah komando Hasan Agha berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan Aljazair. Charles V dan Andrea Doria yang memimpin serangan tak mengira bahwa pertahanan dan strategi perang Hasan Agha sangat matang, sehingga armadanya pun kacau-balau. Ketika itu pula tiba-tiba badai laut dahsyat menghantam Laut Mediterania. Andrea Doria dan Charles V berhasil selamat, dan kembali ke negerinya dengan kekalahan pahit.
Tahun 1565, dalam usia senja, Khairuddin Barbarossa memimpin pasukan untuk merebut Malta dari tangan Knight of St. John. Namun dalam pertempuran itu, Khairuddin gugur. Kemudian Khairuddin dimakamkan di Istanbul. Di dekat kuburannya didirikan masjid dan madrasah untuk mengenangnya. Hingga kini makam tersebut masih terawat untuk menjadi bukti kepahlawanan Khairuddin alias Barbarossa yang namanya masih ditakuti bangsa Eropa hingga zaman sekarang.
Sumber
Senin, 30 Desember 2013
Kematian Mustafa Kamal Ataturk
Posted By:
Unknown
on 10.30
MUSTAFA Kamal Ataturk adalah penggagas Republik Turki . Ia didapuk sebagai pemimpin revolusi, negarawan dan Presiden Turki yang pertama.
Ataturk pula yang memindahkan ibu negara Turki dari Istanbul ke Angora yang kini dikenali sebagai Ankara.
Mustafa Kamal telah membentuk semula aspek kehidupan rakyat Turki agar sesuai dengan tuntutan ideologi Kemalist. Ideologi ini bertujuan membawa Turki ke arah negara modern, demokratik dan negara sekular.
Ataturk memerintah dari tahun 1918 hingga 1934. Di saat kematiannya, ada beberapa penyakit kepadanya, di antara ialah:
1. Dilanda penyakit kulit hingga ke kaki di mana ia merasa gatal-gatal seluruh badan.
2. Sakit jantung.
3. Penyakit darah tinggi.
4. Panas sepanjang waktu.
Pada 26 September 1938, ia pingsan selama 48 jam disebabkan terlalu panas, lalu ia sempat siuman, namun kemudian hilang ingatan secara permanen.
Pada 9 November 1938, ia pengsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Sewaktu ia meninggal, konon tidak seorang pun yang memandi, mengafani dan menshalatkannya. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki memandikan, mengafani dan menshalatkannya.
Menurut banyak sumber, ketika dibawa ke pemakaman, mayatnya tidak mau masuk ke liang lahat. Disebabkan putus asa, akhirnya orang-orang yang menguburkan mayatnya mengawetkan mayat Ataturk sekali lagi dan dimasukkan ke museum yang diberi nama EtnaGrafi di Ankara selama 15 tahun atau sampai tahun 1953.
Setelah 15 tahun mayatnya kembali hendak dikuburkan, namun masih juga susah. Akhirnya, jenazahnya dibawa ke satu bukit dan ditanam dalam satu bangunan marmer yang beratnya 44 ton. Mayatnya dikubur di celah-celah batu marmer.
Sumber
Sabtu, 28 Desember 2013
Janissary
Posted By:
Unknown
on 03.01
Janissary
(berasal dari bahasa Turki Utsmaniyah: ينيچرى (Yeniçeri) yang berarti
"pasukan baru") adalah pasukan infanteri yang dibentuk oleh Sultan Murad
I dari Kekalifahan Bani Seljuk pada abad ke-14. Pasukan ini berasal
dari bangsa-bangsa Eropa Timur yang wilayahnya berhasil dikuasai oleh
Turki. Utsmani Tentara ini dibentuk tak lama setelah
Kekaisaran Byzantium kalah oleh Turki Utsmani. Alasan utama pembentukan
laskar Janisari adalah karena tentara Turki Utsmani yang ada tidak
memadai, terutama karena terdiri dari suku-suku yang kesetiaanya
diragukan. Janisari awalnya adalah para tahanan perang (terutama yang
asalnya dari Eropa Timur - Balkan) yang diampuni tetapi dengan syarat harus membela Kekaisaran Turki Utsmani.
Sejalan
dengan waktu, untuk memastikan kesetiaan kesatuan ini, selanjutnya
Sultan punya ide untuk merekrut pasukan Janisari ini dari budak yang
masih bocah, sehingga mereka bisa diajari (didoktrin) untuk membela dan
mengawal Sultan. Pada masa itu, pasukan Janisari ini adalah pasukan
terkuat di dunia. Konon pasukan ini adalah pasukan yg pertama sekali
memakai senapan.(yang kemudian ditiru oleh orang Eropa). Saat itu Turki
memiliki persediaan mesiu yang cukup banyak (dimana pada saat itu di
daerah lain masih langka). Pasukan ini adalah pasukan kedua setelah
Mongol yang berhasil menjajah Eropa.
Janisari adalah brigade terpisah dari pasukan reguler Turki yang bertugas mengawal Sultan Dinasti Utsmani (Ottoman Empire). Sedangkan Bani Seljuk adalah Dinasti sebelum Utsmani. Utsman diambil dari pemimpin kabilah Osmani yg mempunyai kekuatan yang besar sewaktu Bani Seljuk masih berkuasa. Waktu Seljuk pecah, kabilah yang dipimpin Osmani menyatukannya kembali dibawah bendera baru. Kekuasaan Turki Utsmani mencapai seluruh wilayah di Balkan dan Eropa Tenggara. Kota Wina dua kali diserang oleh kakuatan Turki Utsmani, tetapi karena seluruh kerajaan di Eropa bersatu untuk membendung dengan kekuatan penuh dan logistik yang memadai, ambisi Turki Utsmani untuk menguasai seluruh Eropa tidak berhasil.
Pakaian khas Janisari adalah sejenis long musket. Ciri khasnya adalah topinya yang memakai tutup kain dari depan ke belakang leher, menyerupai sorban.
Kisah terkenal mengenai kehebatan pasukan ini adalah ketika Byzantine kalah total saat Constantinopel ditaklukan oleh Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Fatih, beliau anak dari Sultan Murad II. Saat itu Janisari adalah pasukan yang berperan penting dalam pertempuran tersebut. Yang menarik, pada zaman Sultan Mahmud, Pasukan Janisari termasuk yang ikut bertempur melawan Dracula si Penyula dari Wallachia dekat Transevalnia yang haus darah. Dracula (Vlad Teppes) sempat dikalahkan adiknya sendiri yaitu Radu yang saat itu menjadi pemimpin Janisari untuk menaklukan Dracula. (Dracula artinya anak Dracul atau anak naga karena bapaknya adalah Vlad Dracul yang menjadi anggota Ordo Naga).
Jannisary sendiri dibagi manjadi dua kesatuan, yaitu: infantri dan kavaleri:
1. Jannisarry Heavy Infantry, merupakan pasukan infantry bentukan pertama yang membawa nama harum pasukan turki ke berbagai belahan eropa dan asia, pasukan ini menggunakan baju zirah dan rantai besi, tidak membawa tameng dan bersenjatakan haldberd (semacam tombak panjang yang memiliki mata kapak). pasukan ini sangat ganas dan nyaris tak terkalahkan dalam setiap pertempuran.
2. Jannisarry Musketter (Kaveleri). Setelah sukses menguasai sebagian besar eropa, maka kekaisaran ottoman mulai membentuk satuan pasukan penembak khusus yang dicomot dari pasukan infantry janissary terdahulu, dan diberikan senapan teknologi terbaik di jamannya yaitu ” musketter” yang lebih baik dari hand gun biasa…
Selain Janisari, Turki Utsmaniyah juga masih mempunyai kesatuan elite lainnya, yaitu: Tentara Ghulam, Cavalary Sipahi, dan tentunya pasukan Onta.
Selama beberapa abad Janisari bertahan sebagai pasukan elit pengawal Sultan. Karena statusnya itu Janisari, baik secara jumlah dan status berkembang semakin besar. Sekitar abad 19 Janisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1826 karena terjadinya insiden Auspicious, dimana laskar Janisari mencoba melakukan kudeta terhadap kekaisaran Turki Ottoman.
Sumber
![]() |
Janisari adalah brigade terpisah dari pasukan reguler Turki yang bertugas mengawal Sultan Dinasti Utsmani (Ottoman Empire). Sedangkan Bani Seljuk adalah Dinasti sebelum Utsmani. Utsman diambil dari pemimpin kabilah Osmani yg mempunyai kekuatan yang besar sewaktu Bani Seljuk masih berkuasa. Waktu Seljuk pecah, kabilah yang dipimpin Osmani menyatukannya kembali dibawah bendera baru. Kekuasaan Turki Utsmani mencapai seluruh wilayah di Balkan dan Eropa Tenggara. Kota Wina dua kali diserang oleh kakuatan Turki Utsmani, tetapi karena seluruh kerajaan di Eropa bersatu untuk membendung dengan kekuatan penuh dan logistik yang memadai, ambisi Turki Utsmani untuk menguasai seluruh Eropa tidak berhasil.
Pakaian khas Janisari adalah sejenis long musket. Ciri khasnya adalah topinya yang memakai tutup kain dari depan ke belakang leher, menyerupai sorban.
Kisah terkenal mengenai kehebatan pasukan ini adalah ketika Byzantine kalah total saat Constantinopel ditaklukan oleh Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Fatih, beliau anak dari Sultan Murad II. Saat itu Janisari adalah pasukan yang berperan penting dalam pertempuran tersebut. Yang menarik, pada zaman Sultan Mahmud, Pasukan Janisari termasuk yang ikut bertempur melawan Dracula si Penyula dari Wallachia dekat Transevalnia yang haus darah. Dracula (Vlad Teppes) sempat dikalahkan adiknya sendiri yaitu Radu yang saat itu menjadi pemimpin Janisari untuk menaklukan Dracula. (Dracula artinya anak Dracul atau anak naga karena bapaknya adalah Vlad Dracul yang menjadi anggota Ordo Naga).
Jannisary sendiri dibagi manjadi dua kesatuan, yaitu: infantri dan kavaleri:
1. Jannisarry Heavy Infantry, merupakan pasukan infantry bentukan pertama yang membawa nama harum pasukan turki ke berbagai belahan eropa dan asia, pasukan ini menggunakan baju zirah dan rantai besi, tidak membawa tameng dan bersenjatakan haldberd (semacam tombak panjang yang memiliki mata kapak). pasukan ini sangat ganas dan nyaris tak terkalahkan dalam setiap pertempuran.
2. Jannisarry Musketter (Kaveleri). Setelah sukses menguasai sebagian besar eropa, maka kekaisaran ottoman mulai membentuk satuan pasukan penembak khusus yang dicomot dari pasukan infantry janissary terdahulu, dan diberikan senapan teknologi terbaik di jamannya yaitu ” musketter” yang lebih baik dari hand gun biasa…
Selain Janisari, Turki Utsmaniyah juga masih mempunyai kesatuan elite lainnya, yaitu: Tentara Ghulam, Cavalary Sipahi, dan tentunya pasukan Onta.
Selama beberapa abad Janisari bertahan sebagai pasukan elit pengawal Sultan. Karena statusnya itu Janisari, baik secara jumlah dan status berkembang semakin besar. Sekitar abad 19 Janisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1826 karena terjadinya insiden Auspicious, dimana laskar Janisari mencoba melakukan kudeta terhadap kekaisaran Turki Ottoman.
Sumber
Kamis, 26 Desember 2013
Jejak Khilafah Di Indonesia (2)
Posted By:
Unknown
on 11.15
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang rame dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7 . Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.

Penerapan Syariat Islam
Islam terus mengokoh menjadi kekuatan/institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam namun belum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan kerajaan Bacan. Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas , Pontianak , Banjar , Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh kesultanan Mataram. Sementara Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima.
Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini nampak dalam bidang peradilan dengan diterapkannya hukum Islam sebagai hukum negara yg menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Sementara kerajaan Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat, Budha atau Hindu. Demikian pula di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680 M di bawah sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kyai Ali atau ki Ali yang kemudian disebut dengan kali (Qadhi yang dijawakan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhi pada permulaan dijabat oleh seorang ulama dari Mekah, tetapi belakangan setelah tahun 1651 qadhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik misalnya penentuan pengganti maulana Yusuf.
Demikian pula, Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan isteri seorang perwira. Sultan berkata: ‘mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari”. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.
Kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam I di Jawa sudah ada jabatan qodi di kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud juga mengakui adanya jabatan tersebut dengan sunan kalijaga sebagai pejabatnya. Di kerajaan Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (hindu) menjadi peradilan surambi karena peradilan ini bertempat di serambi masjid agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini dihukumi menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa sultan Agung itu mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam dalam sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qadi atau hakim, sebagai imam masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Menurut Alfian deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya. Selain itu di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Secara umum di wilayah-wilayah Kesultanan Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (arab: qirad, mudharabah, mugharadhah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum perekonomian Islam. Ini menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi Islam pada masa kesultanan-kesultanan di Nusantara.
Dalam bidang hubungan luar negeri, TW Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu dari Malikus Saleh menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah atau pajak kepada kerajaan.
Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan akikah dan bersedekah kepada fakir miskin, mengkhitankan anaknya dan melakukan tata cara penguburan mayat mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum perkawinan berdasarkan fikih mazhab syafi’i. Kitab ini telah dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah kerajaan.
Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang diantarannya ihyaul mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan raja (negara) dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.
Hubungan dengan Khilafah
Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalah saat Islam masuk ke Indonesia diantara para pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh khalifah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani) ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan nama walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa. Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu Putri Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan, Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka. Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung. Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjaata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.
Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah. Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada dibawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari syarif mekah.
Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922). Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567 Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatra, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki. Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Pada masa itu, yang disebut-sebut sultan Turki tidak lain adalah Khalifah pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu Snouck Hurgrounye sebagaimana yang dkutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol [Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah] masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah. Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.
Redupnya Penerapan Islam
Berkembangnya dan diterapkannya syariat Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia menyebabkan pemerintah Belanda berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Upaya-upaya sistematis segera disusun untuk merealisir rencana tersebut. Salah satu langkah penting yang dilakukannya adalah infiltrasi pemikiran dan politik melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik. Selain itu juga Snouck Hurgronye, dalam ceramahnya di depan Civitas akademika NIBA (Nederlands Indische Bestuurs Academie), Delft tahun 1911 memberikan penjelasan tentang politik Islam, yaitu:
(1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral,
(2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan
(3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Doktrin ketiga ini yang akhirnya mengilhami pemerintah Belanda memberangus setiap kelompok atau gerakan Islam yang berbasis pada politik.
Dari pandangan Snouck tersebut selanjutnya diformulasikan strategi yang dipakai untuk melemahkan dan menghancurkan Islam yang meliputi 3 kategori:
Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan tahun 1799, dan diambilalih langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka keluarlah Ordonansi yang mencabut penerapan Islam di Banten, dan bahkan kemudian menghapuskan kekuasaan Kesultanan Banten. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.
Kedua, melalui kerjasama antara raja/sultan dengan penjajah Belanda. Pelaksanaan syariat Islam tergantung pada sikap sultannya. Di kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: Soft power, yakni dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasehat pemerintah dalam masalah pribumi). Secara kasat mata nampak memperhatikan umat, tapi banyak mengeluarkan ordonansi (UU) yang seakan-akan Islami padahal mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye. Kantor ini selanjutnya mengeluarkan Ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam dan perkembangannya. Sebagai contoh adalah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882 yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri masalah agama (sekulerisasi). Ordonansi Perkawinan tahun 1905 yang memberikan kesempatan seseorang kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang beristri satu dengan menutup pintu poligami, sedang perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui peradilan. Ordonansi Pendidikan yang bertujuan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Islam dianggap tidak pernah ada usaha ke arah kemajuan, melainkan justeru menuju kebekuan. Peraturan Islam dianggap merupakan rintangan paling besar. Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh ijin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923 merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah secara langsung maupun tidak, syariat Islam mulai diganti. Dalam bidang Politik, pemerintahan dan kriminal pemerintah Belanda langsung mengganti Syariat Islam dengan memberlakukan hukum Hindia Belanda. Sedangkan hal-hal yang bersifat privasi menggunakan ordonansi yang fungsinya melemahkan syariat Islam, mulai pernikahan hingga pendidikan.
Perhatian Ulama dan Politikus Islam Terhadap Khilafah
Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat dan persatuan Islam tak pudar. Tatkala Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal, dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya-upaya mengembalikan kembali Khilafah pun diupayakan. Tak ketinggalan juga ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah dalam menghadapi perjuangan, para ulama Indonesia pada tahun 1922 mengadakan konggres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924 di Garut. Berikutnya, pada tahun 1926 di adakan Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor sebagai respon atas undangan Konggres Islam Sedunia yg diselenggarakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924, Syarif Husein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang sayyid di tambah 19 orang perwakilan daerah/negara lainnya. Dua orang perwakilannya berasal dari Jawi (Indonesia). Pada tanggal 13-19 Mei 1926 diadakan Konggres Dunia Islam di kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Bulan depannya, 1 Juni 1926 diselenggarakan Konggres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukkan mereka ditetapkan dalam Konggres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Konggres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal rondo dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sesampainya di Tanjung Priuk banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan. Tahun 1927 berlangsung Konggres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam konggres tersebut. Sehingga konggres tersebut gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian besar terhadap khilafah. Bukan hanya ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan khilafah ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.
Perjuangan Tak Pernah Padam
Perjuangan terus berlanjut. Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi Utomo yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sementara Taman Siswa didirikan Ki Hajar Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan.
Perjuangan terus berlanjut hingga menjelang kemerdekaan. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki negara Islam dengan kalangan sekuler yang menolak penyatuan agama dengan negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar kepada, ”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun demikian, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, menegaskan beliau tidak menyetujui rumusan tersebut. Kata-kata ’bagi pemeluk-pemeluknya’ harus dihapus. Cukup, ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’. Tetapi, rumusannya tetap seperti itu. Jadi, perjuangan Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam saja. Diantara tokoh Islam yang menandatanganinya adalah Abikoesno Tjokrosujoso (Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim (Nahdhatul Ulama). Diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya 1 hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kejadian yang menyolok mata ini, dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang diliputi kabut rahasia. Pada 3 Januari 1946M Urusan Islam hanya diurusi oleh satu kementrian. Didirikanlah Kementrian Agama sebagai konsesi kepada kaum Muslim. Berikutnya, 27 Januari 1953M Presiden Soekarno berpidato di Amuntai bahwa bila negara yang didirikan berdasarkan Islam maka banyak daerah berpenduduk nonMuslim akan lepas. Pidato ini mendapatkan respons keras dari para tokoh dan organisasi Islam. Diantaranya, NU, Front Mubaligh Islam, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Persatuan Islam. PB NU yang diketuai KHA Wahid Hasyim menulis: “… Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam adalah merupakan perbuatan munkar yang tidak dibenarkan syariat Islam dan wajib tiap-tiap orang Muslimin menyatakan inkar atau tidak menyetujuinya …”. Tanggal 5 Juli 1959M keluarlah Dekrit Presiden tentang kembali kepada UUD 1945. Didalamnya ditetapkan juga, ‘…. Bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut …’.
Syariat Islam terus disingkirkan. Berikutnya, perjuangan Islam makin berat. Masyumi dibubarkan. Pada jaman orde baru Islam dimarjinalkan. Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam dituduh subversif dan dipandang musuh negara.
Sekalipun diintimidasi, perjuangan Islam terus bertahan. Pesantren merupakan benteng pertahanan terkuat. Berikutnya era 1980-an mulailah Islam menggeliat di kampus dan kota besar seiring dengan tahun 1401H sebagai abad kebangkitan Islam. Islam semakin semarak. Sejak momentum reformasi, sekalipun sekulerisme kapitalisme makin dihunjamkan, suara Islam makin nyaring. Seruan menerapkan syariat Islam bergema di berbagai daerah. Muncullah perda-perda yang bernuansa Syariat Islam. Seruan penyatuan umat kedalam khilafah pun semakin terdengar.
Penutup
Syariat Islam pernah diterapkan di Indonesia sejak masuknya Islam pada abad ke-7. Sejak muncul kesultanan Islam abad ke-9, Islam diterapkan melalui institusi politik. Sekalipun Islam terus diporakporandakan, khususnya di bidang politik, ruh Islam tetap bergolak hingga masa kemerdekaan tahun 1945. Mereka ingin Islam diterapkan oleh negara. Namun, akhirnya terpaksa harus berkompromi dengan munculnya Piagam Jakarta yang mewajibkan pemeluk-pemeluk Islam menjalankan syariat Islam. Lagi-lagi umat Islam dikhianati, pada tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata ”Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Setelah itu, sekulerisme-kapitalisme makin mencengkeram.
Jelas, sejarah mencatat Islam dan umatnya di Indonesia tidak terpisah dari umat Islam lainnya. Bahkan, perhatian para ulama dan tokohnya dahulu terhadap persatuan Islam dalam khilafah begitu besar. Karenanya, upaya penolakan terhadap syariat Islam dan khilafah merupakan sikap dan tindakan ahistoris.
Catatan Kaki:
1. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma’arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat.
2. Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6.
3. Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama, 2005, cet. II, Prenada Media, hal. 27-29
4. Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. xxxvi
5. Sejarah Emas Muslim Indonesia, Sabili, No.9 Th XI, hal. 18.
6. Machrus Effendi, Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh Muhammad Basyiuni Imam Sambas, PT. Dian Kemilau, Jakarta. 1995
7. Hasanuddin, dkk., Pontianak 1771 – 1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak. 2000
8. Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Skretariat Madrasah “Sullamul ‘Ulum” Dalam Pagar Martapura, 1996. 259 hal.
9. Syahzaman Hasanuddin, Sintang Dalam Lintasan Sejarah, Romeo Grafika Pontianak.
10. Tentang beberapa kesultanan Islam di Nusantara dapat lihat : Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunisa Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002.
11. Musyrifah Sunanto, sejarah peradaban Islam Indonesia, hal. 133-134, Rajawali press, 2005. Pendapat A.C Milner ini merupakan opini sejarah, penggunaan kata kerajaan juga keliru, karena setelah beralih ke Islam, kerajaan hindu budha dikonversi menjadi Kesultanan.
12. Ibid, hal. 135, 142. Hukum seperti ini merupakan hukum Islam tentang pencurian, yakni siapa saja yang mencuri ¼ dinar (1 dinar kira-kira setara dengan 4,125 gram emas) atau lebih maka pelakunya dihukum potong tangan hingga pergelangan. Namun, bila melakukan pembegalan maka hukumannya dengan hukuman silang, yakni dipotong tangan kanan dan kaki kiri.
13. Ibid. hal 154.
14. Ibid. hal. 154-155
15. Musytrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, hal. 138, Rajawali Press, 2005. Hukuman rajam merupakan hukum Islam bagi pezina yang sudah/pernah menikah. Sementara pezina yang belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali. Hukum seperti ini tidak dikenal sebelumnya. Ini menegaskan bahwa hukuman tersebut merupakan hukuman yang digali dari syariat Islam.
16. Ibid. hal. 153, 157, 158
17. Ibid. hal. 140.
18. A. Hadi Arifin, Malikus Saleh Mutiara dari Pasai, hal. 97
19. Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 275.
20. Ibid, hal. 283
21. A. Hadi Arifin, op. cit.,. hal 124. Dalam hukum Islam sebenarnya amat berbeda antara jizyah dengan ‘pajak’ (dharibah). Jizyah merupakan harta yang dikeluarkan oleh kaum kafir dzimmi (nonMuslim yang menjadi warga negara Islam). Sementara, dharibah merupakan harta yang hanya ditarik pada saat kas negara kosong, itu pun hanya diminta dari warga negara yang kaya saja.
22. Ibid hal 118.
23. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, Sejarah Banjar, 2004. Hal. 147
24. Ibid. Hal. 148.
25. Hukum ihya`u mawat merupakan hukum Islam yang termaktub dalam hadits Nabi. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak menjadi pemiliknya. Hukum ini jelas-jelas merupakan penerapan syariat Islam, sebab hukum ihya`u mawat tidak dikenal apalagi diterapkan sebelumnya.
26. Ketika itu nama Indonesia belum digunakan. Nama yang dikenal adalah Nusantara.
27. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung Surabaya, hal. 6
28. Sebelum menjadi Islam, pemimpin institusi pemerintahan disebut raja dan pemerintahannya disebut kerajaan. Namun, setelah menjadi Islam namanya disebut kesultanan Islam yang dipimpin oleh seorang sultan. Jadi, ketika Lewis dan penulis lain yang menyebut istilah raja dan kerajaan pada kekuasaan Islam harus dibaca sebagai sultan dan kesultanan. Sebab, kerajaan menerapkan hukum yang berasal dari titah raja. Sedangkan dalam Islam, hukum berasal dari Allah SWT.
29. Bernard Lewis, Apa Yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam (Terj.), 2004, PT. Ina Publikatama, Jakarta, hal. 16-17.
30. Ensiklopedia Tematik Dunia Islam Asia Tenggara, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 54
31. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Struktur Politik dan Ulama: Kesultanan Banten, , PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002. Hal. 98.
32. Rahimsyah, Kisah Wali Songo, tanpa tahun, Karya Agung Surabaya. hal. 143
33. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Kesultnan, hal. 52-53, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2002.
34. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, cet ke-2, 1986, hal.
96
35. Ibid. Dalam Footnote hal 203.
36. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan keenam, LP3ES, 1991, hal. 34. Deliar Noer dalam footnotenya menyatakan bahwa dalam perang dunia I, khalifah di Turki menyatakan perang jihad kepada musuh-musuhnya dan berseru kepada semua orang islam termasuk ornag islam di Indonesia untuk memerangi musuh-musuhnya itu.
37. H. Aqib Suminto, op. cit., hal. 11.
38. Ibid. hal. 13. Pan Islam yang dimaksud sebenarnya adalah Khilafah, meski sesungguhnya Pan Islam tidak dapat disamakan dengan Khilafah
39. Ibid. Hal 29 – 62
40. Ibid. Hal. 32
41. Ibid. Hal. 32; Lihat juga Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, cetakan ke empat, 1998. hal 227
42. Ibid. Hal. 86 – 89. Kilasan cerita tentang kongres ini dapat juga disinggung juga oleh Deliar Noor, opcit., hal. 242 – 243.
43. Deliar Noer, opcit., hal. 242.
44. H. Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, PUSTAKA Perpustakaan Salman ITB, 1983, hal. 4 – 6; Lihat juga, Ahmad Mansur Suryanegara.
45. Ibid, hal. 34. Pendapat tegas pemimpin Muhammadiyah ini menunjukkan bahwa tokoh pendahulu organisasi tersebut merupakan pejuang tegaknya Syariat Islam.
46. Kenyataan ini menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para ulama adalah salah satu pendukung pemerintahan Islam dan pejuang syariat Islam. Cukup mengherankan bila ada yang membawa-bawa nama NU tetapi keras menentang syariat Islam. Betapa tidak, para tokoh NU dahulu berada di garda terdepan dalam menegakkan syariat dan pemerintahan Islam.
47. H. Endang Saefuddin Anshari, op.cit., hal. 25 – 69.
Sumber
Bagaimana Khilafah Usmani Memperlakukan Yahudi?
Posted By:
Unknown
on 10.26
“Menteri Amerika Serikat mengatakan bahwa keadilan yang diberikan Turki memaksanya untuk mengakui bahwa orang-orang Israel diperlakukan lebih baik oleh Khilafah Usmani daripada oleh banyak kekuatan Barat dan sehingga memberi kesan bahwa mereka diperlakukan lebih baik oleh Imperium itu dibandingkan perlakukan oleh orang-orang Kristen."
ORANG-ORANG ISRAEL DI TURKI.STATISTIK YANG DIPEROLEH DARI MENTRI AMERIKA SERIKAT.TERDAPAT 500.000 ORANG IBRANI DI IMPERIUM USMANI.MEREKA DIPERLAKUKAN DENGAN LEBIH BAIK OLEH ORANG-ORANG TURKI DARIPADA PERLAKUAN YANG DIBERIKAN OLEH ORANG-ORANG KRISTEN.PERLINDUNGAN OLEH PARA PEJABAT AMERIKA DIPERPANJANG.
WASHINGTON, 22 Agustus. Suatu delegasi yang dikirim Departemen Luar Negeri Menteri Amerika Serikat ke
Turki memberikan rincian menarik tentang jumlah, status, dan penganiayaan atas orang-orang Israel pada Imperium Ottoman. Jumlah orang-orang Israel yang ada di Kekaisaran itu adalah 500.000 orang. Dari jumlah ini, orang Israel Rumania sebanyak 250.000 orang, Israel Asia Turki 80.000 orang, Israel Eropa Turki
75.000 orang. Israel Serbia 2.000 orang.. Menteri Amerika Serikat mengatakan bahwa keadilan di Turki memaksanya untuk mengakui bahwa orang-orang Israel diperlakukan lebih baik oleh Imperium Ottoman daripada oleh banyak kekuatan Barat dan yang memberikan kesan bahwa mereka mendapat perlakuan lebih baik di Imperium itu dibandingkan perlakuan dari orang-orang Kristen. Mereka diakui sebagai komunitas keagamaan independen yang memiliki hak-hak istimewa dengan aturan keagamaan mereka sendiri, dengan memiliki Kepala Rabi di Turki, yang disebut Chacham Bashi, dan sebagai akibat dari fungsinya itu, memiliki pengaruh yang besar.
Menteri Luar Negeri Turki melakukan protes kepada Maynard dimana ketika dalam zaman pemerintahan Turki orang-orang Israel selalu menikmati setiap hak istimewa dan kekebalan yang diberikan oleh undang-undang Usmani. Penganiayaan terhadap orang-orang Israel yang menjadi perhatian Kedutaan Amerika Serikat di Konstantinopel selama kunjungan resmi Maynard, hanyalah terhadap Rabi Sneersohn, seorang warga negara Amerika. Pada tanggal 28 November 1874, Rabi itu diserang oleh sejawat seagamanya, orang-orang Yahudi di Tiberias, dengan merampok uangnya dalam jumlah besar, dan yang paling memalukan adalah karena dia dipenjarakan, dilempari batu, ditelanjangi, dan dalam kondisi compang-camping itu dia melalui jalan-jalan Tiberias, dan nyaris tewas. Konsul Amerika Serikat di Beyrout kemudian pergi ke Tiberias dan menangkap para pelakunya.
Sebagian pelakunya itu mendapatkan perlindungan Inggris, dan kemudian lolos dari negara itu dengan terbang ke luar negeri. Teman-temannya yang lain berkumpul, menyergap pihak berwenang, dan kemudian menyelamatkan mereka. Kedutaan AS di Konstantinopel kemudian mengambil alih masalah itu, dan kemudian didorong-secepat mungkin kedalam situasi- yakni ketika Rabi sang korban itu, yang pasti sangat lelah dan menjadi miskin, pergi ke Perancis dan karena ketidakhadirannya itu tidak dapat dilakukan tindakan lebih lanjut.
Posisi yang dipegang oleh orang-orang Israel Imperium itu, karena kompleksnya sistem dan situasi, dan adanya heterogenitas ras, kondisi peradaban dan adanya permusuhan agama, kewenangan kecil yang dilakukan oleh Pemerintah Ottoman atas provinsi-provinsi bahkan pada saat biasa, (memprotes pernyataan
bahwa negara itu seharusnya tidak dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran di provinsi-provinsi itu,) membuat sulitnya solusi atas seluruh masalah, bahkannya sulitnya penjelasan. Sebagian orang-orang Israel itu mengklaim berada di bawah perlindungan Inggris, sebagian yang lain mengatakan
berada di bawah perlindungan Rusia. Banyak juga dari mereka yang menganggap mereka adalah orang-orang yang merdeka, yang tidak perlu kesetiaan kepada Pemerintah manapun, dan hanya ketika mereka dianiaya atau merasa marahlah maka mereka mencari perlindungan dari setiap orang yang memiliki kekuasaan. Sementara semua pemerintahan, terutama Pemerintah Amerika Serikat, adalah yang paling ingin memberikan simpati dan perlindungan, memberikan pertanyaan-pertanyaan internasional dan kesamaan dimata hukum
menjadi terganggu dan mencegah perlindungan penuh atas mereka seandainya mereka adalah warga tetap dari Pemerintah manapun.
Menteri Amerika Serikat di Konstantinopel telah meminta petugas konsuler dari pemerintahannya, melalui Imperium Usmani, untuk mengamati dengan seksama kondisi orang-orang Israel dalam sebagian yurisdiksi mereka, dan melaporkan kepada kedutaannya di Konstantinopel tanpa penundaan kasus-kasus penganiayaan atas orang-orang itu yang mungkin terjadi.
Sumber
Jejak Khilafah di Indonesia
Posted By:
Unknown
on 10.14
Adalah sangat jelas dalam sejarah Indonesia, bahwa syariah Islam pernah secara formal diterapkan di bumi Nusantara . Saat itu para Sultan menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Hal ini membantah pendapat segelintir orang dari kelompok liberal, bahwa di Indonesia tidak pernah diterapkan syariah Islam secara formal oleh negara. Tidak hanya itu, kesultanan di Indonesia memiliki hubungan yang jelas dengan Khilafah Islam.
Tegaknya
syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang
menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan
umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut
sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari
soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa
otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga
dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu
eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.
Para
ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi
kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di
belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam
dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M),
dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870
M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Adanya kekuatan
politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong
tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka,
dan Samudra Hindia.[1]
Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan
tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang
sekaligus berprofesi sebagai pedagang.
Tulisan ini
akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur
Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di
Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan
adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah
merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai
belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah.
Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan
terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif
mengamankannya.
Secara faktual,
pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang
menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda.
Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas
kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi
(gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah
menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah
(glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas
umat Islam.[2]
Bertolak dari
fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan
Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa
awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan
penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian
besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah
kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam
sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Ketika
kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di
Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran
Khilafah.
Pengakuan
terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat
yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani
Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim
kepada Umar bin Abdul Aziz.[3] Surat
pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh
Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi,
yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang
mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu
sebagai berikut:
Dari Raja
al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya
terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….[4]
Surat
kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam
karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai
berikut:
Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul
Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah
mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang
tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada
saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.[5]
Ibnu
Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm
azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan
pada akhir surat ini, yakni, “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa
bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu,
karena saya adalah saudara Anda dalam Islam.”[6]
Namun demikian,
sekalipun ada kalimat, “Saudara Anda dalam Islam,” belum ada indikasi
Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu
ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai
Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi
pemeluk Islam.[7]
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya
Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan
penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada
857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara.
Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”[8]
Sebelum
kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan
kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan
Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki
Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki
Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke
Nusantara.[9]
Kekuatan
politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan
Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah
Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua
tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa
Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan
bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di
tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat
langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi
gangguan Portugis.
Pada tahun
954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang
tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk
membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan
pelayaran haji ke Jeddah.[10]
Turki Utsmani
juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan
menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut
Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak
hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga
mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan
ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi
pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah
haji.
Pada saat yang
sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India,
tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan
Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. [11]
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman
Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak
maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat
pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip
Obazan ialah sebagai berikut:
(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar
yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200
orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga
menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu,
ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan
mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu
benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk
perlawanan yang bersatu.[12]
Laporan ini
memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron
Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal
asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut
Merah.
Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana
disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki
Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki
Utsmani.
Pada tahun
925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan
armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir.
Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.[13]
Ketika Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia
kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada
Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk
melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah
pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Qahhar menggunakan pasukan
Turki, Arab, dan Abesinia.[14]
Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari
Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh.
Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di
pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto,
yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan
kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid
Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.[15]
Seorang
sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui
adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah
sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat
Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap
wilayah sekitar Aceh.[16]
Demikianlah,
hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan
bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki
sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Nuruddin
ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap
‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa
Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.[17]
Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta
bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu
berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973/1564.[18]
Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan
dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang
berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan
Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh
mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini
melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah
besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke
Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan
kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.[19]
Khalifah
Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh
mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan
perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.
Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir
Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan
api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh
selama masih dibutuhkan oleh Sultan.[20]
Namun, dalam
perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena
dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada
tahun 979/1571.[21]
Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun
1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak,
dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka
pada tahun 1568.[22]
Kehadiran
Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya
disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan
upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai
gubernur (wali) Aceh,[23] yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh
dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan
Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti
al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.[24]
Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de
Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585
melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan
Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan
serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan
Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah
melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah
Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada
Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki.[25]
Kapal-kapal
atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal
kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung
yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan
Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah
Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar,
berukuran 500 sampai 2000 ton.[26]
Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan
persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari
Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27]
Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti
Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan
Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28]
Menurut
sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36) mengirimkan
armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istambul
setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan. Ketika
misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12
pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah
Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas
pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan
sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya
dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga
istana kesultanan.[29]
As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian
Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan
bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para
ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah
mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah
Kan’an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang
ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh
Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama
besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli. [30]
Abdur Rauf Singkel mendapat
tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan
kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah
lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir
(Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima
tawaran tersebut.[31]
Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi
al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf
diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn)
penerapan syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.
Menurut Abdur
Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya
Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan
untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah
al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.[33]
Mir’ah
ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali
masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan
sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak,
Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun,
terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki
qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur
Rauf as-Singkeli.
Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang
dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap
sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat
Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara
keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu
Aceh melakukan futûhât dan dakwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Maman
Kh.kandidat doktor dan staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah)
Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)