“Sesuai
dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan
batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak
zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam
keadaan merdeka. Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan
Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan
sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu
bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul
Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum
moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah
kekuasaan.
Kami
juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari
semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi
bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT,
penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang
Mulialah penolong kami. Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang
Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang
kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya
dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di
seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam. Tambahan pula
kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan,
bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera
negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera
manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi
kami di laut dan di darat. Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat
kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat
sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus
kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah
memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk
selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan
menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga
Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan
Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan
keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita.
Semoga
harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia
Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa
Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul
Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri
Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat
Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi
dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese
Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42,
Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat diatas sebagai berikut :
- Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
- Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
- Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
- Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari
isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah
bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak
terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di
Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.
Janji
Allah SWT akan datangnya nubuah berdirinya ke-Khalifahan jilid 2 yang
sesuai dengan manhaj kenabian adalah pasti, dan Nusantara dahulu adalah
bagian resmi ke-Khalifahan Islam maka sudah sewajarnya dan seharusnya
kita ummat Islam di Nusantara menyongsong hal tersebut. Ibarat kita
mencari sesuatu yang hilang dan susah di cari jejaknya, kini sudah
terkuak satu demi satu untuk semakin meyakinkan bahwa dakwah untuk
tegaknya syariah dalam bingkai khilafah adalah suatu kenyataan dan
kebenaran mutlak yang harus diyakini. Sambutlah Khilafah. Sambulah
Khilafah.( A. Yusuf Pulungan, ST, MSc)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar