Dalam banyak buku sejarah dikenalkan
bahasa Sansekerta yang banyak ditulis dalam peninggalan artefak batu
bertulis berasal dari induk bahasa India yang dibawa sebagai akibat
pengaruh kedatangan bangsa India ke Pulau Jawa. Penduduk kepulauan ini
berasal dari Indo-China. Tetapi di abad ke XXI baru dapat ditemukan
bahwa teori tersebut memutar balikan fakta sesungguhnya.
Para
ahli bahasa menyebut Bahasa Jawa sebagai Bahasa Nusantara Purba,
mengapa tidak menggunakan istilah bahasa Indonesia Purba? Nama Indonesia
dikenal pada abad ke XIX. Istilah Indonesia untuk pertama kalinya
ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson
Logan pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan juga
oleh G.W. Earl dalam bidang etnologi. G.W. Earl menyebut Indonesians dan
Melayunesians bagi penduduk Kepulauan Melayu. Pada tahun 1862 istilah
Indonesia digunakan oleh orang Inggris bemama Maxwell dalam karangannya
berjudul The Island of Indonesia (Kepulauan Indonesia) dalam hubungannya
dengan ilmu bumi. Istilah Indonesia semakin populer ketika seorang ahli
etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan istilah Indonesia
pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan etnologi. Sedangkan penyebutan
Jawa dikenal sejak abad ke 2 Masehi dalam karya Cladius Ptolemaeus dalam kitab Geographike Hyphegesis. Nama pulau Jawa dikenal dalam kitab tersebut dengan nama Chryse Chernesos artinya negeri emas dan semenanjung emas
(seuai namanya berarti negeri ini dahulu kaya akan EMAS). Dalam kitab
tersebut disebutkan nama sebuah tempat Iabadiou atau Pulau Jelai.
Iabadiou dibaca Yawadiwu, Yawa bahasa sansekerta artinya Jelai, diwu
bahasa pakrit dapat pula disebut dwipa dalam bahasa sansekerta.
Meskipun
Prof. Krom sendiri tidak yakin akan hal ini, tetapi setidaknya nama
Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu. Pada tahun 732 Masehi pada
Prasasti Canggal menyebut nama Dwipa Yawa, juga dalam berita Cina
menyebut nama Yeh-p’o-t’i untuk pulau Jawa, meski beberapa sarjana
menganggap” tidak harus diartikan sebagai pulau Jawa”. Bahkan prasasti
di Angkor Wat menyebutkan bahwa pada abad V Kamboja pernah diserang
oleh pasukan dari Kerajaan Jawa sehingga porak poranda. Dan pada abad
VII Raja Jayawarman II menyerang kerajaan Jawa dan berhasil dengan
kemenangan gemilang. Jadi nama yang dikenal di Cina, Kamboja dan India
hanya dua nama yakni Suvarnnabumi dan Yawadwipa.
Bahasa
Nusantara purba adalah bahasa Jawa tempo doeloe yaitu bahasa Jawa yang
dikenal dalam keserumpunan bahasa Melayu Purba, digunakan di Malagasi
dan beberapa tempat di daratan Asia Tenggara (Slamet Mulyana, 1964 ;
18-19), yang kemudian oleh J. Crawfurd melakukan penelitian kosakata
dalam berbagai kamus mengenai bahasa-bahasa di Austronesia, yang
diperbandingkan satu persatu, dengan bahasa Jawa, antara lain :
a. 8000 kata Malagasi ada 140 kata yang sama dengan bahasa Jawab. 4560 kata Selandia Baru ada 103 kata yang sama dengan bahasa Jawa
c. 3000 kata Marquesas ada 70 kata yang sama dengan bahasa Jawa
d. 9000 kata Tagalog ada 300 kata yang sama dengan bahasa Jawa
Bahwa angka kesamaan yang hanya sekitar 2% itu dianggap tidak ada kesamaan dalam keserumpunan, meski demikian ada dua hal yang patut untuk dicatat yaitu;
1) Bahwa orang “Indonesia” bukan berasal dari mana-mana bahkan merupakan induk sukubangsa di dunia yang menyebar ke seluruh penjuru dunia;
2) bahasa Jawa adalah bahasa tertua dan bahkan merupakan induk dari bahasa-bahasa Austronesia yang lain.
Dalam
hal ini P.J. Veth tidak sependapat mengenai bahasa Jawa sebagai bahasa
Induk dari bahasa-bahasa Austronesia termasuk Wilhem van Humboldt (1836)
tentang tanggapannya terhadap bahasa Jawa kuna yang disebut sebagai
bahasa Kawi yang terintervensi oleh bahasa Sansekerta (Slamet Mulyana,
1992 ; 19) , tetapi setidaknya bahasa Jawa memiliki konten yang menarik
untuk dipelajari, diteliti dan dikemukakan kepada masyarakat penutur
bahasa Jawa khususnya.
Para
peneliti bahasa Jawa pada saat itu hanya memelajari serat-serat
kasusastran Jawa sebagai bukti peninggalan sejarah dari abad IX- XVII
Masehi, sebab bahasa Jawa yang asli sudah sulit untuk diketemukan lagi
karena pada saat itu sama sekali tidak dibukukan dalam bentuk kamus
(bausastra Jawa) atau yang sejenisnya (Poerbatjaraka, 1952 ; vii).
Nampaknya
kasus yang dihadapi bahasa Jawa purba tempo doeloe, adalah kehilangan
saksi bisu yang berupa tradisi tulis (Poerbatjaraka, 1952 ; vii), dan
ini sangat menyulitkan untuk melacak kesejarahan bahasa Jawa, sebelum
lahirnya bahasa kawi atau bahasa jawa kuna.
Barulah
ketika orang-orang India masuk ke Nusantara ini, kedua bangsa (pribumi
dan migrant) ini mengadopsi tradisi tulisan yang kemudian dikembangkan
secara turun-temurun (Poerbatjaraka, 1952 ; vii), dengan cara saling
bertukar informasi dan terjadinya perkawinan antara pribumi dan
pendatang.
Pada akhirnya
ditentukan garis, sebagai batas waktu penelitian sejarah kebudayaan
Jawa, yakni sejak masuknya kebudayaan India ke Austronesia (kepulauan
Nusantara) dalam hal ini ke pulau Jawa.
Dari
sekian perjalanan sejarah penguasaan asing di Nusantara, yang sangat
dominan pengaruhnya dalam ke-bahasa-an Jawa adalah dari Bahasa
Sansekerta dan Arab, pengaruh tersebut tidak hanya pada kosakatanya,
tetapi juga dalam kaidah paramasastra banyak sekali dipengaruhi oleh
kedua bahasa tersebut. Hal ini tentu saja tidak bisa dihindari lagi,
karena hampir semua bahasa di dunia dipengaruhi oleh kedua bahasa
tersebut (Hazeu, et al., 1979 ; 111-112).
Sejarah
bergulir seiring dengan perjalanan waktu, bahasa Jawa purba akhirnya
digantikan oleh bahasa Jawa kuna yang sebagian besar dipengaruhi oleh
masa pemerintahan Hindu sejak zaman dinasti wamça Syailendra, dan wamça
Sanjaya yang berturut-turut menguasai Nusantara ini, mulai dari Rakai
Mataram 732-760 M sampai Rakai Watuhumalang dipertengahan abad IX
(Sulaiman, 1980 ; 107) , dengan bukti teks Jawa kuna sebelum aksara Jawa
kuna digunakan secara resmi, seperti pada prasasti Canggal 732 M,
Kalasan 778 M, Karangtengah 804 M, Gandasuli 832 M, Perot 850 M,
Ratubaka 856 M, Pereng 864 M, Argapura 864 M maupun Salingsingan 876 M.
Jarak
antara peralihan bahasa Jawa purba (Sundik) ke bahasa Jawa kuna ini pun
cukup panjang, mungkin beberapa abad, karena memang tidak ada bukti
yang menandai perjalanan waktu tersebut, seperti artefak dan sejenisnya.
Munculnya pengakuan atas kekuasaan yang pernah menguasai pulau Jawa
tertua tentang dinasti Salakanegara, yang menyatakan telah berdiri jauh
sebelum kerajaan Tarumanegara, maka setidaknya bahasa Jawa kuna atau
sebelumnya, pernah digunakan oleh orang – orang Jawa pada jaman dahoeloe
kala. Jika benar apa yang ditulis dalam naskah Wangsakarta tentang
keberadaan kerajaan Salakanegara, yang pernah menggunakan bahasa Jawa
purba, maka setidaknya bahasa Jawa itu sudah dikenal pada masa abad III
Masehi, atau mungkin sebelum itu sekitar awal abad satu masehi.
Pengaruh
budaya India dalam bentuk seni patung yang banyak ditinggalkan di
Indonesia (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), memberikan bukti
bahwa budaya Hindu benar-benar menguasai di negeri ini dalam kurun waktu
yang cukup lama. Dari peninggalan yang berupa; artefak, prasasti, candi
dan patung dewa-dewa termasuk patung Budha, adalah merupakan tanda
bahwa keberadaan budaya Hindu maupun Budha pernah ada dan berpengaruh
besar di Nusantara ini.
Peradaban
dunia dalam tradisi bahasa tulis, yang sudah dimulai sejak jaman Mesir
kuna, yakni dengan bukti berupa pyramid dan artefak lainnya, yang
mungkin terjadi sekitar 6000 tahun yang silam. Yang secara
berangsur-angsur peradaban itu bergeser sampai ke Yunani serta mengalami
masa kejayaan ketika memasuki jaman Romawi, yang kemudian sejalan
dengan proses dinamika kehidupan, peradaban itu bergeser ke India.
Padahal bagi orang India (Hindu) sendiri sebenarnya mereka itu dibawah
pengaruh orang Indo-Arya yang datang dari Iran migrasi ke India dan
banyak mempengaruhi terhadap budaya yang dianut oleh orang India yakni
Hindu termasuk dewa-dewa sampai pada penambahan kasta yang semula hanya
tiga, dengan kasta çudra sehingga menjadi empat kasta (Cardozo, 1985 ;
3).
Ketika orang membicarakan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nusantara, apakah itu
politik, ideologi, budaya, sosial ekonomi maupun pertahanan dan
keamanan, maka tidak bisa melepaskan diri dari alur sejarah yang ada di
bumi Nusantara ini. Menurut para ahli arkeologis, bahwa sejak jaman
prasejarah penduduk Nusantara ini adalah pelayar yang sanggup mengarungi
lautan lepas, hal ini sehubungan bahwa kepulauan Nusantara adalah
tergolongan Negara perairan. Meski demikian lautan bukanlah sebagai
penghalang untuk menjalin komunikasi dengan penduduk dipedalaman pulau,
sehingga perjalanan air merupakan komoditas transportasi yang utama.
Hampir seluruh sejarah kehidupan di bumi Nusantara ini berawal dari laut
ke laut, oleh sebab itu kebudayaan dipesisir cenderung lebih maju
daripada yang ada dipedalaman. Interaksi sosial dengan antar etnis,
budaya, bahasa, agama banyak didominasi oleh penduduk pesisir.
Dalam
penelitian prasejarah, benda-benda peninggalan yang mengandung ciri
yang menunjukkan hubungan interinsulair antara kepulauan Nusantara dan
Asia tenggara, adalah berupa artefak yang berbentuk Nekara dari
perunggu, dan ini dipandang sebagai sasaran penting dalam penelitian
purbakala yang dilakukan oleh para ahli arkeologi. Yang sangat terkenal
dalam hal ini adalah Dr. F. Heger, dalam klasifikasinya bahwa nekara
dibedakan dari tipe local dan tipe Asia Tenggara.
Meskipun
ada anggapan bahwa nekara ini dibuat di Nusantara karena memang
terbukti adanya peninggalan berupa cetakan – cetakan pengecoran logam
pada jaman prasejarah, tetapi mungkin juga bahwa Nekara itu memang
dibuat dan dibawa dari daratan Asia Tenggara, seperti Nekara di Sangeang
(Poesponegoro, et al., 1984 ; 3). Dalam hal Nusantara itu diketemukan
oleh orang-orang dari daratan Asia Tenggara khususnya para pedagang dari
India, beberapa ahli berpendapat bahwa Kepulauan Nusantara telah
berkembang kehidupan masyarakatnya, sehingga memungkin orang-orang yang
bermigrasi itu, akan memperoleh manfaat yang besar dalam menjalin
hubungan tersebut, JC. Van Leur dan O.W. Wolters berpendapat bahwa
hubungan antara India dan Indonesia lebih dahulu jika dibandingkan
dengan hubungan Indonesia – Cina.
Walau
demikian, meski dikatakan bahwa hubungan India dengan Indonesia itu
dianggap lebih awal, namun terdapat kesulitan untuk menentukan ketepatan
waktunya. Hal ini mengingat bahwa sumber-sumber informasi yang dapat
memberikan kejelasan secara tertulis yang berasal dari Nusantara,
menurut penelitian para ahli ternyata tidak ada. Sedangkan tulisan yang
umum digunakan di Nusantara ini justru berasal dari tulisan (aksara)
India. Namun demikian sumber-sumber di India tidak pernah membuat
catatan- catatan resmi mengenai suatu kejadian penting dalam suatu kurun
waktu tertentu. Sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dari India
hanyalah sastra, yang tentu tidak bertujuan untuk memberikan fakta-fakta
tentang keadaan awal terjadinya hubungan bilateral antara India dan
Indonesia. Para peneliti menyebut adanya kitab ‘ Jataka’, yang memuat
kisah sang Budha dan didalamnya menyebut tentang suvarnnabhumi sebagai
sebuah negeri yang untuk mencapainya, memerlukan perjalanan penuh
bahaya.
Tetapi Suvarnabhumi tidak
identik dengan Nusantara, karena S. Levi dalam Ptolemee le Nidessa et
la Brhakatha, menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebuah negeri di
sebelah timur teluk Benggala. Kecuali itu ada kitab lain yaitu Ramayana,
dalam kitab tersebut menyebut nama Yawadwipa, yang dihiasi oleh tujuh
Kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas perak. Juga menyebut nama
Suwarnadwipa, yang kemudian dijadikan nama pulau Sumatera, salah satu
sastra India yang oleh para ahli dianggap dapat dipercaya adalah kitab
Mahaniddesa, Levi berpendapat bahwa keterangan geografis mengenai
beberapa tempat di timur jauh yag terdapat didalamnya mencerminkan
perbendharaan pengetahuan di India mengenai tempat-tempat itu pada abad
III Masehi. Dalam usahanya untuk mengetahui awal hubungan India dengan
daerah-daerah disebelah timurnya, para peneliti telah mengkaji
sumber-sumber barat jaman kuna (Levi, 1925 ; 29).
Sebuah
kitab yang dijadikan sumber adalah Periplous tès Erythras thalassès.
Periplous adalah kitab pedoman untuk berlayar di lautan (Erythrasa)
yaitu Samudera Hindia. Diperkirakan kitab itu ditulis pada awal tarikh
Masehi (Wheatley, 1961: 129). Dari beberapa sumber yang berusaha untuk
menemukan hubungan awal India dengan Nusantara baik sumber dari India
maupun sumber Barat, belum dapat mengungkapkan sepenuhnya awal hubungan
India-Nusantara. Tetapi dapat diambil kesimpulan di sekitar abad II
Masehi, dan hubungan itu relative sudah intensif.
Ketika
dimunculkan pertanyaan; apa alasan dagang orang India ke Nusantara?
Dijawab oleh Coedès memberikan penjelasannya, bahwa pada awal tarikh
Masehi India mengalami defisit yang luar biasa, mereka kehilangan sumber
emas yang utama yang didatangkan dari Siberia melalui Baktria (Yunani).
Tetapi ada berbagai gerakan yang memutuskan jalur perdagangan tersebut.
Sebagai gantinya India mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar dari
Romawi. Usaha inipun kemudian dihentikan oleh kaisar Romawi Vespasianus
(69-79 M) karena, mengalirnya mata uang emas yang dalam jumlah besar
keluar negeri akan membahayakan ekonomi Negara. Kemungkinan dengan
alasan inilah India melakukan terobosan kearah timur yang telah dikenal
sejak dahoeloe sebagai penghasil emas dan perak. Jika benar teori Coedès
maka hal itu akan menegaskan bahwa tentang alasan India ke Nusantara
hanyalah semata-mata soal perdagangan saja, bukan alasan politik
sebagaimana yang diajukan oleh para peneliti abad XX (Coedes, 1968 ;
20).
Perdagangan Asia Tenggara
dengan India adalah perdagangan Internasional dalam pasaran
internasional pula, sehingga misi perdagangan ke Nusantara pada saat itu
tentu bukan sekedar perdagangan kecil-kecilan.
Van
Leur menyebut perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang India itu
misalnya; logam mulia, jenis tenunan dan rempah-rempah, juga kayu gaharu
dan cendana. Kehadiran orang India di Asia Tenggara cukup mempunyai
pengaruh yang besar dalam dunia perdagangan di Nusantara. Sedangkan
unsur-unsur budaya India yang dapat mempengaruhi dalam budaya Indonesia,
peranan ini lebih dilakukan oleh para Brahmana. Yang kedatangannya atas
undangan dari para penguasa Indonesia (Poesponegoro, et al., 1984; 24).
Berkembangnya pengaruh budaya India di NusantaraHubungan dagang antara India dan Indonesia itu telah berimbas pada masuknya pengaruh budaya India ke dalam budaya Nusantara. Tentang bagaimana sesungguhnya proses itu berlangsung, para ahli membagi dua hal pokok, yaitu ;
1) Bertolak dari anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut
2) memberikan peranan aktif kepada bangsa Indonesia.
Pendapat
pertama menganggap telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India.
Koloni – koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India.
Pendapat lain mengatakan bahwa dalam kolonisasi tersebut terjadi pula
penaklukan, sehingga muncullah gambaran bahwa orang-orang India sebagai
golongan yang menguasai Nusantara. Gambaran itu menganggap bahwa proses
masuknya budaya India dipegang oleh golongan Prajurit atau kasta
Ksatria. Dalam hal ini Bosch menyebut sebagai hipotesa ksatria.
N.J.
Krom berpendapat bahwa golongan ksatria tidak sebesar golongan pedagang
yang datang ke Indonesia, dan kemudian menetap di Nusantara dan
memegang peranan dalam penyebaran pengaruh budaya melalui hubungan
mereka dengan penguasa-penguasa di kepulauan Nusantara. Kemungkinan pula
terjadi perkawinan dengan wanita Nusantara (Poerbatjaraka, 1952 ;viii),
perkawinan ini menjadi pengaruh penting dalam penyebaran budaya. Karena
pedagang adalah termasuk kasta vaisya, maka Bosch menyebutnya sebagai
hipotesa Vaisya.
Hipotesa Krom
berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan
budaya Indonesia-Hindhu sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat
terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang
digambarkan dalam hipotesa ksatria. Kedua pendapat Bosch maupun Krom
kemudian dibantah oleh Van Leur, bahwa; sebuah kolonisasi melibatkan
sebuah kemenangan dalam penaklukan oleh golongan ksatria. Catatan
kemenangan atas penaklukan di Nusantara tidak pernah ada dalam catatan
resmi di India. Demikian pula di Indonesia tidak didapati prasasti atau
tanda peringatan apapun. Kecuali hal itu, setiap kolonisasi selalu
diikuti dengan pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal
seperti; sistem kasta, seni, kerajinan, bentuk rumah, istiadat dsbnya.
Pada kenyataanya bahwa di Nusantara tak pernah ada budaya yang sama
dengan di India. Kalaupun dianggap bahwa orang-orang India menetap di
Nusantara tidak terjadi penyebaran secara perseorangan, mereka selalu
menempati suatu kawasan tertentu, seperti halnya perkampuan Cina,
perkampungan Arab, perkampungan India. Di beberapa tempat di Indonesia
masih dijumpai adanya perkampungan Keling, yaitu suatu tempat dimana
pada masa itu orang India bertempat tinggal.
Kedudukan
mereka seperti layaknya rakyat biasa , mereka hanya melakukan kegiatan
perdagangan saja. Pengaruh budaya yang dibawa oleh para pedagang ini
oleh Van Leur dianggap tidak memiliki peranan yang dominan dalam
mempengaruhi penguasa di Nusantara. Tetapi ia menambahkan bahwa peranan
penyebaran budaya India dilakukan oleh tingkat Brahmana, dan mereka
datang atas undangan para penguasa di Indonesia pada saat itu. Bukti
arkeologis menunjukan bahwa pada abad V Masehi di Asia Tenggara maupun
di semenanjung Melayu dari Indonesia bagian barat telah terdapat
pusat-pusat kekuasaan Politik dengan taraf peng-India-an yang sama.
Kesimpulan
bahwa dinegeri kepulauan ini telah berdiam jutaan tahun yang lalu
masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi dengan kemampuan
mereka menciptakan bahasa dan tulisan yang berlaku (dipahami) oleh
masyarakat dibelahan dunia lain. Dengan melihat kemampuan mereka dalam
menjelajah maka hanya dapat dilakukan oleh suatu masyarakat yang telah
terorganisir (berpemerintahan) dengan baik dengan sistem manajemen
modern yang dapat melakukan kendali atas semua aktivitas masyarakatnya.
Lalu siapa mereka yang berkuasa memerintah jutaan tahun yang lalu
dinegeri ini, apakah negeri ini lalu dikatakan tak bertuan sehingga
anak-cucunya membuat nama negeri yang lain terlepas dari sejarah
penguasa pendahulunya. Dari bahasa kita dapatkan bahasa yang disebut
Aneksasi.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar