SULTAN Iskandar Muda bergelar Tun Pangkat Darma Wangsa sangat getol
menjalankan Syariat Islam di Aceh. Pada masanya memerintah, ratusan
masjid didirikan di daerah dan meunasah merata di setiap gampong.
Seperti
dituliskan dalam Kitab Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar-Ranirry,
raja Aceh tersebut selalu menganjurkan seluruh rakyatnya untuk
menjalankan syariat secara kaffah. Hukum kerajaan juga didasarkan kepada
Alquran dan Hadist. Sehingga seluruh elemen masyarakat pada masa itu
enggan melanggar syariat yang telah ditetapkan.
Dalam kitab
Bustanussalatin juga dijelaskan bagaimana Sultan Iskandar Muda begitu
berpihak pada rakyat. Hal tersebut dibuktikan dalam setiap Jumat yang
dijalaninya turut membawa berbagai macam hadiah dan sedekah untuk
diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Masa pemerintahan dia, Aceh kemudian dijuluki dengan negeri Serambi Mekkah sehingga melahirkan sebuah filosofi ; "Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana".
Po
Teumeureuhom adalah lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala adalah
lambang hukum syariat atau lambang agama dari Ulama. Qanun adalah
lambang perundang-undangan yang berdasarkan Islam dan adat istiadat.
Reusam adalah lambang dari tata cara pelaksanaan adat dari para peutua
adat dan juga berlandaskan pada Islam.
Pengembangan nilai-nilai hukum dan budaya ini mengacu pada sumber asas Kerajaan Aceh lainnya, yaitu: "hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut". Azas ini mendeskripsikan tentang roh dan jiwa masyarakat Aceh yang telah menyatu dengan pemahaman islamnya.
Penetapan
Syariat Islam oleh Iskandar Muda ini dipertegas dengan diberikannya
hukuman kepada anaknya, Meurah Pupok. Padahal, putranya tersebut
merupakan satu-satunya penerus Kesultanan Aceh.
Berdasarkan literatur
Bustanussalatin dan keterangan dari pamplet yang tertera di makam
Meurah Pupok di Komplek Peutjut (Kherkoff), di Banda Aceh, menerangkan
putra mahkota ini terpaksa di pancung karena berzina. Dia melakukan hal
itu dengan seorang istri perwira muda pelatih angkatan perang Kerajaan
Aceh Darussalam.
Perbuatan mesum mereka diketahui oleh suaminya
ketika pulang dari tempat pelatihan perang di Blang Bladeh (sekarang
adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Meukek, Aceh Selatan).
Meurah Pupok berhasil kabur, namun naas bagi istri perwira muda
tersebut. Dia mati di ujung pedang suaminya sendiri saat itu juga akibat
kemarahan dan rasa malu yang diemban panglima muda itu.
Aib tersebut
kemudian dilaporkan kepada Sultan Iskandar Muda. Panglima muda ini
mendatangi sultan dengan ayah mertuanya. Setelah mendapat laporan
tersebut, sultan segera memerintahkan Seri Raja Panglima Wazir Mizan
(Menteri Kehakiman) untuk menyelidiki hal tersebut.
Tak lama
kemudian, Meurah Pupok berhasil ditemukan dan ia mengakui perbuatannya
dan meminta maaf kepada ayahnya dan juga kepada sang perwira muda.
Setelah mendengar pengakuan tersebut, sultan memutuskan memberi hukuman
mati pada pewaris tahtanya tersebut.
Keputusan ini dicegah oleh
banyak pihak dalam istana Darud Donya termasuk Seri Raja Panglima Wazir
Mizan. Semua pembesar kerajaan bahkan Menteri Kehakiman telah berusaha
membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan. Akan tetapi Sultan tetap
pada keteguhannya, bahwa hukum harus ditegakkan.
"Aku akan menerapkan
hukum kepada putera mahkota dengan hukum yang seberat-beratnya. Dan
akan kupenggal kepalanya dengan tangan ku sendiri karena telah melanggar
hukum dan adat negeri ini," ujar Sultan Iskandar Muda.
Keteguhan
Iskandar Muda dan watak kerasnya tersebut juga ditulis oleh Denys
Lombard dalam buku berjudul Kerajaan Aceh. Denys Lombard mengutip
keterangan Beaulieu. Beualieu merupakan satu-satunya orang Eropa yang
berhasil masuk ke tengah-tengah pembesar kerajaan.
Dari cerita
Beulieu, Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai tokoh yang cepat sekali
naik pitam. Kemarahan Sultan Iskandar Muda tidak ada yang bisa
mencegahnya.
Masih menurut Denys Lombard, gangguan saraf tersebut
diduga karena patologis yang diderita Sultan Sri Muda Perkasa Alam.
Beualieu juga menceritakan tentang tindakan sultan yang menyiksa dan
kemudian membunuh anaknya sendiri karena berzina.
Dari peristiwa inilah muncul ungkapan yang sangat terkenal,"Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita", yang artinya adalah mati anak kuburannya ada, jika hilang adat
Sumber
Senin, 27 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar