SETELAH mangkatnya Sultan Ali Mughayat Syah pada tanggal 7 Agustus 1530,
anaknya yang sulung bernama Salahuddin diangkat menjadi raja baru.
Meneruskan
cita-cita dari ayahnya, Salahuddin mengembangkan layar mengusir
portugis di Malaka pada tahun 1537 dengan jalan menaklukkan daerah
tersebut agar berada di bawah kekuasaan kesultanan Aceh.
Malangnya,
kehebatan Ali Mughayat Syah tidak mengalir banyak di tubuh Salahuddin
yang tidak berhasil menaklukkan pusat perdagangan yang banyak di huni
para pedagang Portugis itu.
Menggantikan kegagalan Salahuddin, tahun
1538 ’Alaauddin Ri’ayat Syah al Kahar mencoba mengukuhkan kekuasaan
kesultanan Aceh yang mulai mengemuka.
Sebagai putra bungsu dari
Mughayat Syah, ia merupakan seorang Sultan Aceh yang bisa disebut Homen
Cavaleiro kedua setelah ayahnya.
Di bawah kekuasaannya, kesultanan
Aceh berhasil menaklukkan Aru pada tahun 1564. Aceh juga mengalami
peperangan merebut pengaruh dengan orang-orang Batak di perbatasan.
Alauddin
Ri’ayat Syah Al Kahar mempunyai prajurit multi nasional yang tidak
hanya terdiri dari orang Aceh belaka. Banyak prajuritnya yang berasal
Turki, Kambay dan Malabar.
Pada masa kekuasaannya, ia juga mampu
membuka jalur diplomasi dengan Istambul dan berhasil mendapatkan hadiah
dari Sultan Turki berupa meriam lada sicupak. Sultan ini kemudian
mangkat pada tahun 1571.
Alaauddin Ri’ayat Syah Al Kahar mempunyai
prajurit multi nasional yang tidak hanya terdiri dari orang Aceh belaka.
Banyak prajuritnya yang berasal Turki, Kambay dan Malabar.
Pada masa
kekuasaannya, ia juga mampu membuka jalur diplomasi dengan Istambul dan
berhasil mendapatkan hadiah dari Sultan Turki berupa meriam lada
sicupak. Sultan ini kemudian mangkat pada tahun 1571.
Alauddin
merupakan sultan Aceh ketiga yang mempunyai tentara kerajaan terkuat
saat itu. Setelah berhasil melakukan kudeta terhadap saudara kandungnya,
Salahuddin pada tahun 1537 (versi lain menyebutkan pada tahun 1539), ia
kemudian membagi kelompok-kelompok pada masyarakat yang kemudian
disebut dengan sukee (kaum).
Awal mula penegasan kekuasaannya,
Alauddin memperluas pengaruhnya ke daerah selatan Aceh pada tahun 1539
dan menyebarkan agama Islam di daerah yang di huni oleh suku Batak
primitif yang belum mengenal agama tersebut.
Setelah penyerangan itu,
Aceh di bawah kekuasaan Alauddin Riayat Syah kembali memperluas
pengaruhnya ke Aru. Namun, penyerangan yang dilakukan oleh Alauddin
berhasil digagalkan oleh tentara Johor.
Masih menurut Denys Lombard
dalam bukunya Kerajaan Aceh, menuliskan pemerintahan Alauddin yang
berawal dengan gemilang harus berakhir ketika dua putranya melakukan
kudeta. Kedua putra Alauddin tersebut memperebutkan kekuasaan sang ayah,
meskipun Ia sendiri masih hidup.
Bahkan, menurut catatan Beaulieu dalam perebutan kekuasaan tersebut, Alaauddin sendiri dijebloskan oleh penjara.
Anaknya
yang sulung, yakni Sultan Muda bergelar ‘Ali Ri’ayat Syah kemudian
berhasil merampas kekuasaan dari ayahnya, Alaauddin Riayat Syah dan dari
saudara kandungnya yang kemudian menarik diri sebagai gubernur di
Pidir.
Pertengkaran kedua anak raja dalam memperebutkan kekuasaan
atas pemerintahan Aceh, tentunya tidak menggubris keponakan mereka,
Iskandar Muda yang pada saat itu berumur 21 tahun.
Ketidakpedulian
dua tokoh Aceh dalam pertarungan perebutan kekuasaan tersebut,
menyebabkan perhatian politik kekuasaan pada Iskandar Muda menjadi
terabaikan.
Kemudian, pada masa-masa Iskandar telah mampu berpikir
dan bermain dalam percaturan politik di Aceh pada masa itu, pamannya Ali
Riayat Syah terpaksa menyerahkan tampuk pimpinan pada keponakannya,
seorang cucu yang paling disayang oleh Alaauddin Riayat Syah. Sejak saat
itu, tampuk kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam berada di tangan
Iskandar Muda yang berusia 24 tahun.
Sumber
Senin, 27 Januari 2014
Filled Under:
Peristiwa
Kesultanan Aceh: Kemelut Setelah Meninggalnya Sultan Ali Mughayat Syah
Posted By:
Unknown
on 11.22
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar