Koran-koran
Belanda periode 1850-1930 memperjelas rencana pemerintah Belanda
tentang apa yang akan dilakukan dalam rangka menangani pemberontakan dan
membawa Indonesia kembali di bawah kendali. Sebagai contoh, Belanda
membuat rencana aturan dan undang-undang untuk melarang orang-orang
Indonesia pergi Haji. Koran Het Nieuws van den Dag menulis pada
tahun 1884, “Pada masa lalu, kami memiliki peraturan yang dibuat untuk
membatasi perjalanan haji ke Makkah sebisa mungkin.”
Koran-koran
itu mengacu pada peraturan Haji tahun 1859, di antaranya para calon
jamaah harus memenuhi tuntutan keuangan tertentu; mereka pun harus
melapor kepada konsulat Belanda di Jeddah pada saat kedatangan mereka
sehingga pemerintah Belanda bisa mengawasi mereka. Namun demikian,
keinginan untuk pergi haji tetap kuat di antara orang Indonesia, dan
pengaruh motivasi dari para peziarah yang kembali untuk melawan Belanda
tetap kuat. Laporan dari koran Het Nieuws van Dag pada tahun
1904 menyebutkan: “Tidak butuh waktu lama atas pengaruh perjalanan ke
tempat-tempat yang aneh itu dan apakah itu yang dirasakan menetap sebentar
atau lama di Makkah. Gerakan pan-Islam adalah konsekuensinya. Ada suatu
masa ketika orang-orang memandang berlebihan pengaruh haji ini. Namun
pada hari ini, orang-orang meremehkan mereka (jamaah haji).
Karena mereka adalah seperti bahan bakar, yang menjadi berbahaya ketika
ada seseorang yang menyalakannya. Pemerintah harus mengawasi hal ini.”
Karena Belanda tidak bisa begitu saja melarang haji—yang pasti itu akan menyebabkan pemberontakan massal di Indonesia—sebagian
analis menyarankan pemerintah Belanda untuk memastikan kontrol yang
lebih kuat atas mereka yang pergi haji. Koran Nieuws van den Dag
pada tahun 1884 menerbitkan sebuah opini yang menyarankan pemerintah
Belanda mengirim mata-mata bersama dengan orang-orang yang pergi Haji:
“Bukanlah di masjid, atau di langgar benih-benih kebencian keagamaan dan
fanatisme sedang ditaburkan, benih-benih itu ditaburkan di desa-desa
dan kampung-kampung dan rumah-rumah terpencil dari penduduk pribumi. Itu
adalah tempat dimana ibadah haji membuat permainan liciknya. Penduduk
Indonesia Eropa yang bisa diandalkan, yang berbicara bahasa Java,
Melayu, Soenda atau bahasa Madoera, harus dikirim ke tempat-tempat
(Makkah, Madinah) oleh pemerintah sebagai polisi rahasia.”
Tahun
1885 pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan seorang orientalis
terpentingnya, yakni Christiaan Snouck Hurgronje, ke Makkah untuk
memata-matai umat Islam Indonesia untuk mengikuti nasihat ini.
Begitu
mereka kembali ke Indonesia, pemerintah Belanda berusaha membatasi
pengaruh haji ini. Pada tahun 1889, sebuah opini di surat kabar Algemeen
Handelsblad menyarankan pemerintahan kolonial untuk mengkontrol masjid
dan madrasah sedemikian rupa sehingga pelajaran-pelajaran yang diajarkan
tentang Islam berada di bawah kendali: “Hal ini tidak bisa dipahami.
Mereka melihat kejahatan. Mereka memperingatkan tentang hal itu dari
berbagai sudut. Namun, mereka tetap tumbuh! Ini telah menjadi
sikap pemerintahan kolonial kami selama beberapa tahun terakhir terhadap
ajakan untuk memberontak yang berasal dari pan-Islamisme. Mister Van
den Berg meyakinkan kita bahwa ceramah-ceramah yang dibacakan di
masjid-masjid ‘merupakan ruh paling jahat terhadap kekuasaan Kristen’.
Oleh karena itu, kami mempertimbangkan kontrol yang layak atas ide-ide
yang sedang diajarkan dan yang merusak aturan hukum kita. Hal ini
perlu.”
Rasa
takut dan benci atas Islam dan Negara Islam sedemikian kuatnya sehingga
pemerintah kolonial Belanda mengambil saran seperti yang satu ini, dan
setiap Muslim yang berbicara tentang Khilafah ditangkap dan dijebloskan
ke dalam penjara: “Undang-undang bagi pribumi mengancam setiap pemimpin
agama dengan kerja rodi mulai dari tiga bulan sampai lima tahun, jika
dalam ceramah umum ia mengkritik pemerintah atau menyeru kebencian
terhadapnya, atau memotivasi masyarakat untuk melawan atau memberontak.”
Namun, menurut sebagian analis, langkah ini belum cukup. Dalam koran Het Nieuws van den Dag,
pemerintah disarankan untuk menjadikan pembicaraan tentang Negara Islam
sebagai tindakan pengkhianatan: “Barangsiapa menghidupkan kepada
penduduk pribumi gagasan yang sesat yang ada hubungannya dengan Khalifah
Turki, pada dasarnya melakukan suatu tindakan pengkhianatan terhadap
kekuasaan kami.”
Untuk
jelasnya, hukuman yang ditetapkan untuk jenis pengkhianatan ini adalah
hukuman mati. Jadi saran apakah yang pemerintah Belanda benar-benar
terpanggil, tidak lain membunuh semua orang yang berani berbicara
tentang Khilafah.
“Siapa
saja yang menghidupkan di antara penduduk pribumi gagasan sesat yang
ada hubungannya dengan Khalifah Turki, pada dasarnya melakukan tindakan
pengkhianatan terhadap kekuasaan kami”. Sebuah opini di Koran Het Nieuws van Dag voor Nederlandsch-Indië, tanggal 10 Juni 1915
Apakah yang pemerintah Belanda dan para pemimpinnya inginkan untuk mencapai opini ini agar semua orang jelas melihatnya. Mereka ingin menghentikan setiap kontak antara Negara Islam Khilafah dan melarang ide Khilafah dari pikiran kaum Muslim Indonesia.[]
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar