By : Saiful Haq Al Fath dan Amin Hanafi
Ia terlahir dengan nama Syamsuddin
Muhammad bin Abdullah Al Lawata At Tanjy. Ia dilahirkan di Tangier
(Tanjy), Maroko, Afrika Utara, pada tanggal 24 Februari 1304 M (703 H)
dan meninggal di Marakisy pada tahun 1369 M (770 H). Beliau merupakan
keturunan dari keluarga yang menguasai dan ahli di bidang jurisprudensi
Islam. Sehingga banyak dari keluarganya yang menjadi hakim, utamanya di
tanah kelahirannya, Tangier. Ia adalah pengembara dari Afrika Utara
yang dijuluki ‘Si Keturunan Barber’. Pada usianya yang relatif muda,
Ibnu Bathuthah memulai masa pengembaraannya yang panjang, ia
meninggalkan Tangier pada tanggal 14 Juni 1325 M (735 H).
Ia telah mencatat segala yang
dijumpainya dalam perjalanan selama hampir tiga dasawarsa. Ibnu
Bathuthah tak bosan untuk merekam segala peristiwa dengan panca
indranya, menulis perjalanan hidupnya ke dalam untaian sejarah dari
berbagai belahan dunia. Pengalamannya merupakan mutu manikam khasanah
umat Islam, sebagai peninggalan yang sangat berharga bagi generasi
penerus. Selama kurang lebih 30 tahun ia melakukan pengembaraan dengan
jarak tempuh sejauh 75 ribu mil, inilah sebuah rekor yang sangat
istimewa pada zaman itu. Ia lebih hebat dibanding pelancong-pelancong
kenamaan seperti Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake, dan Magellan. Ibnu
Bathuthah memang termasuk yang terbesar dari pengembara-pengembara
muslim.
Bahwa ia termasuk pengembara terbesar
sepanjang sejarah penjelajahan ummat manusia di planet bumi ini,
dibenarkan oleh seorang penulis barat George Sarton, dimana ia mengutip
tulisan Sir Henry Yules (1820-1889 M). Ibnu Bathuthah telah mengunjungi
hampir seluruh tanah Islam. Dan kehadirannya bukan sekedar menjadi
penonton, karena Ibnu Bathuthah juga senantiasa mendiskusikan
perkembangan dakwah Islam dengan pemimpin-pemimpin yang dijumpainya.
Pengalaman langsung Ibnu Bathuthah
menjadi sangat kaya setelah ia hadir di Afrika Tengah, Afrika Utara,
sebagaian Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan terus ke timur hingga
Asia Tenggara dan Timur Jauh. Hingga saat inipun jarang orang bisa
melakukannya. Ia memang sejak mula bercita-cita untuk bisa menjalin
persaudaraan secara luas dengan semua lapisan masyarakat. Cita-citanya
itu menjadi kenyataan setelah ia bisa melebur di tengah rakyat kecil
dari berbagai penjuru dunia, hadir di antara para pengemis dan
gelandangan, namun juga bisa berdiskusi denga para pendongeng, kalangan
pedagang, pejabat kerajaan, hingga dengan para khalifah. Ia juga telah
mengalami riuh rendahnya pesta dari yang ala penginapan sampai yang
bergaya istana. Tidurnya, mulai yang beralas tikar sampai berlapis
beludru istana yang bermandikan bunga-bunga. Itulah pengalaman yang tak
mungkin terulang kembali.
Pendidikan agama dan sastra didapatkan
dari lingkungan keluarga yang taat menjakankan syari’at. Disamping ia
juga mempelajari dan mengembangkannya sendiri secara otodidak. Dari
pemahamannya terhadap ajaran Islam inilah, akhirnya ia terdorong untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima ke tanah suci di Makkah Al
Mukarramah, yakni pada 14 Juni 1325 M bertepatan dengan umurnya yang
memasuki usia 21 tahun, inilah awal perjalanannya.
Diseberanginya Tunisia dan hampir
seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Ia tiba di
Alexandria pada 15 April 1326 M dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir
berupa hadiah dan uang untuk bekal menuju Tanah Suci. Menurut Ibnu
Bathuthah, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan
merupakan pusat perdagangan serta pusat angkatan laut di daerah Laut
Tengah (Mediterrania) bagian timur. Di negeri Seribu Menara ini, ia
diterima oleh Sultan Mesir, dan memberinya sejumlah hadiah dan uang
untuk bekal perjalanan berikutnya. Perjalanan ia lanjutkan melalui Kairo
dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.
Ia kembali ke Kairo dan melanjutkan
perjalanan ke Makkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah, Aleppo, dan
Damaskus, Syiria. Ia tiba di Makkah pada bulan Oktober 1926. Selama di
Makkah ini Ibnu Bathuthah bertemu dengan jama’ah haji dari berbagai
negara. Karena pengalaman perjalanannya ke tanah suci yang menyenangkan
dan pertemuan dengan jama’ah haji, Ibnu Bathuthah terdorong untuk
mengenal langsung negara-negara asal jama’ah tersebut. Ia batalkan
kepulangannya dan ia pun memulai pengembaraan untuk menjelajahi dunia.
Maka sehabis ber-“Konferensi Akbar Tahunan” itu ia tidak kembali ke
barat, melainkan ke timur, masuk Irak dan Iran. Perjalanan itu tak kalah
beratnya, karena ia harus mengalahkan gurun pasir Arabia terlebih
dahulu. Pada musim haji tahun berikutnya Bathuthah kembali ke Damaskus
dan melanjutkan ke Mosul, India. Setelah itu ia hadir lagi di Makkah,
dan menetap di Tanah Suci selama 3 tahun, antara tahun 1327-1330 M.
Dalam usia yang masih penuh semangat
membara sehabis belajar di Makkah, ia memutuskan untuk menyeberangi laut
Hitam. Maka kemudian ia melanjutkan pengembaraannya ke Aden (Yaman) dan
berlayar ke Somalia, kemudian ia teruskan ke pantai timur Afrika
termasuk Zeila dan Mambasa. Ia baru kembali ke Aden setelah menginjakkan
kaki di Tanzania. Dari Aden yang kedua kali, ia melanjutkan perjalanan
ke timur, menembus Oman, Hormuz (Teluk Parsai), dan Pulau Dahrain.
Pada tahun 1333 M, laki-laki gagah
perkasa itu memutuskan untuk melakukan perjalanan darat di jazirah
Anatolia. Sesampainya di pelabuhan Sanub, yakni sebuah pelabuhan di Laut
Hitam, pengembaraannya dilanjutkan dengan menumpang sebuah kapal
berbendera Yunani untuk menuju Caffa, dan menyeberangi laut Azow hingga
ke stepa-stepa di Rusia selatan. Bahkan ia menyempatkan diri utuk
bersilaturahmi ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan, yang terletak di
tepi sungai Volga dengan ibu kotanya Serai. Konon kerajaan Sultan ini
memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas yang membentang antara Eropa
hingga Asia.
Ia juga meneruskan perjalanannya ke
wilayah Siberia. Di sini ia mendapatkan pengalaman yang hanya sekali
dalam seumur hidupnya, yaitu tatkala ia terjebak oleh iklim udara yang
sangat dingin. Karena tidak betah dengan hawa yang terlalu dingin itu,
akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Balghar.
Rupanya Allah menentukan lain. Setibanya
di Balghar, Sultan Muhammad Uzbeg Khan mempercayainya dan mengangkatnya
menjadi pengawal permaisurinya, Khantun Pylon, ketika hendak pulang
menjenguk kedua orang tuanya di Konstantinopel. Kemudian Raja Byzantium,
Audronicas III (1328-1341M) memberinya seekor kuda, pelana, dan sebuah
payung.
Setelah tugasnya selesai ia berpamitan
pada Sultan Muhammad Uzbeg Khan, dengan mengutarakan maksudnya untuk
melanjutkan perjalanannya ke Bukhara. Ia tertarik ke Bukhara disebabkan
di kota inilah ilmu pengetahuan Islam berkembang dengan pesat. Untuk
mewujudkan keinginannya itu, ia melakukan perjalanan dengan terlebih
dahulu menaklukkan stepa kering dalam kondisi musim dingin. Akhirnya ia
bisa mencapai Afghanistan dan beristirahat di Kabul, ibukota
Afghanistan.
Perjalanannya dilanjutkan ke India, yang
pada saat itu di perintah oleh Gubernur Muhammad Tughlaq, dengan
ibukotanya Multan. Untuk sampai disana terlebih dahulu ia harus
menaklukkan banyaknya kelokan yang berada di sungai Sind dan melewati
beberapa kota seperti Siwasitan, Lahari, Bakkar, Uja, Khusrawabat,
Abohar, dan Ajudhan. Ia bercerita, “Perjalanan kami dua hari untuk
sampai di Janani, sebuah kota besar yang indah yang berada di tebing
sungai Sind (India). Dari Janani kami berjalan menuju Siwasitan, sebuah
kota di tengah gurun pasir luas. Tak ada tetumbuhan kecuali pohon labu.
Makanan penduduknya sorgum dan kacang polong yang telah dibuat roti.
Disamping ikan dan susu kerbau, mereka juga makan sejenis kadal yang
telah diawetkan dengan kurkum. Saya tertarik, saya mencobanya
untuk makan, tapi saya jijik. Saat di Siwasitan berbarengan dengan musim
panas. Aduh, panasnya luar biasa.”
Setibanya di Delhi ia juga mencatat
peristiwa langka. Ia diangkat mejadi Qodhi oleh Sultan dan menetap di
sana selama 8 tahun, lalu diangkat menjadi duta besar di kerajaan Cina.
Dimulailah pengembaraannya ke Cina dengan melalui Bombay, Aligarh, dan
Calcutta. Tapi sayang, disamping bekalnya habis dirampok oleh penyamun,
kapalnya tenggelam dalam perjalanannya menuju Calcutta.
Dalam kondisi yang kurang menguntungkan
itu, ia memilih untuk tidak kembali ke Delhi, melainkan bergabung untuk
melakukan penaklukan atas Goa. Setelah berhasil ia lalu mengunjungi
Maladewa. Di Maladewa ia diangkat menjadi Qodhi dan sempat pula
mengawini empat wanita penduduk asli Maladewa.
Pada tahun 1344 M ia mengunjungi
Srilangka, kemudian berlayar ke timur menuju Chittagong dan Dakka
(Bangladesh), lalu ke Aceh di ujung Sumatera. Diceritakannya, bahwa
beliau dijemput di pelabuhan Samudra oleh Al Isfahany, Menteri Luar
Negeri Kerajaan Samudra Pasai (menurut namanya, Al Isfahany adalah
keturunan Persi-Republik Islam Iran sekarang).
“Saya telah berjumpa dengan Al Isfahany
beberapa bulan yang lalu, waktu kami sama-sama berada di Kerajaan Acra,
anak Benua India,” demikian tulis Ibnu Bathuthah kala itu. Saat itu yang
menjadi Sultan Kerajaan Samudra Pasai adalah Raja Ahmad yang bergelar
Al Malik Ad Dhahir II, beliau adalah pemimpin Kerajaan Samudra Pasai
ketiga yang berkuasa pada tahun 1326 hingga 1348.
Menurut kebiasaan Sultan bahwa tamu yang
datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba,
agar letihnya perjalanan menjadi hilang. Beliau ditempatkan dalam Bait Adh Dhuyuf
(wisma tamu) yang terletak di tengah-tengah taman yang rindang, dengan
pohon-pohon nampak berdaun hijau dan bunga-bunga aneka rupa.
Para pelayan di wisma tamu itu terdiri
dari anak-anak muda yang peramah. Kecuali nasi dan roti semacam
martabak, beliau dihidangkan aneka buah-buahan, seperti pisang, apel,
anggur, rambutan dan sebagainya. Hari keempat Ibnu Bathuthah istirahat
di wisma tamu yang mewah itu, kebetulan hari Jum’at. Menteri Luar Negeri
Al Isfahany memberitahu, bahwa beliau akan diterima menghadap Sultan
setelah Shalat Jum’at, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu.
Beliau memperhatikan, yang mana Al Malik
Adh Dhahir diantara ribuan Jama’ah Masjid Jami’ yang luas itu. Semua
orang sama, berpakaian putih. Juga tidak tersedia tempat khusus bagi
Sultan dan tidak ada orang yang diberi penghormatan seperti layaknya
para raja di zaman itu. “Apakah Sultan sakit sehingga tidak ke Masjid ?”
tanya Ibnu Bathuthah dalam hati. Setelah selasai shalat Jum’at, Al
Isfahany mempersilahkan Ibnu Bathuthah memasuki Aula Masjid yang luas
itu, dan beliau diperkenalkan kepada Al Malik Ad Dhahir yang telah
terlebih dahulu masuk Aula, dan masih berpakaian baju putih. Di dalam
aula yang berwibawa itu, para menteri, para ulama terkemuka, para
pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab sudah berada di
situ. Ibnu Bathuthah didudukkan di sebelah kanan Sultan. Selesai makan
siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah
dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat,
sosial budaya, dan sebagainya.
Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam
itu sangat menarik. Semula yang hadir mengemukakan pendapatnya
masing-masing, sekalipun kadang-kadang mengkritik kebijaksanaan Sultan.
Semua pendapat diterima Sultan dengan senyum yang sejuk, demikian tulis
Ibnu Bathuthah. Setelah waktu shalat Ashar, semua kembali ke ruang
Masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat Ashar, Al Malik Ad
Dhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan 15 menit kemudian
beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi denga
pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para
pengawalnya, Sultan pulang ke istana. Dan di kiri-kanan jalan
dielu-elukan rakyat yang rindu melihat Sultan yang adil itu.
Bathuthah menulis, rupanya waktu
berangkat dari istana menuju Masjid, Al Malik Ad Dhahir hanya hamba
Allah yang biasa seperti rakyat lainnya, tetapi waktu pulang ke istana
barulah beliau tampil sebagai Sultan dari kerajaan Samudra Pasai.
Bathuthah mendapati bahwa kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam
pertama yang berdiri di dunia Melayu, telah mempunyai tamaddun (peradaban),
dan hubungan luar negeri; tidak seperti kerajaan Islam Perlak yang
diproklamirkan pada tangga 1 Muharram 225 H (sekitar pertengahan abad IX
M), yang lahir setelah hampir lebih 50 tahun Islam bertapak di
Nusantara.
Di Aceh ia tinggal selama 15 hari,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina melalui Malaysia. Di Indocina,
Bathuthah mendarat di Amoy. Selama di Cina ia melakukan kunjungan ke
Zaitun, sebuah pelabuhan terbesar kala itu. Dalam perjalanan pulang dari
Cina, ia memilih jalur lewat Sumatra, Bathuthah singgah untuk yang
kedua kalinya di Samudra Pasai. Pada waktu itu, kebetulan Sultan Al
Malik Ad Dhahir sedang bersiap-siap mengadakan pesta besar untuk
meresmikan pernikahan putrinya.
Ibnu Bathuthah mendapat kehormatan
diundang untuk menyaksikan pesta perkawinan yang agung itu. Ia melihat
ruang pangantin pelaminannya demikian cemerlang, dilengkapi dengan
kain-kain beludru bersulamkan benang emas yang kemilau. Ia juga
menyaksikan upacara adat yang agung, mulai malam berinai, yang pada malam ketiga disudahi denga tadarus Al Qur’an Al Karim, dan dimulai oleh merapulai (pengantin wanita). Bathuthah juga menyaksikan upacara tepung tawar, yang dalam bahasa adat Aceh disebut Peusijuk.
Pada upacara ini kedua pengantin baru saling menyuapkan nasi kuning,
lambang keberkatan.Upacara terakhir adalah pengantin lelaki dibimbing
oleh Nyak Pengayo (pendamping wanita setengah baya) untuk
menginjak telur mentah, lambang yang mengisyaratkan agar bibit pengantin
lelaki segera menetas ke dalam pengantin wanita, yang kemudian
menghasilkan keturunan.
Lalu ia melanjutkan perjalanan lewat
Malabar, Bombay, Oman. Kemudian dengan perjalanan darat ia memotong
jalur dari Irak ke Suriah menyeberangi padang pasir Palmyra. Pada tahun
1348 M ia menunaikan ibadah hajjinya yang keempat. Sekembalinya dari
Makkah, ia melakukan perjalanan lewat Yerussalem, Gaza, Kairo, Tunis,
Marakesh untuk mengujungi Dardinia. Akhirnya ia tiba di Fez, ibukota
Maroko saat itu, pada tanggal 8 Nopember 1349 M, setelah berkelana
hampir 24 tahun.
Pada tahun 1352 M ia menyeberangi gurun
pasir sahara untuk menuju Eropa. Ia singgah di Spanyol, Romawi Timur,
dan Rusia Selatan (sekarang sekitar Ukraina). Tak lupa ia juga melihat
keindahan Laut Tengah dan Laut Hitam. Atas rahmat dan lindungan Allah,
sekitar pertengahan tahun 1354 M ia bisa menginjakkan kembali kakinya di
bumi tempat dilahirkan dulu, Tangiers. Ia menetap di sana hingga akhir
hayatnya.
Sekembalinya ke Maghrib, cerita dan
catatan perjalanannya menjadi populer. Karenanya tak mengherankan jika
penguasa Marini (Maroko), Abu Inan, tertarik akan hasil penuturan
perjalanan tersebut, dan akhirnya memerintahkan penulis terkenal Ibnu
Juza’i untuk membukukannya. Untuk pembukuan ini Ibnu Juza’i mendengarkan
penuturan Ibnu Bathuthah terutama berdasarkan catatan yang dimilikinya.
Namun tidak jarang Ibnu Bathuthah menuturkan beberapa pengamatannya
berdasarkan ingatan saja, terutama apabila catatannya mengenai hal itu
tercecer atau hilang. Penuturan ini diselesaikan pada 1355 (756 H).
Yang mengherankan, perjalanan dengan
medan begitu sulit itu ditempuhnya sendirian. Artinya ia tidak punya
rombongan khusus yang mengawalnya dan membantu mengatasi berbagai
masalah. Sementara, karena saat itu belum ada mesin uap (kendaraan),
perjalanan selain lambat juga beresiko sangat tinggi.
Kisah perjalanan itu di tuangkannya dalam kitab:تحفة النظار في غرائب الأمصاروعجائب الأسفار
Tuhfatun Nadhdhaar fii Gharaaibul Amshaar wa ‘Ajaaibul Asfaar
(Hadiah Pengamat, yang meneliti Keajaiban-Keajaiban kota dan
Keanehan-Keanehan Perjalanan). Kini kitab itu telah dialihbahasakan ke
dalam bahasa Inggris, Perancis, Latin, Portugis, Jerman, dan Persia.
0 komentar:
Posting Komentar