2.Ekspedisi Pamalayu:Strategi Kerajaan Singosari Membendung Serangan Kubilai Khan
Setelah
lepas dari Śrīwijaya, Mālayu tetap diperhitungkan sebagai sebuah
kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Mālayu sudah merdeka,
Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang berselisih dengan Mongol di daratan
Tiongkok. Bahkan Sińhasāri sedang menghadapi ancaman penyerbuan tentara
Mongol. Untuk tidak memperbanyak musuh, Sińhasāri dengan rajanya
Keŗtanagara berkeinginan menjalin persahabatan dengan Mālayu. Besarnya
perhatian Keŗtanagara kepada Mālayu membuktikan bahwa pada abad ke-13
Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk
itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri mengadakan ekspedisi pamālayu.
Pararaton menyebutkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh
pasukan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono 1965:37). Itulah
sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu
berarti pendudukan atas Mālayu.
Penaklukkan yang di lakukan Kerajaan Singhasari terhadap Kerajaan Melayu di kenal dengan istilah Ekspedisi pamalayu. Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1293 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatera.
.Adapun latar belakang ekspedisi ini adalah Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, ia berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera
sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga
pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk
menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol
Menurut pendapat C.C. Berg yang dikutip dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Yang Tertua
karangan Uli Kozok menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian dari sebuah
program terpadu yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara (pulau-pulau
di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari kaisar
Mongol Kublai Khan. Dengan demikian politik luar negeri Kertanagara
terhadap Nusantara, dan khususnya Malayu, merupakan akibat langsung dari
keprihatinan Singasari akan ancaman agresi Mongol yang pada saat itu
telah mengalahkan Yunnan (1253-57) dan mengancam seluruh kawasan Asia
Tenggara. Dengan
demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai “perjanjian dengan
Malayu” (Berg, 1950:485) untuk membentuk persekutuan melawan agresi
dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De
Casparis. Menurutnya, hadiah patung Amoghapasa malahan dapat dilihat
sebagai tanda persahabatan untuk mendirikan persekutuan yang memiliki
tujuan ganda: Pertama, agar Malayu mengakui kedaulatan Singasari, dan
kedua, untuk menyatukan negara-negara Malayu agar bersama dengan
Singasari siap untuk meng-hadapi ancaman pasukan Kublai Khan (Casparis,
1989; 1992). Menurut Berg, Pamalayu tidak pula diadakan di tahun 1275
sebagaimana diduga Krom yang mengutip Nagarakrtagama, melainkan di tahun
1292. Berg menunjukkan dengan mengupas secara sangat teliti pupuh 41/5
Nagarakertagama bahwa pada tahun 1275 Kertanagara hanya memberi perintah
“menyuruh tundukkan Malayu” dan tidak ada petunjuk bahwa pada tahun itu
perintah tersebut juga dilaksanakan (Berg, 1950:9). Selebihnya Berg
mengingatkan kita bahwa Kertanagara baru dinobatkan menjadi raja di
tahun 1268 pada waktu mana ia masih sangat muda. Berg tidak percaya
bahwa sedini itu Kertanagara sudah berhasil memantapkan negaranya untuk
mengambil risiko yang berkaitan dengan sebuah ekspedisi terhadap Malayu
yang letaknya begitu jauh dari Jawa Timur (ibid, hal. 16).
Pada saat itu Kertanagara belum tentu sudah menguasai Madura yang
letaknya berhadapan dengan Tuban, sedangkan Tuban merupakan pelabuhan
keberangkatan armada Pamalayu untuk menghadapi Malayu. Lagipula pada
tahun 1280 Kertanagara masih berhadapan dengan lawan dalam negeri (ibid,
hal. 17), dan baru pada tahun 1284 Singasari dapat mengalahkan Bali
yang letaknya begitu lebih dekat dibandingkan dengan Malayu.
Sasaran ekspedisi : Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya.
Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat
diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu
kerajaan Sriwijaya sudah musnah.
Dalam buku Slamet Muljana yang berjudul Kitab Negarakertagama Dan Tafsirnya
disebutkan bahwa kitab Pararaton,Kidung panji wijayakrama ,Kidung
Hasrawijaya dan negarakertagama pupuh XLI,semuanya menyebut pengiriman
tentara Singasari ke negeri Melayu(Suwarnabhumi) pada tahun saka
1197(1275 A.D),lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana
Bhayangkara/Cayaraja.Dalam Kidung Hasrawijaya disebutkan bahwa nasehat
Raganatha mengingatkan sang prabhu tentang pengiriman tentara ke
Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanegara.Raganatha mengingatkan sang
prabhu tentang kemungkinan balas dendam raja Jayakatwang dari Kediri
terhadap Singosari,sebab Singosari dalam keadaan kosong akibat
pengiriman tentara ke Suwarnabhumi.Prabhu Kertanegara berpendapat,bahwa
raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang
budi kepada sang prabhu.Jayakatwang adalah bekas pengalasan
(pegawai)keratin Singosari,yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri
oleh Sri Kertanegara.
Gagasan pegiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari
Mahisa Anengah,pengganti Raganatha.Demikianlah diputuskan untuk
mengirimkan tentara ke Melayu.Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275
A.D.Dalam sastra sejarah Jawa Kuna ekspedisi ke Melayu itu biasa
disebut Pamalayu artinya:Perang melawan Melayu.Ekspedisi Melayu
berhasil baik.Tentara Singosari berhasil menundukkan raja
Melayu,Tribuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya,yang berpusat di
Jambi dan menguasai Selat Malaka.Trbukti dari isi piagam Amogapasha atau
Piagam Padang arca,yang dikeluarkan oleh Sri Kertanegara pada bulan
Bhadrapada tahu saka 1208(Agustusd-September 1286 A.D).Bunyinya seperti
berikut:
“Salam
bahagia! Pada tahun saka 1208,bulan Bhadrapada,hari pertama bulan
naik,hari Mawulu,Wage,hari Kemis,wuku Madangkungan,letak raja bintang di
barat daya.tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan
empatbelas pengikut serta tujuh ratna permata,dibawa dari bumi Jawa ke
Suwarnabhumi,ditegakkan di Dharmasraya,sebagai hadiah Sri
Wiswarupa.Untuk tujuan mahamantri Dyah Adwayabrama,rakrian sirikan Dyah
Sugatabrama,peyana Hyang Dipangkaradasa,rakrian demung wira.Untuk
menghatur paduka arca Amoghapasa.Semoga hadiah itu membuat gembira
segenap penduduk negeri Melayu termasuk:para
Brahmana,satria,waisya,sudra terutama pusat segenap para arya,Sri
Maharaja Tribuwanaraja Mauliwarmadewa”
Negarakertagama pupuh XLI/4 menguraikan bahwa prabu Kertanegara dengan
pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar raja Dharmasraya
tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu.Ekspedisi ke
Negeri Melayu yang Berjaya gilang-gemilang
Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan
atau penguasaan atas Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya
tidak ada petunjuk pendudukan Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum
dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita,
terutama rajanya Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa.” Arca
Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di Rambahan
yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun
ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang
dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di
Rambahan ternyata merupakan pasangannya.
Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an
(Krom 1912:48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347
yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman,
upacara yang bercorak tantrik, pembuatan sebuah arca Buddha, dan
pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu
dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh
Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana beranggapan bahwa
pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di
Mālayu.
Arca Amoghapasa
3.Kerajaan Majapahit dan Adityawarman
Setelah runtuhnya Singasari muncullah sebuah kerajaan baru, yaitu
Majapahit (1293-1520) yang menjadi kerajaan Hindu-Budha terakhir di
Indonesia. Majapahit sering diagungkan sebagai kerajaan besar yang
menyatukan seluruh Nusantara, namun inter-pretasi tersebut agaknya tidak
dapat dipertahankan, dan malahan banyak sejarawan yang beranggapan
bahwa Majapahit tidak berhasil memperluas pengaruh sebagaimana dilakukan
Singosari dibawah Kertanegara.
Mungkin
masih diingat bahwa Tribuwanaraja adalah seorang raja muda yang
ditempatkan ditahta Malayu oleh Kertanegara.Pertama kali dia memerintah
sebuah kerajaan vassal dengan tanpa sumber daya atau wewenang,kecuali
untuk beberapa wilayah sungai Batang Hari.Namun setelah kematian
Kertanegara pada 1292 M dan berkat kembalinya pasukan Jawa ke Jawa dan
invasi Mongol terhadap kepulauan Nusantara,Tribuwana mendapatkan kembali
kemerdekaannya.Sebagai hasil pergolakan di Jawa,Melayu tetap merdeka
selama separuh abad sampai 1347 M.Saat dibawah pimpinan Rajapatni
Gayatri,pasukan Majapahit menyerbu sekali lagi.Pasukan Melayu tidak
mampu melawan angkatan laut Majapahit dan kerajaan tersebut sekali lagi
menjadi negeri jajahan.
Dalam Pupuh XIII naskah Nagarakrtagama, Dharmasraya disebut sebagai
salah satu negara bawahan Majapahit bersama dengan Jambi, Palembang,
Karitang, Teba, dan sejumlah daerah lain. Filolog asal Jerman, Uli
Kozok, mengutip pendapat sejarawan JG de Casparis yang mempunyai
interpretasi lain atas naskah Negarakrtagama yang seakan menyatukan 24
negara di Nusantara di bawah panji Majapahit. “Mungkin saja Majapahit
menganggap Melayu sebagai wilayah taklukan, tetapi raja Melayu jelas
menganggap dirinya sebagai raja yang memiliki kedaulatan yang sempurna
yang tidak takluk kepada siapa pun,” kata Casparis, seperti dikutip
Kozok.
Prasasti terakhir yang menyebut Adityawarman bertanggal tahun 1375, dan
menurut sebuah sumber sejarah raja Ta-ma-sha-na-a-chih meninggal pada
tahun 1376. Raja yang sama pernah disebut di tahun 1374 dengan nama
Ta-ma-lai-sha-na-a-chih, dan jika unsur ma-lai dalam nama tersebut
berarti Malayu, maka dapat disimpulkan bahwa Adityawarman meninggal pada
tahun 1376. Disebut pula bahwa pada tanggal 13 September 1377 raja yang
menggantikannya yang bernama Ma-na-chich-wu-li mengirim utusan ke
Tiongkok dengan permintaan agar diakui sebagai raja Malayu. Tentu saja
pengganti Adityawarman itu merasa dirinya berhak untuk diakui sebagai
raja yang memiliki kedaulatan yang mutlak.
Ternyata Majapahit, yang masih menganggap Malayu sebagai daerah
tundukannya, tidak rela mengizinkannya, dan merasa tersinggung karena
ternyata kaisar Tiongkok menganggap raja Malayu dan raja Jawa setaraf
kedudukannya. Amarah Majapahit ternyata meluap sedemikian rupa sehingga
armada Jawa disuruh untuk menangkap dan membunuh utusan Tiongkok yang
sedang berlayar ke Malayu untuk menobatkan raja yang baru.
Sumber Tiongkok melaporkan bahwa sesudah kejadian itu Malayu makin
melemah dan tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Apa yang terjadi di
Malayu pada periode sesudah 1376 kurang jelas, akan tetapi karena tidak
ada lagi prasasti yang didirikan maka dapat kita anggap bahwa Majapahit
telah menyerang Malayu dan melumpuhkan pemerintahannya.
Sumber Tiongkok pun tidak lagi menyinggung Malayu, dan baru pada tahun
1397 kaisar T‘ai-Tsu menaruh lagi perhatian pada Sumatra. Dalam sumber
Tiongkok Ming-shih dikabarkan bahwa Palembang telah dikuasi oleh Jawa
dan bahwa San-fo-ch‘i merupakan “negara yang hancur yang dilanda
kerusuhan sehingga Jawa sendiri tidak lagi dapat mengendalikan negara
tersebut.
Adityawarman
Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribukota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura atau Kanakamedini pada tahun 1347
dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama
Rājendra Maulimāli Warmadewa dan dikemudian hari ibukota dari kerajaan
ini pindah ke daerah pedalaman (Minang).
Nama Adityawarman erta kaitannya dengan ekspedisi Pamalayu yang telah
dilakukan oleh Kerajaan Singosari.Ketika para pasukan telah mnyelesaikan
tugasnya,mereka membawa pulang dua putrid Melayu yaitu Dara Petak dan
Dara Jingga.
Nama Adityawarman pertama kali disebutkan pada sebuah patung yang
terletak di Candi Jago,Jawa Timur.Sebagai perwujudan Bodhisattva
manjusri,berasal dari tahun 1343M.Menurut kitab Pararaton,Adutyawarman
merupakan anak lelaki(atau lebih mask akalnya cucu lelaki) dari seorang
putrid Melayu yang bernama Dara Jingga yang telah menikah dengan seorang
pangeran Jawa yang bernama Advajawarman.Rajapatni Gayatri pastinya yang
melindungi karir militer dan politik Adityawarman .Perkembangannya
dimulai didalam angkatan perang Majapahit,dimana sebelum kembali ke
istana Trowulan untuk menerema sebuah posisi menteri dia berposisi
sebagai komandan dalam penaklukkan Bali.Setelah penaklukkan
Bali,Gajahmada memutuskan untuk memulihkan penaklukkan Kertanegara yang
lain di Sumatra.Pada tahun 1346M pasukan Jawa menyerbu Melayu hingga
dalam setahun kerajaan tersebut bisa runtuh.
Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera dan selanjutnya, Adityawarman pun menjalankan beberapa misi penaklukkan.[8].
Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, belum
ada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.[17].
Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman mendirikan kerajaan baru bernama Malayapura sebagai kelanjutan kerajaan Melayu sebelumnya, sebagaimana seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa[1]. Dari prasasti Kuburajo di Limo Kaum yang menggunakan aksara Dewanagari juga menyebutkan bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa).
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu
menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk
mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi, yang
sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau,
pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah
terjadi pada masa tersebut. Selain itu juga terlihat kepedulian
Adityawarman untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakatnya dengan
tidak bergantung kepada hasil hutan dan tambang saja.
Ada pendapat yang mengatakan kenapa Adityawarman tidak bertahta di Dharmasraya karena dia tidak memiliki hak atas kerajaan Dharmasraya tidak dapat dibuktikan, karena dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
raja Melayu sebagaimana yang disebut pada Pararaton, dan lagi pula dari
manuskrip pada bagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman jelas
menyatakan dirinya sebagai raja dari bangsa Mauli serta memulihkan
keadaan sebelumnya[20], Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Kertanagara dan ditempatkan di Dharmasraya, sebagaimana tersebut dalam prasasti Padang Roco.
Kemungkinan
yang menyebabkan Adityawarman untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih
ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso) adalah
sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung
dengan kerajaan Majapahit, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah dibawah Mahapatih Gajah Mada,
karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan
kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat
menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh
kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa
Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol
sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan tersebut. Walaupun
memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan
pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan Cina yang
menyebutkan, Adityawarman pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali.
Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di Suruaso juga terdapat prasasti yang beraksara Nagari (Tamil), jadi pengaruh India selatan pun telah sampai ke ranah Minang.
Setelah Adityawarman meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar
yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Adiytawarman dan putranya
Ananggawarman melakukan upacara hewajra, dalam ritual tersebut
Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.
Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, namun begitu Wikramawardhana naik tahta sebagai penganti Hayam Wuruk, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409 dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk, (hulu sungai Batang Hari), dimana kedua-dua serangan pasukan kerajayaan Majapahit
dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh
kerajaan ini terhadap daerah jajahannya melemah, dimana daerah-daerah
jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh, dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar