Minggu, 13 April 2014

Filled Under:

Rekayasa Sejarah dan Motivasi untuk Membendung Kebangkitan Umat Islam

Ahad pagi, 18 Mei 2008, sekitar 350 undangan memadati ballroom Hotel Bintang, Balikpapan. Mereka yang terdiri dari para perwakilan guru dan utusan sekolah tingkat SLTP dan SLTA se-Balikpapan, perwakilan serikat pekerja, tokoh masyarakat dan alim ulama, menghadiri acara Diskusi Panel yang digelar oleh HTI Balikpapan dalam rangka momentum seabad kebangkitan nasional. 

Forum ini menghadirkan Mas’ud Sujadi, SE – pakar ekonomi Kaltim – sebagai pembicara pertama, Ir. Moh. Topan – pengamat sejarah – sebagai pembicara kedua, dan Ir. Muklas dari HTI Balikpapan sebagai pembicara ketiga. Sebagai panelis adalah H. Mukhtar dari perwakilan pengusaha Balikpapan, H. Sugiyanto selaku pimpinan sebuah institusi pendidikan tinggi swasta di Balikpapan mewakili kalangan akademisi dan Ir. Tri Budi Lestari yang merupakan IT Manager dari salah satu perusahaan migas terbesar di Indonesia.

Pengkaburan Sejarah Dan Marginalisasi Islam

Sejarah itu ibarat ingatan, apa jadinya manusia tanpa ingatan ? Statement kritis yang dikutip dari Ahmad Mansyur Suryanegara, salah seorang pakar sejarah Indonesia, mengawali sesi pertama diskusi yang diisi dengan kajian kritis atas sejarah kebangkitan Indonesia, yang menampilkan Ir Moh Topan, pengamat sekaligus peneliti sejarah. Manusia tanpa ingatan yang benar akan kebingungan dengan masa lalunya dan kehilangan potensi besar yang mungkin dimilikinya. Ibarat sesosok manusia yang memendam harta berlimpah untuk tujuh turunan, namun tidak mengetahui dimanakah ia menyimpannya, bahkan tak pernah mengingat apakah ia memiliki kekayaan sebanyak itu. 

Demikian pula halnya dengan sebuah bangsa tanpa sejarah yang benar. Pesona gemilang bangsa tersebut di masa lalu bisa jadi tak terbaca oleh generasi sesudahnya. Rahasia sukses dan tahapan perjuangan yang dulu dirintis oleh para pendahulu kita mungkin tak bisa lagi ditelusuri jejaknya. Inilah target pengkaburan sejarah bangsa yang dilakukan oleh kaum kuffar, yang saat ini produknya masih terus dipelajari dan menjadi acuan bagi pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Walhasil, generasi masa kini yang menelan sejarah keliru tersebut tidak lagi memiliki kebanggaan sekaligus panutan yang benar, hingga akhirnya menjadi generasi ompong yang tidak punya nyali untuk memperjuangkan sesuatu yang hakiki.

Ir Moh. Topan mencontohkan mengenai penetapan awal masuknya Islam ke Indonesia. Teori pertama yang berasal dari Snouck Horgrounye menyimpulkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang Gujarat. Teori kedua menyatakan bahwa Islam datang pada abad yang sama, namun dibawa oleh orang Persia dengan alasan bahwa ada kesamaan kultur peringatan 10 Muharam. Kedua teori ini yang dipakai dalam penulisan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Padahal, Gujarat dan Persia adalah berpaham Syi’ah, sementara Islam pertama kali masuk di Samudera Pasai yang berpaham Ahlus sunnah wal jama’ah. Teori ketiga yang dikemukakan Ibnu Batutah justru tidak populer, dimana Islam datang pada abad ke-7, didukung fakta adanya perkampungan Arab Islam di Sumatera serta pernikahan yang telah terjadi dengan warga setempat. Hal ini menunjukkan upaya De-Islamisasi (mendahulukan yang tidak bersimbol Islam). Pembuat sejarah berupaya menanamkan bahwa yang mewarnai peradaban Indonesia adalah Hindu – Budha, padahal dari waktu awal masuknya hampir bersamaan (sama-sama abad ke-7). Dengan mengeset sejarah masuknya Hindu – Budha pada abad ke-7 dan Islam baru masuk 6 abad kemudian (abad ke-13) menunjukkan upaya pengkaburan sejarah untuk meminimalisasi peran Islam dalam sejarah Indonesia.

Pemateri pertama juga menunjukkan upaya pemusnahan data sejarah yang dilakukan oleh penjajah. Aksi pembakaran 70 jilid hikayat dan karya intelektual ulama di Riau hingga Kelantan dituliskan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Al Mansyi. Raffles juga merampas 300 judul hikayat karya para ulama saat itu. Atas intruksi Kardinal Gemenis, Portugis dan Spanyol juga melakukan pembakaran atas karya klasik umat Islam. Dengan pemusnahan data sejarah ini, para penjajah seakan melenyapkan ingatan bangsa jajahannya dan menggantinya dengan ingatan palsu yang dibuatnya sendiri sesuai dengan keinginannya.

Pemutarbalikan sejarah juga dilakukan dengan banyak cara. Diantaranya pembunuhan karakter, yang bisa kita lihat dengan jelas pada kasus Pangeran Diponegoro. Dalam buku sejarah, perjuangan Diponegoro dituliskan sebagai pemberontakan (konotasi negatif) dimana motivasinya adalah lantaran makam leluhurnya terkena proyek gusuran jalan raya. Cara lain adalah dengan pengalihan (penyelewengan) tujuan, seperti kita baca dalam penulisan sejarah tentang Kartini. Perjuangan Kartini digambarkan sebagai upaya penyamarataan derajat antara pria dan wanita (emansipasi). Upaya R.A. Kartini untuk mengentaskan wanita dari jahiliyah kepada Islam, serta upaya beliau mengkaji tafsir Al-Qur’an, mengkritik kebebasan wanita barat dsb, justru tidak pernah diangkat, seakan-akan perjuangan beliau tanpa ruh Islam sama sekali.

Dipilihnya Budi Utomo (20 Mei 1908) sebagai tonggak kebangkitan Indonesia dan bukan Sarikat Islam yang berdiri lebih awal (16 Oktober 1905) juga merupakan bagian dari desain sejarah yang dikehendaki oleh penjajah. Selain lebih awal tahun berdirinya, Sarikat Islam yang non-cooperative (tidak mau bekerja sama dengan penjajah) juga memiliki keanggotaan yang jauh lebih luas dengan 18 cabang di seluruh Indonesia yang anggotanya telah mencapai 2 juta orang lebih di tahun 1919. Namun politisasi sejarah telah membuat peran Sarikat Islam dikalahkan, yang berarti juga meminggirkan peran Islam dalam proses sejarah kebangkitan bangsa ini.

Diakhir paparannya, pembicara pertama mengakui bahwa Hizbut Tahrir adalah yang pertama dan satu-satunya diantara sekian banyak harakah dakwah yang peduli pada sejarah Indonesia dan yang berusaha meluruskan upaya pembelokan sejarah yang sengaja dilakukan oleh pihak barat.

Pembodohan Sistematis terhadap Umat

Mas’ud Sujadi, SE, GM Koperasi Kilang Mandiri PT Pertamina Balikpapan, yang menjadi pembicara kedua menyoroti fakta riil bangsa ini dalam kurun 100 tahun yang terus menunggu kebangkitannya. Berbagai pembodohan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya dikupas tuntas dan menelanjangi kebusukan para pemimpin negara ini yang tak henti-hentinya berkoar-koar mendengungkan kebangkitan sementara rakyatnya sedang tertatih menuju kebangkrutan.

Penghematan anggaran 25 triliun dari subsidi BBM yang katanya banyak menguntungkan orang kaya, sehingga selayaknya subsidi bagi orang kaya dihapuskan. Padahal mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang menikmati subsidi itu baik secara langsung (dengan memakai BBM) ataupun tidak langsung (melalui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga kebutuhan pokok) merupakan pihak yang paling banyak dirugikan. Inflasi dalam triwulan pertama saja sudah melebihi 4%. Daya beli masyarakat dipastikan akan makin turun. Sebaliknya, subsidi yang jelas hanya ditujukan bagi orang kaya (konglomerat) saja dalam bentuk bantuan dana likuiditas untuk perbankan justru dipertahankan. Padahal, negaralah yang harus membayar trilyunan bunganya dari pos anggaran yang ada.

Contoh lain adalah penyajian angka pendapatan perkapita yang sangat menyesatkan. Angka pendapatan rata-rata seolah-olah mencerminkan kemakmuran yang makin baik, padahal terjadi ketimpangan yang sangat jauh antara mereka yang berpendapatan ekstra lebih dengan mereka yang berpendapatan minim. Kekayaan para konglomerat cenderung naik tiap tahun secara fantastik, tercermin dari naiknya kriteria jumlah kekayaan pada daftar rangking orang terkaya di dunia. Sementara fakir miskin cenderung memiliki penghasilan yang tetap, padahal harga kebutuhan hidup cenderung makin naik. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, dan nilai rataan kedua golongan ini menghasilkan angka semu pertumbuhan pendapatan yang sepintas terlihat besar.

Pembodohan lain nampak jelas pada upaya meredam gejolak kenaikan harga BBM melalui BLT (bantuan langsung tunai). Standard pemberian BLT sangat meragukan. Orang miskin yang terkena dampak BBM, termasuk orang miskin baru, jumlahnya mencapai hampir separuh dari penduduk negeri. Sementara BLT hanya diberikan pada kurang dari 10% penduduk dengan mengacu pada data yang lama. Di sisi lain, cost yang ditanggung rakyat jumlahnya jauh lebih besar dari apa yang diterima melalui BLT. Upaya ini jelas seperti menggarami air laut, tidak berdampak signifikan dan sia-sia saja.

Wajarlah dengan berbagai pembodohan seperti ini, kebangkitan tak jua datang meskipun diperingati (secara seremonial) setiap tahunnya. Rakyat makin terpuruk dan tak berdaya dalam cengkeraman kapitalisme global yang menjajah di semua lini.

Di akhir paparannya, pembicara kedua mendukung upaya Hizbut Tahrir untuk merealisasikan penyatuan umat Islam sedunia. Suatu hal yang sangat mungkin dilakukan, sebagaimana masyarakat Uni Eropa bisa menyatukan mata uang mereka. Asalkan ada komitmen yang kuat, bukan mustahil konsep khilafah yang ditawarkan Hizbut Tahrir akan segera menjadi kenyataan.

Meraih Kebangkitan Hakiki

Pembicara ketiga, Ir Muklas, menanggapi pertanyaan sebagian besar peserta diskusi yang kebanyakan berlatar belakang guru yang risau dengan kenyataan sistem pembelajaran di sekolah. Apa yang mereka yakini kebenarannya, termasuk setelah mengikuti diskusi panel ini, berbeda dengan materi yang harus mereka sampaikan berdasarkan kurikulum, terkadang berbenturan dan menimbulkan kebingungan.

Ir. Muklas mencontohkan, di pelajaran pertama seorang siswa belajar agama Islam, dan diajarkan mengenai kebenaran Islam (sesungguhnya agama disisi Alloh SWT hanyalah Islam). Namun di pelajaran kedua ketika belajar PPKN, diajarkan bahwa semua agama benar. Paradoks ini memang membuat siswa memiliki pemahaman yang ambigu, namun demikianlah kenyataannya dalam sistem yang berlaku sekarang.

Ir. Muklas juga mengulas fakta keterpurukan ekonomi. Saat harga minyak melambung, harusnya Indonesia diuntungkan. Namun pada kenyataannya justru negara ini dibuat kelimpungan, sementara investor asing menari kegirangan. Ujung-ujungnya, alam semesta yang tidak dikelola berdasarkan aturan Alloh SWT menjadi penyebab kekacauan yang terjadi.

Resep jitu yang beliau tawarkan adalah dengan mengubah sistem jahiliyah yang merusak dan menggantinya dengan sistem Islam yang memberi kehidupan. Dicontohkan sebuah rumah yang atapnya bocor dan kemasukan air hujan. Meskipun lantai dibersihkan / dipel, ember penampung disediakan disana-sini, namun selama atap yang bocor tidak diperbaiki maka selamanya rumah akan kemasukan air hujan. Demikian pula bangsa ini. Tambal sulam disana sini tidak akan membawa bangsa ini dari keterpurukan menuju kebangkitan, selama sistem yang menyebabkan kerusakan tidak segera diganti.

Tak ada jalan lain untuk mengubah sistem kufur yang ada saat ini menjadi sistem Islam selain hanya dengan bangkit untuk berdakwah demi melanjutkan kehidupan Islam melalui diterapkannya syariah dan ditegakkannya Daulah. Hanya dengan cara itu umat ini akan bangkit dengan kebangkitan yang hakiki. Karena itu HTI menyerukan kepada segenap elemen masyarakat untuk berjuang dalam jalan dakwah dan mensinergikan kekuatan umat Islam dalam barisan yang kokoh demi terwujudnya izzul islam wal muslimin (/muqi)



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.