Selain piramid Akapana, bangunan lain yang cukup terkenal di tiwanaku adalah Pumapunku.Pumapunku, adalah sebuah bangunan yang kemungkinan besar dulu digunakan untuk acara keagamaan. Batu batu yang digunakan untuk membangun bangunan ini dipoting dengan sangat halus, dengan berat masing-masing bongkahan rata – rata lebih dari 100 ton. Puma punku terletak di selatan Akapana. Dan dari posisi ini, kita bisa melihat gunung “suci”, sebuah gunung yang dikaitkan dengan ritual keagamaan warga setempat, jauh di timur sana.
Tambang darimana batu ini berasal terletak di danau titicaca yang lebih rendah, sehingga batu batu raksasa ini dibawa naik sekitar 10 mil ke barat dari tihuanaco. Dengan teknologi termutakhir abad inipun, mengangkat batu seberat ini melalui jalan mendaki sejauh 10 mil, kemudian dipotong-potong dengan presisi yang tinggi, lalu digunakan untuk membangun bangunan-bangunan 4 lantai adalah sebuah kemustahilan.
Dalam perakitan dinding Pumapunku, masing-masing batu dipotong halus kemudian disusun dengan satu dengan lainnya dengan mencocokkan sudutnya, sama seperti permainan puzzle, membentuk sendi/sambungan beban tanpa menggunakan mortar atau perekat. Salah satu teknik rekayasa umum melibatkan pemotongan bagian atas batu bagian bawah pada sudut tertentu, dan menempatkan batu yang lain di atasnya yang dipotong pada sudut yang sama. Presisi dengan penggunaan sudut-sudut untuk menciptakan flush joints mengindikasikan pengetahuan pemotongan batu yang sangat canggih dan pemahaman menyeluruh dari geometri deskriptif. Banyak sendi/sambungan yang begitu tepat sehingga pisau cukur pun tidak akan bisa masuk diantara batu-batu itu. Teknologi pemotongan batu secara presisi tiwanaku jauh lebih maju daripada teknologi yang dimiliki bangsa inca (terlihat di Sacsayhuaman) ratusan tahun setelahnya.
Dinding Tiwanaku
Tiwanaku diperkirakan ditinggalkan penduduknya sekitar tahun 1000 AD karena musim kering yang sangat panjang waktu itu. Awal musim kering, penguasa tiwanaku diperkirakan mencoba melakukan ritual ritual pengorbanan manusia sebagai permohonan kepada dewa matahari untuk menghentikan musim kering. Ini dibuktikan dengan ditemukannya kerangka kerangka manusia yang mati dengan cara yang khas sebuah ritual pengorbanan. Namun karena musim kering tak kunjung berakhir, akhirnya tiwanaku ditinggalkan oleh semua penduduknya.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar