Mengkaji
pentas sejarah Indonesia pada dasarnya adalah mengkaji perjuangan umat
Islam. Pasalnya, tidak ada satu penggal pun dari garis panjang lintasan
sejarah Indonesia yang tidak terkait dengan umat Islam. Umat Islam bukan
hanya menjadi penduduk mayoritas (88.2 persen) di negeri ini, tetapi
juga pemain utama dalam perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini. Pada
sejarahnya yang cukup panjang, umat Islam Indonesia senantiasa berjuang
bahu-membahu membangun kekuatan yang tidak pernah lekang oleh zaman.
Meskipun selalu ada arus yang berupaya memecah-belah dan membenturkan
sesama umat Islam, benteng persatuan yang bertumpu pada pondasi akidah
selalu mampu dibangun dan ditata kembali.
Persatuan Muslim Indonesia dalam Catatan Sejarah
Persatuan
umat Islam tampak sangat mengkristal sejak Portugis menduduki dan
menguasai Malaka pada tahun 1511 M. Hal itu ditunjukkan dengan adanya
reaksi umat Islam yang berbasis di Demak. Pada tahun 1546 M mereka
berusaha menghalau penjajah dan merebut kembali Malaka. Namun,
persenjataan penjajah cukup kuat sehingga usaha umat Islam menemui
kegagalan. Sejak itu, tidak kurang dari 350 tahun masyarakat Indonesia
hidup di bawah penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang. Sejak
awal penjajahan itu pula umat Islam di seluruh pelosok negeri bergerak
merapatkan barisan guna menghalaunya.
Perlu
diketahui, pada saat Portugis menguasai Malaka sebenarnya umat Islam
telah berkembang di hampir seluruh daerah penting di Indonesia seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sebagainya.
Sebagaimana yang diprediksi oleh Hamka, Islam masuk ke Indonesia pada
masa pemerintahan Khulafahur Rasyidin, khususnya pada masa Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab ra. Hal ini didasarkan pada satu
almanak Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M terdapat satu
kelompok masyarakat Arab (Islam) di Sumatera Barat, yaitu 42 tahun
setelah Rasulullah saw. wafat pada tahun 634 M. Berdasarkan ini, Islam
masuk ke Indonesia bukan pada abad ke-13, Masehi tetapi pada abad ke-7
Masehi. Pada abad ke-13 M bukan awal Islam masuk ke Indonesia, tetapi
awal penyebaran Islam secara meluas di seluruh kawasan Indonesia.1
Menurut
Akib Suminto, bagi orang-orang Portugis, seluruh orang Islam adalah
orang Moor dan musuh yang harus diperangi. Orang-orang Spanyol dan
Portugis pada abad ke-16 sengaja datang ke pelosok dunia antara lain
untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen.2 Artinya,
dapat dikatakan bahwa api perjuangan umat Islam yang meledak di seluruh
penjuru negeri dalam mengusir penjajah pada dasarnya bersumber pada
satu hal, yaitu bersatu melawan musuh yang berupaya memadamkan cahaya
Islam.
Memasuki
abad 20, perlawanan menghadapi penjajah Belanda mulai dilakukan melalui
wadah organisasi untuk menyatukan langkah umat Islam. Pada tahun 1905
Haji Samanhoedi (1868-1956) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di
Surakarta. Umat Islam memberikan respon besar terhadap organisasi yang
menjadi simbol persatuan umat melawan hegemoni penjajah ini. Dalam waktu
singkat SDI telah mempunyai cabang di berbagai pelosok Indonesia. Pada
tahun 1912, organisasi ini mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI)
yang dalam waktu tujuh tahun kemudian telah mampu menghimpun dua
setengah juta anggota.3 Perkembangan
SI yang amat pesat pada saat kepemimpinan HOS Tjokroaminoto dan
sambutan umat yang luar biasa telah membuat gentar Gubernur Jenderal
Belanda, AWF Idenburg. Karena itu, ia berusaha memecah SI menjadi
perkumpulan kecil, dengan hanya memberikan pengakuan pada
cabang-cabangnya yang mempunyai anggaran dasar sendiri dan tidak
memiliki kaitan dengan pusat. Namun, siasat Idenburg ini gagal.4
Demikianlah
sejarah telah mencatat, bahwa persatuan umat di bawah payung SI telah
mampu melahirkan kekuatan yang menggentarkan pimpinan Belanda. Musuh pun
kemudian memfokuskan pada upaya penghancuran SI ini.
Pada tahun 1913, seorang agen komunisme internasional, HJFM Sneevliet datang ke Indonesia, dan pada tahun 1914 dia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.5 ISDV
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia
(PKI). Orang-orang komunis yang berada di bawah ISDV kemudian melakukan
penyusupan ke tubuh SI. Akhirnya, SI dapat digembosi dan dilemahkan
melalui berbagai manuver dan fitnah yang keji. Pasca SI ini umat kembali
menyusun persatuan dalam payung organisasi lainnya. Lalu berdirilah
berbagai organisasi Islam seperti NU, Perti, Muhammadiyah, MIAI,
Hizbullah, Sabilillah dan yang lainnya. Semua bergerak dan berjuang
untuk membebaskan umat dari cengkeraman penjajah demi terwujudnya ‘izz al-Islâm wa al-Muslimîn.
Umat
Islam semakin menyadari adanya upaya secara sistematis yang berusaha
menyingkirkan peran Islam dalam menata kehidupan, khususnya dalam bidang
ekonomi dan politik. Karena itu, pada tanggal 7-8 November 1945
diselenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini
dihadiri oleh hampir seluruh organisasi Islam seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, dan sebagainya.
Mereka berkumpul guna menyatukan langkah menentang kembalinya kaum
penjajah dan menyatukan pendapat tentang apa yang harus dilakukan untuk
menata kehidupan bernegara.6 Setelah
bersidang selama dua hari, kongres akhirnya menyepakati pembentukan
partai politik Islam yang berfungsi sebagai satu-satunya wadah
perjuangan politik umat Islam di Indonesia, yaitu partai politik Islam
Masyumi.
Partai
ini telah merumuskan tujuan perjuangannya secara jelas dan gamblang,
yaitu terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan individu,
masyarakat dan negara Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Begitu kuatnya
potensi yang dimilikinya sehingga saat itu dipersepsikan bahwa andaikata
Masyumi mau maka akan mampu mengambil-alih pemerintahan secara
langsung. Hal ini karena adanya dukungan umat yang kuat serta para
tokohnya yang ternama seperti KH Hasyim Asy’arie, Muhammad Natsir,
Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, H. Agus Salim, KH Wahid Hasjim,
dan sebagainya. Melalui payung Masyumi dan dukungan umat, para tokoh
ini gigih memperjuangkan tegaknya syariah Islam di bumi Indonesia,
khususnya dalam sidang-sidang di Konstituante. Namun, sebagaimana pada
SI, ada manuver sistematik yang ditujukan untuk menimbulkan konflik
internal dan perpecahan di dalam tubuh Masyumi. Akhirnya, Presiden
Soekarno ‘berhasil’ membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dan menuduh para
tokohnya terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI).
Satu
hal yang cukup menarik, umat Islam Indonesia saat itu ternyata tidak
hanya memperhatikan persatuan umat di dalam negeri, tetapi bahkan secara
internasional. Hal ini dapat dilihat pada respon mereka saat pembubaran
Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Sebagai respon terhadap hal tersebut, Komite Khilafah didirikan di
Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo dari Sarekat
Islam dan wakil ketua KH A Wahab Hasbullah dari NU. Tujuannya untuk
membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo. Pertemuan ini
ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan kongres Al-Islam Hindia ketiga
di Surabaya tanggal 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68
organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang serta
mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres
ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia.
Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan
Khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat
Islam Indonesia ke kongres dunia Islam.7 Pada
peristiwa ini dapat diambil suatu fakta sejarah bahwa Muhammadiyah,
Sarekat Islam, dan NU sama-sama memberikan perhatian besar terhadap
keruntuhan Khilafah Islamiyah yang menjadi payung utama dalam persatuan
umat Islam di dunia internasional.
Harapan ke Depan
Penggalan
sejarah di atas dapat memberikan dua hal penting untuk kita jadikan
pelajaran berharga dalam menata persatuan umat Islam di Indonesia
khususnya dan di Dunia Islam secara umum. Pertama: kesamaan
pemikiran mengenai tujuan sebuah perjuangan merupakan hal paling
strategis. Persatuan umat yang begitu kuat sejak menghalau Portugis,
Spanyol, Belanda, Jepang hingga upaya menerapkan syariah Islam melalui
jalur Konstituante pada dasarnya bersandar pada kesamaan pemikiran,
bahwa penjajah harus dilenyapkan dari setiap jengkal tanah Muslim, serta
kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus bertumpu pada Islam.
Sejalan dengan sejarah, saat ini denyut ke arah persatuan umat semakin
terasa. Lihatlah, misalnya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI),
ormas-ormas Islam, dan komponen umat Islam lainnya bersama-sama
menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV pada 17-21 April
2005 di Jakarta. Kongres tersebut mengeluarkan 14 butir rekomendasi
yang salah satu poinnya adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi
dalam mengatasi berbagai macam problematika bangsa. Demikian juga pada
saat sekitar sejuta umat Islam dari berbagai ormas dan partai Islam
tumpah-ruah di Jakarta untuk menolak pornografi dan pornoaksi di negeri
ini. Aksi serupa juga tampak pada upaya protes terhadap kejahatan pers
Jyllands-Posten yang menghina Rasulullah saw., penentangan terhadap
terorisme AS di Afganistan dan Irak, hingga penolakan terhadap
kedatangan George W Bush pada pertengahan bulan November lalu.
Kedua:
selalu ada upaya secara sistematis yang dilakukan untuk memecah-belah
persatuan umat karena hanya dengan cara inilah umat Islam bisa
dikalahkan. Seperti pada sejarah di atas, keretakan yang pernah menimpa
SI dan Masyumi tidak lain karena adanya manuver dari musuh-musuh Islam.
Metode klasik seperti ini pulalah yang kini terus dihembuskan untuk
membenturkan sesama umat Islam, misalnya melalui peristilahan Muslim
moderat versus Muslim radikal. Namun, makin telanjangnya hegemoni
Kapitalisme global menjajah negeri ini dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik, maka arus menuju kesamaan pemikiran akan kian mengkristal;
yaitu pemikiran bersama untuk melakukan perubahan secara fundamental
guna menghapus sistem kapitalisme dan menggantinya dengan syariah Islam
dalam naungan institusi politik internasional Khilafah Islamiyah.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki :
- Hamka. 1982. Riwayat Hidup Ayahku Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Umminda, Jakarta, hlm. 3-4.
- Aqib Suminto. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta, hlm. 17
- George McTurnan Kahin. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, hlm. 85.
- Anwar Haryono. 1997. Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan. Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 20.
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 260.
- Anwar Harjono, op. cit., hlm. 83.
- Deliar Noer. 1973. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES Jakarta, hlm. 242.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar