Selasa, 31 Desember 2013

Filled Under:

Nuh (4)

D. Bahtera dalam tradisi Abrahamik

1). Dalam tradisi rabinik

Cerita Nuh dan Bahtera banyak dibahas dalam literatur rabinik Yahudi yang belakangan. Kegagalan Nuh untuk memperingatkan orang-orang lain tentang datangnya air bah pada umumnya menyebabkan orang meragukan bahwa ia layak dianggap sebagai orang yang benar -atau barangkali ia orang yang benar hanya bila dibandingkan dengan generasinya sendiri yang jahat? Menurut sebuah tradisi, ia malah telah meneruskan peringatan Allah, menanam pohon aras 120 tahun sebelum datangnya Air Bah itu, sehingga orang-orang yang berdosa dapat melihat dan diimbau agar mengubah cara hidup mereka. Untuk melindungi Nuh dan keluarganya, Allah menempatkan singa dan binatang-binatang buas lainnya untuk menjaga mereka dari orang-orang jahat yang mengejek mereka dan mengancam mereka dengan kekerasan. Menurut sebuah midrash, Allah-lah, atau para malaikat, yang mengumpulkan binatang-binatang itu ke Bahtera, bersama-sama dengan makanan mereka. Karena sebelum masa ini tidak perlu diadakan pembedaan antara binatang yang haram dan yang tidak haram, maka binatang-binatang yang tidak haram memperkenalkan mereka dengan berlutut di hadapan Nuh sementara mereka masuk ke dalam Bahtera. Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa Bahtera itu sendiri memisahkan yang haram dengan yang tidak haram, yang tidak haram diterima masing-masing tujuh ekor, sementara yang haram hanya sepasang.

Nuh sibuk siang dan malam memberi makan dan memperhatikan binatang-binatang itu. Ia tidak tidur selama satu tahun berada di dalam Bahtera. Binatang-binatang itu adalah yang terbaik dari antara spesiesnya, dan berperilaku dengan sangat baik. Mereka tidak berbiak, sehingga jumlah binatang-binatang yang keluar dari Bahtera persis sama dengan jumlah yang masuk. Namun Nuh dibuat lumpuh oleh singa, sehingga ia tidak layak untuk menjalani tugas-tugas imamat. Karena itu kurban pada akhir pelayaran itu dilaksanakan oleh anaknya, Sem. Burung gagak menciptakan masalah, karena ia menolak keluar dari Bahtera ketika Nuh melepaskannya. Ia mengutuk sang Leluhur dan menuduhnya berniat menghancurkan keturunannya. Namun demikian, seperti yang ditunjukkan oleh para penafsir, Allah bermaksud menyelamatkan burung gagak itu, karena keturunannya ditakdirkan untuk memberi makan kepada nabi Elia.

Semua kotoran disimpan pada tingkat yang paling bawah dari ketiga tingkat Bahtera, manusia dan binatang-binatang yang tidak haram ditempatkan di tingkat kedua, sementara binatang-binatang yang haram serta burung-burung di tingkat atas. Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa semua kotoran diletakkan di tingkat yang paling atas, dan dari situ kemudian dibuang ke dalam laut melalui sebuah pintu (trapdoor). Batu-batu berharga, yang terang seperti tengah hari, memberikan cahanya, dan Allah memastikan bahwa makanan tetap segar. Raksasa Og, raja Basan, berada di antara mereka yang diselamatkan -demikianlah mestinya yang terjadi, karena keturunannya disebutkan belakangan dalam kitab-kitab di dalam Torah-tetapi karena tubuhnya sangat besar ia harus tetap tinggal di luar, Nuh memberikan kepadanya makanan melalui lubang yang dibuat di dinding Bahtera.[13]

 Prasasti Air bah yang berisi epos Gilgames dalam bahasa Akkadia

 Ibn Battuta, 1304-1377, pengelana dunia dari Maroko yang melalui gunung al-Judi, dekat Mosul, yang merupakan tempat berhentinya Bahtera Nuh dalam tradisi Islam.

2). Dalam tradisi Kristen

Para penulis Kristen perdana menciptakan makna-makna alegoris untuk Nuh dan Bahtera. Perjanjian Baru (1 Petrus 3:20-21), menyatakan bahwa perdamaian bagi mereka yang ada di Bahtera melalui air bah memberikan gambaran awal tentang orang Kristen yang diselamatkan melalui baptisan. Para seniman Kristen awal juga mengangkat Nuh dalam karya mereka. Mereka seringkali menggambarkan Nuh yang berdiri di sebuah kotak yang kecil di tengah-tengah gelombang, yang menggambarkan tentang Allah yang menyelamatkan Gereja sementara melalui gelombang pergumulan.

 Pembangunan Bahtera. Nuremberg Chronicle (1493).

St. Augustinus dari Hippo (354-430), dalam Kota Allah, menunjukkan bahwa ukuran-ukuran Bahtera itu sesuai dengan ukuran tubuh manusia, yaitu tubuh Kristus, yaitu Gereja.[14] St. Hieronimus (l.k. 347-420) menyebut burung gagak, yang dikeluarkan dan tidak kembali sebagai "burung kejahatan yang kotor" yang diusir lewat baptisan;[15] memberikan gambaran yang lebih bertahan lama, merpati dan ranting zaitun yang melambangkan Roh Kudus dan pengharapan akan perdamaian dan, akhirnya, perdamaian.

Pada tataran yang lebih praktis, Origenes (l.k. 182-251), menjawab kepada seorang kritik yang meragukan bahwa Bahtera itu dapat memuat semua binatang yang ada di dalam dunia, membantahkan dengan argumen yang cerdas tentang hasta. Ia mengatakan bahwa Musa, si pengarang tradisional dari Kitab Kejadian, dibesarkan di Mesir dan karenanya tentu telah menggunakan ukuran hasta Mesir yang lebih besar. Ia pun memperbaiki bentuk Bahteranya sebagai sebuah piramida terbalik, yang bentuknya persegi empat dan bukan bujur sangkar di bagian bawahnya, dan mengurangi hingga di satu sisinya square peak one cubit on a side.[16] Baru pada abad ke-12 orang baru memikirkannya sebagai sebuah kotak persegi empat dengan atap yang miring.

Penyamaan Bahtera dengan Gereja masih ditemukan dalam ritus baptisan Anglikan, yang memohon kepada Allah, "yang dengan kemurahan-Mu yang besar telah menyelamatkan Nuh," untuk menerima ke dalam Gereja bayi yang akan dibaptiskan.

3). Dalam tradisi Islam

Dalam agama Islam, Nuh merupakan salah satu dari lima nabi penting (Ulul Azmi). Ia diperintah untuk mengingatkan kaumnya agar menyembah Allah yang saat itu menganut paganisme dengan menyembah berhala-berhala Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nashr[17]. Dalam Al-Qur'an, Nuh diperintah selama 950 tahun[18]. Rujukan-rujukannya tentang Nuh dalam al-Qur'an bertebaran di seluruh kitab. Surah dalam al-Qur'an yang cukup lengkap menceritakan kisah Nuh adalah surah Hud dari ayat 27 hingga 51.

Berbeda dengan kisah-kisah Yahudi, yang menggunakan istilah "kotak" atau "peti" untuk menggambarkan Bahtera Nuh, surah Al-'Ankabut ayat 15 dalam al-Qur'an menyebutnya as-Safinati, sebuah kapal biasa atau bahtera, dan dijelaskan lagi dalam surah Al-Qamar ayat 13 sebagai "bahtera dari papan dan paku." Surah Hud ayat 44 mengatakan bahwa kapal itu mendarat di Gunung Judi, yang dalam tradisi merupakan sebuah bukit dekat kota Jazirah bin Umar di tepi timur Sungai Tigris di provinsi Mosul, Irak. Abdul Hasan Ali bin al-Husayn Masudi (meninggal 956) mengatakan bahwa tempat pendaratan bahtera itu dapat dilihat pada masanya. Masudi juga mengatakan bahwa Bahtera itu memulai perjalanannya di Kuffah di Irak tengah dan berlayar ke Mekkah, dan di sana kapal itu mengitari Ka'bah, sebelum akhirnya mendarat di Judi. Surah Hud ayat 41 mengatakan, "Dan Nuh berkata, 'Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.'" Tulisan Abdullah bin 'Umar al-Baidawi abad ke-13 menyatakan bahwa Nuh mengatakan, "Dengan Nama Allah!" ketika ia ingin bahtera itu bergerak, dan kata yang sama ketika ia menginginkan bahtera itu berhenti.

Banjir itu dikirim oleh Allah sebagai jawaban atas doa Nuh bahwa generasinya yang jahat harus dihancurkan, namun karena Nuh adalah yang benar, maka ia terus menyebarkan peringatan itu, dan 70 orang penyembah berhala bertobat, dan masuk ke dalam Bahtera bersamanya, sehingga keseluruhan manusia yang ada di dalamnya adalah 78 orang (yaitu ke-70 orang ini ditambah 8 orang anggota keluarga Nuh sendiri). Ke-70 orang ini tidak mempunyai keturunan, dan seluruh umat manusia setelah air bah adalah keturunan dari ketiga anak lelaki Nuh. Anak lelaki (atau cucu lelaki, menurut beberapa sumber) yang keempat yang bernama Kana'an termasuk para penyembah berhala, dan karenanya ikut tenggelam.

Baidawi memberikan ukuran Bahtera itu yaitu 300 hasta, (50 x 30), dan menjelaskan bahwa pada mulanya di tingkat pertama dari tiga tingkat ini diletakkan binatang-binatang liar dan yang sudah dijinakkan, pada tingkat kedua ditempatkan manusia, dan yang ketiga burung-burung. Pada setiap lembar papan terdapat nama seorang nabi. Tiga lembar papan yang hilang, yang melambangkan tiga nabi, dibawa dari Mesir oleh Og, putera Anak, satu-satunya raksasa yang diizinkan selamat dari banjir. Tubuh Adam dibawa ke tengah untuk memisahkan laki-laki dari perempuan.

Nuh berada di Bahtera selama lima atau enam bulan, dan pada akhirnya ia mengeluarkan seekor burung gagak. Namun gagak itu berhenti untuk berpesta memakan daging-daging bangkai, dan karena itu Nuh mengutuknya dan mengeluarkan burung merpati, yang sejak dahulu kala telah dikenal sebagai sahabat manusia. Masudi menulis bahwa Allah memerintahkan bumi untuk menyerap airnya, dan bagian-bagian tertentu yang lambat menaati perintah ini memperoleh air laut sebagai hukumannya dan karena itu menjadi kering dan tidak ada kehidupan. Air yang tidak diserap bumi membentuk laut, sehingga air dari banjir itu masih ada.

Nuh meninggalkan Bahtera pada tanggal 10 Muharram, dan ia bersama keluarganya dan teman-temannya membangun sebuah kota di kaki Gunung Judi yang dinamai Thamanin ("delapan puluh"), dari jumlah mereka. Nuh kemudian mengunci Bahtera itu dan mempercayakan kunci-kuncinya kepada Sem. Yaqut al-Hamawi (1179-1229) menyebutkan tentang sebuah masjid yang dibangun oleh Nuh yang dapat dilihat hingga masa hidupnya, dan Ibnu Batutah melewati pegunungan dalam perjalanannya pada abad ke-14. Orang muslim modern, walaupun tidak semuanya aktif dalam mencari Bahtera tersebut, percaya bahwa benda itu masih ada di lereng-lereng pegunungan.[19]

E. Literalisme Alkitab dan Bahtera

Banyak orang Yahudi Ortodoks dan orang Kristen konservatif percaya akan ineransi Alkitab, konsep bahwa Alkitab, sebagai firman Allah, tidak mengandung kesalahan, tetapi harus ditafsirkan dengan tepat agar dapat dimengerti dengan benar. Mereka juga cenderung untuk mempercayai tradisi-tradisi tentang penyusunan Alkitab (lih., mis. Metode gramatika-historis, Tradisi suci dan Midrash). Karena itu, mereka yang mengikuti metode-metode hermeneutika ini, cenderung menerima keyakinan tradisional Yahudi bahwa naratif Bahtera di dalam Kitab Kejadian ditulis oleh Musa. Ada lebih sedikit kesepakatan tentang kapan Musa hidup, dan dengan demikian kapan cerita Bahtera ini ditulis —berbagai tanggal telah diajukan yang merentang antara abad ke- 16 SM hingga akhir abad ke- 13 SM.

Untuk tanggal air bah ini, kaum literalis mengandalkan penafsiran berdasarkan silsilah yang terdapat dalam Kejadian 5 dan 11. Uskup Agung Ussher, dengan menggunakan metode ini pada abad ke-17, tiba pada tahun 2349 SM, dan tanggal ini masih diterima di banyak kalangan. Namun demikian, seorang sarjana fundamentalis Kristen yang lebih belakangan, Gerhard F. Hasel, dengan meringkaskan keadaan pemikiran pada masa kini sesuai dengan terang berbagai naskah Alkitab (teks Masoret dalam bahasa Ibrani Alkitab, berbagai naskah dari Septuaginta Yunani), dan perbedaan-perbedaan opini tentang penafsiran mereka yang benar, menunjukkan bahwa metode analisis ini hanya dapat menetapkan bahwa air bah itu terjadi antara tahun 3402 dan 2462 SM.[20] Pandangan-pandangan lainnya, yang didasarkan pada sumber-sumber dan metodologi-metodologi lainnya, menghasilkan tanggal-tanggal di luar batas-batas ini — Kitab Yobel yang deuterokanonik, misalnya, memberikan tanggal yang ekuivalen dengan 2309 SM.

Kaum literalis menjelaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi yang tampaknya ada dalam kisah Bahtera ini adalah akibat konvensi gaya penulisan yang diambil oleh sebuah teks kuno. Jadi, kebingungan tentang apakah Nuh membawa tujuh pasang saja ataukah hanya sepasang dari binatang-binatang yang tidak haram ke dalam Bahtera dijelaskan sebagai hasil dari si pengarang (Musa) yang pertama kali memperkenalkan subyeknya dalam pengertian umum —tujuh pasang dari binatang-binatang yang tidak haram —dan baru belakangan, dengan banyak pengulangan, menjelaskan secara spesifik bahwa binatang-binatang ini masuk ke dalam Bahtera secara berpasangan. Kaum literalis tidak melihat hal-hal yang mebingungkan dalam rujukan kepada burung gagak —mengapa Nuh tidak boleh melepaskan burung gagak?—mereka pun tidak melihat tanda-tanda tentang penutup alternatif.

John Everett Millais: Kembalinya Merpati ke dalam Bahtera (1851)

1). Topik-topik polemik seputar bahtera Nuh

Selain pertanyaan-pertanyaan tentang waktu penulisan, pengarang, dan integritas teks, kaum literalis memberikan banyak perhatian pada masalah-masalah teknis seperti misalnya identitas "kayu gofir " dan rincian-rincian konstruksi Bahtera. Berikut ini adalah sebagian dari beberapa topik yang lebih sering didiskusikan:

a. Kayu gofir

Dalam Kejadian 6:14 dicatat bahwa Nuh membangun bahtera dari kayu gofir (bahasa Ibrani: גפר), sebuah kata yang tidak dikenal di tempat lain di dalam Alkitab maupun di dalam bahasa Ibrani modern. Jewish Encyclopedia percaya bahwa kebanyakan besar ini adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Babilonia"gushure iş erini" (balok aras), atau bahasa Asyur "giparu" (reed).[21] Septuaginta dalam bahasa Yunani (abad ke-3–abad ke-1 SM) menerjemahkannya sebagai ξύλων τετραγώνων ("xylon tetragonon"), "kayu persegi."[22] Demikian pula, Vulgata dalam bahasa Latin (abad ke-5 M) menerjemahkannya sebagai "lignis levigatis", atau "kayu licin (kemungkinan diserut)." Terjemahan-terjemahan bahasa Inggris lama, termasuk Versi Raja James (abad ke-17), membiarkannya tanpa diterjemahkan. Banyak terjemahan modern cenderung memiilih cypress (meskipun kata "cypress" dalam bahasa Ibrani Alkitab adalah erez), berdasarkan etimologi yang keliru diaplikasikan berdasarkan kesamaan-kesamaan fonetik, sementara yang lainnya memilih pinus atau aras. Usul-usul yang belakangan mencakup proses pelapisan, atau jenis pohon yang kini telah hilang, atau transkripsi yang keliru dari kata kopher (pitch), tetapi tidak ada kesepatan yang tercapai.[23]

b. Laik laut

Bahtera ini digambarkan memiliki panjang 300 hasta. Hasta adalah ukuran dari siku hingga ujung jari. Ada berbagai ukuran hasta yang digunakan dalam dunia kuno, tetapi semuanya pada dasarnya serupa, dan situs-situs penafsir harafiah tampaknya sepakat bahwa Bahtera ini kira-kira 157 meter) panjangnya. Ini jauh lebih panjang daripada kapal-kapal kayu terbesar yang pernah dibangun dalam masa historis. Menurut sumber-sumber tertentu, admiral Zheng He pada awal abad ke-15 mungkin telah menggunakan kapal-kapal yang panjangnya 122 m, tetapi kapal layar Wyoming, yang diluncurkan pada 1909 dan sebagai kapal terbesar yang terdokumentasi dari kayu ship yang pernah dibuat, panjangnya hanya 100 m dan membutuhkan besi menyilang untuk mencegah melengkungnya kayu dan sebuah pompa uap untuk mengatasi masalah kebocoran yang serius.[24] "Pembangunan dan penggunaan sejarah dari kapal-kapal [kayu Eropa akhir abad ke-19] menunjukkan bahwa mereka telah telah memaksakan atau melampaui batas-batas praktis untuk ukuran kapal-kapal kayu."[25] Para sarjana harafiah yang menerima keberatan ini,—namun tidak semuanya menerimanya [26]—yakin bahwa Nuh tentu telah membangun Bahtera itu dengan menggunakan teknik-teknik yang telah maju dari masa setelah abad ke-19 seperti konstruksi kerangka ruang.[27]

c. Kapasitas dan logistik

Bahtera ini tentunya mempunyai volume kotor sekitar 40.000 m³, suatu ukuran yang sedikit lebih kecil daripada setengah Titanic yang beratnya sekitar 22.000 ton, dan ruang lantai keseluruhannya sekitar 9.300 m².[28] Pertanyaan tentang apakah kapal itu mampu membawa dua (atau lebih) contoh dari berbagai spesies (termasuk binatang-binatang yang kini telah punah), termasuk makanan dan air minumnya, adalah masalah yang banyak diperdebatkan, bahkan dengan sengit, antara kaum penafsir harafiah dan lawan-lawan mereka. Sementara sebagian penafsir harafiah berpendapat bahwa Bahtera ini dapat memuat semua spesies yang dikenal, sebuah posisi yang lebih lazim pada masa kini ialah bahwa Bahtera ini memuat "jenis" dan bukan spesies—misalnya, satu “jenis” kucing jantan dan betina dan bukan wakil-wakil dari harimau, singa, puma, dll.[29] Banyak pertanyaan terkait termasuk apakah delapan orang manusia dapat merawat binatang-binatang itu sementara juga mengemudikan Bahtera, bagaimana dengan kebutuhan-kebutuhan khusus makanan dari binatang-binatang tertentu yang lebih eksotik dipenuhi, bagaimana makhluk-makhluk itu dapat dicegah dari saling memangsa satu sama lain, pertanyaan-pertanyaan tentang kilat, ventilasi, dan kontrol temperatur hibernasi, bertahan dan bertunasnya benih-benih, posisi ikan-ikan air tawar dan laut, pertanyaan tentang apa yang dimakan binatang-binatang itu segera setelah mereka meninggalkan Bahtera, bagaimana mereka pergi dari seluruh dunia untuk menumpang Bahtera itu dan bagaimana mereka kembali ke tempat-tempat tinggal mereka yang terbentang di seluruh muka bumi melintasi permukaan yang kosong setelah dihancurkan air bah. Akhirnya muncul pertanyaan tentang bagaimana dua atau beberapa anggota dari sebuah spesies dapat menghindari inbreeding (perkawinan antar anggota keluarga) dan menciptakan kembali populasi yang sehat. Berbagai situs literalis, sementara setuju bahwa tak satupun dari masalah-masalah ini tidak dapat diatasi, memberikan berbagai jawaban tentang bagaimana memecahkannya.[30]
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.