Selama
periode 1850-1930 sebagian besar koran-koran Belanda menuliskan bahwa
semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dengan ibadah haji Muslim
Indonesia ke Makkah. Sebagai contoh pada tahun 1859, seorang analis
koran Algemeen Handelsblad menulis: “Opini publik
mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas
meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu
mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi
memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi
Eropa.”
Pada tahun 1866, koran De Locomotief menulis: “Bahaya
atas keselamatan rata-rata orang-orang Jawa atas peningkatan jumlah
jamaah haji adalah sangat tidak diremehkan. Bahaya ini adalah sebuah
fakta, tanpa keraguan sama sekali.”
Para
analis lain kemudian menjelaskan dengan tepat mengapa haji merupakan
awal dari semua masalah Belanda di Indonesia. Sekali lagi koran De Locomotief menulis (1877): “Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme.”
Dengan
kata lain, Belanda melihat hubungan antara haji dan kekuatan keyakinan
Islam di antara rakyat Indonesia. Hal ini karena ibadah haji untuk
jamaah haji Indonesia juga merupakan kesempatan untuk belajar lebih
banyak tentang Islam. Pada periode 1850-1930 Khilafah Islam atau Caliphate
masih ada. Hijaz, wilayah sekitar Makkah dan Madinah yang dikunjungi
para peziarah, masih menjadi bagian dari Kekhalifahan. Jadi, ketika
orang-orang Indonesia pergi haji, mereka pergi ke sebuah negeri yang
dibangun berlandaskan Islam. Di Makkah orang-orang termotivasi oleh
negara untuk belajar dan memahami Islam. Jamaah Indonesia mengambil
apa-apa yang mereka pelajari di sana dan ketika kembali ke Indonesia
berbagi dengan sesama Muslim di Indonesia.
Lalu
apa yang begitu ditakuti Belanda mengenai pengetahuan tentang Islam di
antara orang Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini adalah apa yang
disebut Belanda sebagai “pan-Islamisme”. Sebagai contoh, sebuah analisis
di koran Nieuwe Rotterdamsche Courant (1915) mengatakan: “Di
masa lalu, adalah mungkin untuk menyesali keinginan yang berlebihan di
antara kaum Muslim (Mohammedans) di Indonesia untuk pergi haji, karena
berbagai alasan. Sebagian dari mereka datang karena pengaruh
pan-Islamisme di sana, dan kemudian ketika mereka kembali, memiliki
pengaruh yang kurang diinginkan atas rekan-rekan senegaranya.”
Seorang analis menulis untuk koran Het Nieuws van den Dag (1911) mengatakan: “Tidak
perlu bagi kita untuk berbicara tentang fanatisme di antara sebagian
besar jamaah haji yang kembali. Hal ini bahkan lebih berbahaya di zaman
dan usia kita, sekarang pan-Islamisme sedang berusaha untuk membuat
terobosan mana-mana.”
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah ‘pan-Islamisme’ ini dijelaskan oleh surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant (1900): “Istilah
pan-Islamisme dipahami oleh orang-orang Eropa sebagai makna aspirasi di
kalangan umat Islam untuk bersatu dalam sebuah negara. Dalam bentuk apa
pan-Islamisme menemukan asal-usulnya? Dalam hukum Islam ortodoks
menyebutkan bahwa semua umat Islam (Mohammedans), dengan tidak memandang
bangsa dan bahasanya, harus menjadi salah satu komunitas yang ideal,
dan bahwa semua penguasa Islam harus mengakui satu penguasa tertinggi.
Apakah konsekuensi dari hal ini? Bahwa seorang penguasa kafir, sebagai
masalah yang prinsipil, tidak akan pernah diterima oleh kaum Muslim
(Mohammedans) ortodoks sebagai penguasa mereka yang sah. Dengan kata
lain, suatu bahaya yang tak terbantahkan pada tingkat yang lebih besar
atau lebih kecil bagi setiap negara Kristen yang menangani masalah kaum
Muslim.”
Seperti juga dikatakan koran Algemeen Handelsblad (1910): “Ceramah-ceramah
yang menjelaskan bahwa bagi kaum Muslim (Mohammedans) hanya ada
pemerintahan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan pemerintahan yang sah,
dan bahwa mereka melihat setiap pemerintahan lain sebagai tidak sah,
karenanya hal ini termasuk juga pemerintahan kita (atas Indonesia).
Dengan kata lain, ajaran-ajaran mengenai Khilafah bagi kita adalah unsur
yang sangat berbahaya.”
Dengan
kata lain, Belanda menyadari bahwa Negara Islam/Khilafah merupakan
sebuah pilar Islam. Belanda menyadari bahwa pilar Islam ini memotivasi
umat Islam di Indonesia untuk terus-menerus melawan pemerintahan
kolonial Belanda. Hal ini persis sama dengan apa yang dimuat koran Het Nieuws van den Dag (1897): “Pemerintah
kami bisa mendapatkan banyak masalah dari hal ini, karena bagi kita
juga Pan-Islamisme adalah musuh terbesar dan terkuat bagi perdamaian di
wilayah jajahan kita, seperti juga bagi semua negara Eropa
lain yang melihat banyaknya kaum Mohammedans yang mereka tangani atau
bangsa-bangsa yang mereka tundukkan.”
Pemerintah Belanda menyadari hal ini, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah laporan koran Nieuw Tilburgsche Courant (1898): “Selama
diskusi mengenai anggaran pemerintahan kolonial di Indonesia untuk
tahun 1899, mister De Waal Malefijt menyatakan keprihatinannya atas
peningkatan agama Islam di Indonesia, yang menyebabkan meningkatnya
pengaruh pan-Islamisme.” []
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar