Senin, 27 Januari 2014

Filled Under:

ki ageng mangir

Kyai Pleret batal ‘berhadapan’ dengan Kyai Baruklinting

Seperti berbagai dusun di Yogyakarta, Ganjuran tidak lepas dari peranan para cikal bakalnya. Dusun ini dulu terkenal di seputar Yogyakarta karena terdapat pabrik gula milik Belanda, dinamai Pabrik Gula Ganjuran Gondang Lipuro. Didirikan oleh Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer sekitar tahun 1912 yang secara otomatis telah membuka dusun Ganjuran menjadi semacam wilayah industri yang berbasis pertanian. Tapi jauh sebelum itu, Ganjuran kental dengan sejarah awal berdirinya Keraton Mataram.

GONDANG LIPURO adalah pabrik gula di Ganjuran yang pernah mengalami masa keemasan pada tahun 1918-1930. Saat itu, atas inisiatif Schmutzer bersaudara dapat didirikan 12 sekolahan di sekitar pabrik gula Ganjuran.

Selain itu dia juga mendirikan gereja yang kemudian terkenal dengan nama Gereja Candi Hati Kudus Yesus. Tidak mau ketinggalan istri Julius Schmutzer pun mendirikan poliklinik yang semula untuk intern pabrik gula, dalam perkembangannya mengilhami berdirinya rumah sakit umum yang sekarang terkenal dengan nama Rumah Sakit Umum Panti Rapih.

Pada clash dengan kolonial Belanda pabrik gula ini turut dibumihanguskan gerilyawan Indonesai agar tidak ditempati oleh Belanda kembali.

Jauh sebelum Schmutzer datang ke Ganjuran, kawasan ini merupakan bagian dari Alas Mentaok. Keberadaannya tidak terpisahkan dengan suatu wilayah yang dalam Babad Tanah Jawa dikenal dengan nama Lipura.

Di Lipura inilah Panembahan Senopati pernah melakukan laku spiritual dan mendapatkan wisik untuk mendirikan pusat Keraton Mataram. Tempat Panembahan Senopati teteki ini sekarang terkenal dengan peninggalannya yang berupa batu berbentuk kotak yang sering disebut Watu Gilang. Letak Watu Gilang ini berada di Dusun Janggan, Gilangharjo, Bambanglipuro, Bantul.

SEMULA Panembahan Senopati pernah punya niat mendirikan pusat pemerintahan Keraton Mataram di tempat dia teteki. Akan tetapi letak dusun Janggan ini tidak terlalu jauh dengan wilayah Mangir. Oleh karena itu Ki Ageng Pemanahan menasihati Panembahan Senopati agar jangan mendirikan keraton di Gilangharjo.
Jika hal ini dilakukan, maka Panembahan Senopati akan selalu berhadapan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Sekalipun Panembahan Senopati memiliki senjata sakti berupa tombak bernama Kyai Ageng Pleret, tetapi Ki Ageng Mangir pun memiliki senjata sakti yang juga berupa tombak bernama Kyai Baruklinting.

Sedigdaya apa pun orang, tidak akan kuat menerima tusukan tombak Kyai Baruklinting. Demikian Sunan Kalijaga dalam Babad Mangir pernah menyatakan hal tersebut. Untuk itulah Panembahan Senopati mengurungkan niatnya untuk mendirikan keraton di wilayah ini. Dengan demikian Kyai Pleret batal berhadapan dengan Kyai Barklinting

Menurut sumber setempat Ganjuran juga pernah menjadi tempat pengasingan pasangan kekasih Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan Rara Pembayun. Peristiwa percintaan semacam Romeo-Juliet ini dipercaya mengilhami Keraton Mataram untuk menciptakan sebuah gending sakral yang dinamakan gending Kala Ganjur.

Istilah Kala Ganjur ini dipercaya pula menjadi cikal bakal penamaan dusun Ganjuran yang secara administratif terletak di Kalurahan Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul.
SELAIN itu istilah kala sering diartikan sebagai tali atau pengikat dan ganjur diartikan sebagai inti atau dasar. Inti yang dimaksudkan di sini adalah inti kehidupan manusia dalam menempuh hidup bersama.
Jadi secara utuh Kala Ganjur berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Tak aneh bila kemudian gending sering digunakan mengiringi kirab pengantin dalam masyarakat Jawa.

Di balik perseteruan Mangir-Senopati ini di belakangnya ternyata masih menyisakan kelembutan akan kasih. Artinya, permusuhan politik ini sekalipun harus mengorbankan nyawa dan wilayah Mangir, namun tidak menghapus kecintaan trah Mataram pada keturunan dan kerabatnya. Penciptaan gending oleh pihak keraton tersebut dapat diduga menjadi salah satu tanda cinta bagi sepasang kekasih yang terpaksa dikorbankan demi kepentingan politik Mataram. Keberadaan gending Kala Ganjur itu sendiri sampai sekarang masih abadi seabadi percintaan Mangir-Pembayun yang pernah diasingkan di Ganjuran.

Kecuali versi-versi di atas masih ada versi lain menyangkut latar belakang keberadaan Dusun Ganjuran ini. Menurut Bapak dan Ibu Madiyo Utomo (84) yang menjadi jurukunci makam Ganjuran, dusun Ganjuran terjadi atau ada karena pada mulanya ada seorang tetua dusun yang bernama Kyai dan Nyai Ganjur. Dalam pengucapan masyarakat setempat Kyai dan Nyai Ganjur ini sering disebut pula dengan nama Kyai dan Nyai Jo Ganjur. Mungkin nama Jo itu merupakan kependekan dari nama Joyo

Misteri Ki Ageng Mangir dan Baruklinting

Tidak aneh kalau setiap dusun di Jawa terdapat makam tua yang sering dianggap kuburan nenek moyang (cikal bakal) warga setempat. Kadang makam tersebut malah cuma sekadar tempat menyimpan pusaka atau barang peninggalan cikal bakal dusun bersangkutan. Sampai saat ini di Dusun Mangir terdapat berbagai peninggalan dari zaman kejayaan Keraton Mangir. Peninggalan Ki Ageng Mangir tersebut sampai sekarang masih terpelihara baik.

PENINGGALAN yang masih tampak terpelihara di Dusun Mangir ini antara lain berupa batu persegi dengan ukuran 1×1 meter yang dipercaya sebagai dhampar/singgasana Ki Ageng Mangir, arca lembu (kendaraan Dewa Siwa), beberapa fragmen arca, serta lingga dan yoni yang sudah tidak in situ lagi. Selain peninggalan tersebut, ada beberapa peninggalan lain yang cukup tersebar di Dusun Mangir, yakni berupa onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu.

Dusun Mangir sekarang terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20-an kilometer dari Jogyakarta. Secara administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY. Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Buku sejarah versi De Graaf yang sebagian besar mendasarkan sumbernya pada Babad Tanah Jawi dan berita-berita Kumpeni-VOC pun tidak pernah membicarakan tentang Mangir. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir yang pernah diterjemahkan oleh Balai Bahasa.

Disebut dalam Babad Mangir bahwa paling tidak ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari Brawijaya terakhir (V) yang berputra Radyan Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).

Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.

Jadi, Ki Bagus Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari Mangir III. Mangir III ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah dengan tombak Kiai Baruklinting. Demikian, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapur.
Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Akan tetapi apabila dinalar tentulah hal ini menjadi muskil. Perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu saja melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Memang, cerita dalam babad/cerita tutur sering berisi hal-hal yang tidak wantah (terus terang), banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa ‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda sehingga cukup sulit diterima nalar begitu saja.

Misteri Ki Bagus Baruklinting sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia adalah benar-benar naga. Akan tetapi sebagian orang percaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah benar-benar manusia biasa. Hanya saja karena ia lahir dari rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular/naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri. Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus Baruklinting sendiri. Dalam babad diceritakan bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini bersuara (berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu berhati-hati terhadap Pembayun.

Tidak aneh kalau kemudian pada gilirannya bahwa tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam/dilumpuhkan oleh Pembayun dengan kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut dengan kemben miliknya



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.