Minggu, 13 April 2014

Filled Under:

Snouck Hurgronje: Operasi Intelijen (4)

Rencana awal Snouck berangkat ke Indonesia sebenarnya adalah untuk melakukan penyamaran ke Tanah Aceh. Tujuannya agar bisa lebih dekat berinteraksi dengan Sultan Aceh di Keumala dan mengumpulkan informasi intelijen yang akan bermanfaat bagi tentara Belanda. Sebab, Belanda sangat kesulitan untuk ‘menaklukkan’ Aceh. Namun, tentara Belanda menyamarkan ‘niat’ sebenarnya dari Snouck. Gubernur Belanda untuk Indonesia sengaja ‘mengirim’ Snouck ke Batavia. Dia tiba di Batavia pada 11 Mei 1889. Inilah yang menyebabkan sebagian besar Muslim Indonesia tidak menyadari niat sebenarnya.
Teman-teman Snouck yang berasal dari Indonesia yang tinggal di Makkah menginformasikan bahwa Snouck akan datang ke Indonesia. Teman-teman Snouck mempropagandakan bahwa dia sebagai cendekiawan Muslim yang sedang belajar. Akibat propaganda itu, Snouck diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia bahkan banyak menerima undangan dari masyarakat Indonesia setempat. Ia secara sengaja diberi gelar “Al-Haji Abdul Ghafar”, “Mufti” dan bahkan sebagai “Syekh al-Islam Batavia”. Ini semua untuk semakin menyempurnakan penyamarannya.
Selama tinggal di Indonesia dan tatkala melakukan perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia, Snouck tidak hanya mencatat semua jenis informasi tentang orang-orang setempat. Ia juga mencatat semua informasi tentang budaya, aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, dan sebagainya. Semua tercatat dengan rapi. Dia berusaha keras untuk meningkatkan statusnya tatkala berada di lingkungan masyarakat setempat. Tujuannya satu, agar lebih mudah masuk-merasuk sampai ke dalam kehidupan masyarakat. Jika sudah dekat dengan masyarakat maka akan mudah bagi dia untuk mengunjungi semua tokoh terkemuka di area yang dia kunjungi. Tatkala Snouck sampai ke Ciamis, dia diberi kesempatan untuk menikah dengan putri dari salah satu tokoh terkemuka di sana, yang dengan senang hati ia terima. Ia menikahi putri berusia 17 tahun bernama Sangkana, anak dari kepala-panghulu1 dari Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta’ib. Sebenarnya, Sangkana sendiri tidak ingin menikah dengan Snouck, yang jauh lebih tua dari dia dan tidak terlalu tampan. Namun, orang tuanya mendorong dia untuk menikahi “sarjana besar” untuk meningkatkan status keluarga. Snouck menikahi Sangkana sesuai dengan syariah Islam. Namun, menurut hukum Belanda tidak boleh bagi orang Eropa untuk menikahi perempuan pribumi. Karena itu, setelah koran Belanda mulai memberitakan pernikahan Snouck dengan seorang perempuan pribumi, Snouck sendiri mengirimkan surat ke koran tersebut untuk secara resmi menyangkal bahwa ia telah menikah.
Selama Snouck di Aceh, dari Juli 1891 sampai Februari 1892, perannya adalah murni politik. Dia diangkat sebagai “Advisor Bahasa Timur dan Hukum Islam”. Buku The Acehnese yang diterbitkan setelah Snouck di Aceh sebenarnya terdiri dari laporan yang dia tulis untuk administrasi kolonial untuk menasihati mereka. Nama resmi dari proyek penelitian ini untuk pemerintah Belanda adalah “Laporan Tentang Situasi Keagamaan dan Politik di Aceh (Verslag Omtrent de Religieus Politieke Toestand di Aceh)”.
Laporan tersebut terdiri dari 1.000 halaman lebih. Buku “Aceh” ini terdiri dari dua bab dari laporan tersebut. Pemerintah Belanda menyatakan bahwa bagian ketiga dari laporan tersebut merupakan sebuah “rahasia negara”. Oleh karena itu, bab akhir tersebut disembunyikan dari publik hingga tahun 1957.
Pesan utama yang ingin disampaikan oleh Snouck kepada pemerintah Belanda dalam laporan tersebut adalah bahwa sebenarnya perlawanan di Aceh tidak dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan oleh Belanda, tetapi sebenarnya dilakukan oleh para ulama Islam. Karena itu Snouck menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk terus mencoba menyuap Sultan dan menganiaya ulama dengan berbagai bentuk. Dia mengatakan: “Hal ini tidak mungkin untuk bernegosiasi dengan ulama. Ajaran-ajaran mereka dan kepentingan diri sendiri menyiratkan bahwa mereka hanya akan mendengarkan kekerasan. Untuk memukul mereka di tempat yang menyakitkan, sehingga masyarakat Aceh menjadi takut untuk bergabung dengan para pemimpinnya adalah prasyarat mutlak untuk memulihkan ketertiban di Aceh.”
Snouck menambahkan: “Para ulama pada akhirnya harus mengakui. Ia harus menjauhkan diri dari ajaran Jihad. Para ulama juga harus berpaling ke ajaran yang berbahaya mengenai Hari Akhir. Jika ini berhasil maka Islam tidak akan berbeda dengan agama-agama besar lainnya, yakni hanya mengajarkan ajaran-ajaran tentang ibadah ritual semata yang harus dilakukan untuk mencapai kebahagiaan kekal.
Dengan kata lain, Snouck sebenarnya ingin agar kekerasan terhadap ulama menjadikan mereka berhenti untuk berbicara tentang Jihad, Negara Islam, dan konsep-konsep lainnya dari “Islam politik”. Ujungnya hanya akan berbicara tentang Hari Kiamat dan ritual ibadah.
Awalnya, pemerintah Belanda mengabaikan saran Snouck. Mereka terus perang dan berfokus pada Sultan. Inilah yang menyebabkan Perang Aceh tidak pernah menang. Pada tahun 1896 mereka memutuskan untuk mencoba sesuatu yang lain. Pemerintah Belanda menunjuk Joannes Benedictus Jendral Van Heutsz sebagai gubernur untuk Aceh, dan memberi dia tugas untuk mengatur penaklukan. Pada tahun 1898 Van Heutsz mengangkat Snouck sebagai penasihat untuk masalah Aceh. Snouck menjadi penasihat Van Heutsz hingga tahun 1901. Van Heutsz memastikan kepada seluruh tentaranya agar mengikuti nasihat Snouck yang telah dia sampaikan mulai dari tahun 1892. Akhirnya, secara teratur ia mengirimkan Snouck ikut bersama dengan tentara pada ekspedisi-ekspedisi militer. Akibatnya, Van Heutsz mendapat julukan sebagai “Pedang Snouck”. Tentara Belanda kemudian memulai kampanye yang berfokus pada menemukan dan membunuh ulama Aceh. Mereka sangat sukses dalam hal ini.
Pada 1903, setelah 30 tahun perang, mereka akhirnya menyatakan kemenangan di Aceh. Perang yang sebenarnya dilakukan oleh Van Heutsz dan Snouck adalah perang yang menyisir habis desa-desa di Aceh. Tujuannya untuk menemukan dan membunuh para ulama. Tidak hanya itu, tentara Belanda yang secara teratur pergi ke desa-desa, bukan hanya membunuh setiap laki-laki, namun juga perempuan dan anak. Setelah kemenangan Aceh, Snouck selanjutnya diminta menjadi penasihat pemerintah Belanda. Dia diminta saran dan nasihatnya untuk menyelesaikan pemberontakan di Jambi, Kerinci, Banjarmasin, Riau-Lingga dan Kalimantan [Bersambung]

Idries de Vries adalah aktifis dakwah Islam asal Belanda dan kontributor tamu pada situs newcivilization.com

Catatan kaki:
1 Seorang hakim Islam dengan tanggung jawab administratif untuk masjid dan personilnya.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.