Snouck
 adalah teman dekat orientalis terkenal lain pada masanya, Ignac 
Goldziher (1850-1921). Goldziher adalah keturunan Yahudi Hungaria yang 
juga belajar di Leiden. Pada 1873 Goldziher diberi beasiswa oleh 
pemerintah Hungaria untuk melakukan perjalanan melalui Syam (sekarang 
Palestina, Syria, Libanon dan Yordania) dan Mesir. Hal ini telah 
menjadikan Goldziher sebagai non-Muslim pertama yang mempelajari Islam 
di Al-Azhar Kairo. Goldziher akhirnya menulis sebuah buku tentang 
pengalamannya yang membuat dirinya seorang orientalis terkenal di dunia.
Kondisi
 ini membuat Snouck bercita-cita untuk mencapai posisi yang sama dalam 
bidang orientalisme. Pada 1884 ia mendapat kesempatan. Konsul Belanda di
 Jeddah, Arab Saudi [pada waktu itu masih bagian dari Negara Islam 
Utsmaniyah] mengatur beasiswa senilai 1.500 gulden untuk Snouck melalui 
Pemerintah Belanda1. Dengan uang ini, Snouck bisa melakukan perjalanan 
ke Makkah. Satu-satunya masalah adalah bahwa Snouck bukanlah seorang 
Muslim. Padahal Muslim adalah syarat bagi siapa pun yang ingin melakukan
 perjalanan ke Kota Suci. Oleh karena itu, Snouck tatkala sampai di 
Jeddah dia tinggal di kantor konsulat untuk beberapa waktu. Selanjutnya 
pada tanggal 1 Januari 1885 ia pindah ke rumah seorang bangsawan 
Indonesia di Jeddah, Raden Haji Aboe Bakar Djajadiningrat dari 
Pandeglang.2 Sejak saat itu dan seterusnya Snouck menggunakan nama Abdul
 Ghafar. Selanjutnya ia menampilkan dirinya sebagai seorang mualaf pada 5
 Januari. Sebagai ‘pembuktian’ ia menyunat dirinya sendiri menurut 
tradisi Islam. Pada 16 Januari 1885,3 Snouck dikunjungi oleh Hakim (qadhi)
 dari Jeddah, Ismail Agha, dan dua perwakilan dari gubernur (wali) untuk
 Hijaz dari Khilafah Utsmani di Istanbul. Ia menyatakan masuk Islam 
(bersyahadat) di hadapan mereka. Pada hari berikutnya Snouck diberitahu 
bahwa Gubernur Hijaz mengundang dirinya untuk perjalanan ke Makkah.
Snouck
 sendiri mengakui bahwa konversi (menjadi mualaf) ke Islam tidak tulus. 
Ia hanya menganggap sebagai hal yang perlu dilakukan untuk mencapai 
tujuannya agar dapat melakukan perjalanan ke Makkah. Dalam sebuah surat 
kepada temannya Goldziher, yang ditulis pada hari dia bertobat, dia 
berkata, “Saya tidak ingin 
menyembunyikan dari Anda bahwa mungkin, atau bahkan sangat mungkin, 
bahwa saya akan melakukan perjalanan ke Makkah [...]. Tentu saja, jika 
seseorang tidak berpura-pura menjadi Muslim [secara harfiah: tidak Izhar
 Al-Islam], hal ini tidak mungkin.”
Snouck
 sukses menyamar sebagai Muslim. Dia menerima surat selama tinggal di 
Makkah yang ditujukan kepada “Abdul Ghafar”, dan di dalamnya Snouck 
secara baik disebut “saudara dalam Nama Allah”. Snouck juga diberitahu 
oleh surat, bahwa para ulama Makkah telah menerima dia sebagai seorang 
Muslim dan bahwa mereka tidak ragu dalam pertobatannya. Maka, ia akan 
diizinkan untuk bergabung dalam lingkaran studi mereka.
Namun,
 setelah hanya lima setengah bulan, dan hanya beberapa hari sebelum 
dimulainya ibadah haji, Snouck harus melarikan diri dari Makkah karena 
Kedutaan Prancis telah menyebar rumor tentang dirinya menjadi seorang 
pencuri artefak kuno. Oleh karena itu, hanya beberapa hari sebelum 
Snouck bisa menyaksikan apa yang ingin disaksikan, dia meninggalkan 
Makkah.4
Kembali
 ke Belanda, Snouck mulai mengerjakan sebuah buku tentang pengalamannya 
di Kota Kudus/Makkah. Hal itu merupakan hasil dari catatan perjalanannya
 sendiri dari Makkah yang terbatas. Temannya, Aboe Bakar Raden, membantu
 pengiriman surat kepada Snouck sebagai informasi tambahan. Ini 
merupakan cara Snouck mampu menerbitkan buku “Mecca
 (Mekkah)” pada tahun 1888. Buku ini memang membuat dirinya terkenal di 
dunia sebagai seorang orientalis. Karena itu, baik Universitas Leiden 
dan University of Cambridge menawarkan kursi fakultas Bahasa Arab dan 
Departemen Islam untuk mereka. Namun, Snouck menolak dengan cara yang 
baik, karena ia ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang Islam, 
kali ini di koloni Indonesia Belanda. Untuk tujuan ini Snouck lagi-lagi 
meninggalkan Belanda, pada 1 April 1889, untuk melakukan perjalanan ke 
Indonesia. Di Indonesia ia menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim. 
Ia memperkenalkan diri dengan nama Abdul Ghafar kepada penduduk 
setempat. Ia melakukan perjalanan di seluruh Indonesia disertai dengan 
orang-orang Indonesia yang ia temui selama di Makkah. 
Raden
 Haji Hasan Moestafa dari Garut, misalnya, menyertai Snouck dalam 
perjalanan pertamanya melalui Barat dan Jawa Tengah. Ia meninggalkan 
Batavia (Jakarta) pada tanggal 15 Juli. Snouck mengunjungi Sukabumi, 
Bandung, Garut, Tjalintjing, sekali lagi Garut, Tjeribon, Mangunredja, 
Ciamis, sekali lagi Tjeribon, Tegal, Pekalongan, Wiradesa, Bumiadjo, 
Banyumas, Purbollinggo, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Garut lagi dan 
Tjiandjur. Pada Januari 1890, akhirnya, Snouck kembali ke Batavia. Dalam
 sebuah surat kepada Theodoor Noldeke, bertanggal 12 November 1889, 
Snouck mengatakan tentang perjalanannya: “Selama
 lebih dari tiga bulan saya telah bepergian. Saya telah mengunjungi 
tempat-tempat paling penting dari 26 kota utama, dan berkenalan dengan 
cara yang sangat menarik dari kehidupan Sunda lokal dan Jawa Barat5 
orang-orang, khususnya sisi agama itu, tetapi juga dengan ‘adat’ yang 
begitu dicintai dan dihormati di sini…”
Selama perjalanan, Snouck teratur memberikan kontribusi terhadap Koran Belanda “De Locomotief” (diterbitkan di Indonesia) dan “Nieuwe Rotterdamsche Courant”
 (diterbitkan di Belanda). Dalam artikel itu ia menggambarkan cara hidup
 orang Jawa yang ia saksikan sendiri. Untuk membuat artikel ini Snouck 
menggunakan nama samaran “Toekoe Mansoer” dan “Toekoe Si Gam”.
Setelah
 itu, dari 16 Juli 1891 sampai awal Februari 1892 Snouck tinggal di 
Aceh. Dia, sebagai orang Belanda pertama yang mempelajari bahasa Aceh 
lokal. Pada tahun 1900 ia kemudian menerbitkan sebuah buku tentang 
subjek ini, berjudul: “Studi dalam bahasa Aceh (Atjehsche taalstudiën)”.
 Sekali lagi bersama-sama dengan Raden Haji Hasan Moestafa dari Garut 
Snouck juga bepergian ke pesantren di Aceh untuk mengembangkan wawasan 
tentang pendidikan agama di daerah itu. Atas dasar ini, kemudian 
perjalanan Snouck dipublikasikan lewat buku “Aceh (De Atjehers)”,
 dalam dua volume antara 1893 dan 1894. “Aceh” adalah sebuah buku 
antropologi yang menggambarkan semua aspek kehidupan masyarakat Aceh, 
situasi politik mereka, agama, bahasa mereka, tradisi mereka dan adat 
istiadat, dan sebagainya.[Idries De Vries] [Bersambung]
Catatan kaki:
1 Snouck didanai dalam bentuk hibah dari Pemerintah Belanda melalui Lembaga Linguistik dan Antropologi (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde) melewati jalur wisata.
2 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Raden Aboe Bakar, lihat: “Raden Aboe Bakar; Sebuah Catatan Pengantar Tentang Informan Snouck Hurgronje di Jeddah (1884-1912)” oleh Michael Laffan, dalam “Bijdragen
 tot de Taal-, Land-en Volkenkunde” , volume 155, nomor 4, halaman 
517-542, Leiden, 1999. 
www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/issue/view/673/showToc
3 Menurut P.S. Van Koningsveld. Menurut sumber lain mengatakan tanggal itu adalah 22 Februari 1885.
4 Menurut
 kurator dari sebuah pameran tentang Snouck di Dubai, Elie Domit, Snouck
 telah menikah di Makkah dengan seorang wanita Muslim Ethiopia. Ketika 
ia meninggalkan kota Makkah, ia meninggalkan begitu saja istrinya dalam 
kondisi hamil. Lihat: www.arabnews.com/lifestyle/article199027.ece
5 Sunda dan Jawa Barat adalah suku utama di Pulau Jawa Indonesia.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar