Minggu, 13 April 2014

Filled Under:

Sejarah Persatuan Umat Islam Indonesia

Mengkaji pentas sejarah Indonesia pada dasarnya adalah mengkaji perjuangan umat Islam. Pasalnya, tidak ada satu penggal pun dari garis panjang lintasan sejarah Indonesia yang tidak terkait dengan umat Islam. Umat Islam bukan hanya menjadi penduduk mayoritas (88.2 persen) di negeri ini, tetapi juga pemain utama dalam perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini. Pada sejarahnya yang cukup panjang, umat Islam Indonesia senantiasa berjuang bahu-membahu membangun kekuatan yang tidak pernah lekang oleh zaman. Meskipun selalu ada arus yang berupaya memecah-belah dan membenturkan sesama umat Islam, benteng persatuan yang bertumpu pada pondasi akidah selalu mampu dibangun dan ditata kembali.

Persatuan Muslim Indonesia dalam Catatan Sejarah

Persatuan umat Islam tampak sangat mengkristal sejak Portugis menduduki dan menguasai Malaka pada tahun 1511 M. Hal itu ditunjukkan dengan adanya reaksi umat Islam yang berbasis di Demak. Pada tahun 1546 M mereka berusaha menghalau penjajah dan merebut kembali Malaka. Namun, persenjataan penjajah cukup kuat sehingga usaha umat Islam menemui kegagalan. Sejak itu, tidak kurang dari 350 tahun masyarakat Indonesia hidup di bawah penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang. Sejak awal penjajahan itu pula umat Islam di seluruh pelosok negeri bergerak merapatkan barisan guna menghalaunya. 

Perlu diketahui, pada saat Portugis menguasai Malaka sebenarnya umat Islam telah berkembang di hampir seluruh daerah penting di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sebagainya. Sebagaimana yang diprediksi oleh Hamka, Islam masuk ke Indonesia pada masa pemerintahan Khulafahur Rasyidin, khususnya pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini didasarkan pada satu almanak Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M terdapat satu kelompok masyarakat Arab (Islam) di Sumatera Barat, yaitu 42 tahun setelah Rasulullah saw. wafat pada tahun 634 M. Berdasarkan ini, Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad ke-13, Masehi tetapi pada abad ke-7 Masehi. Pada abad ke-13 M bukan awal Islam masuk ke Indonesia, tetapi awal penyebaran Islam secara meluas di seluruh kawasan Indonesia.1
 
Menurut Akib Suminto, bagi orang-orang Portugis, seluruh orang Islam adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi. Orang-orang Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 sengaja datang ke pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen.2 Artinya, dapat dikatakan bahwa api perjuangan umat Islam yang meledak di seluruh penjuru negeri dalam mengusir penjajah pada dasarnya bersumber pada satu hal, yaitu bersatu melawan musuh yang berupaya memadamkan cahaya Islam.

Memasuki abad 20, perlawanan menghadapi penjajah Belanda mulai dilakukan melalui wadah organisasi untuk menyatukan langkah umat Islam. Pada tahun 1905 Haji Samanhoedi (1868-1956) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Umat Islam memberikan respon besar terhadap organisasi yang menjadi simbol persatuan umat melawan hegemoni penjajah ini. Dalam waktu singkat SDI telah mempunyai cabang di berbagai pelosok Indonesia. Pada tahun 1912, organisasi ini mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) yang dalam waktu tujuh tahun kemudian telah mampu menghimpun dua setengah juta anggota.3 Perkembangan SI yang amat pesat pada saat kepemimpinan HOS Tjokroaminoto dan sambutan umat yang luar biasa telah membuat gentar Gubernur Jenderal Belanda, AWF Idenburg. Karena itu, ia berusaha memecah SI menjadi perkumpulan kecil, dengan hanya memberikan pengakuan pada cabang-cabangnya yang mempunyai anggaran dasar sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan pusat. Namun, siasat Idenburg ini gagal.4
 
Demikianlah sejarah telah mencatat, bahwa persatuan umat di bawah payung SI telah mampu melahirkan kekuatan yang menggentarkan pimpinan Belanda. Musuh pun kemudian memfokuskan pada upaya penghancuran SI ini. 

Pada tahun 1913, seorang agen komunisme internasional, HJFM Sneevliet datang ke Indonesia, dan pada tahun 1914 dia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.5 ISDV inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang komunis yang berada di bawah ISDV kemudian melakukan penyusupan ke tubuh SI. Akhirnya, SI dapat digembosi dan dilemahkan melalui berbagai manuver dan fitnah yang keji. Pasca SI ini umat kembali menyusun persatuan dalam payung organisasi lainnya. Lalu berdirilah berbagai organisasi Islam seperti NU, Perti, Muhammadiyah, MIAI, Hizbullah, Sabilillah dan yang lainnya. Semua bergerak dan berjuang untuk membebaskan umat dari cengkeraman penjajah demi terwujudnya ‘izz al-Islâm wa al-Muslimîn.

Umat Islam semakin menyadari adanya upaya secara sistematis yang berusaha menyingkirkan peran Islam dalam menata kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi dan politik. Karena itu, pada tanggal 7-8 November 1945 diselenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, dan sebagainya. Mereka berkumpul guna menyatukan langkah menentang kembalinya kaum penjajah dan menyatukan pendapat tentang apa yang harus dilakukan untuk menata kehidupan bernegara.6 Setelah bersidang selama dua hari, kongres akhirnya menyepakati pembentukan partai politik Islam yang berfungsi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam di Indonesia, yaitu partai politik Islam Masyumi. 

Partai ini telah merumuskan tujuan perjuangannya secara jelas dan gamblang, yaitu terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Begitu kuatnya potensi yang dimilikinya sehingga saat itu dipersepsikan bahwa andaikata Masyumi mau maka akan mampu mengambil-alih pemerintahan secara langsung. Hal ini karena adanya dukungan umat yang kuat serta para tokohnya yang ternama seperti KH Hasyim Asy’arie, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, H. Agus Salim, KH Wahid Hasjim, dan sebagainya. Melalui payung Masyumi dan dukungan umat, para tokoh ini gigih memperjuangkan tegaknya syariah Islam di bumi Indonesia, khususnya dalam sidang-sidang di Konstituante. Namun, sebagaimana pada SI, ada manuver sistematik yang ditujukan untuk menimbulkan konflik internal dan perpecahan di dalam tubuh Masyumi. Akhirnya, Presiden Soekarno ‘berhasil’ membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dan menuduh para tokohnya terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Satu hal yang cukup menarik, umat Islam Indonesia saat itu ternyata tidak hanya memperhatikan persatuan umat di dalam negeri, tetapi bahkan secara internasional. Hal ini dapat dilihat pada respon mereka saat pembubaran Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk. Sebagai respon terhadap hal tersebut, Komite Khilafah didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua KH A Wahab Hasbullah dari NU. Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan kongres Al-Islam Hindia ketiga di Surabaya tanggal 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan Khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam.7 Pada peristiwa ini dapat diambil suatu fakta sejarah bahwa Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan NU sama-sama memberikan perhatian besar terhadap keruntuhan Khilafah Islamiyah yang menjadi payung utama dalam persatuan umat Islam di dunia internasional.

Harapan ke Depan

Penggalan sejarah di atas dapat memberikan dua hal penting untuk kita jadikan pelajaran berharga dalam menata persatuan umat Islam di Indonesia khususnya dan di Dunia Islam secara umum. Pertama: kesamaan pemikiran mengenai tujuan sebuah perjuangan merupakan hal paling strategis. Persatuan umat yang begitu kuat sejak menghalau Portugis, Spanyol, Belanda, Jepang hingga upaya menerapkan syariah Islam melalui jalur Konstituante pada dasarnya bersandar pada kesamaan pemikiran, bahwa penjajah harus dilenyapkan dari setiap jengkal tanah Muslim, serta kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus bertumpu pada Islam. Sejalan dengan sejarah, saat ini denyut ke arah persatuan umat semakin terasa. Lihatlah, misalnya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas-ormas Islam, dan komponen umat Islam lainnya bersama-sama menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV pada 17-21 April 2005 di Jakarta. Kongres tersebut mengeluarkan 14 butir rekomendasi yang salah satu poinnya adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi dalam mengatasi berbagai macam problematika bangsa. Demikian juga pada saat sekitar sejuta umat Islam dari berbagai ormas dan partai Islam tumpah-ruah di Jakarta untuk menolak pornografi dan pornoaksi di negeri ini. Aksi serupa juga tampak pada upaya protes terhadap kejahatan pers Jyllands-Posten yang menghina Rasulullah saw., penentangan terhadap terorisme AS di Afganistan dan Irak, hingga penolakan terhadap kedatangan George W Bush pada pertengahan bulan November lalu.

Kedua: selalu ada upaya secara sistematis yang dilakukan untuk memecah-belah persatuan umat karena hanya dengan cara inilah umat Islam bisa dikalahkan. Seperti pada sejarah di atas, keretakan yang pernah menimpa SI dan Masyumi tidak lain karena adanya manuver dari musuh-musuh Islam. Metode klasik seperti ini pulalah yang kini terus dihembuskan untuk membenturkan sesama umat Islam, misalnya melalui peristilahan Muslim moderat versus Muslim radikal. Namun, makin telanjangnya hegemoni Kapitalisme global menjajah negeri ini dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, maka arus menuju kesamaan pemikiran akan kian mengkristal; yaitu pemikiran bersama untuk melakukan perubahan secara fundamental guna menghapus sistem kapitalisme dan menggantinya dengan syariah Islam dalam naungan institusi politik internasional Khilafah Islamiyah.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Catatan kaki :
  1. Hamka. 1982. Riwayat Hidup Ayahku Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Umminda, Jakarta, hlm. 3-4.
  2. Aqib Suminto. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta, hlm. 17
  3. George McTurnan Kahin. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, hlm. 85.
  4. Anwar Haryono. 1997. Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan. Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 20.
  5. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 260.
  6. Anwar Harjono, op. cit., hlm. 83.
  7. Deliar Noer. 1973. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES Jakarta, hlm. 242.





Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.