Konspirasi dalam Piagam Jakarta
Piagam
 Jakarta ditandatangani para pendiri bangsa pada 22 Juni 1945. 
Keberadaan Piagam Jakarta dirumuskan sejak BPUPKI membentuk panitia 
khusus yang diamanahi membahas dasar negara Indonesia. Dalam sidang 
panitia khusus yang dikenal dengan nama Panitia Sembilan itu, empat 
orang tokoh Islam, yaitu KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakar, Abikoesno
 Tjokrosoeyoso dan H. Agus Salim mengusulkan Islam sebagai dasar negara,
 bahkan mereka memperkuat argumentasinya dengan membawa puluhan ribu 
tanda tangan tokoh Islam, alim ulama dan pimpinan pondok pesantren 
seluruh Indonesia yang mengingin-kan negara yang akan diproklamasikan 
berdasarkan Islam.
Namun,
 tokoh-tokoh nasionalis sekular yang ada di Panitia Sembilan, seperti 
Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin dan perwakilan 
non-Muslim, yaitu A.A. Maramis, menolak tegas usulan tokoh-tokoh Islam 
tersebut. 
Akhirnya,
 setelah berdebat panjang, Panitia Sembilan merekomondasikan rumusan 
dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter)
 pada 22 Juni 1945. Di antara kesepakatannya adalah, “Negara berdasarkan
 kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi 
pemeluk-pemeluknya”.
Dalam pidatonya pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta ini sebagai gentlemen’s agreement
 antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Bahkan A.A Maramis, 
tokoh nasionalis yang mewakili kepentingan non-Muslim menyatakan bahwa 
dia dan warga non-Muslim setuju 200% atas Piagam Jakarta karena Syariat 
Islam yang dilaksanakan hanya berlaku bagi penduduk Muslim. 
Pada
 17 Agustus 1945, para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul di Jl. 
Pegangsaan 65, Jakarta untuk menyaksikan proklamasi kemerdekaan bangsa 
Indonesia. Namun, ada fakta yang tidak banyak diketahui bahwa menjelang 
pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 
yang berisi Piagam Jakarta oleh Dr. Moewardi seperti terungkap dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karya Sidik Kertapati.
Fakta
 lainnya, saat proklamasi dibacakan, tidak ada seorang pun tokoh Kristen
 yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Ternyata para aktivis 
Kristen sibuk berkonsolidasi untuk menuntut penghapusan tujuh kata dalam
 Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang
 mengatakan bahwa malam hari usai Proklamasi, ia ditelepon mahasiswa 
Prapatan 10. Mereka mengatakan bahwa pada 17 Agustus siang hari pukul 
12.00 WIB, tiga anggota PPKI asal Indonesia Timur—Sam Ratulangi, Latuharhary dan I Gusti Ketut Pudja—mendatangi asrama mahasiswa dan mengatakan bahwa mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta.
Mahasiswa
 lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang mereka untuk datang 
menemui dirinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis 
Prapatan 10, Piet Mamahit dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta 
menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. 
Sepulang dari pertemuan dengan Hatta, malam itu juga para mahasiswa 
menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen 
Indonesia Timur.
Singkat
 kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan PPKI 
di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan 
dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan 
berlangsung pukul 09.30 WIB mundur sampai pukul 11.30 WIB karena terjadi
 perdebatan sengit dalam lobi-lobi untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Begitu
 sengit dan tegangnya pertemuan itu hingga Soekarno memilih tidak 
terlibat dalam lobi tersebut. Ia jeri dengan kegigihan Ki Bagus dalam 
mempertahankan Piagam Jakarta. Di sinilah peran Kasman 
Singodimejo yang sesama Muhammadiyah melakukan pendekatan secara 
personal kepada Ki Bagus dengan bahasa Jawa kromo inggil, sebagaimana terungkap dalam memoirnya, Hidup Adalah Perjuangan.
 Kasman menjelaskan perubahan yang diusulkan Hatta, bahwa kata 
“Ketuhanan” ditambah dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu adalah Allah 
SWT.
Kasman
 juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan 
bahwa enam bulan lagi akan ada sidang MPR untuk membuat undang-undang 
yang sempurna. “Janji Soekarno” itulah yang setidaknya membuat Ki Bagus 
merasa masih ada harapan untuk memasukan Islam dalam undang-undang yang 
lengkap dan tetap.
Akhirnya, dalam hitungan kurang dari 15 menit, seperti diceritakan Hatta dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Menyikapi penghapusan ini, Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih mengatakan, “Piagam Jakarta
 yang didapat dengan susah payah, memeras otak dan tenaga berhari-hari 
oleh tokoh-tokoh terkemuka, pada rapat PPKI 18 Agustus 1945 dalam 
beberapa menit saja dapat diubah. Kekuatan apakah yang mendorong dari 
belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain
 Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti Mohammad Natsir mengatakan, 
peristiwa 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak dapat 
dilupakan. “Menyambut Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut 
hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” kata Natsir.
Dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan
 (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) R.M.A.B Kusuma mengatakan, “Hatta
 adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terhapuskannya tujuh 
kata dari Piagam Jakarta. Ia menghapusnya tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun Piagam Jakarta.”
Hatta sendiri menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam bukunya Sekitar Proklamasi
 bahwa pada 17 Agustus 1945 sore, Hatta menerima telepon dari Nishijima,
 pembantu Admiral Maeda yang memintanya untuk menerima seorang Opsir 
Kaigun. Hatta mengatakan bahwa Opsir Kaigun yang ia lupa namanya itu 
memberitahu bahwa wakil Nasrani berkeberatan dengan kalimat pembukaan 
UUD yang berbunyi: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Jika kalimat itu ditetapkan, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam Mahasiswa ’45 Prapatan 10 karya
 Dr. Sujono Martosewojo dkk, anggapan bahwa ada Opsir Kaigun yang 
menemui Hatta kemungkinan adalah Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang 
memang berpostur tegap, berambut pendek, sipit dan suka berpakaian 
putih-putih. Iman Slamet inilah yang dikira sebagai opsir Jepang oleh 
Hatta.1
Oleh
 karena itu, keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan Opsir Kaigun 
yang ia lupa namanya itu sangat meragukan hingga Ridwan Saidi dalam 
sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, mengatakan, “Dengan 
segala hormat saya kepada Bung Hatta, ia seorang yang bersahaja, tapi 
dalam kasus Piagam Jakarta, saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.” 
Pernyataan
 Ridwan Saidi ini dikuatkan dalam buku dari Cornell University AS, bahwa
 dalang di balik sosok misterius Opsir Kaigun itu adalah Sam Ratulangi 
yang dia sebut sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).
Janji Palsu Soekarno kepada Daud Beureu’eh
Pengkhianatan
 berikutnya kembali harus dialami umat Islam negeri ini, khususnya apa 
yang dialami oleh para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama 
Seluruh Aceh (PUSA) di Tanah Rencong. Mereka, melalui ketuanya, Teungku 
Muhammad Daud Beureu’eh, meminta kepada Presiden Soekarno untuk 
mendapatkan kebebasan dalam menjalankan syariah Islam di wilayahnya.
Soekarno
 sendiri mengakui dalam pidatonya di Blang Padang Aceh, bahwa Aceh 
adalah daerah modal bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui perjuangan 
rakyat Aceh seluruh wilayah Indonesia dapat direbut kembali dari tangan 
penjajah.
Para
 ulama dan rakyat Aceh telah berjuang mengorbankan harta dan jiwa demi 
kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan itu, mereka buktikan 
dengan mengumpulkan dana demi membeli pesawat Seulawah untuk kepentingan
 perjuangan melawan penjajah. Seulawah yang jadi cikal-bakal Garuda 
Indonesia Airways ini tidak hanya menjadi instrumen penting bagi 
kemerdekaan bangsa Indonesia, namun juga menjadi modal utama dalam 
mempertahankan kemerdekaan itu. 
Melalui
 Seulawah, Indonesia mampu menembus blokade udara pasukan penjajah. 
Pesawat ini pula yang membawa tokoh-tokoh Indonesia ke luar negeri untuk
 memperkenalkan bayi Indonesia yang baru lahir ke dunia internasional.
Seulawah
 yang bernilai US$ 120.000 berdasarkan kurs mata uang saat itu ternyata 
bukan satu-satunya kontribusi Aceh bagi kemerdekaan bangsa ini. Saat 
Jogjakarta kembali ke pangkuan Indonesia, para ulama dan rakyat Aceh 
kembali mengalirkan bantuan dana, alat perkantoran dan obat-obatan. 
Tercatat, sebanyak lima kilogram emas disumbangkan rakyat Aceh demi 
keberlangsungan pemerin-tahan Indonesia. Mereka juga menyumbangkan uang 
tunai sebesar US$ 500.000, di antaranya US$ 250.000 untuk membiayai 
angkatan perang, US$ 50.000 untuk biaya perkantoran pemerintah, US$ 
100.000 untuk pengembalian pemerintahan dari Jogjakarta dan US$ 100,000 
untuk pemerintahan pusat. Bahkan rakyat Aceh kembali membantu membiayai 
perwakilan Indonesia di Singapura dan pendirian kedutaan pemerintah di 
India. 
Namun,
 apa yang didapat oleh para ulama dan rakyat Aceh, khususnya Teungku 
Muhammad Daud Beureu’eh atas semua yang telah mereka korbankan itu? 
Sungguh, pada 16 Juni 1948, Soekarno pernah berjanji, bahkan bersumpah 
atas nama Allah SWT dengan berlinang air mata, bahwa ia akan memberikan 
kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh untuk menyusun rumah 
tangganya sendiri berdasarkan syariah Islam.
Kenyataannya,
 Soekarno tidak pernah menepati janjinya, bahkan sumpahnya sendiri. Ia 
tidak pernah memberikan kebebasan kepada para ulama dan rakyat Aceh 
untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan Islam dan kebebasan 
menjalankan syariah Islam di Tanah Rencong. Para ulama dan rakyat Aceh 
yang diwakili Teungku Muhammad Daud Beureu’eh telah dikhianati oleh 
pemerintah pusat. Bahkan mereka dicap sebagai pembe-rontak. Padahal 
sesungguhnya mereka menuntut haknya sekaligus menagih janji atas 
penerapan syariah Islam yang telah dilecehkan. 
Orde Baru: Petaka Umat Islam
Pada
 masa rezim Orde Baru, atas nama pemulihan keamanan dan ketertiban maka 
Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bagi kehidupan bermasyarakat 
dan bernegara. Semua organisasi, baik organisasi massa maupun politik, 
Islam maupun bukan, semuanya diharuskan berasaskan atau berdasarkan 
Pancasila. Semua lawan politik bagi kekuasaan dan pemerintahan dibungkam
 dengan kekuatan yang memaksa.
Berikutnya,
 ketika kaum Muslim memiliki kesadaran untuk menghidupkan syariah Islam 
maka rezim Orde Baru membungkamnya dengan kekuatan militer. Tidak hanya 
itu, bahkan untuk sekadar mengenakan penutup aurat bagi wanita Mukminah 
seperti kerudung pun dilarang. Tidak hanya di instansi pemerintahan, 
larangan ini sampai masuk ke ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah. Arus 
sekularisme meluas dalam semua sendi kehidupan.
Bahkan
 tokoh-tokoh Muslim yang vokal dan kritis atas semua kebijakan rezim 
Orde Baru ini diteror dengan intimidasi dan kekerasan. Meminjam istilah 
budayawan Permadi, mereka segera di-3B-kan; Bungkam, Bui dan Bunuh. 
Fakta berdarah peristiwa Pembantaian Tanjung Priok, Haur Koneng dan 
Talangsari di Lampung adalah tiga di antara kezaliman rezim Orba 
terhadap umat Islam.
Kelahiran
 Rezim Orde Baru sejak 1967 ini tidak lepas dari skenario orang-orang 
kafir Barat untuk menguasai Indonesia. Sejak rezim ini berkuasa, 
cengkeraman Globo Capitalism atas bangsa Muslim terbesar di dunia ini tampak nyata dari hasil Indonesian Investment Conference
 untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia oleh para kapitalis asing. 
Konferensi ini dihadiri oleh perusahaan-perusahaan besar dunia, para 
kapitalis dan bankir Yahudi, seperti David Rockefeller. Dari sini pula, 
istilah Mafia Barkeley yang memandu arah kebijakan ekonomi dan pemerintahan Indonesia mulai mengemuka. 
Sejak
 1967 pula, globalisasi ekonomi Indonesia mulai dijalankan. Atas nama 
pemulihan ekonomi nasional, rezim yang berkuasa mengikat janji dengan 
para kapitalis asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. 
Demi melicinkan jalan penguasaan mereka atas Indonesia, mereka pun 
membentuk Inter Government Group on Indonesia (IGGI) yang ironisnya diketuai oleh bekas negara penjajah Indonesia sendiri: Belanda! 
Oleh karena itu, rezim yang berkuasa pun tunduk pada kepentingan asing yang bermain untuk mencengkram Indonesia dengan Globo Capitalism dan mustahil memedulikan aspirasi rakyat yang mayoritas umat Islam. 
Orde Reformasi: Keluar dari Mulut Buaya, Masuk Mulut Harimau
Euforia
 Reformasi yang didengungkan sejak awal kejatuhan Orde Baru ternyata 
berdampak luas di tengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya arus 
kebebasan, HAM dan demokratisasi pada semua sendi kehidupan. Dampak arus
 Liberalisme ini menyinggung pula tatanan kehidupan umat beragama, 
khususnya umat Muslim.
Atas
 nama HAM dan kebebasan berkeyakinan, ide-ide, pemahaman dan keyakinan 
keimanan umat Islam diracuni dengan pemahaman ide-ide Sepilis 
(Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Kaum Muslim Indonesia pun 
direcoki dengan keberadaan sekte-sekte sesat dan menyesatkan seperti 
Ahmadiyah. 
Selain itu, negeri Muslim terbesar ini pun tiba-tiba sibuk dengan kampanye Global War on Terrorism
 yang diusung AS sejak pemerintahan George W. Bush. Pemerintah pun manut
 saja mengikuti skenario AS dengan menjadikan Islam dan umatnya sebagai 
sasaran tembak perang melawan teroris. Bahkan untuk mendefinisikan 
teror, terorisme dan siapa teroris, pemerintah mengikuti kebijakan 
politik luar negeri negara adidaya itu, yang dikenal dengan Doktrin Wolfowitz. Doktrin ini adalah modifikasi Protocols of Zion yang dirancang oleh Paul Abraham Wolfowitz, mantan duta besar AS untuk Indonesia pada masa pemerintahan Habibie dan Gus Dur.
Melalui
 doktrin ini pula, umat Islam yang berpegang teguh dengan syariah Islam 
dan yang berusaha memperjuangkan penegakkan syariah Islam di negeri ini 
secara otomatis menjadi lawan bagi kepentingan Amerika dan layak 
dilabeli sebagai teroris. Rezim yang berkuasa pun lebih nyaman melayani 
kepentingan asing daripada mengurusi rakyatnya sendiri.
Sungguh
 tepat apabila pepatah mengatakan bahwa gambaran umat Muslim Indonesia 
saat ini: keluar dari mulut buaya masuk ke dalam mulut harimau. 
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [] 
Salman Iskandar adalah Editor dan Penulis Buku, Pembina Asosiasi Penulis Ideologis (API) Islam.
Catatan kaki
1  Hal ini pula yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Deliar Noer dalam otobiografinya, Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa (Mizan, 2000),
Maraji’
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
2 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1998.
3 Anwar Hardjono, dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
4 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997
5 Hartono Ahmad Jaiz, Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto, Jakarta: Darul Falah, 1999.
6 Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
7 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tinta Mas, 1982.
8 Mohammad Natsir, Agama dan negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001
9 Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan Sejarah,” Jakarta: 2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan tokoh Islam di Jakarta, 22 Mei 2007).
10 R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004
11 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh, Solo: Tinta Medina imprint of Tiga Serangkai, 2011, cet. ke-1.
12 Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Jajasan Djambatan, 1964, cet. ke-3.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar