Membicarakan Tuanku Imam Bonjol tak bisa dilepaskan dengan pembahasan Perang Padri. Perang Padri terjadi di kawasan Kerajaan Pagaruyung antara tahun 1803 hingga 1838.1 Perang
 Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang 
perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang 
dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan 
Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), 
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, 
tembakau dan aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan (yang 
menyalahi aturan Islam) dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban 
ibadah agama Islam.2
 
Perang Padri 
merupakan peperangan yang meninggalkan kenangan heroik sekaligus usaha 
penegakkan syariah Islam di Ranah Minang. Pada awalnya, timbulnya 
peperangan ini didasari oleh adanya keinginan para ulama di
 Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariah Islam 
sesuai dengan Manhaj Salaf. Kemudian pemimpin para ulama yang tergabung 
dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) untuk 
mengajak Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah, beserta Kaum Adat 
untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran 
Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum 
Padri dan Kaum Adat. Seiring itu, di beberapa negeri dalam Kerajaan 
Pagaruyung muncul gejolak. Puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri di 
bawah pimpinan Tuanku Pasaman (nantinya bergelar Tuanku Lintau) 
menyerang Kerajaan Pagaruyung, dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. 
Serangan ini menyebabkan Sultan Muning Alamsyah terpaksa menyingkir dan 
melarikan diri dari ibukota kerajaan.3
Suasana 
peperangan ini selanjutnya diperkeruh oleh campur tangan Belanda. Karena
 terdesak dalam peperangan, pada 21 Februari 1821 Kaum Adat meminta 
bantuan Belanda di Padang4,
 dengan kompensasi penyerahan beberapa wilayah darek (pedalaman 
Minangkabau). Perjanjian ini dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti 
Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang 
kemudian diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan 
Belanda dalam perang karena “diundang” oleh Kaum Adat. Campur tangan 
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit 
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
 perintah Residen James du Puy di Padang.5 Serangan
 ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda 
membangun benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen. 
Adapun Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.6 Pada
 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau. Namun, Kaum Padri 
dengan gigih melakukan perlawanan sehingga pada tanggal 16 April 1823 
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.
Perlawanan yang 
dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan 
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui Residen di
 Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh 
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” 
pada tanggal 15 November 1825.7 Hal
 ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Batavia juga kehabisan dana 
dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang 
Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba 
memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, muncul suatu 
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah 
(termasuk daerah Kabupaten Tanah Datar sekarang) yang mewujudkan 
consensus: Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah [al-Quran]).
Dari perjanjian inilah, sejak awal 18338 perang
 berubah menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Padri melawan Belanda.
 Kedua pihak telah bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
 bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan 
muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
 masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Dari fakta-fakta
 sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak 
awal timbulnya Gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan 
tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar adalah satu 
usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan 
syariah Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan 
kaum Padrinya mempunyai tujuan politik yang sama, yaitu berdirinya satu 
negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan 
kata lain, perjuangan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu: berdirinya
 Negara Islam.9 [Gus Uwik]
 
Catatan kaki:
1  Jeanne Cuisinier, (1959), Archives de sociologie des religions, chapter: La guerre des Padri (1803-1838-1845), Centre national de la recherche scientifique.
2  a b Sejarah, Yudhistira Ghalia Indonesia, ISBN 978-979-746-801-9.
3
Sumber
 
0 komentar:
Posting Komentar