Mangir pada hakikatnya adalah sebuah dusun, tepatnya berada di
sebelah selatan Kota Yogyakarta (+ 20 km). Jarak Mangir dari Kotagede
kurang lebih juga 20-an km. Mangir terbagi atas tiga wilayah yang lebih
kecil, yakni Mangir Lor, Mangir Tengah, dan Mangir Kidul. Tiga nama
Mangir ini masuk dalam wilayah Desa/Kalurahan Sendangsari, Kecamatan
Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Posisi wilayah Mangir agak masuk
ke sisi sebelah barat daya Kabupaten Bantul dengan kondisi alam yang
relatif subur di bagian tengah dan perbukitan kapur di sisi selatan.
Meskipun daerahnya agak menjorok ke dalam, tetapi lokasi Mangir dapat
dicapai dengan kendaraan bermesin karena jalan-jalan penghubungnya sudah
banyak yang dibangun dengan baik dan beraspal.
Mangir pada zamannya tidak pernah merasa perlu tunduk di bawah
kekuasaan siapa pun (baik Pajang maupun Mataram). Wilayah ini pada
zamannya barangkali tidak berbeda jauh dengan wilayah Mataram pada zaman
Senapati. Barangkali pula Mangir masih meneruskan tradisi Majapahit,
yakni sebagai sebuah wilayah perdikan sehingga secara tradisi pula
Mangir bebas dari pajak dan berhak penuh mengelola dirinya sendiri.
Bedanya, Mangir tidak pernah meluaskan wilayahnya seperti Mataram.
Apabila Mataram biasa disebut sebagai sebuah kerajaan, maka pantas
pulalah kalau Mangir pun pada zamannya disebut sebagai sebuah kerajaan.
Kebesaran Mangir barangkali dapat dilihat dari wilayahnya yang
meliputi tiga dusun tersebut (bahkan dalam cerita tutur disebutkan bahwa
kademangan di sekitar Mangir pun menyatakan diri sebagai pengikut
Mangir, seperti Kademangan Pajangan, Kademangan Tangkilan, Kademangan
Pandak, Kademangan Paker, Kademangan Jlegong) . Di samping itu, di Dusun
Mangir Tengah juga ditemukan sebuah dhampar ‘tempat duduk raja/
petinggi/pemimpin suatu daerah’. Dhampar berukuran sekitar 1 x 1 meter
persegi dengan ketinggian sekitar 30-40 cm yang terbuat dari batu
andesit tersebut sampai sekarang masih dirawat baik oleh penduduk
setempat. Di samping dhampar tersebut, hampir di seluruh Dusun Mangir
ditemukan puing-puing batu bata dan batu putih yang diyakini sebagai
sisa-sisa bangunan/pagar/benteng Kerajaan Mangir. Lingga dan yoni dalam
bentuk relatif masih utuh pun ditemukan di sana. Demikian pula lembu
Nandhi. Temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa pada awalnya wilayah
Mangir atau paling tidak pemimpinnya, mempunyai kepercayaan Hindu.
Dua Buah Makam Ki Ageng Mangir
Awam umumnya mengenal bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di kompleks
makam Kotagede. Akan tetapi sebagain kecil masyarakat meyakini bahwa
makam Ki Ageng Mangir berada di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean,
Sleman, Yogyakarta. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi di kalangan
masyarakat. Spekulasi yang pertama menduga bahwa makam Ki Ageng Mangir
di Kotagede adalah makam yang dibuat dengan tujuan politis. Makam Mangir
di Kotagede dibuat demikian unik. Setengah batu nisannya berada di luar
pagar kompleks makam dan yang lainnya berada di dalam. Hal ini
dimaksudkan oleh Senapati sebagai pengakuan atas Mangir sebagai menantu
(dilambangkan dengan batu nisan yang berada di dalam tembok) dan
sekaligus sebagai musuh (dilambangkan dengan batu nisan yang berada di
luar pagar tembok).
Dengan demikian, peristiwa atas pembunuhan putra menantu sendiri yang
dilakukan oleh Senapati menjadi kelihatan sah. Di samping itu, Senapati
pun merasa sah pula mengakui musuhnya sebagai menantu. Dari sisi
politis menjadi demikian jelas bahwa Senapati tidak segan-segan
melakukan pembersihan terhadap siapa pun, termasuk putra menantu.
Spekulasi kedua atas fenomena makam Mangir di Dusun Saralaten,
Sidakarta, Godean, Sleman meyakini bahwa Ki Ageng Mangir yang dibunuh
oleh Senapati itu tidak dimakamkan di Kotagede. Dalam cerita tutur
dikatakan bahwa jenazah Ki Ageng Mangir dikeluarkan melalui pintu
belakang Keraton Mataram lalu dibawa oleh Demang Tangkilan pulang ke
daerahnya (Tangkilan, nama sebuah dusun yang terletak di sebelah timur
Dusun Saralaten, Godean). Pada masa itu Saralaten barangkali masih
berada di bawah pemerintahan Kademangan Tangkilan, Oleh Demang Tangkilan
inilah jenazah Ki Ageng Mangir dikuburkan di wilayahnya. Persoalannya
kemudian adalah mengapa jenazah itu tidak dikuburkan di Mangir oleh
Demang Tangkilan. Dugaan yang dapat diajukan atasnya barangkali adalah
karena Demang Tangkilan tidak berani menolak perintah Senapati untuk
menguburkan Mangir di wilayahnya. Dugaan yang lain adalah karena setelah
pembunuhan Mangir kemungkinan besar Senapati terus melakukan
pembersihan dan penghancuran Mangir. Hal demikian biasa dilakukan oleh
pembesar-pembesar masa itu karena merasa kedudukannya akan menjadi
terancam di kemudian hari oleh saudara, kerabat, dan anak keturunan dari
bekas musuhnya. Oleh karena itu, prinsip babat habis sampai ke
akar-akarnya sering diterapkan penuh.
Dugaan yang kedua ini diperkuat pula oleh banyaknya orang yang
bersimpati/yang masih merasa keturunan Mangir yang kemudian selalu
melakukan ziarah ke makam Saralaten dan justru bukan di Kotagede. Makam
Saralaten ini konon ditemukan pertama kali oleh Bapak Soewarno pada
tahun 1969. Pada saat ditemukan masih merupakan gundukan batu bata yang
tertutup rumput. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana pembuktian makam
itu sebagai makam Ki Ageng Mangir. Hanya diceritakan bahwa Bapak
Soewarno pada masa hidupnya demikian penasaran dan tekun mencari-cari
lokasi makam Ki Ageng Mangir. Dipercaya pula bahwa penemuan makam
tersebut dilandasi juga dengan laku spiritual. Keyakinan Bapak Soewarno
atas makam Saralaten ini dibuktikan pula dengan pemugaran yang dilakukan
pada tahun 1976 sehingga makam tersebut menjadi kelihatan megah dan
bersih.
Tiga Tokoh Ki Ageng Mangir Wanabaya
Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah
tokoh Ki Ageng Mangir. Dalam buku sejarah versi De Graaf pun
(Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Awal Kebangkitan Mataram, Puincak Kekuasaan Mataram, Disintegrasi Mataram
di Bawah Mangkurat I, dan Runtuhnya Istana Mataram) nama Mangir tidak
pernah disebut sama sekali. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita
tutur dan buku Babat Mangir
Dalam Babat Mangir disebutkan paling tidak ada tiga tokoh yang
menggunakan nama Mangir. Dalam tulisan ini akan digunakan penomoran
untuk membedakan tokoh-tokoh yang semuanya menggunakan nama Mangir.
Mangir I adalah putra Radyan Alembumisani, seorang pelarian dari
Kerajaan Majapahit. Konon Radyan Alembumisani adalah putra Brawijaya
yang melarikan diri dari majapahit karena serbuan tentara Demak. Ketika
muda Mangir I ini diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Wanabaya (Mangir
I) inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan
nama Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ki Ageng Mangir Wanabaya I kawin dengan seorang putri dari Juwana.
Dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Di
samping itu, Ki Ageng Mangir I juga mempunyai anak dari seorang gadis,
putri dari Demang Jalegong. Perkawinan Ki Ageng Mangir Wanabaya I dengan
Rara Jalegong konon melahirkan seorang anak yang berupa ular (demikian
disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal
dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar
biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tumbak
oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Dalam persepsi Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir,
Baruklinting dipersonifikasikan sebagai pemuda yang pandai menghimpun
massa dan ahli strategi perang. Barangkali apa yang dipersepsikan Pram
tidak meleset jauh mengingat cerita tutur Jawa dan babad sering demikian
banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa
‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda.
Ki Ageng Mangir Wanabaya II kelak kawin dengan seorang gadis, putri
dari Demang Paker. Dari perkawinan ini lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya
III. Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah yang kelak meneruskan
sifat-sifat ayah maupun kakeknya untuk tidak tunduk pada pemerintahan
Pajang maupun Mataram. Ia pulalah yang kemudian mewarisi tumbak Kiai
Baru.
Seperti apa yang dikemukakan Pram, sangat logislah bahwa putra Ki
Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tetaplah berupa manusia juga.
Manusia itu diberi nama Baruklinting. Hanya karena ia lahir dari seorang
wanita yang tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan
sebagai ular. Kesaktian yang terletak di lidahnya diidentikkan oleh Pram
sebagai lidah yang demikian micara ‘semacam ahli pidato/diplomasi’ dan
ahli strategi. Kepandaiannya berdiplomasi mengakibatkan Baruklinting
mudah menghimpun massa. Tidak aneh apabila kemudian ia menjadi sosok
yang demikian diandalkan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya II (saudara
tirinya) dan Ki Ageng Mangir Wanabaya III pada zaman berikutnya (dalam
versi Babad Mangir I diceritakan bahwa Baruklinting tewas begitu
dipotong lidahnya oleh ayahnya. Sukma Baruklinting kemudian
diperintahkan untuk tinggal di Rawapening oleh ayahnya).
Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah Senapati
melakukan aneksasi dengan jalan halus (siasat perkawinan) dan kasar
(peperangan-perampasan). Dalam babad diceritakan bahwa kehendak untuk
menghancurkan Mangir dari semula memang sudah tumbuh di hati Senapati.
Ki Mandaraka menganjurkan supaya Mangir ditaklukkan dengan cara halus.
Dengan demikian biaya perang bisa dihemat, korban jiwa dan harta tidak
banyak yang jatuh. Siasat itu berhasil setelah Senapati mengumpankan
putrinya sendiri yang bernama Rara Pembayun agar dapat dikawin oleh Ki
Ageng Mangir Wanabaya III. Melalui Rara Pembayun itu pula Ki Ageng
Mangir Wanabaya III menjadi bersikap sedikit lunak kepada Senapati
(Mataram). Kelunakan hati Mangir III ini ditunjukkan dengan kesediaan
Mangir III menghadap ke Mataram. Ketika menghadap itulah ia dihabisi
oleh Senapati.
Untuk menunjukkan pengakuan menantu sekaligus musuh atas Mangir III
ini konon Senapati membuat makam dengan separoh batu nisan berada di
luar pagar tembok dan separo lainnya berada di dalam tembok kompleks
makam Kotagede. Belum diketahui dengan jelas siapakah sesungguhnya yang
membangun makam Mangir III di Kotagede itu. Apakah memang Senapati
ataukah raja-raja Mataram setelah Senapati.
Sumber
Senin, 27 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar