Senin, 27 Januari 2014

Filled Under:

Kesultanan Aceh: Tragedi Meurah Pupok

SULTAN Iskandar Muda bergelar Tun Pangkat Darma Wangsa sangat getol menjalankan Syariat Islam di Aceh. Pada masanya memerintah, ratusan masjid didirikan di daerah dan meunasah merata di setiap gampong.
Seperti dituliskan dalam Kitab Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar-Ranirry, raja Aceh tersebut selalu menganjurkan seluruh rakyatnya untuk menjalankan syariat secara kaffah. Hukum kerajaan juga didasarkan kepada Alquran dan Hadist. Sehingga seluruh elemen masyarakat pada masa itu enggan melanggar syariat yang telah ditetapkan.
Dalam kitab Bustanussalatin juga dijelaskan bagaimana Sultan Iskandar Muda begitu berpihak pada rakyat. Hal tersebut dibuktikan dalam setiap Jumat yang dijalaninya turut membawa berbagai macam hadiah dan sedekah untuk diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Masa pemerintahan dia, Aceh kemudian dijuluki dengan negeri Serambi Mekkah sehingga melahirkan sebuah filosofi ; "Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana".
Po Teumeureuhom adalah lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala adalah lambang hukum syariat atau lambang agama dari Ulama. Qanun adalah lambang perundang-undangan yang berdasarkan Islam dan adat istiadat. Reusam adalah lambang dari tata cara pelaksanaan adat dari para peutua adat dan juga berlandaskan pada Islam.
Pengembangan nilai-nilai hukum dan budaya ini mengacu pada sumber asas Kerajaan Aceh lainnya, yaitu: "hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut". Azas ini mendeskripsikan tentang roh dan jiwa masyarakat Aceh yang telah menyatu dengan pemahaman islamnya.
Penetapan Syariat Islam oleh Iskandar Muda ini dipertegas dengan diberikannya hukuman kepada anaknya, Meurah Pupok. Padahal, putranya tersebut merupakan satu-satunya penerus Kesultanan Aceh.
Berdasarkan literatur Bustanussalatin dan keterangan dari pamplet yang tertera di makam Meurah Pupok di Komplek Peutjut (Kherkoff), di Banda Aceh, menerangkan putra mahkota ini terpaksa di pancung karena berzina. Dia melakukan hal itu dengan seorang istri perwira muda pelatih angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam.
Perbuatan mesum mereka diketahui oleh suaminya ketika pulang dari tempat pelatihan perang di Blang Bladeh (sekarang adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Meukek, Aceh Selatan). Meurah Pupok berhasil kabur, namun naas bagi istri perwira muda tersebut. Dia mati di ujung pedang suaminya sendiri saat itu juga akibat kemarahan dan rasa malu yang diemban panglima muda itu.
Aib tersebut kemudian dilaporkan kepada Sultan Iskandar Muda. Panglima muda ini mendatangi sultan dengan ayah mertuanya. Setelah mendapat laporan tersebut, sultan segera memerintahkan Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman) untuk menyelidiki hal tersebut.
Tak lama kemudian, Meurah Pupok berhasil ditemukan dan ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada ayahnya dan juga kepada sang perwira muda. Setelah mendengar pengakuan tersebut, sultan memutuskan memberi hukuman mati pada pewaris tahtanya tersebut.
Keputusan ini dicegah oleh banyak pihak dalam istana Darud Donya termasuk Seri Raja Panglima Wazir Mizan. Semua pembesar kerajaan bahkan Menteri Kehakiman telah berusaha membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan. Akan tetapi Sultan tetap pada keteguhannya, bahwa hukum harus ditegakkan.
"Aku akan menerapkan hukum kepada putera mahkota dengan hukum yang seberat-beratnya. Dan akan kupenggal kepalanya dengan tangan ku sendiri karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini," ujar Sultan Iskandar Muda.
Keteguhan Iskandar Muda dan watak kerasnya tersebut juga ditulis oleh Denys Lombard dalam buku berjudul Kerajaan Aceh. Denys Lombard mengutip keterangan Beaulieu. Beualieu merupakan satu-satunya orang Eropa yang berhasil masuk ke tengah-tengah pembesar kerajaan.
Dari cerita Beulieu, Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai tokoh yang cepat sekali naik pitam. Kemarahan Sultan Iskandar Muda tidak ada yang bisa mencegahnya.
Masih menurut Denys Lombard, gangguan saraf tersebut diduga karena patologis yang diderita Sultan Sri Muda Perkasa Alam. Beualieu juga menceritakan tentang tindakan sultan yang menyiksa dan kemudian membunuh anaknya sendiri karena berzina.
Dari peristiwa inilah muncul ungkapan yang sangat terkenal,"Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita", yang artinya adalah mati anak kuburannya ada, jika hilang adat




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.