Rencana
 awal Snouck berangkat ke Indonesia sebenarnya adalah untuk melakukan 
penyamaran ke Tanah Aceh. Tujuannya agar bisa lebih dekat berinteraksi 
dengan Sultan Aceh di Keumala dan mengumpulkan informasi intelijen yang 
akan bermanfaat bagi tentara Belanda. Sebab, Belanda sangat kesulitan 
untuk ‘menaklukkan’ Aceh. Namun, tentara Belanda menyamarkan ‘niat’ 
sebenarnya dari Snouck. Gubernur Belanda untuk Indonesia sengaja 
‘mengirim’ Snouck ke Batavia. Dia tiba di Batavia pada 11 Mei 1889. 
Inilah yang menyebabkan sebagian besar Muslim Indonesia tidak menyadari 
niat sebenarnya.
Teman-teman
 Snouck yang berasal dari Indonesia yang tinggal di Makkah 
menginformasikan bahwa Snouck akan datang ke Indonesia. Teman-teman 
Snouck mempropagandakan bahwa dia sebagai cendekiawan Muslim yang sedang
 belajar. Akibat propaganda itu, Snouck diterima dengan baik oleh 
masyarakat Indonesia bahkan banyak menerima undangan dari masyarakat 
Indonesia setempat. Ia secara sengaja diberi gelar “Al-Haji Abdul 
Ghafar”, “Mufti” dan bahkan sebagai “Syekh al-Islam Batavia”. Ini semua 
untuk semakin menyempurnakan penyamarannya.
Selama
 tinggal di Indonesia dan tatkala melakukan perjalanan ke daerah-daerah 
di Indonesia, Snouck tidak hanya mencatat semua jenis informasi tentang 
orang-orang setempat. Ia juga mencatat semua informasi tentang budaya, 
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, dan sebagainya. Semua tercatat
 dengan rapi. Dia berusaha keras untuk meningkatkan statusnya tatkala 
berada di lingkungan masyarakat setempat. Tujuannya satu, agar lebih 
mudah masuk-merasuk sampai ke dalam kehidupan masyarakat. 
Jika sudah dekat dengan masyarakat maka akan mudah bagi dia untuk 
mengunjungi semua tokoh terkemuka di area yang dia kunjungi. Tatkala 
Snouck sampai ke Ciamis, dia diberi kesempatan untuk menikah dengan 
putri dari salah satu tokoh terkemuka di sana, yang dengan senang hati 
ia terima. Ia menikahi putri berusia 17 tahun bernama Sangkana, anak 
dari kepala-panghulu1 dari
 Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta’ib. Sebenarnya, Sangkana sendiri tidak 
ingin menikah dengan Snouck, yang jauh lebih tua dari dia dan tidak 
terlalu tampan. Namun, orang tuanya mendorong dia untuk menikahi 
“sarjana besar” untuk meningkatkan status keluarga. Snouck menikahi 
Sangkana sesuai dengan syariah Islam. Namun, menurut hukum Belanda tidak
 boleh bagi orang Eropa untuk menikahi perempuan pribumi. Karena itu, 
setelah koran Belanda mulai memberitakan pernikahan Snouck dengan 
seorang perempuan pribumi, Snouck sendiri mengirimkan surat ke koran 
tersebut untuk secara resmi menyangkal bahwa ia telah menikah.
Selama
 Snouck di Aceh, dari Juli 1891 sampai Februari 1892, perannya adalah 
murni politik. Dia diangkat sebagai “Advisor Bahasa Timur dan Hukum 
Islam”. Buku The Acehnese yang diterbitkan setelah Snouck di 
Aceh sebenarnya terdiri dari laporan yang dia tulis untuk administrasi 
kolonial untuk menasihati mereka. Nama resmi dari proyek penelitian ini 
untuk pemerintah Belanda adalah “Laporan Tentang Situasi Keagamaan dan 
Politik di Aceh (Verslag Omtrent de Religieus Politieke Toestand di Aceh)”.
Laporan
 tersebut terdiri dari 1.000 halaman lebih. Buku “Aceh” ini terdiri dari
 dua bab dari laporan tersebut. Pemerintah Belanda menyatakan bahwa 
bagian ketiga dari laporan tersebut merupakan sebuah “rahasia negara”. 
Oleh karena itu, bab akhir tersebut disembunyikan dari publik hingga 
tahun 1957.
Pesan
 utama yang ingin disampaikan oleh Snouck kepada pemerintah Belanda 
dalam laporan tersebut adalah bahwa sebenarnya perlawanan di Aceh tidak 
dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan oleh Belanda, 
tetapi sebenarnya dilakukan oleh para ulama Islam. Karena itu Snouck 
menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk terus mencoba menyuap Sultan
 dan menganiaya ulama dengan berbagai bentuk. Dia mengatakan: “Hal 
ini tidak mungkin untuk bernegosiasi dengan ulama. Ajaran-ajaran mereka 
dan kepentingan diri sendiri menyiratkan bahwa mereka hanya akan 
mendengarkan kekerasan. Untuk memukul mereka di tempat yang menyakitkan,
 sehingga masyarakat Aceh menjadi takut untuk bergabung dengan para 
pemimpinnya adalah prasyarat mutlak untuk memulihkan ketertiban di Aceh.”
Snouck menambahkan: “Para
 ulama pada akhirnya harus mengakui. Ia harus menjauhkan diri dari 
ajaran Jihad. Para ulama juga harus berpaling ke ajaran yang berbahaya 
mengenai Hari Akhir. Jika ini berhasil maka Islam tidak akan berbeda 
dengan agama-agama besar lainnya, yakni hanya mengajarkan ajaran-ajaran 
tentang ibadah ritual semata yang harus dilakukan untuk mencapai 
kebahagiaan kekal.”
Dengan
 kata lain, Snouck sebenarnya ingin agar kekerasan terhadap ulama 
menjadikan mereka berhenti untuk berbicara tentang Jihad, Negara Islam, 
dan konsep-konsep lainnya dari “Islam politik”. Ujungnya hanya akan 
berbicara tentang Hari Kiamat dan ritual ibadah.
Awalnya,
 pemerintah Belanda mengabaikan saran Snouck. Mereka terus perang dan 
berfokus pada Sultan. Inilah yang menyebabkan Perang Aceh tidak pernah 
menang. Pada tahun 1896 mereka memutuskan untuk mencoba sesuatu yang 
lain. Pemerintah Belanda menunjuk Joannes Benedictus Jendral Van Heutsz 
sebagai gubernur untuk Aceh, dan memberi dia tugas untuk mengatur 
penaklukan. Pada tahun 1898 Van Heutsz mengangkat Snouck sebagai 
penasihat untuk masalah Aceh. Snouck menjadi penasihat Van Heutsz hingga
 tahun 1901. Van Heutsz memastikan kepada seluruh tentaranya agar 
mengikuti nasihat Snouck yang telah dia sampaikan mulai dari tahun 1892.
 Akhirnya, secara teratur ia mengirimkan Snouck ikut bersama dengan 
tentara pada ekspedisi-ekspedisi militer. Akibatnya, Van Heutsz mendapat
 julukan sebagai “Pedang Snouck”. Tentara Belanda kemudian memulai 
kampanye yang berfokus pada menemukan dan membunuh ulama Aceh. Mereka 
sangat sukses dalam hal ini. 
Pada
 1903, setelah 30 tahun perang, mereka akhirnya menyatakan kemenangan di
 Aceh. Perang yang sebenarnya dilakukan oleh Van Heutsz dan Snouck 
adalah perang yang menyisir habis desa-desa di Aceh. Tujuannya untuk 
menemukan dan membunuh para ulama. Tidak hanya itu, tentara Belanda yang
 secara teratur pergi ke desa-desa, bukan hanya membunuh setiap 
laki-laki, namun juga perempuan dan anak. Setelah kemenangan Aceh, 
Snouck selanjutnya diminta menjadi penasihat pemerintah Belanda. Dia 
diminta saran dan nasihatnya untuk menyelesaikan pemberontakan di Jambi,
 Kerinci, Banjarmasin, Riau-Lingga dan Kalimantan [Bersambung]
Idries de Vries adalah aktifis dakwah Islam asal Belanda dan kontributor tamu pada situs newcivilization.com
Catatan kaki:
1  Seorang hakim Islam dengan tanggung jawab administratif untuk masjid dan personilnya.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar