Senin, 27 Januari 2014

Filled Under:

BAHASA NUSANTARA PURBA

Dalam banyak buku sejarah dikenalkan bahasa Sansekerta yang banyak ditulis dalam peninggalan artefak batu bertulis berasal dari induk bahasa India yang dibawa sebagai akibat pengaruh kedatangan bangsa India ke Pulau Jawa. Penduduk kepulauan ini berasal dari Indo-China. Tetapi di abad ke XXI baru dapat ditemukan bahwa teori tersebut memutar balikan fakta sesungguhnya.

Para ahli bahasa menyebut Bahasa Jawa sebagai Bahasa Nusantara Purba, mengapa tidak menggunakan istilah bahasa Indonesia Purba? Nama Indonesia dikenal pada abad ke XIX. Istilah Indonesia untuk pertama kalinya ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan juga oleh G.W. Earl dalam bidang etnologi. G.W. Earl menyebut Indonesians dan Melayunesians bagi penduduk Kepulauan Melayu. Pada tahun 1862 istilah Indonesia digunakan oleh orang Inggris bemama Maxwell dalam karangannya berjudul The Island of Indonesia (Kepulauan Indonesia) dalam hubungannya dengan ilmu bumi. Istilah Indonesia semakin populer ketika seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan istilah Indonesia pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan etnologi. Sedangkan penyebutan Jawa dikenal sejak abad ke 2 Masehi dalam karya Cladius Ptolemaeus dalam kitab Geographike Hyphegesis. Nama pulau Jawa dikenal dalam kitab tersebut dengan nama Chryse Chernesos artinya negeri emas dan semenanjung emas (seuai namanya berarti negeri ini dahulu kaya akan EMAS). Dalam kitab tersebut disebutkan nama sebuah tempat Iabadiou atau Pulau Jelai. Iabadiou dibaca Yawadiwu, Yawa bahasa sansekerta artinya Jelai, diwu bahasa pakrit dapat pula disebut dwipa dalam bahasa sansekerta.
Meskipun Prof. Krom sendiri tidak yakin akan hal ini, tetapi setidaknya nama Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu. Pada tahun 732 Masehi pada Prasasti Canggal menyebut nama Dwipa Yawa, juga dalam berita Cina menyebut nama Yeh-p’o-t’i untuk pulau Jawa, meski beberapa sarjana menganggap” tidak harus diartikan sebagai pulau Jawa”. Bahkan prasasti di Angkor Wat menyebutkan bahwa pada abad V Kamboja pernah diserang oleh pasukan dari Kerajaan Jawa sehingga porak poranda. Dan pada abad VII Raja Jayawarman II menyerang kerajaan Jawa dan berhasil dengan kemenangan gemilang. Jadi nama yang dikenal di Cina, Kamboja dan India hanya dua nama yakni Suvarnnabumi dan Yawadwipa.
Bahasa Nusantara purba adalah bahasa Jawa tempo doeloe yaitu bahasa Jawa yang dikenal dalam keserumpunan bahasa Melayu Purba, digunakan di Malagasi dan beberapa tempat di daratan Asia Tenggara (Slamet Mulyana, 1964 ; 18-19), yang kemudian oleh J. Crawfurd melakukan penelitian kosakata dalam berbagai kamus mengenai bahasa-bahasa di Austronesia, yang diperbandingkan satu persatu, dengan bahasa Jawa, antara lain :
a. 8000 kata Malagasi ada 140 kata yang sama dengan bahasa Jawa
b. 4560 kata Selandia Baru ada 103 kata yang sama dengan bahasa Jawa
c. 3000 kata Marquesas ada 70 kata yang sama dengan bahasa Jawa
d. 9000 kata Tagalog ada 300 kata yang sama dengan bahasa Jawa
Bahwa angka kesamaan yang hanya sekitar 2% itu dianggap tidak ada kesamaan dalam keserumpunan, meski demikian ada dua hal yang patut untuk dicatat yaitu;
1) Bahwa orang “Indonesia” bukan berasal dari mana-mana bahkan merupakan induk sukubangsa di dunia yang menyebar ke seluruh penjuru dunia;
2) bahasa Jawa adalah bahasa tertua dan bahkan merupakan induk dari bahasa-bahasa Austronesia yang lain.
Dalam hal ini P.J. Veth tidak sependapat mengenai bahasa Jawa sebagai bahasa Induk dari bahasa-bahasa Austronesia termasuk Wilhem van Humboldt (1836) tentang tanggapannya terhadap bahasa Jawa kuna yang disebut sebagai bahasa Kawi yang terintervensi oleh bahasa Sansekerta (Slamet Mulyana, 1992 ; 19) , tetapi setidaknya bahasa Jawa memiliki konten yang menarik untuk dipelajari, diteliti dan dikemukakan kepada masyarakat penutur bahasa Jawa khususnya.
Para peneliti bahasa Jawa pada saat itu hanya memelajari serat-serat kasusastran Jawa sebagai bukti peninggalan sejarah dari abad IX- XVII Masehi, sebab bahasa Jawa yang asli sudah sulit untuk diketemukan lagi karena pada saat itu sama sekali tidak dibukukan dalam bentuk kamus (bausastra Jawa) atau yang sejenisnya (Poerbatjaraka, 1952 ; vii).
Nampaknya kasus yang dihadapi bahasa Jawa purba tempo doeloe, adalah kehilangan saksi bisu yang berupa tradisi tulis (Poerbatjaraka, 1952 ; vii), dan ini sangat menyulitkan untuk melacak kesejarahan bahasa Jawa, sebelum lahirnya bahasa kawi atau bahasa jawa kuna.
Barulah ketika orang-orang India masuk ke Nusantara ini, kedua bangsa (pribumi dan migrant) ini mengadopsi tradisi tulisan yang kemudian dikembangkan secara turun-temurun (Poerbatjaraka, 1952 ; vii), dengan cara saling bertukar informasi dan terjadinya perkawinan antara pribumi dan pendatang.
Pada akhirnya ditentukan garis, sebagai batas waktu penelitian sejarah kebudayaan Jawa, yakni sejak masuknya kebudayaan India ke Austronesia (kepulauan Nusantara) dalam hal ini ke pulau Jawa.
Dari sekian perjalanan sejarah penguasaan asing di Nusantara, yang sangat dominan pengaruhnya dalam ke-bahasa-an Jawa adalah dari Bahasa Sansekerta dan Arab, pengaruh tersebut tidak hanya pada kosakatanya, tetapi juga dalam kaidah paramasastra banyak sekali dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut. Hal ini tentu saja tidak bisa dihindari lagi, karena hampir semua bahasa di dunia dipengaruhi oleh kedua bahasa tersebut (Hazeu, et al., 1979 ; 111-112).
Sejarah bergulir seiring dengan perjalanan waktu, bahasa Jawa purba akhirnya digantikan oleh bahasa Jawa kuna yang sebagian besar dipengaruhi oleh masa pemerintahan Hindu sejak zaman dinasti wamça Syailendra, dan wamça Sanjaya yang berturut-turut menguasai Nusantara ini, mulai dari Rakai Mataram 732-760 M sampai Rakai Watuhumalang dipertengahan abad IX (Sulaiman, 1980 ; 107) , dengan bukti teks Jawa kuna sebelum aksara Jawa kuna digunakan secara resmi, seperti pada prasasti Canggal 732 M, Kalasan 778 M, Karangtengah 804 M, Gandasuli 832 M, Perot 850 M, Ratubaka 856 M, Pereng 864 M, Argapura 864 M maupun Salingsingan 876 M.
Jarak antara peralihan bahasa Jawa purba (Sundik) ke bahasa Jawa kuna ini pun cukup panjang, mungkin beberapa abad, karena memang tidak ada bukti yang menandai perjalanan waktu tersebut, seperti artefak dan sejenisnya. Munculnya pengakuan atas kekuasaan yang pernah menguasai pulau Jawa tertua tentang dinasti Salakanegara, yang menyatakan telah berdiri jauh sebelum kerajaan Tarumanegara, maka setidaknya bahasa Jawa kuna atau sebelumnya, pernah digunakan oleh orang – orang Jawa pada jaman dahoeloe kala. Jika benar apa yang ditulis dalam naskah Wangsakarta tentang keberadaan kerajaan Salakanegara, yang pernah menggunakan bahasa Jawa purba, maka setidaknya bahasa Jawa itu sudah dikenal pada masa abad III Masehi, atau mungkin sebelum itu sekitar awal abad satu masehi.
Pengaruh budaya India dalam bentuk seni patung yang banyak ditinggalkan di Indonesia (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), memberikan bukti bahwa budaya Hindu benar-benar menguasai di negeri ini dalam kurun waktu yang cukup lama. Dari peninggalan yang berupa; artefak, prasasti, candi dan patung dewa-dewa termasuk patung Budha, adalah merupakan tanda bahwa keberadaan budaya Hindu maupun Budha pernah ada dan berpengaruh besar di Nusantara ini.
Peradaban dunia dalam tradisi bahasa tulis, yang sudah dimulai sejak jaman Mesir kuna, yakni dengan bukti berupa pyramid dan artefak lainnya, yang mungkin terjadi sekitar 6000 tahun yang silam. Yang secara berangsur-angsur peradaban itu bergeser sampai ke Yunani serta mengalami masa kejayaan ketika memasuki jaman Romawi, yang kemudian sejalan dengan proses dinamika kehidupan, peradaban itu bergeser ke India. Padahal bagi orang India (Hindu) sendiri sebenarnya mereka itu dibawah pengaruh orang Indo-Arya yang datang dari Iran migrasi ke India dan banyak mempengaruhi terhadap budaya yang dianut oleh orang India yakni Hindu termasuk dewa-dewa sampai pada penambahan kasta yang semula hanya tiga, dengan kasta çudra sehingga menjadi empat kasta (Cardozo, 1985 ; 3).
Ketika orang membicarakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nusantara, apakah itu politik, ideologi, budaya, sosial ekonomi maupun pertahanan dan keamanan, maka tidak bisa melepaskan diri dari alur sejarah yang ada di bumi Nusantara ini. Menurut para ahli arkeologis, bahwa sejak jaman prasejarah penduduk Nusantara ini adalah pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas, hal ini sehubungan bahwa kepulauan Nusantara adalah tergolongan Negara perairan. Meski demikian lautan bukanlah sebagai penghalang untuk menjalin komunikasi dengan penduduk dipedalaman pulau, sehingga perjalanan air merupakan komoditas transportasi yang utama. Hampir seluruh sejarah kehidupan di bumi Nusantara ini berawal dari laut ke laut, oleh sebab itu kebudayaan dipesisir cenderung lebih maju daripada yang ada dipedalaman. Interaksi sosial dengan antar etnis, budaya, bahasa, agama banyak didominasi oleh penduduk pesisir.
Dalam penelitian prasejarah, benda-benda peninggalan yang mengandung ciri yang menunjukkan hubungan interinsulair antara kepulauan Nusantara dan Asia tenggara, adalah berupa artefak yang berbentuk Nekara dari perunggu, dan ini dipandang sebagai sasaran penting dalam penelitian purbakala yang dilakukan oleh para ahli arkeologi. Yang sangat terkenal dalam hal ini adalah Dr. F. Heger, dalam klasifikasinya bahwa nekara dibedakan dari tipe local dan tipe Asia Tenggara.
Meskipun ada anggapan bahwa nekara ini dibuat di Nusantara karena memang terbukti adanya peninggalan berupa cetakan – cetakan pengecoran logam pada jaman prasejarah, tetapi mungkin juga bahwa Nekara itu memang dibuat dan dibawa dari daratan Asia Tenggara, seperti Nekara di Sangeang (Poesponegoro, et al., 1984 ; 3). Dalam hal Nusantara itu diketemukan oleh orang-orang dari daratan Asia Tenggara khususnya para pedagang dari India, beberapa ahli berpendapat bahwa Kepulauan Nusantara telah berkembang kehidupan masyarakatnya, sehingga memungkin orang-orang yang bermigrasi itu, akan memperoleh manfaat yang besar dalam menjalin hubungan tersebut, JC. Van Leur dan O.W. Wolters berpendapat bahwa hubungan antara India dan Indonesia lebih dahulu jika dibandingkan dengan hubungan Indonesia – Cina.
Walau demikian, meski dikatakan bahwa hubungan India dengan Indonesia itu dianggap lebih awal, namun terdapat kesulitan untuk menentukan ketepatan waktunya. Hal ini mengingat bahwa sumber-sumber informasi yang dapat memberikan kejelasan secara tertulis yang berasal dari Nusantara, menurut penelitian para ahli ternyata tidak ada. Sedangkan tulisan yang umum digunakan di Nusantara ini justru berasal dari tulisan (aksara) India. Namun demikian sumber-sumber di India tidak pernah membuat catatan- catatan resmi mengenai suatu kejadian penting dalam suatu kurun waktu tertentu. Sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dari India hanyalah sastra, yang tentu tidak bertujuan untuk memberikan fakta-fakta tentang keadaan awal terjadinya hubungan bilateral antara India dan Indonesia. Para peneliti menyebut adanya kitab ‘ Jataka’, yang memuat kisah sang Budha dan didalamnya menyebut tentang suvarnnabhumi sebagai sebuah negeri yang untuk mencapainya, memerlukan perjalanan penuh bahaya.
Tetapi Suvarnabhumi tidak identik dengan Nusantara, karena S. Levi dalam Ptolemee le Nidessa et la Brhakatha, menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebuah negeri di sebelah timur teluk Benggala. Kecuali itu ada kitab lain yaitu Ramayana, dalam kitab tersebut menyebut nama Yawadwipa, yang dihiasi oleh tujuh Kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas perak. Juga menyebut nama Suwarnadwipa, yang kemudian dijadikan nama pulau Sumatera, salah satu sastra India yang oleh para ahli dianggap dapat dipercaya adalah kitab Mahaniddesa, Levi berpendapat bahwa keterangan geografis mengenai beberapa tempat di timur jauh yag terdapat didalamnya mencerminkan perbendharaan pengetahuan di India mengenai tempat-tempat itu pada abad III Masehi. Dalam usahanya untuk mengetahui awal hubungan India dengan daerah-daerah disebelah timurnya, para peneliti telah mengkaji sumber-sumber barat jaman kuna (Levi, 1925 ; 29).
Sebuah kitab yang dijadikan sumber adalah Periplous tès Erythras thalassès. Periplous adalah kitab pedoman untuk berlayar di lautan (Erythrasa) yaitu Samudera Hindia. Diperkirakan kitab itu ditulis pada awal tarikh Masehi (Wheatley, 1961: 129). Dari beberapa sumber yang berusaha untuk menemukan hubungan awal India dengan Nusantara baik sumber dari India maupun sumber Barat, belum dapat mengungkapkan sepenuhnya awal hubungan India-Nusantara. Tetapi dapat diambil kesimpulan di sekitar abad II Masehi, dan hubungan itu relative sudah intensif.
Ketika dimunculkan pertanyaan; apa alasan dagang orang India ke Nusantara? Dijawab oleh Coedès memberikan penjelasannya, bahwa pada awal tarikh Masehi India mengalami defisit yang luar biasa, mereka kehilangan sumber emas yang utama yang didatangkan dari Siberia melalui Baktria (Yunani). Tetapi ada berbagai gerakan yang memutuskan jalur perdagangan tersebut. Sebagai gantinya India mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar dari Romawi. Usaha inipun kemudian dihentikan oleh kaisar Romawi Vespasianus (69-79 M) karena, mengalirnya mata uang emas yang dalam jumlah besar keluar negeri akan membahayakan ekonomi Negara. Kemungkinan dengan alasan inilah India melakukan terobosan kearah timur yang telah dikenal sejak dahoeloe sebagai penghasil emas dan perak. Jika benar teori Coedès maka hal itu akan menegaskan bahwa tentang alasan India ke Nusantara hanyalah semata-mata soal perdagangan saja, bukan alasan politik sebagaimana yang diajukan oleh para peneliti abad XX (Coedes, 1968 ; 20).
Perdagangan Asia Tenggara dengan India adalah perdagangan Internasional dalam pasaran internasional pula, sehingga misi perdagangan ke Nusantara pada saat itu tentu bukan sekedar perdagangan kecil-kecilan.
Van Leur menyebut perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang India itu misalnya; logam mulia, jenis tenunan dan rempah-rempah, juga kayu gaharu dan cendana. Kehadiran orang India di Asia Tenggara cukup mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia perdagangan di Nusantara. Sedangkan unsur-unsur budaya India yang dapat mempengaruhi dalam budaya Indonesia, peranan ini lebih dilakukan oleh para Brahmana. Yang kedatangannya atas undangan dari para penguasa Indonesia (Poesponegoro, et al., 1984; 24).
Berkembangnya pengaruh budaya India di Nusantara
Hubungan dagang antara India dan Indonesia itu telah berimbas pada masuknya pengaruh budaya India ke dalam budaya Nusantara. Tentang bagaimana sesungguhnya proses itu berlangsung, para ahli membagi dua hal pokok, yaitu ;
1) Bertolak dari anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut
2) memberikan peranan aktif kepada bangsa Indonesia.
Pendapat pertama menganggap telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni – koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam kolonisasi tersebut terjadi pula penaklukan, sehingga muncullah gambaran bahwa orang-orang India sebagai golongan yang menguasai Nusantara. Gambaran itu menganggap bahwa proses masuknya budaya India dipegang oleh golongan Prajurit atau kasta Ksatria. Dalam hal ini Bosch menyebut sebagai hipotesa ksatria.
N.J. Krom berpendapat bahwa golongan ksatria tidak sebesar golongan pedagang yang datang ke Indonesia, dan kemudian menetap di Nusantara dan memegang peranan dalam penyebaran pengaruh budaya melalui hubungan mereka dengan penguasa-penguasa di kepulauan Nusantara. Kemungkinan pula terjadi perkawinan dengan wanita Nusantara (Poerbatjaraka, 1952 ;viii), perkawinan ini menjadi pengaruh penting dalam penyebaran budaya. Karena pedagang adalah termasuk kasta vaisya, maka Bosch menyebutnya sebagai hipotesa Vaisya.
Hipotesa Krom berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan budaya Indonesia-Hindhu sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang digambarkan dalam hipotesa ksatria. Kedua pendapat Bosch maupun Krom kemudian dibantah oleh Van Leur, bahwa; sebuah kolonisasi melibatkan sebuah kemenangan dalam penaklukan oleh golongan ksatria. Catatan kemenangan atas penaklukan di Nusantara tidak pernah ada dalam catatan resmi di India. Demikian pula di Indonesia tidak didapati prasasti atau tanda peringatan apapun. Kecuali hal itu, setiap kolonisasi selalu diikuti dengan pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal seperti; sistem kasta, seni, kerajinan, bentuk rumah, istiadat dsbnya. Pada kenyataanya bahwa di Nusantara tak pernah ada budaya yang sama dengan di India. Kalaupun dianggap bahwa orang-orang India menetap di Nusantara tidak terjadi penyebaran secara perseorangan, mereka selalu menempati suatu kawasan tertentu, seperti halnya perkampuan Cina, perkampungan Arab, perkampungan India. Di beberapa tempat di Indonesia masih dijumpai adanya perkampungan Keling, yaitu suatu tempat dimana pada masa itu orang India bertempat tinggal.
Kedudukan mereka seperti layaknya rakyat biasa , mereka hanya melakukan kegiatan perdagangan saja. Pengaruh budaya yang dibawa oleh para pedagang ini oleh Van Leur dianggap tidak memiliki peranan yang dominan dalam mempengaruhi penguasa di Nusantara. Tetapi ia menambahkan bahwa peranan penyebaran budaya India dilakukan oleh tingkat Brahmana, dan mereka datang atas undangan para penguasa di Indonesia pada saat itu. Bukti arkeologis menunjukan bahwa pada abad V Masehi di Asia Tenggara maupun di semenanjung Melayu dari Indonesia bagian barat telah terdapat pusat-pusat kekuasaan Politik dengan taraf peng-India-an yang sama.
Kesimpulan bahwa dinegeri kepulauan ini telah berdiam jutaan tahun yang lalu masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi dengan kemampuan mereka menciptakan bahasa dan tulisan yang berlaku (dipahami) oleh masyarakat dibelahan dunia lain. Dengan melihat kemampuan mereka dalam menjelajah maka hanya dapat dilakukan oleh suatu masyarakat yang telah terorganisir (berpemerintahan) dengan baik dengan sistem manajemen modern yang dapat melakukan kendali atas semua aktivitas masyarakatnya. Lalu siapa mereka yang berkuasa memerintah jutaan tahun yang lalu dinegeri ini, apakah negeri ini lalu dikatakan tak bertuan sehingga anak-cucunya membuat nama negeri yang lain terlepas dari sejarah penguasa pendahulunya. Dari bahasa kita dapatkan bahasa yang disebut Aneksasi.




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.