Menurut
Snouck, dari dulu hingga zaman yang akan datang, “Isu Islam” akan
menjadi perbincangan yang cukup serius dalam berbagai agenda politik.
Snouck Hurgronje bukan semata ilmuwan yang diminta untuk menyelesaikan
satu masalah semata. Namun, Pemerintah Belanda telah banyak meminta
pertimbangan kepada Snouck untuk memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi Belanda akibat banyaknya pemberontakan yang terjadi di berbagai
daerah. Sebagai mata-mata dan penasihat pemerintah Belanda, ia aktif
bekerja mencari solusi-solusi jitu untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi Belanda. Di daerah manapun di Indonesia, tatkala muncul
benih-benih api perlawanan dan pemberontakan, Snouck pasti akan dikirim
untuk memastikan kembalinya kontrol Belanda atas kaum Muslim. Snouck
juga diminta Pemerintah Belanda untuk mencari solusi jangka panjang
terhadap masalah-masalah Belanda di Indonesia.
Menurut
Snouck, masalah mendasar dalam penaklukan Islam dan umatnya adalah
adanya fakta bahwa umat Islam percaya pada kebutuhan untuk persatuan
negara dalam naungan Khalifah yang mengatur atas semua dari mereka
sesuai dengan hukum syariah. Dalam sebuah surat kepada Goldziher pada
1886, satu tahun setelah perjalanannya ke Makkah, Snouck mengatakan, “…
Saya tidak pernah keberatan dengan unsur-unsur keagamaan dari lembaga
ini [Islam]. Menurut pendapat saya, pengaruh politik ini yang
menyedihkan. Sebagai orang Belanda, aku merasa sangat perlu
memperingatkan terhadap hal ini.”
Menurut
Snouck, itu adalah sisi politik Islam yang menyebabkan semua masalah
bagi Belanda di Indonesia. Sejatinya Islam telah menjadi motivasi bagi
masyarakat Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda. Namun, menurut
Snouck, sisi politik Islam juga menjadi masalah bagi umat Islam sendiri.
Menurut dia, keyakinan kaum Muslim di Negara Khilafah Islam terhadap
Hukum Islam inilah yang justru membuat mereka mundur. Snouck berpendapat
kesalahan dalam pemahaman terhadap hukum syariahlah yang menyebabkan
kemunduran tersebut. Hukum syariah dipahami sebagai ciptaan umat Islam
pada abad pertengahan. Snouck berpendapat, karena kebanyakan kaum Muslim
mempercayai hal tersebut dan sikap mereka yang tidak ingin menjauhkan
diri dari hukum-hukum ini, maka kaum Muslim terjebak pada pemahaman abad
pertengahan tersebut.
Snouck
juga menyampaikan bahwa kolonialisme benar-benar membawa berkah.
Pasalnya, dengan kolonialisme umat Islam jadi diperkenalkan dengan
ide-ide modern ‘pencerahan’, seperti sekularisme, kebebasan pribadi dan
demokrasi. Snouck mengatakan, “Sekitar 230.000.000 orang Islam yang
hidup di bawah aturan non-Muslim [sekular] sangat sering tidak memiliki
kesadaran sejarah yang cukup untuk dapat mengenali bahwa perubahan dalam
pemerintahan, berarti ada ‘perbaikan’ bagi mereka. Mereka melihat
sejarah politik Islam melalui legenda. Ketika legenda ini memberikan
alasan untuk komplain, mereka biasanya percaya bahwa semua
komplain-komplain itu akan diselesaikan oleh Amirul Mukminin yang
mengatur urusan mereka.”
Apa
yang dibayangkan Snouck sebagai solusi akhir untuk “Isu Islam” adalah
perubahan Islam itu sendiri. Snouck ingin Islam menjadi seperti agama
Kristen; sebuah agama yang hanya mengurusi ibadah ritual semata,
sedangkan urusan lainnya, seperti undang-undang dan politik, diserahkan
seluruhnya kepada manusia. Snouck mengatakan, “Satu-satunya solusi
yang benar untuk masalah Islam adalah terletak pada asimilasi subyek
Islam dari Belanda dengan Belanda. Jika kita bisa berhasil dalam hal
ini, tidak akan ada sebuah ‘Isu Islam’ lagi. Maka akan ada kesatuan
budaya antara subyek dari Ratu Belanda yang tinggal di pantai Laut Utara
dan mereka yang tinggal di Insulinde1. Kondisi ini akan membuat perbedaan dalam agama mereka tanpa ada kepentingan politik atau sosial.”
Snouck
menyebut, inilah tujuan dari “aneksasi mental” umat Islam. Jika umat
Islam Indonesia percaya pada ideologi Barat sebagaimana Barat
mempercayai ideologi tersebut, maka umat Islam akan merasa satu dengan
Barat. Kondisi ini memudahkan bagi umat Islam untuk dikuasai Barat,
meskipun ritual keagamaan mereka mungkin berbeda.
Oleh
karena itu, Snouck menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk
membedakan antara apa yang disebut “inti sebenarnya dogma Islam” seperti
berdoa, haji, keyakinan akan Hari Kiamat, dan sebagainya; dengan
“segala sesuatu yang bersifat politis atau akhirnya bisa menjadi
politik”. “Dogma Islam” atau oleh Snouck biasa disebut “agama murni”,
harus dibiarkan sepenuhnya bebas.2 Namun,
pemerintah harus bertindak tegas terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan Islam politik seperti: Kekhalifahan, Perang Suci dan
Syariah. Persoalan-persoalan tersebut tidak boleh dibicarakan lagi,
kapan pun dan dimana pun.
Snouck
percaya bahwa saran yang dia sampaikan tujuannya adalah tujuan yang
realistis. Ia pun membuat penjelasan dalam sebuah surat kepada temannya,
Goldziher, “Saya yakin bahwa di Indonesia, kompromi antara Islam dan humanisme adalah mungkin.”
Dia melihat dan menyadari bahwa kompromi ini sebagai tugas nyata seorang orientalis. “Perkembangan Dunia Islam ke arah budaya kita, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari karya hidup saya,” tegas Snouck. [Selesai]
Idries de Vries adalah aktifis dakwah Islam asal Belanda dan kontributor tamu pada situs newcivilization.com
Catatan kaki:
1 Sebutan untuk Indonesia oleh Belanda pada zaman dulu.
2 Selama
Perang Dunia I Snouck memiliki sedikit perubahan hati. Pada saat itu ia
mendesak pemerintah Belanda untuk tidak membiarkan umat Islam Indonesia
untuk pergi haji, karena ia percaya kontak antara Muslim Indonesia dan
Negara Islam harus benar-benar rusak selama masa perang.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar