Ki
Bagus Hadikusumo adalah salah satu tokoh Muhammadiyah penting yang
cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Pria yang lahir pada tanggal 24
November 1890, yang merupakan putra ketiga dari lima bersaudara Raden
Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di
Keraton Yogyakarta ini1 bahkan
memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal
dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin, dengan mengajukan
pendapat bahwa ‘Islam Sebagai Dasar Negara’2 dalam
sidang-sidang di BPUPKI. Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B
Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus
Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan, sehingga berbunyi: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Dari
sini terjadilah perdebatan sengit di antara ke dua kubu. Saking sengit
dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak
melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan
canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah
ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta.
Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi
yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Bahkan
dalam pembahasan UUD terutama Pasal 28 Bab X tentang agama, yang
berbunyi, “(1) Negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut
agamanya masing-masing,” terjadilah perdebatan yang cukup sengit. Ki
Bagus Hadikusumo berulang-ulang meminta kepada pimpinan rapat untuk
menjelaskan arti anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” secara pasti.3 Agar tidak terjadi salah tafsir.
Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kyai Masykur mempertanyakan dengan nada retorika:
…Kalau
dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk
pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang
beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat
dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat
menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?
Ketegangan
semakin memuncak tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan
pendapatnya untuk mempertegas pendapat Kyai Masykur. Ia bahkan sampai
menggebrak meja.
Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan:
Saya
berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan
pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung
ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya
menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam
tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri
di atas agama Islam dan negara akan netral.4
Ulama
besar yang pernah menjadi ketua Majelis Tabligh (1922), ketua Majelis
Tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua
PP Muhammadiyah (1942-1953) ini termasuk seorang tokoh yang memiliki
kecenderungan kuat untuk menginstutisionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus,
pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi,
politis dan juga intelektual. Ini tampak dalam upayanya memperkokoh
eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya
terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan
agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang
komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan
tetapi, Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang
didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan
penting tentang pemberlakuan hukum Islam untuk kemudian diganti dengan
hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931.5 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 http://www.muhammadiyah.or.id
2 Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta, GIP, 1996.
3 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 2004
4 Ibid.
5 http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 106&Itemid=139
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar