PENDAHULUAN
Kebanyakan
dari kita-terutama kaum muslimin saat ini-lebih mengenal
ilmuwan-ilmuwan Barat daripada ilmuwan-ilmuwan muslim. Padahal sebelum
peradaban Barat maju seperti saat ini, ilmuwan muslimlah yang lebih
dahulu maju dalam bidang sains. Sains dalam peradaban Islam mencirikan
sains yang sejalan dengan agama. Saat itu di abad 8 sampai abad 15
peradaban Barat tengah mengalami masa kegelapan atau dikenal dengan
istilah “Dark Age”. Abad kegelapan ini yang menimbulkan kemacetan ilmu
pengetahuan di Barat karena pengaruh gereja yang begitu kuat.
Menurut Gustave Le Bon,sebelum
Islam datang, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang
ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah menarik
terjadi pada zaman Daulah Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid,
tatkala beliau mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang
penguasa di Perancis. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu
oleh pihak Uskup dan para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada
jinnya sehingga mereka merasa ketakutan, karena dianggap sebagai benda
sihir. Pada masa itu dan masa-masa berikutnya, baik di belahan Timur
Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih mempergunakan jam pasir
sebagai penentuan waktu. Bagaimana kondisi kegelapan Eropa pada zaman
pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek mental-dimana cenderung
bersifat takhayul.
Peradaban
Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang sains pada saat
Dinasti Abbasiyah berkuasa yakni tahun 750-1258 M.Gerakan penerjemahan
dari sumber-sumber pengetahuan Yunani, Persia, India, China yang di
pelopori oleh penguasa pada saat itu menjadi salah satu faktor
berkembang pesatnya sains. Maka muncullah saintis-saintis muslim yang
hebat di bidang ilmu-ilmu alam seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi,
Al-Kindi, Al-Biruni, dan lain-lain.
Paper
ini akan mendiskusikan mengenai kontribusi salah seorang ilmuwan muslim
yakni Ibnu Al-Haitsam atau orang Eropa menyebutnya dengan nama Alhazen
dalam bidang ilmu optik,pemikirannya tentang teori penglihatan,penemuan-penemuannya serta pengaruh pemikirannya dalam sains di dunia Eropa.
Ibnu Al-Haitsam, Sang Ilmuwan Optik
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad Al Hassan ibnu Al-Haitsam, Ia
dilahirkan di Bashrah-salah satu kota di Irak sekarang- pada tahun 354
H/965 M. dan wafat di Kairo pada tahun 1039 M. Ibnu al-Haitsam
terkadang dipanggil dengan nama al-Bashri,nama ini dinisbatkan kepada
kota kelahirannya di Bashrah,Irak. Di Eropa Ibnu Al-Haitsam lebih
dikenal dengan nama Alhazen (dalam bahasa Latin), nama ini dinisbatkan
kepada nama depannya yakni al-Hassan.
Saat
muda Ia mendapatkan pendidikan di Basrah Irak, kemudian atas permintaan
Khalifah al-Hakim bi Amrillah Ia pergi ke Mesir untuk menangani
permasalahan banjir sungai Nil, namun Ia mengalami kegagalan. Sebuah
sumber menyebutkan bahwa untuk menghindari hukuman berat dari al-Hakim
ia kemudian berpura-pura sakit ingatan, dan hanya dihukum penjara.
Konon, di dalam penjara gelap yang disinar seberkas sinar dari atas
celah inilah ia mengamati berbagai fenomena optik. Terlepas dari
kebenaran cerita tersebut, Ibnu al-Haitsam nyatanya menghasilkan
berbagai karya dalam bidang sains alam yang sebagiannya masih bisa
ditemukan hingga saat ini.
Kecintaannya
kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di sana Ia
melakukan beberapa penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta
menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas
Al-Azhar.
Al-Haitsam
akhirnya dapat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang
didirikan pada masa Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah itu, secara
otodidak, Ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti
ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat.
Secara
serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam
teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah
orang pertama yang menulis dan menemukan perbagai data penting mengenai
cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.
Begitu
besarnya kontribusi Ibnu Al-Haitsam dalam sains sehingga Irak
menjadikan gambarnya sebagai mata uang pecahan 10.000 pada tahun 2003.
Ibnu
al-Haitsam banyak mempelajari karya karya ilmuwan Yunani terkait dengan
bidang optik yakni karya Euclides dan Ptolemy, namun setelah ditelaah
terdapat banyak kekeliruan dan Ibnu Al-Haitsam meluruskan pendapat kedua ilmuwan Yunani tersebut.
Sebelum Ibnu Al-Haitsam terdapat ilmuwan muslim yang lebih dahulu mengadakan penyelidikan terhadap ilmu optik,yakni Al-Kindi,
Ia mencurahkan pikirannya untuk mengkaji ilmu optik. Hasil kerja
kerasnya mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta
prinsip-prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik
terekam dalam kitab berjudul De Radiis Stellarum. Buku yang ditulisnya
itu sangat berpengaruh bagi sarjana Barat seperti Robert Grosseteste dan
Roger Bacon.
Seabad
kemudian, sarjana Muslim lainnya yang menggembangkan ilmu optik adalah
Ibnu Sahl (940 M - 1000 M). Sejatinya, Ibnu Sahl adalah seorang
matematikus yang mendedikasikan dirinya di Istana Baghdad. Pada tahun
984 M, dia menulis risalah yang berjudul On Burning Mirrors and Lenses
(pembakaran dan cermin dan lensa). Dalam risalah itu, Ibnu Sahl
mempelajari cermin membengkok dan lensa membengkok serta titik api
cahaya.
Ibnu
Sahl pun menemukan hukum refraksi (pembiasan) yang secara matematis
setara dengan hukum Snell. Dia menggunakan hukum tentang pembiasan
cahaya untuk memperhitungkan bentuk-bentuk lensa dan cermin yang titik
fokus cahanya berada di sebuah titik di poros.
Ibnu
Al-Haitsam banyak mengambil rujukan dari kedua tokoh ini. Menurut
Howard Turner, Al-Haitham adalah sarjana Muslim yang mengkaji ilmu optik
dengan kualitas riset yang tinggi dan sistematis. “Pencapaian dan
keberhasilannya begitu spektakuler,” puji Turner.
Ibnu
Al-Haitsam telah banyak menulis buku-buku mengenai ilmu optik dan
ilmu-ilmu lainnya. Di antara buku, risalah dan makalahnya, hilang
sebagaimana hilangnya peninggalan ilmu-ilmu masa silam.Buku-buku yang
masih tersisa di antaranya telah ditemukan di perpustakaan Istambul dan
London serta perpustakaan lainnya. Di antara karyanya yang masih bisa
diselamatkan dari kepunahan adalah kitabnya yang paling besar
Al-Manazhir yang meliputi teori-teori temuan jeniusnya di bidang ilmu
sinar. Buku ini menjadi rujukan dasar di bidang ilmu mata sampai abad
ke-17 M sesudah diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Kitab Al-Manazhir merupakan penggerak di bidang ilmu mata.
Al-Manazhir—Opticae Theasaurus
Salah
satu karya monumental Ibnu Al-Haitsam adalah Al-Manazhir (Bahasa Arab :
Bayt Al-Muzlim) yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin dengan nama
Opticae Theasaurus. Sebagian besar isi dari buku ini menjelaskan tentang
optik. Metode yang dipakai oleh Ibnu Al-Haitsam dalam menulis kitab
Al-Manazhir adalah metode eksperimen, sebuah metode ilmiah yang dipakai
jauh sebelum orang-orang Barat mengggunakannya.
Ibnu
Al-Haitsam mengatakan, kami memulai pembahasan dengan menetapkan
sesuatu yang telah ada,menyelidiki teori, membedakan klasifikasinya,
mengambil ketetapan apa yang dikhususkan mata saat melihat, dan itu
sumber utama yang tidak pernah berubah, kenyataan yang tidak menyerupai
tatacara panca indra. Kemudian diangkat dalam pembahasan dan
menganalogikan secara berangsur-angsur dan berurutan dengan mengkritik
apa yang diutarakan lalu mengambil kesimpulan. Kami menjadikan hal itu
sebagai tujuan semula yang kami tetapkan. Kami selidiki untuk
dipergunakan secara adil bukan hanya mengikuti hawa nafsu. Kami bebas
dengan seluruh apa yang kami pilih dan istimewakan atau mengkritiknya
untuk mencari kebenaran, tidak berpihak pada salah satu dari
pendapat-pendapat.
Buku
ini menjelaskan gambaran penglihatan mata. Ia juga memasukkan metode
baru tentang penafsiran pandangan mata. Ibnu Al-Haitsam menulis masalah
mata hampir dua puluh empat materi. Dalam kitabnya Ibnu Al-Haitsam tidak
menghilangkan teori-teori Bathlemus. Ia mensyarahkan dan mengambil
sebagian teorinya untuk disejajarkan dan dijadikan sebagai acuan.
Bahkan, Ia menolak sejumlah teori dalam ilmu cahaya setelah Ia menemukan
teori baru yang menjadi cikal bakal ilmu mata pada masa mendatang.
Bathlemus
menyatakan bahwa penglihatan bisa sempurna dengan sarana cahaya yang
memantul dari mata ke benda yang terlihat. Para ilmuwan membenarkan
teori ini, kemudian datanglah Ibnu Haitsam membetulkan teori tersebut.
Ia menjelaskan bahwa penglihatan bisa sempurna dengan sarana cahaya yang
memantul dari benda yang
dilihat, dari arah mata yang melihat. Serangkaian penemuan yang diungkap
Ibnu Al-Haitsam menjelaskan bahwa pancaran sinar itu menyebar melalui
garis lurus sejajar yang terkandung di tengah-tengah dua jenis. Demikian
ditetapkan dalam bukunya Al-Manazhir.
Dalam Kitab Al-Manazhir,
Ibnu Haitham juga telah menjelaskan mengenai warna matahari terbenam
serta beragam fenomena fisika seperti bayangan, gerhana, dan pelangi,
dan spekulasi pada fisik alami cahaya.
Berikut ini adalah penjelasan Ibnu al-Haitham dalam Kitab al-Manazhir yang terbukti kebenarannya berdasarkan optik modern:
“Ia
menjelaskan bahwa penglihatan merupakan hasil dari cahaya menembus mata
dari benda, dengan demikian merupakan bantahan terhadap kepercayaan
kuno yang mengatakan bahwa sinar penglihatan datang dari mata.”
“Ia
menunjukkan bahwa wilayah kornea mata adalah lengkung dan dekat dengan
conjunctiva/penghubung, tetapi kornea mata tidak bergabung dengan
conjunctiva.”
“Ia menyarankan bahwa permukaan dalam kornea
pada titik di mana ia bergabung dengan foramen mata menjadi cekung
sesuai dengan lengkungan dari permukaan luar. Tepi-tepi permukaan
foramen dan bagian tengah daerah kornea menjadi bahkan namun tidak satu.
“
”Ia
terus berupaya oleh penggunaan hiperbola dan geometri optik ke grafik
dan merumuskan dasar hukum pada refleksi/penyebaran, dan dalam
atmospheric dan pembiasan sinar cahaya. Dia berspekulasi dalam bidang
electromagnetic cahaya, yakni mengenai kecepatan, dan perambatan garis
lurus. Dia merekam pembentukan sebuah gambar dalam kamera obscura saat
gerhana matahari (prinsip dari kamera pinhole).”
”Ia menyatakan bahwa lensa adalah bagian dari mata yang pertama kali merasakan penglihatan.”
”Ia
berteori mengenai bagai mana foto dikirim melalui saraf optik ke otak
dan membuat perbedaan antara tubuh yang bercahaya dan yang tidak
bercahaya.”
Selanjutnya
dalam Al-Manazhir ,khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh
Snellius dalam bentuk yang lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan,
teori Newton juga dipengaruhi oleh al-Haytham, sebab pada Abad
Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak
dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei,
menggabungkan teori al-Haytham dengan temuan mereka. Juga teori
konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna
cahaya yang ditemukan oleh Newton, juga telah diungkap oleh al-Haytham
abad ke-11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14.
Siapa
saja yang menelaah kotab Al-Manazhir dan bab-bab yang berhubungan
dengan cahaya dan lainnya niscaya akan mengetahui bahwa Ibnu Al-Haitsam
telah menemukan ilmu cahaya
dengan temuan baru yang belum didahului oleh siapapun. Ia mengarang
kitab ini pada tahun 411H/1021M dan membuahkan kejeniusan di bidang
matematika,kejeliannya di bidang kedokteran,eksperimen ilmiah,hingga
dapat sampai pada satu nilai yang diletakkan pada nilai yang sangat
tinggi di ruang lingkup ilmu pengetahuan. Ia menjadi salah seorang
pencipta dasar-dasar ilmu dan mengubah pandangan ilmuwan dalam banyak
hal dalam ruang lingkup masalah diatas.
Salah satu ilmuwan Mesir yang menelaah kitab-kitab peninggalan Ibnu Al-Haitsam adalah Musthafa Nazhif.
Pemikiran Ibnu Al-Haitsam Mengenai Optik
Pada awalnya, masalah mata menurut bangsa Yunani meliputi dua pendapat yang saling bertentangan. Pertama, masuk, artinya masuknya sesuatu semisal materi ke dalam dua kelopak mata. Kedua,
menghantar, artinya terjadinya pandangan(mata) itu ketika menghantar
sinar dari kedua mata yang dikemukakan oleh materi yang dilihat. Pada
waktu itu bangsa Yunani tenggelam dalam peradaban yang mengatakan bahwa
mata bekerja sebagaimana dua pendapat diatas. Aristoteles dengan penuh
kesungguhan membawa satu perincian pamungkas tentang itu. Demikian juga
dengan Euclides di sela-sela kesungguhannya, teori kedua ilmuwan ini
hanya sebatas pada penjelasan
sempurna tentang mata. Mereka melupakan unsur-unsur fisika, fisiologi,
psikologi pada pandangan kasat mata. Mereka berpendapat, pandangan mata
terjadi dalam materi tipis yang penyebabnya adalah penglihatan berpijar
yang menghantar ke arahnya, yang terjadi disebabkan cahaya, bukan
pandangan. Sesuatu yang dipandang dalam sudut besar akan terlihat besar,
dan pandangan yang melihat dalam sudut kecil akan tampak kecil.
Sementar Bathlemus meskipun memulai tentang petunjuk mata antara ilmu
arsitektur dan ilmu fisika, dia bermasalah di akhir penelitiannya,
karena apa yang digunakannya sebatas persangkaan, Sebagai hasil temuan
untuk sampai pada realita, eksperimen kadang berlaku seiring perjalanan
terhadap teori itu.
Ibnu Haitsam mula-mula mengadakan kajian terhadap teori-teori Euclides dan Bathlemus dalam bidang mata. Lalu Ia menjelaskan kesalahan sebagian
teori-teori itu. Di sela-sela itu Ia menerangkan sifat rinci tentang
mata dan lensa mata dengan perantara kedua mata. Ia menjelaskan radiasi
pecahnya cahaya sinar saat menembus udara yang meliputi bulatan bumi
secara umum, Ia pecah dari kelurusannya. Ia juga meneliti kebalikannya
dan menjelaskan sudut-sudut susunan hal itu. Ia juga meneliti proses
bintang langit yang tampak di ufuk saat tenggelam sebelum sampai
kepadanya secara nyata, dan kebalikan yang benar saat tenggelam. Kondisi
itu tetap terlihat di ufuk setelah bintang tertutup di bawahnya.
Dalam hal teori penglihatan, Ibnu Al-Haitsam juga meluruskan pemikiran Euclides
dan Ptolemy. Euclydes dan Ptolomeus berpendapat bahwa sebabnya maka
kita menampak barang-barang yang berkeliling kita adalah lantaran mata
kita mengirimkan sinar kepada barang-barang itu. Ibnu Haitham memutar teori itu dan menerangkan bahwa bukanlah oleh karena ada sinar yang dikirimkan oleh mata kepada barang2 yang kelihatan itu, tetapi sebaliknya yaitu
matalah yang menerima sinar dari barang-barang itu yang lantas melalui
bahagian mata yang dapat dilalui cahaya (transparant) yakni, lensa mata.
Kritik
Ibnu Haitham terhadap ahli-ahli purbakala seperti Euclydes dan
Ptolemeus tentang penembusan dan perjalanan sinar itu telah menimbulkan
satu “revolusi” dalam ilmu tersebut pada masanya itu.
Euclydes
dan Ptolomeus berpendapat bahwa sebabnya maka kita menampak
barang-barang yang berkeliling kita adalah lantaran mata kita
mengirimkan sinar kepada barang-barang itu. Ibnu Haitham memutar teori itu dan menerangkan bahwa bukanlah oleh karena ada sinar yang dikirimkan oleh mata kepada barang2 yang kelihatan itu, tetapi sebaliknya yaitu
matalah yang menerima sinar dari barang-barang itu yang lantas melalui
bahagian mata yang dapat-dilalui-cahaya (transparant) yakni, lensa mata.
Pengaruh
Ibnu Haitham dalam ilmu-sinar itu di Barat berkesan dalam karangan
Leonardo da Vinci dan tak kurang pula dalam tulisan pujangga Barat yang
masyhur Yohan Kepler, Roger Bacon dan lain-lain ahli ilmu ini dalam Abad
Pertengahan. Mereka mendasarkan teori dan tulisan-tulisan mereka kepada
terori Ibnu Haitham yang telah disalin kedalam bahasa Latin dengan nama
“Opticae Thesaurus.”
Teori Optik Ibnu Al-Haitham
Ibn al-Haytham juga berkontribusi besar pada studi pemantulan (reflection) dan pembiasan (refraction). Ibn al-Haytham memusatkan studinya pada hukum pemantulan pada cermin parabola dan bola termasuk fenomena aberasi optik
Sebuah kasus dalam cermin bola yang kemudian dikenal sebagal Alhazen’s problem ia pecahkan secara geometri,
beberapa abad kemudian saintis optik Huygens memecahkannya secara
matematis. Dalam studi hukum pemantulan cahaya, al-Haytham telah
memperkenalkan hukum ke-2 pemantulan, yaitu bahwa sinar datang, garis
normal dan sinar pantul berada dalam satu bidang. Sebuah hukum
pemantulan sinar yang sudah akrab di telinga kita.
Sebuah
prinsip penting dari teori perambatan cahaya juga dicetuskan oleh
al-Haytham, yaitu bahwa cahaya merambat pada lintasan termudah dan
tercepat, bukan lintasan terpendek. Sebuah teori yang saat ini
disematkan pada Fermat: prinsip Fermat.
Ibn
al-Haytham juga menggunakan kecepatan pada bidang-persegi untuk
menentukan pembiasan cahaya jauh sebelum Newton yang tidak berhasil
menemukannya. Hukum ini kemudian dikenal sebagai hukum Snell hingga saat
ini.
Ibnu
Al-Haitsam mengembangkan teori yang menjelaskan penglihatan menggunakan
geometri dan anatomi. Teori itu menyatakan bahwa setiap titik pada
daerah tersinari oleh cahaya, mengeluarkan sinar cahaya ke segala arah,
namun hanya satu sinar dari setiap titik yang masuk ke mata secara tegak
lurus dapat dilihat. Cahaya lain mengenai mata tidak secara tegak lurus
tidak dapat dilihat. Ia menggunakan kamera lubang jarum sebagai contoh.
Kamera tersebut menampilkan sebuah citra terbaik.Ibnu Al-Haitsam
menganggap bahwa sinar cahaya adalah kumpulan partikel kecil yang
bergerak dengan kecepatan tertentu. Ia juga mengembangkan teori Ptolemi
mengenai refraksi namun usaha Ibnu Al-Haitsam tidak dikenal di Eropa
sampai abad ke-16.
Secara
eksperimental ia juga melakukan beberapa eksperimen dengan silinder
kaca yang dibenamkan ke dalam air untuk mempelajari pembiasan dan juga
menentukan kekuatan pembesaran lensa-lensa. Ia menggunakan mesin bubut
untuk membentuk lensa-lensa yang ia gunakan.
Al-Haitham
juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para saintis
di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Teori-teori Ibnu Al-Haitsam mengenai optik selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Firnas dengan membuat kacamata.
Camera Obscura,Cikal Bakal Kamera Modern
Kamera
merupakan salah satu penemuan penting yang dicapai umat manusia. Lewat
jepretan dan bidikan kamera, manusia bisa merekam dan mengabadikan
beragam bentuk gambar mulai dari sel manusia hingga galaksi di luar
angkasa. Teknologi pembuatan kamera, kini dikuasai peradaban Barat serta Jepang. Sehingga, banyak umat Muslim yang meyakini kamera berasal dari peradaban Barat.
Ibnu Al-Haitsam berhasil menemukan prinsip kerja kamera yang dikenal dengan nama Camera Obscura. Itulah salah satu karya al-Haitham yang paling monumental. Penemuan yang sangat inspiratif itu berhasil dilakukan al-Haitham bersama Kamaluddin al-Farisi. Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari. Untuk mempelajari fenomena gerhana, Al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar. Kemudian Kamaluddin Al-Farisi memperinci mekanisme dan cara kerja dari Camera Obscura tersebut dalam karya Optik lainnya. Al-Farisi meneliti lebih lanjut bahwa semakin kecil lubang dalam dinding maka proyeksi yang dihasilkan semakin tajam, ia menunjukkan juga bahwa hasil proyeksi menjadi terbalik.
Camera
obscura juga membuktikan bahwa cahaya merambat dalam garis lurus secara
eksperimen. Camera Obscura atau pinhole camera adalah sebuah bilik
gelap (bayt al-Mudhlim) yang salah satu dindingnya dilubangi. Panorama
dari luar bilik diproyeksikan melalui lubang tersebut ke salah satu
dinding dalam bilik. Kemudian seseorang yang ada di dalam bilik akan
menggambar hasil proyeksi tadi dengan proporsi yang tepat. Dengan
perangkat Camera Obscura ini pulalah Ibn al-Haytham mengamati fenomenda
gerhana matajari dengan sangat mudah.
Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai ”ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya.
kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Mereka
menemukan bahwa jika terdapat lubang kecil di sisi sebuah tenda yang
gelap, sebuah gambar terbalik akan muncul di dinding dalam. Kamera
obscura merupakan sebuah instrumen yang terdiri dari ruang gelap atau
box, yang memantulkan cahaya melalui penggunaan 2 buah lensa konveks,
Cahaya dari satu bagian dari sebuah objek akan melewati lubang dan
tembus ke dalam bagian dalam kertas. Semua gambar dari kamera obscura
akan terbalik dan dibalik seperti cermin. Jika lubang jarum di dalamnya
lebih kecil, objek akan tampil lebih tajam. Teori
yang dipecahkan Al-Haitsam itu telah mengilhami penemuan film yang
kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
“Kamera
obscura pertama kali dibuat ilmuwan Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu
al-Haitham, yang lahir di Basra (965-1039 M),” ungkap Nicholas J Wade
dan Stanley Finger dalam karyanya berjudul The eye as an optical instrument: from camera obscura to Helmholtz’s perspective.
Bradley Steffens dalam karyanya berjudul Ibn al-Haytham: First Scientist
mengungkapkan bahwa Kitab al-Manazir merupakan buku pertama yang
menjelaskan prinsip kerja kamera obscura. “Dia merupakan ilmuwan pertama
yang berhasil memproyeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke dalam
gambar dengan kamera obscura,” papar Bradley.
Istilah
kamera obscura yang ditemukan al-Haitham pun diperkenalkan di Barat
sekitar abad ke-16 M. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano
Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh pemikiran al-Haitsam mulai
mengganti lubang bidik lensa dengan lensa (camera).
Setelah
itu, penggunaan lensa pada kamera onscura juga dilakukan Giovanni
Batista della Porta (1535–1615 M). Ada pula yang menyebutkan bahwa
istilah kamera obscura yang ditemukan al-Haitsam pertama kali
diperkenalkan di Barat oleh Joseph Kepler (1571 – 1630 M). Kepler
meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di
belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar
(prinsip digunakan dalam dunia lensa foto jarak jauh modern).
Setelah
itu, Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk
kecil, tanpa kabel, jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah
900 tahun dari penemuan al-Haitham pelat-pelat foto pertama kali
digunakan secara permanen untuk menangkap gambar yang dihasilkan oleh
kamera obscura. Foto permanen pertama diambil oleh Joseph Nicephore
Niepce di Prancis pada 1827.
Tahun
1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar
dari tentara Inggris selama Perang Crimean. Dia mengembangkan plat-plat
dalam perjalanan kamar gelapnya yang dikonversi gerbong. Tahun 1888,
George Eastman mengembangkan prinsip kerja kamera obscura ciptaan
al-Hitham dengan baik sekali. Eastman menciptakan kamera kodak. Sejak
itulah, kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Sebuah
versi kamera obscura digunakan dalam Perang Dunia I untuk melihat
pesawat terbang dan pengukuran kinerja. Pada Perang Dunia II kamera
obscura juga digunakan untuk memeriksa keakuratan navigasi perangkat
radio. Begitulah penciptaan kamera obscura yang dicapai al-Haitham mampu
mengubah peradaban dunia.
Pengaruh Pemikiran Ibnu al-Haitham Terhadap Ilmuwan Barat
Pemikiran
Ibnu Al-Haitsam mengenai optik telah banyak memberikan pengaruh kepada
ilmuwan-ilmuwan Barat,hal ini terjadi setelah diterjemahkannya
karya-karya Ibnu Al-Haitsam kedalam bahasa Latin.
Pada abad ke-13 M, sarjana Inggris, Roger Bacon (1214 M - 1294 M),
menulis tentang kaca pembesar dan menjelaskan bagaimana membesarkan
benda menggunakan sepotong kaca. “Untuk alasan ini, alat-alat ini sangat
bermanfaat untuk orang-orang tua dan orang-orang yang memiliki
kelamahan pada penglihatan, alat ini disediakan untuk mereka agar bisa
melihat benda yang kecil, jika itu cukup diperbesar,” jelas Roger Bacon.
Beberapa
sejarawan ilmu pengetahuan menyebutkan Bacon telah mengadopsi ilmu
pengetahuannya dari Ibnu Al-Haitsam. Bacon terpengaruh dengan kitab yang
ditulis al-Haitham berjudul Kitab al-Manazhir.
David L. Shenkenberg menulis sebuah artikel yang berjudul, ‘Before Newton, there was Alhazen,’
“A
millennium ago, an Arab scientist authored more than 100 works on
optics, astronomy, mathematics and religious philosophy. Although he was
arguably one of the greatest scientists of all time, his name is little
known to people living in Western countries today. “
If
we read all the works of Alhazen, Roger Bacon from 14th century and Sir
Isaac Newton side by side, we may realize that a lot of work attributed
to Sir Isaac Newton truly belongs to Alhazen. The paradigm of two
civilizations, arising from the politics of crusades, deprived Alhazen
of these honors. The time is now ripe to begin the study of the works of
these three gifted giants, who were standing on the shoulders of prior
giants, side by side, to have a better understanding of the history of
science.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar