Forum
 ini menghadirkan Mas’ud Sujadi, SE – pakar ekonomi Kaltim – sebagai 
pembicara pertama, Ir. Moh. Topan – pengamat sejarah – sebagai pembicara
 kedua, dan Ir. Muklas dari HTI Balikpapan sebagai pembicara ketiga. 
Sebagai panelis adalah H. Mukhtar dari perwakilan pengusaha Balikpapan, 
H. Sugiyanto selaku pimpinan sebuah institusi pendidikan tinggi swasta 
di Balikpapan mewakili kalangan akademisi dan Ir. Tri Budi Lestari yang 
merupakan IT Manager dari salah satu perusahaan migas terbesar di 
Indonesia.
Pengkaburan Sejarah Dan Marginalisasi Islam
Sejarah
 itu ibarat ingatan, apa jadinya manusia tanpa ingatan ? Statement 
kritis yang dikutip dari Ahmad Mansyur Suryanegara, salah seorang pakar 
sejarah Indonesia, mengawali sesi pertama diskusi yang diisi dengan 
kajian kritis atas sejarah kebangkitan Indonesia, yang menampilkan Ir 
Moh Topan, pengamat sekaligus peneliti sejarah. Manusia tanpa ingatan 
yang benar akan kebingungan dengan masa lalunya dan kehilangan potensi 
besar yang mungkin dimilikinya. Ibarat sesosok manusia yang memendam 
harta berlimpah untuk tujuh turunan, namun tidak mengetahui dimanakah ia
 menyimpannya, bahkan tak pernah mengingat apakah ia memiliki kekayaan 
sebanyak itu. 
Demikian
 pula halnya dengan sebuah bangsa tanpa sejarah yang benar. Pesona 
gemilang bangsa tersebut di masa lalu bisa jadi tak terbaca oleh 
generasi sesudahnya. Rahasia
 sukses dan tahapan perjuangan yang dulu dirintis oleh para pendahulu 
kita mungkin tak bisa lagi ditelusuri jejaknya. Inilah target 
pengkaburan sejarah bangsa yang dilakukan oleh kaum kuffar, yang saat 
ini produknya masih terus dipelajari dan menjadi acuan bagi pengajaran 
sejarah di sekolah-sekolah. Walhasil, generasi masa kini yang menelan 
sejarah keliru tersebut tidak lagi memiliki kebanggaan sekaligus panutan
 yang benar, hingga akhirnya menjadi generasi ompong yang tidak punya 
nyali untuk memperjuangkan sesuatu yang hakiki.
Ir
 Moh. Topan mencontohkan mengenai penetapan awal masuknya Islam ke 
Indonesia. Teori pertama yang berasal dari Snouck Horgrounye 
menyimpulkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 melalui 
pedagang Gujarat. Teori kedua menyatakan bahwa Islam datang pada abad 
yang sama, namun dibawa oleh orang Persia dengan alasan bahwa ada 
kesamaan kultur peringatan 10 Muharam. Kedua teori ini yang dipakai 
dalam penulisan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Padahal, Gujarat 
dan Persia adalah berpaham Syi’ah, sementara Islam pertama kali masuk di
 Samudera Pasai yang berpaham Ahlus sunnah wal jama’ah. Teori ketiga 
yang dikemukakan Ibnu Batutah justru tidak populer, dimana Islam datang 
pada abad ke-7, didukung fakta adanya perkampungan Arab Islam di 
Sumatera serta pernikahan yang telah terjadi dengan warga setempat. Hal 
ini menunjukkan upaya De-Islamisasi (mendahulukan yang tidak bersimbol 
Islam). Pembuat sejarah berupaya menanamkan bahwa yang mewarnai 
peradaban Indonesia adalah Hindu – Budha, padahal dari waktu awal 
masuknya hampir bersamaan (sama-sama abad ke-7). Dengan mengeset sejarah
 masuknya Hindu – Budha pada abad ke-7 dan Islam baru masuk 6 abad 
kemudian (abad ke-13) menunjukkan upaya pengkaburan sejarah untuk 
meminimalisasi peran Islam dalam sejarah Indonesia.
Pemateri
 pertama juga menunjukkan upaya pemusnahan data sejarah yang dilakukan 
oleh penjajah. Aksi pembakaran 70 jilid hikayat dan karya intelektual 
ulama di Riau hingga Kelantan dituliskan oleh Abdullah bin Abdul Kadir 
Al Mansyi. Raffles juga merampas 300 judul hikayat karya para ulama saat
 itu. Atas intruksi Kardinal Gemenis, Portugis dan Spanyol juga 
melakukan pembakaran atas karya klasik umat Islam. Dengan pemusnahan 
data sejarah ini, para penjajah seakan melenyapkan ingatan bangsa 
jajahannya dan menggantinya dengan ingatan palsu yang dibuatnya sendiri 
sesuai dengan keinginannya.
Pemutarbalikan
 sejarah juga dilakukan dengan banyak cara. Diantaranya pembunuhan 
karakter, yang bisa kita lihat dengan jelas pada kasus Pangeran 
Diponegoro. Dalam buku sejarah, perjuangan Diponegoro dituliskan sebagai
 pemberontakan (konotasi negatif) dimana motivasinya adalah lantaran 
makam leluhurnya terkena proyek gusuran jalan raya. Cara lain adalah 
dengan pengalihan (penyelewengan) tujuan, seperti kita baca dalam 
penulisan sejarah tentang Kartini. Perjuangan Kartini digambarkan 
sebagai upaya penyamarataan derajat antara pria dan wanita (emansipasi).
 Upaya R.A. Kartini untuk mengentaskan wanita dari jahiliyah kepada 
Islam, serta upaya beliau mengkaji tafsir Al-Qur’an, mengkritik 
kebebasan wanita barat dsb, justru tidak pernah diangkat, seakan-akan 
perjuangan beliau tanpa ruh Islam sama sekali.
Dipilihnya
 Budi Utomo (20 Mei 1908) sebagai tonggak kebangkitan Indonesia dan 
bukan Sarikat Islam yang berdiri lebih awal (16 Oktober 1905) juga 
merupakan bagian dari desain sejarah yang dikehendaki oleh penjajah. 
Selain lebih awal tahun berdirinya, Sarikat Islam yang non-cooperative 
(tidak mau bekerja sama dengan penjajah) juga memiliki keanggotaan yang 
jauh lebih luas dengan 18 cabang di seluruh Indonesia yang anggotanya 
telah mencapai 2 juta orang lebih di tahun 1919. Namun politisasi 
sejarah telah membuat peran Sarikat Islam dikalahkan, yang berarti juga 
meminggirkan peran Islam dalam proses sejarah kebangkitan bangsa ini.
Diakhir
 paparannya, pembicara pertama mengakui bahwa Hizbut Tahrir adalah yang 
pertama dan satu-satunya diantara sekian banyak harakah dakwah yang 
peduli pada sejarah Indonesia dan yang berusaha meluruskan upaya 
pembelokan sejarah yang sengaja dilakukan oleh pihak barat.
Pembodohan Sistematis terhadap Umat
Mas’ud
 Sujadi, SE, GM Koperasi Kilang Mandiri PT Pertamina Balikpapan, yang 
menjadi pembicara kedua menyoroti fakta riil bangsa ini dalam kurun 100 
tahun yang terus menunggu kebangkitannya. Berbagai pembodohan yang 
dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya dikupas tuntas dan 
menelanjangi kebusukan para pemimpin negara ini yang tak henti-hentinya 
berkoar-koar mendengungkan kebangkitan sementara rakyatnya sedang 
tertatih menuju kebangkrutan.
Penghematan
 anggaran 25 triliun dari subsidi BBM yang katanya banyak menguntungkan 
orang kaya, sehingga selayaknya subsidi bagi orang kaya dihapuskan. 
Padahal mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang menikmati 
subsidi itu baik secara langsung (dengan memakai BBM) ataupun tidak 
langsung (melalui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga kebutuhan 
pokok) merupakan pihak yang paling banyak dirugikan. Inflasi dalam 
triwulan pertama saja sudah melebihi 4%. Daya beli masyarakat dipastikan
 akan makin turun. Sebaliknya, subsidi yang jelas hanya ditujukan bagi 
orang kaya (konglomerat) saja dalam bentuk bantuan dana likuiditas untuk
 perbankan justru dipertahankan. Padahal, negaralah yang harus membayar 
trilyunan bunganya dari pos anggaran yang ada.
Contoh
 lain adalah penyajian angka pendapatan perkapita yang sangat 
menyesatkan. Angka pendapatan rata-rata seolah-olah mencerminkan 
kemakmuran yang makin baik, padahal terjadi ketimpangan yang sangat jauh
 antara mereka yang berpendapatan ekstra lebih dengan mereka yang 
berpendapatan minim. Kekayaan para konglomerat cenderung naik tiap tahun
 secara fantastik, tercermin dari naiknya kriteria jumlah kekayaan pada 
daftar rangking orang terkaya di dunia. Sementara fakir miskin cenderung
 memiliki penghasilan yang tetap, padahal harga kebutuhan hidup 
cenderung makin naik. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, 
dan nilai rataan kedua golongan ini menghasilkan angka semu pertumbuhan 
pendapatan yang sepintas terlihat besar.
Pembodohan
 lain nampak jelas pada upaya meredam gejolak kenaikan harga BBM melalui
 BLT (bantuan langsung tunai). Standard pemberian BLT sangat meragukan. 
Orang miskin yang terkena dampak BBM, termasuk orang miskin baru, 
jumlahnya mencapai hampir separuh dari penduduk negeri. Sementara BLT 
hanya diberikan pada kurang dari 10% penduduk dengan mengacu pada data 
yang lama. Di sisi lain, cost yang ditanggung rakyat jumlahnya jauh 
lebih besar dari apa yang diterima melalui BLT. Upaya ini jelas seperti 
menggarami air laut, tidak berdampak signifikan dan sia-sia saja.
Wajarlah
 dengan berbagai pembodohan seperti ini, kebangkitan tak jua datang 
meskipun diperingati (secara seremonial) setiap tahunnya. Rakyat makin 
terpuruk dan tak berdaya dalam cengkeraman kapitalisme global yang 
menjajah di semua lini.
Di
 akhir paparannya, pembicara kedua mendukung upaya Hizbut Tahrir untuk 
merealisasikan penyatuan umat Islam sedunia. Suatu hal yang sangat 
mungkin dilakukan, sebagaimana masyarakat Uni Eropa bisa menyatukan mata
 uang mereka. Asalkan ada komitmen yang kuat, bukan mustahil konsep 
khilafah yang ditawarkan Hizbut Tahrir akan segera menjadi kenyataan.
Meraih Kebangkitan Hakiki
Pembicara
 ketiga, Ir Muklas, menanggapi pertanyaan sebagian besar peserta diskusi
 yang kebanyakan berlatar belakang guru yang risau dengan kenyataan 
sistem pembelajaran di sekolah. Apa yang mereka yakini kebenarannya, 
termasuk setelah mengikuti diskusi panel ini, berbeda dengan materi yang
 harus mereka sampaikan berdasarkan kurikulum, terkadang berbenturan dan
 menimbulkan kebingungan.
Ir.
 Muklas mencontohkan, di pelajaran pertama seorang siswa belajar agama 
Islam, dan diajarkan mengenai kebenaran Islam (sesungguhnya agama disisi
 Alloh SWT hanyalah Islam). Namun di pelajaran kedua ketika belajar 
PPKN, diajarkan bahwa semua agama benar. Paradoks ini memang membuat 
siswa memiliki pemahaman yang ambigu, namun demikianlah kenyataannya 
dalam sistem yang berlaku sekarang.
Ir.
 Muklas juga mengulas fakta keterpurukan ekonomi. Saat harga minyak 
melambung, harusnya Indonesia diuntungkan. Namun pada kenyataannya 
justru negara ini dibuat kelimpungan, sementara investor asing menari 
kegirangan. Ujung-ujungnya, alam semesta yang tidak dikelola berdasarkan
 aturan Alloh SWT menjadi penyebab kekacauan yang terjadi.
Resep
 jitu yang beliau tawarkan adalah dengan mengubah sistem jahiliyah yang 
merusak dan menggantinya dengan sistem Islam yang memberi kehidupan. 
Dicontohkan sebuah rumah yang atapnya bocor dan kemasukan air hujan. 
Meskipun lantai dibersihkan / dipel, ember penampung disediakan 
disana-sini, namun selama atap yang bocor tidak diperbaiki maka 
selamanya rumah akan kemasukan air hujan. Demikian pula bangsa ini. 
Tambal sulam disana sini tidak akan membawa bangsa ini dari keterpurukan
 menuju kebangkitan, selama sistem yang menyebabkan kerusakan tidak 
segera diganti.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar