Membicarakan KH Abdul Wahab 
Hasbullah seharusnya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan beliau 
dalam penegakan kembali Khilafah yang dihancurkan oleh Mustafa Kemal 
Attaharturk pada tahun 1924 dan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). 
Karel A. Steenbrink menulis,
 pada tahun 1924 Kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan 
Mustafa Kemal Attaturk yang sekular dengan menamakan pemerintahannya 
Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama yang dia
 lakukan adalah sekularisasi, yakni penghapusan Islam sebagai agama 
resmi negara, penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan
 Kekhalifahan, menyusul digantinya syariah Islam dengan hukum positif 
ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya
 “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus 
menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa 
Turki. Namun, ini tidak berlangsung lama, karena protes datang dari 
berbagai ulama di dalam maupun luar negeri.1
Dr. Deliar Noer menulis 
bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada 
Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu 
Kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam 
masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari 
penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang 
Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, 
dibuatlah sebuah komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 
Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama 
Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. 
Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di 
Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim
 sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat 
Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan 
tradisi.2
Namun, kongres di Kairo itu 
ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada 
perkembangan di Hijaz saat Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein 
dari Makkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu
 mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai 
dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid 
al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, 
tetapi sebagian juga ditolak. Namun, dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, 
baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.3
Ibnu Sa’ud selanjutnya 
berinisiatif mengundang kaum Muslim di Indonesia untuk menghadiri 
Kongres Khilafah di Makkah. Atas undangan ini umat Islam membicarakan di
 Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di 
Kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). 
Di dalam Komite Khilafah 
ini, dalam perkembangannya ternyata muncul ‘friksi’ antara ‘golongan 
pembaru Islam’ dan ‘kalangan tradisionalis’. Munculnya ‘friksi’ 
diakibatkan oleh adanya ‘perbedaan pandangan’ terkait masalah-masalah 
ibadah. Hal ini tampak dari kedua Kongres Al-Islam di atas yang 
didominasi oleh golongan pembaru Islam. Bahkan sebelum kongres di 
Bandung diadakan satu rapat terlebih dulu antara organisasi-organisasi 
‘pembaru’ di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) dan memutuskan 
untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas 
Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah, meninggalkan KH Abdul Wahab 
Hasbullah untuk mengikuti kongres.
Pada Kongres Al-Islam di 
Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH 
Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar 
kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti
 dalail al-khairat dan ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. 
Karena terdapat ‘friksi’ 
dalam masalah inilah maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam 
Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul 
Wahab Hasbullah ini, sehingga beliau dan tiga orang pendukungnya keluar 
dari Komite Khilafah tersebut di atas. 
KH Wahab selanjutnya 
mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau
 kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih 
banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah kehancuran 
Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka 
bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk 
Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu 
rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat itu memutuskan untuk 
tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] 
sebagai pokok pembicaran utama.4 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1  Lihat: Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988,II/733.
2  Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925.
3  Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, hlm. 242-243.
4  Deliar Noer, Ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hlm. 9.
Sumber

0 komentar:
Posting Komentar