Senin, 27 Januari 2014

Filled Under:

Sejarah Penaklukkan Kerajaan Melayu 2

2.Ekspedisi Pamalayu:Strategi Kerajaan Singosari Membendung Serangan Kubilai Khan
Setelah lepas dari Śrīwijaya, Mālayu tetap diperhi­tungkan seba­gai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Mālayu sudah merdeka, Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang ber­selisih dengan Mongol di daratan Tiongkok. Bahkan Sińhasāri sedang meng­hadapi ancaman penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak mem­per­banyak musuh, Sińhasāri dengan rajanya Keŗtanagara berkeinginan menjalin per­sa­habatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Keŗtanagara kepada Mālayu mem­buk­tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri meng­adakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menye­­butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu­kan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono 1965:37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu.
Penaklukkan yang di lakukan Kerajaan Singhasari terhadap Kerajaan Melayu di kenal dengan istilah Ekspedisi pamalayu. Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 12751293 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatera.
.Adapun latar belakang ekspedisi ini adalah Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, ia berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol
Menurut pendapat C.C. Berg yang dikutip dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Yang Tertua karangan Uli Kozok menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian dari sebuah program terpadu yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara (pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian politik luar negeri Kertanagara terhadap Nusantara, dan khususnya Malayu, merupakan akibat langsung dari keprihatinan Singasari akan ancaman agresi Mongol yang pada saat itu telah mengalahkan Yunnan (1253-57) dan mengancam seluruh kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai “perjanjian dengan Malayu” (Berg, 1950:485) untuk membentuk persekutuan melawan agresi dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis. Menurutnya, hadiah patung Amoghapasa malahan dapat dilihat sebagai tanda persahabatan untuk mendirikan persekutuan yang memiliki tujuan ganda: Pertama, agar Malayu mengakui kedaulatan Singasari, dan kedua, untuk menyatukan negara-negara Malayu agar bersama dengan Singasari siap untuk meng-hadapi ancaman pasukan Kublai Khan (Casparis, 1989; 1992). Menurut Berg, Pamalayu tidak pula diadakan di tahun 1275 sebagaimana diduga Krom yang mengutip Nagarakrtagama, melainkan di tahun 1292. Berg menunjukkan dengan mengupas secara sangat teliti pupuh 41/5 Nagarakertagama bahwa pada tahun 1275 Kertanagara hanya memberi perintah “menyuruh tundukkan Malayu” dan tidak ada petunjuk bahwa pada tahun itu perintah tersebut juga dilaksanakan (Berg, 1950:9). Selebihnya Berg mengingatkan kita bahwa Kertanagara baru dinobatkan menjadi raja di tahun 1268 pada waktu mana ia masih sangat muda. Berg tidak percaya bahwa sedini itu Kertanagara sudah berhasil memantapkan negaranya untuk mengambil risiko yang berkaitan dengan sebuah ekspedisi terhadap Malayu yang letaknya begitu jauh dari Jawa Timur (ibid, hal. 16).
Pada saat itu Kertanagara belum tentu sudah menguasai Madura yang letaknya berhadapan dengan Tuban, sedangkan Tuban merupakan pelabuhan keberangkatan armada Pamalayu untuk menghadapi Malayu. Lagipula pada tahun 1280 Kertanagara masih berhadapan dengan lawan dalam negeri (ibid, hal. 17), dan baru pada tahun 1284 Singasari dapat mengalahkan Bali yang letaknya begitu lebih dekat dibandingkan dengan Malayu.
Sasaran ekspedisi : Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah.
Dalam buku Slamet Muljana yang berjudul Kitab Negarakertagama Dan Tafsirnya disebutkan bahwa kitab Pararaton,Kidung panji wijayakrama ,Kidung Hasrawijaya dan negarakertagama pupuh XLI,semuanya menyebut pengiriman tentara Singasari ke negeri Melayu(Suwarnabhumi) pada tahun saka 1197(1275 A.D),lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara/Cayaraja.Dalam Kidung Hasrawijaya disebutkan bahwa nasehat Raganatha mengingatkan sang prabhu tentang pengiriman tentara ke Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanegara.Raganatha mengingatkan sang prabhu tentang kemungkinan balas dendam raja Jayakatwang dari Kediri terhadap Singosari,sebab Singosari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Suwarnabhumi.Prabhu Kertanegara berpendapat,bahwa raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabhu.Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai)keratin Singosari,yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Sri Kertanegara.
Gagasan pegiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah,pengganti Raganatha.Demikianlah diputuskan untuk mengirimkan tentara ke Melayu.Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 A.D.Dalam sastra sejarah Jawa Kuna ekspedisi ke Melayu itu biasa disebut Pamalayu artinya:Perang melawan Melayu.Ekspedisi Melayu berhasil baik.Tentara Singosari berhasil menundukkan raja Melayu,Tribuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya,yang berpusat di Jambi dan menguasai Selat Malaka.Trbukti dari isi piagam Amogapasha atau Piagam Padang arca,yang dikeluarkan oleh Sri Kertanegara pada bulan Bhadrapada tahu saka 1208(Agustusd-September 1286 A.D).Bunyinya seperti berikut:
Salam bahagia! Pada tahun saka 1208,bulan Bhadrapada,hari pertama bulan naik,hari Mawulu,Wage,hari Kemis,wuku Madangkungan,letak raja bintang di barat daya.tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empatbelas pengikut serta tujuh ratna permata,dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi,ditegakkan di Dharmasraya,sebagai hadiah Sri Wiswarupa.Untuk tujuan mahamantri Dyah Adwayabrama,rakrian sirikan Dyah Sugatabrama,peyana Hyang Dipangkaradasa,rakrian demung wira.Untuk menghatur paduka arca Amoghapasa.Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Melayu termasuk:para Brahmana,satria,waisya,sudra terutama pusat segenap para arya,Sri Maharaja Tribuwanaraja Mauliwarmadewa”
Negarakertagama pupuh XLI/4 menguraikan bahwa prabu Kertanegara dengan pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar raja Dharmasraya tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu.Ekspedisi ke Negeri Melayu yang Berjaya gilang-gemilang
Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya tidak ada petunjuk pendu­dukan Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Śrīmat Tribhūwa­na­rāja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.
Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912:48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan se­buah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana ber­anggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerin­tahan Āditya­warm­man di Mālayu.
Arca Amoghapasa
3.Kerajaan Majapahit dan Adityawarman
Setelah runtuhnya Singasari muncullah sebuah kerajaan baru, yaitu Majapahit (1293-1520) yang menjadi kerajaan Hindu-Budha terakhir di Indonesia. Majapahit sering diagungkan sebagai kerajaan besar yang menyatukan seluruh Nusantara, namun inter-pretasi tersebut agaknya tidak dapat dipertahankan, dan malahan banyak sejarawan yang beranggapan bahwa Majapahit tidak berhasil memperluas pengaruh sebagaimana dilakukan Singosari dibawah Kertanegara.
Mungkin masih diingat bahwa Tribuwanaraja adalah seorang raja muda yang ditempatkan ditahta Malayu oleh Kertanegara.Pertama kali dia memerintah sebuah kerajaan vassal dengan tanpa sumber daya atau wewenang,kecuali untuk beberapa wilayah sungai Batang Hari.Namun setelah kematian Kertanegara pada 1292 M dan berkat kembalinya pasukan Jawa ke Jawa dan invasi Mongol terhadap kepulauan Nusantara,Tribuwana mendapatkan kembali kemerdekaannya.Sebagai hasil pergolakan di Jawa,Melayu tetap merdeka selama separuh abad sampai 1347 M.Saat dibawah pimpinan Rajapatni Gayatri,pasukan Majapahit menyerbu sekali lagi.Pasukan Melayu tidak mampu melawan angkatan laut Majapahit dan kerajaan tersebut sekali lagi menjadi negeri jajahan.
Dalam Pupuh XIII naskah Nagarakrtagama, Dharmasraya disebut sebagai salah satu negara bawahan Majapahit bersama dengan Jambi, Palembang, Karitang, Teba, dan sejumlah daerah lain. Filolog asal Jerman, Uli Kozok, mengutip pendapat sejarawan JG de Casparis yang mempunyai interpretasi lain atas naskah Negarakrtagama yang seakan menyatukan 24 negara di Nusantara di bawah panji Majapahit. “Mungkin saja Majapahit menganggap Melayu sebagai wilayah taklukan, tetapi raja Melayu jelas menganggap dirinya sebagai raja yang memiliki kedaulatan yang sempurna yang tidak takluk kepada siapa pun,” kata Casparis, seperti dikutip Kozok.
Prasasti terakhir yang menyebut Adityawarman bertanggal tahun 1375, dan menurut sebuah sumber sejarah raja Ta-ma-sha-na-a-chih meninggal pada tahun 1376. Raja yang sama pernah disebut di tahun 1374 dengan nama Ta-ma-lai-sha-na-a-chih, dan jika unsur ma-lai dalam nama tersebut berarti Malayu, maka dapat disimpulkan bahwa Adityawarman meninggal pada tahun 1376. Disebut pula bahwa pada tanggal 13 September 1377 raja yang menggantikannya yang bernama Ma-na-chich-wu-li mengirim utusan ke Tiongkok dengan permintaan agar diakui sebagai raja Malayu. Tentu saja pengganti Adityawarman itu merasa dirinya berhak untuk diakui sebagai raja yang memiliki kedaulatan yang mutlak.
Ternyata Majapahit, yang masih menganggap Malayu sebagai daerah tundukannya, tidak rela mengizinkannya, dan merasa tersinggung karena ternyata kaisar Tiongkok menganggap raja Malayu dan raja Jawa setaraf kedudukannya. Amarah Majapahit ternyata meluap sedemikian rupa sehingga armada Jawa disuruh untuk menangkap dan membunuh utusan Tiongkok yang sedang berlayar ke Malayu untuk menobatkan raja yang baru.
Sumber Tiongkok melaporkan bahwa sesudah kejadian itu Malayu makin melemah dan tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Apa yang terjadi di Malayu pada periode sesudah 1376 kurang jelas, akan tetapi karena tidak ada lagi prasasti yang didirikan maka dapat kita anggap bahwa Majapahit telah menyerang Malayu dan melumpuhkan pemerintahannya.
Sumber Tiongkok pun tidak lagi menyinggung Malayu, dan baru pada tahun 1397 kaisar T‘ai-Tsu menaruh lagi perhatian pada Sumatra. Dalam sumber Tiongkok Ming-shih dikabarkan bahwa Palembang telah dikuasi oleh Jawa dan bahwa San-fo-ch‘i merupakan “negara yang hancur yang dilanda kerusuhan sehingga Jawa sendiri tidak lagi dapat mengendalikan negara tersebut.
Adityawarman
Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribukota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa dan dikemudian hari ibukota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman (Minang).
Nama Adityawarman erta kaitannya dengan ekspedisi Pamalayu yang telah dilakukan oleh Kerajaan Singosari.Ketika para pasukan telah mnyelesaikan tugasnya,mereka membawa pulang dua putrid Melayu yaitu Dara Petak dan Dara Jingga.
Nama Adityawarman pertama kali disebutkan pada sebuah patung yang terletak di Candi Jago,Jawa Timur.Sebagai perwujudan Bodhisattva manjusri,berasal dari tahun 1343M.Menurut kitab Pararaton,Adutyawarman merupakan anak lelaki(atau lebih mask akalnya cucu lelaki) dari seorang putrid Melayu yang bernama Dara Jingga yang telah menikah dengan seorang pangeran Jawa yang bernama Advajawarman.Rajapatni Gayatri pastinya yang melindungi karir militer dan politik Adityawarman .Perkembangannya dimulai didalam angkatan perang Majapahit,dimana sebelum kembali ke istana Trowulan untuk menerema sebuah posisi menteri dia berposisi sebagai komandan dalam penaklukkan Bali.Setelah penaklukkan Bali,Gajahmada memutuskan untuk memulihkan penaklukkan Kertanegara yang lain di Sumatra.Pada tahun 1346M pasukan Jawa menyerbu Melayu hingga dalam setahun kerajaan tersebut bisa runtuh.
Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera dan selanjutnya, Adityawarman pun menjalankan beberapa misi penaklukkan.[8]. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, belum ada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.[17].
Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman mendirikan kerajaan baru bernama Malayapura sebagai kelanjutan kerajaan Melayu sebelumnya, sebagaimana seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa[1]. Dari prasasti Kuburajo di Limo Kaum yang menggunakan aksara Dewanagari juga menyebutkan bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa).
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi, yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut. Selain itu juga terlihat kepedulian Adityawarman untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung kepada hasil hutan dan tambang saja.
Ada pendapat yang mengatakan kenapa Adityawarman tidak bertahta di Dharmasraya karena dia tidak memiliki hak atas kerajaan Dharmasraya tidak dapat dibuktikan, karena dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu sebagaimana yang disebut pada Pararaton, dan lagi pula dari manuskrip pada bagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman jelas menyatakan dirinya sebagai raja dari bangsa Mauli serta memulihkan keadaan sebelumnya[20], Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Kertanagara dan ditempatkan di Dharmasraya, sebagaimana tersebut dalam prasasti Padang Roco.
Kemungkinan yang menyebabkan Adityawarman untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan Majapahit, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah dibawah Mahapatih Gajah Mada, karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan tersebut. Walaupun memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan Cina yang menyebutkan, Adityawarman pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali. Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di Suruaso juga terdapat prasasti yang beraksara Nagari (Tamil), jadi pengaruh India selatan pun telah sampai ke ranah Minang.
Setelah Adityawarman meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Adiytawarman dan putranya Ananggawarman melakukan upacara hewajra, dalam ritual tersebut Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.
Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, namun begitu Wikramawardhana naik tahta sebagai penganti Hayam Wuruk, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409 dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk, (hulu sungai Batang Hari), dimana kedua-dua serangan pasukan kerajayaan Majapahit dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh kerajaan ini terhadap daerah jajahannya melemah, dimana daerah-daerah jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh, dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.
(Bersambung) 

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.