Ketika terjadi tragedi berdarah antara Kerajaan Majapahit dan Demak
sekitar th. 1478 M, dan pihak Majapahit yang mengalami kekalahan, maka
keluarga besar Brawijaya V saling melarikan diri untuk meneyelamatkan
jiwanya dari kejaran prajurit demak, dan salah satunya gugur putra
menantunya yaitu Joko Sengoro. Salah satu anaknya adalah Joko Balut yang
melarikan diri ke arah Barat sampai menetap di Gunung Kidul. Barangkali
dan kemungkinan Joko Balutlah yang mungkin membawa salah satu pusaka
kerajaan yang bernama Baru Klinting yang cukup ampuh dan tinggi daya
supranaturalnya serta ujung tombaknya yang mengandung racun yang sangat
berbisa. Pada saat tinggal di Gunung Kidul ia mempunyai keturunan yang
bernama Angabaya I. Setelah Panembahan senopati berkuasa di Mataram
sekitar Th. 1579 M, ada dua gerakan separatis yang satu dipimpimpin oleh
Ki Gede Wanakusuma yang berkuasa di Tlatah Giring dan sebelah Barat
dipimpin oleh Angabaya III. Untuk menumpas pembrontak dari Ki Gede
Wanakusuma Panembahan Senopati ibarat berlayar sekali mengayuh mendapat
dua pulau, yaitu bisa membunuh Wanakusuma, bekas kakak iparnya dan
membunuh mantan istrinya yaitu rara lembayung yang melaggar sumpah.
Konon demi wahyu keraton saat Panembahan Senopati belum menjadi raja
masih bernama Danang sutawijaya ia memperistri Rara lembayung. Berhubung
rara Lembayung wajahnya tidak cantik maka dicerai oleh Panembahan
Senopati dalam keadaan hamil. Keduanya antara Lembayung dan Wanakusuma
adalah sama sama putra dari Kiageng Giring III, atau Raden Mas
Kertanadi. Panembahan Senopati memberi wasiat pada istrinya bila kelak
jabang bayi lahir jangan sampai memberitahu siapa ayahnya, dengan
meninggalkan sebilah keris tanpa sarung. Hal ini disanggupi oleh Rara
Lembayung. Namun apa boleh buat setelah bayi lahir laki laki dan diberi
nama Joko Umbaran dalam usia 20 tahun ia mendesak pada ibunya terus
menerus untuk memberitahu siapa ayahnya. Singkat cerita setelah
ditunjukan ayahnya, lalu ia mencari ayah dengan melalui perjuangan yang
sangat berat. Setelah bertemu dengan ayahnya, Panembahan Senopati
bersedia menerima sebagai anak asal bisa mencari sarung keris yang
dibawa oleh Joko Umbaran atas pemberian dari ibunya yang bernama kayu
purwosari. Hal ini adalah perintah sibolis yang artinya Joko Umbaran
harus bisa membunuh Wanakusuma dan ibunya rara lembayung, yang melanggar
janji.
Setelah berhasil Joko Umbara diakui sebagai anak dan diberi kedudukan
oleh Panembahan Senopati sebagai Senopati Perang Mataram dan bergelar
Pangeran Purboyo.
Lain halnya dengan Panembahan Senopati dalam hal menumpas pembrontakan
yang dipimpin oleh Angabaya III menggunakan taktik PERANG RANTAI EMAS.
Alasan menggunakan Perang Rantai Emas ada 3 macam yaitu :
Apabila diserang menggunakan secara militer secara be-
sar besaran akan menghabiskan keuangan Mataram.
2. Apabila diserang secara militer secara besar besaran
akan jatuh korban yang cukup banyak, karena Angaba
ya III adalah musuh yang sulit untuk ditumpas.
3. Kalau diserang secara prajurit secara besar besaran
Angabaya III bukan levelnya.
Angabaya III bukan levelnya ( isitilah jawa Menang
ora kondang kalah wirang ).
Setelah pertempuran menggunakan perang rantai emas melalui jebakan
perkawinan yang sukses antara Dewi Pembayun ( Dewi Retningrum ) dan
Angabaya III, maka terkejutlah Angabaya III setelah tahu istri yang
sedang mengandung adalah anak musuh bebuyutannya, dan diajak sowan ke
Mataram.
Namun apadaya Angabaya III ibarat orang yang memakan buah Simala Kama,
dimakan akan menemui nasib yang tragis dan tidak dimakanpun Angabaya III
dalam perkawinannya dengan Pembayun sudah dukepung dengan prajurit
pendem dari Mataram.
Dengan keberangkatannya Angabaya III dan Istri serta diiringi beberapa
prajurit menuju Mataram diiringi tangis dan air mata oleh keluarga dan
kerabatnya serta diberi nasehat agar berhati hati apabila sudah tiba di
Mataram.
Memang telah menjadi kenyataan setelah tiba di luar keraton Angabaya III
sudah dihadang oleh prajurit Mataram yang dipimpin oleh salah seorang
Tumenggung yang sama sama ingin memperistri Dewi Pembayun.
Dasar Angabaya III seorang berjiwa prajurit orangnya cakap, ahli ilmu
kanuragan dan mungkin punya ilmu kekebalan tubuh, maka terjadilah
pertempuran yang tidak seimabang. Angabaya III berhadapan dengan seorang
Tumenggung yang memimpin
pertempuran dan Tumenggung tersebut mati ditangan Angabaya III. Dengan
luka yang sangat parah dan berjalan sempoyongan Angabaya III menjatuhkan
diri dihadapan Sang Mertua Panembahan Senopati. Persoalan ia mati
dibenturkan kepalanya di watu Gilang atau dengan cara lain itu
walauhualam.
Tapi ada cerita lain dimana Panembahan Senopati memanggil Demang
Tapanangkil untuk membawa jenasahnya keluar keraton. Jadi kalau kuburan
Angabaya III yang ada di KOta Gede, separo didalam dan separo diluar itu
sungguhan atau tidak kami ngga tahu.
Setelah Pembayun menjadi janda, ia hidup sebagai putri triman yang
artinya hidup di luar keraton dan dalam keadaan hamil ia dikawinkan
dengan Tumenggung Teposono putra Ki Ageng Karang Elo. Tumenggung
Teposono setelah menjadi menantu Panembahan Senopati diberi wasiat agar
kelak bayi lahir untuk dibunuh supaya tidak menjadi duri dalam daging
untuk masa depan kerajaan Mataram. Setelah Pembayun melahirkan jabang
bayi laki laki ibunya langsung meninggal dunia ( Sedo Konduran ), dan Ki
Ageng Lo tidak tega untuk membunuh bayi yang tidak berdosa.
Maka bayi tersebut dibawa oleh Ki Ageng ke arah Barat sampai ke Tlatah
Banyumas ( Kebumen ) dan diberi nama MADUSENO, sedang yang dikubur
adalah ari arinya.
Cekap semanten lebih dan kurang nyuwun agunging pangapunten.
Nb; keturunan Ki Ageng Mangir (PH maduseno, Pnh Djoyosoro, Pnh
Soroboyo, Rng Dm Wangsayuda, dll) ada di Karanganjar, Kebumen tepatnya
di desa candi dan saat pecah perang diponegoro keturunannya banyak yang
mengungsi ke arah barat di Banyumas, namun kebenarannya perlu ditelusuri
silsilahnya. Ada juga di daerah mangir saradan Madiun.
Sumber
Senin, 27 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar