Pangeran
Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ia tulis sendiri di Penjara
Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi untuk agama,
mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat agama. Moyangnya
itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari pengaruh kraton Yogyakarta,
ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.1 Pemuda
yang bernama Bendoro Raden Mas Ontowiryo sewaktu kecil ini mendapat
gemblengan langsung dari neneknya (permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo) sehingga minat belajar Islamnya tinggi.2 Di
tempat ini, selain memperdalam pengetahuan-nya tentang Islam, ia juga
secara tekun melaksanakan ketentuan-ketentuan syariah Islam.
Berbicara tentang
Pangeran Diponegoro pasti kita akan membahas ‘Perang Jawa’. Terkait
Perang Jawa, menurut Carey (dosen di Trinity College, Inggris), ada
faktor kembar yang mendorong Pangeran Diponegoro—seorang adiwangsa
Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan
ambisi politik apapun—mendeklarasikan “perang suci” itu melawan Belanda,
yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan
berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda
di Yogyakarta. Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada
Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya, “Karemannya mangan minum/lan anjrah cara Welanda & apos (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda).”3
Oleh karena itu,
dalam memimpin “Perang Jawa” Diponegoro senantiasa diwarnai oleh ajaran
Islam dan bahkan berusaha agar syariah Islam itu tegak di dalam daerah
kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan
kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain
berbunyi: “Surat ini datangnya dari saya, Kanjeng Gusti Pangeran
Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat,
kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah
minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik
laki-laki maupun perempun, besar atau kecil, tidak usah kami sebutkan
satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari.
Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan
senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang
berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami
penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).4
Kiai Mojo adalah
seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang
penasihat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam
dalam perjuangan yang dia pimpin. Selain penasihat Diponegoro, ia juga
memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum Perang
Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro. Karena itu,
tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya, Kiai GazaIi, dan para
santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Langkah yang
ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh
rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial
Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu
antara lain berbunyi, “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila
saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan
paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya, datanglah segera
dan bersiap-siap untuk bertempur.”
Seruan ini
disebarluaskan di seluruh Tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah, dan
mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Daerah
Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!5
Seruan ini
disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo.
Ia datang bersama barisan santrinya, menggabungkan diri dengan pasukan
Diponegoro. Ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa
kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya diikuti oleh para
ulama dan santri-santri dari Kedu di bawah pimpinan Pangeran Abubakar;
juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. ‘Perang Sabil’ menentang
penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh Tanah
Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.
Dilihat dari para
pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam
memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk
menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya
perang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim
yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19
saat daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal
ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat
mengandalkan dukungan kuat dari rakyat. Para penguasa kolonial Belanda
terus-menerus berkonfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia. Hal ini
mendorong mereka untuk mempersatu-kan diri dengan para kiai serta
mengibarkan bendera Islam; sultan-sultan itu dapat mengobarkan
pemberontakan umum.6
Pangeran
Diponegoro, dengan tipudaya licik dari Belanda, akhirnya bisa
ditaklukkan dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal di sana.
Namun demikian, tampak bahwa Perang Jawa yang dahsyat dan penuh
patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan
mendirikan negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah
yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang
Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi
dengan menegakkan syariah Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro
sampai pada saat perundingan dengan Belanda, serta tujuan yang akan
dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya
telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam
di Tanah Jawa.7 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
2 http://yudhitc.wordpress.com/2008/10/27/biografi-lengkap-pangeran-diponegoro/
3 Ibid.
4 Abdul
Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan
Penjajah Kristen Portugis dan Belanda), Yayasan Pengkajian Islam Madinah
Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar