Selasa, 24 Desember 2013

Filled Under:

IBNU BATHUTHAH

By : Saiful Haq Al Fath dan Amin Hanafi 

Ia terlahir dengan nama Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Al Lawata At Tanjy. Ia dilahirkan di Tangier (Tanjy), Maroko, Afrika Utara, pada tanggal 24 Februari 1304 M (703 H) dan meninggal di Marakisy pada tahun 1369 M (770 H). Beliau merupakan keturunan dari keluarga yang menguasai dan ahli di bidang jurisprudensi Islam. Sehingga banyak dari keluarganya yang menjadi hakim, utamanya di tanah kelahirannya,  Tangier. Ia adalah pengembara dari Afrika Utara yang dijuluki ‘Si Keturunan Barber’. Pada usianya yang relatif muda, Ibnu Bathuthah memulai masa pengembaraannya yang panjang,  ia meninggalkan Tangier pada tanggal 14 Juni 1325 M (735 H).

Ia telah mencatat segala yang dijumpainya dalam perjalanan selama hampir tiga dasawarsa. Ibnu Bathuthah tak bosan untuk merekam segala peristiwa dengan panca indranya, menulis perjalanan hidupnya ke dalam untaian sejarah dari berbagai belahan dunia. Pengalamannya merupakan mutu manikam khasanah umat Islam, sebagai peninggalan yang sangat berharga bagi generasi penerus. Selama kurang lebih 30 tahun ia melakukan pengembaraan dengan jarak tempuh sejauh 75 ribu mil, inilah sebuah rekor yang sangat istimewa pada zaman itu. Ia lebih hebat dibanding pelancong-pelancong kenamaan seperti Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake, dan Magellan. Ibnu Bathuthah memang termasuk yang terbesar dari pengembara-pengembara muslim.

Bahwa ia termasuk pengembara terbesar sepanjang sejarah penjelajahan ummat manusia di planet bumi ini, dibenarkan oleh seorang penulis barat George Sarton, dimana ia mengutip tulisan Sir Henry Yules (1820-1889 M). Ibnu Bathuthah telah mengunjungi hampir seluruh tanah Islam. Dan kehadirannya bukan sekedar menjadi penonton, karena Ibnu Bathuthah juga senantiasa mendiskusikan perkembangan dakwah Islam dengan pemimpin-pemimpin yang dijumpainya.

Pengalaman langsung Ibnu Bathuthah menjadi sangat kaya setelah ia hadir di Afrika Tengah, Afrika Utara, sebagaian Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan terus ke timur hingga Asia Tenggara dan Timur Jauh. Hingga saat inipun jarang orang bisa melakukannya. Ia memang sejak mula bercita-cita untuk bisa menjalin persaudaraan secara luas dengan semua lapisan masyarakat. Cita-citanya itu menjadi kenyataan setelah ia bisa melebur di tengah rakyat kecil dari berbagai penjuru dunia, hadir di antara para pengemis dan gelandangan, namun juga bisa berdiskusi denga para pendongeng, kalangan pedagang, pejabat kerajaan, hingga dengan para khalifah. Ia juga telah mengalami riuh rendahnya pesta dari yang ala penginapan sampai yang bergaya istana. Tidurnya, mulai yang beralas tikar sampai berlapis beludru istana yang bermandikan bunga-bunga. Itulah pengalaman yang tak mungkin terulang kembali.

KISAH PERJALANAN

Pendidikan agama dan sastra didapatkan dari lingkungan keluarga yang taat menjakankan syari’at. Disamping ia juga mempelajari dan mengembangkannya sendiri secara otodidak. Dari pemahamannya terhadap ajaran Islam inilah, akhirnya ia terdorong untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ke tanah suci di Makkah Al Mukarramah, yakni pada 14 Juni 1325 M bertepatan dengan umurnya yang memasuki usia 21 tahun, inilah awal perjalanannya.

Diseberanginya Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Ia tiba di Alexandria pada 15 April 1326 M dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir berupa hadiah dan uang untuk bekal menuju Tanah Suci. Menurut Ibnu Bathuthah, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan merupakan pusat perdagangan  serta pusat angkatan laut di daerah Laut Tengah (Mediterrania) bagian timur. Di negeri Seribu Menara ini, ia diterima oleh Sultan Mesir, dan memberinya sejumlah hadiah dan uang untuk bekal perjalanan berikutnya. Perjalanan ia lanjutkan melalui Kairo dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.

Ia kembali ke Kairo dan melanjutkan perjalanan ke Makkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah, Aleppo, dan Damaskus, Syiria. Ia tiba di Makkah pada bulan Oktober 1926. Selama di Makkah ini Ibnu Bathuthah bertemu dengan jama’ah haji dari berbagai negara. Karena pengalaman perjalanannya ke tanah suci yang menyenangkan dan pertemuan dengan jama’ah haji, Ibnu Bathuthah terdorong untuk mengenal langsung negara-negara asal jama’ah tersebut. Ia batalkan kepulangannya dan ia pun memulai pengembaraan untuk menjelajahi dunia. Maka sehabis ber-“Konferensi Akbar Tahunan” itu ia tidak kembali ke barat, melainkan ke timur, masuk Irak dan Iran. Perjalanan itu tak kalah beratnya, karena ia harus mengalahkan gurun pasir Arabia terlebih dahulu. Pada musim haji tahun berikutnya Bathuthah kembali ke Damaskus dan melanjutkan ke Mosul, India. Setelah itu ia hadir lagi di Makkah, dan menetap di Tanah Suci selama 3 tahun, antara tahun 1327-1330 M.

Dalam usia yang masih penuh semangat membara sehabis belajar di Makkah, ia memutuskan untuk menyeberangi laut Hitam. Maka kemudian ia melanjutkan pengembaraannya ke Aden (Yaman) dan berlayar ke Somalia, kemudian ia teruskan ke pantai timur Afrika termasuk Zeila dan Mambasa. Ia baru kembali ke Aden setelah menginjakkan kaki di Tanzania. Dari Aden yang kedua kali, ia melanjutkan perjalanan ke timur, menembus Oman, Hormuz (Teluk Parsai), dan Pulau Dahrain.

Untuk sementara pengembaraan dihentikannya, karena ia ingin menunaikan ibadah haji (1332 M) yang ketiga. Baru setelah itu ia menyeberangi Laut Merah, berkelana melewati Nubia, Nil Hulu, Iskandaria, Damaskus, dan tiba di Lhandhiqiya lalu berlayar dengan sebuah kapal Genoa ke Alaya (Candelor) di pantai selatan Asia kecil.

Pada tahun 1333 M, laki-laki gagah perkasa itu memutuskan untuk melakukan perjalanan darat di jazirah Anatolia. Sesampainya di pelabuhan Sanub, yakni sebuah pelabuhan di Laut Hitam, pengembaraannya dilanjutkan dengan menumpang sebuah kapal berbendera Yunani untuk menuju Caffa, dan menyeberangi laut Azow hingga ke stepa-stepa di Rusia selatan. Bahkan ia menyempatkan diri utuk bersilaturahmi ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan, yang terletak di tepi sungai Volga dengan ibu kotanya Serai. Konon kerajaan Sultan ini memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas yang membentang antara Eropa hingga Asia.
Ia juga meneruskan perjalanannya ke wilayah Siberia. Di sini ia mendapatkan pengalaman yang hanya sekali dalam seumur hidupnya, yaitu tatkala ia terjebak oleh iklim udara yang sangat dingin. Karena tidak betah dengan hawa yang terlalu dingin itu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Balghar.

Rupanya Allah menentukan lain. Setibanya di Balghar, Sultan Muhammad Uzbeg Khan mempercayainya dan mengangkatnya menjadi pengawal permaisurinya, Khantun Pylon, ketika hendak pulang menjenguk kedua orang tuanya di Konstantinopel. Kemudian Raja Byzantium, Audronicas III (1328-1341M) memberinya seekor kuda, pelana, dan sebuah payung.

Setelah tugasnya selesai ia berpamitan pada Sultan Muhammad Uzbeg Khan, dengan mengutarakan maksudnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Bukhara. Ia tertarik ke Bukhara disebabkan di kota inilah ilmu pengetahuan Islam berkembang dengan pesat. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia melakukan perjalanan dengan terlebih dahulu menaklukkan stepa kering dalam kondisi musim dingin. Akhirnya ia bisa mencapai Afghanistan dan beristirahat  di Kabul, ibukota Afghanistan.

Perjalanannya dilanjutkan ke India, yang pada saat itu di perintah oleh Gubernur Muhammad Tughlaq, dengan ibukotanya Multan. Untuk sampai disana terlebih dahulu ia harus menaklukkan banyaknya kelokan yang berada di sungai Sind dan melewati beberapa kota seperti Siwasitan, Lahari, Bakkar, Uja, Khusrawabat, Abohar, dan Ajudhan. Ia bercerita, “Perjalanan kami dua hari untuk sampai di Janani, sebuah kota besar yang indah yang berada di tebing sungai Sind (India). Dari Janani kami berjalan menuju Siwasitan, sebuah kota di tengah gurun pasir luas. Tak ada tetumbuhan kecuali pohon labu. Makanan penduduknya sorgum dan kacang polong yang telah dibuat roti. Disamping ikan dan susu kerbau, mereka juga makan sejenis kadal yang telah diawetkan dengan kurkum. Saya tertarik, saya mencobanya untuk makan, tapi saya jijik. Saat di Siwasitan berbarengan dengan musim panas. Aduh, panasnya luar biasa.”

Setibanya di Delhi ia juga mencatat peristiwa langka. Ia diangkat mejadi Qodhi oleh Sultan dan menetap di sana selama 8 tahun, lalu diangkat menjadi duta besar di kerajaan Cina. Dimulailah pengembaraannya ke Cina dengan melalui Bombay, Aligarh, dan Calcutta. Tapi sayang, disamping bekalnya habis dirampok oleh penyamun, kapalnya tenggelam dalam perjalanannya menuju Calcutta.

Dalam kondisi yang kurang menguntungkan itu, ia memilih untuk tidak kembali ke Delhi, melainkan bergabung untuk melakukan penaklukan atas Goa. Setelah berhasil ia lalu mengunjungi Maladewa. Di Maladewa ia diangkat menjadi Qodhi dan sempat pula mengawini empat wanita penduduk asli Maladewa.

SINGGAH DI SUMATRA

Pada tahun 1344 M ia mengunjungi Srilangka, kemudian berlayar ke timur menuju Chittagong dan Dakka (Bangladesh), lalu ke Aceh di ujung Sumatera. Diceritakannya, bahwa beliau dijemput di pelabuhan Samudra oleh Al Isfahany, Menteri Luar Negeri Kerajaan Samudra Pasai (menurut namanya, Al Isfahany adalah keturunan Persi-Republik Islam Iran sekarang).

“Saya telah berjumpa dengan Al Isfahany beberapa bulan yang lalu, waktu kami sama-sama berada di Kerajaan Acra, anak Benua India,” demikian tulis Ibnu Bathuthah kala itu. Saat itu yang menjadi Sultan Kerajaan Samudra Pasai adalah Raja Ahmad yang bergelar Al Malik Ad Dhahir II, beliau adalah pemimpin Kerajaan Samudra Pasai ketiga yang berkuasa pada tahun 1326 hingga 1348.

Menurut kebiasaan Sultan bahwa tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba, agar letihnya perjalanan menjadi hilang. Beliau ditempatkan dalam Bait Adh Dhuyuf (wisma tamu) yang terletak di tengah-tengah taman yang rindang, dengan pohon-pohon nampak berdaun hijau dan bunga-bunga aneka rupa.

Para pelayan di wisma tamu itu terdiri dari anak-anak muda yang peramah. Kecuali nasi dan roti semacam martabak, beliau dihidangkan aneka buah-buahan, seperti pisang, apel, anggur, rambutan dan sebagainya. Hari keempat Ibnu Bathuthah istirahat di wisma tamu yang mewah itu, kebetulan hari Jum’at. Menteri Luar Negeri Al Isfahany memberitahu, bahwa beliau akan diterima menghadap Sultan setelah Shalat Jum’at, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu.

Beliau memperhatikan, yang mana Al Malik Adh Dhahir diantara ribuan Jama’ah Masjid Jami’ yang luas itu. Semua orang sama, berpakaian putih. Juga tidak tersedia tempat khusus bagi Sultan dan tidak ada orang yang diberi penghormatan seperti layaknya para raja di zaman itu. “Apakah Sultan sakit sehingga tidak ke Masjid ?” tanya Ibnu Bathuthah dalam hati. Setelah selasai shalat Jum’at, Al Isfahany mempersilahkan Ibnu Bathuthah memasuki Aula Masjid yang luas itu, dan beliau diperkenalkan kepada Al Malik Ad Dhahir yang telah terlebih dahulu masuk Aula, dan masih berpakaian baju putih. Di dalam aula yang berwibawa itu, para menteri, para ulama terkemuka, para pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab sudah berada di situ. Ibnu Bathuthah didudukkan di sebelah kanan Sultan. Selesai makan siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya.

Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu sangat menarik. Semula yang hadir mengemukakan pendapatnya masing-masing, sekalipun kadang-kadang mengkritik kebijaksanaan Sultan. Semua pendapat diterima Sultan dengan senyum yang sejuk, demikian tulis Ibnu Bathuthah. Setelah waktu shalat Ashar, semua kembali ke ruang Masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat Ashar, Al Malik Ad Dhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan 15 menit kemudian beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi denga pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para pengawalnya, Sultan pulang ke istana. Dan di kiri-kanan jalan dielu-elukan rakyat yang rindu melihat Sultan yang adil itu.

Bathuthah menulis, rupanya waktu berangkat dari istana menuju Masjid, Al Malik Ad Dhahir hanya hamba Allah yang biasa seperti rakyat lainnya, tetapi waktu pulang ke istana barulah beliau tampil sebagai Sultan dari kerajaan Samudra Pasai. Bathuthah mendapati bahwa kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang berdiri di dunia Melayu, telah mempunyai tamaddun (peradaban), dan hubungan luar negeri; tidak seperti  kerajaan Islam Perlak yang diproklamirkan pada tangga 1 Muharram 225 H (sekitar pertengahan abad IX M), yang lahir setelah hampir lebih 50 tahun Islam bertapak di Nusantara.

Di Aceh ia tinggal selama 15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina melalui Malaysia. Di Indocina, Bathuthah mendarat di Amoy. Selama di Cina ia melakukan kunjungan ke Zaitun, sebuah pelabuhan terbesar kala itu. Dalam perjalanan pulang dari Cina, ia memilih jalur lewat Sumatra, Bathuthah singgah untuk yang kedua kalinya di Samudra Pasai. Pada waktu itu, kebetulan Sultan Al Malik Ad Dhahir sedang bersiap-siap mengadakan pesta besar untuk meresmikan pernikahan putrinya.

Ibnu Bathuthah mendapat kehormatan diundang untuk menyaksikan pesta perkawinan yang agung itu. Ia melihat ruang pangantin pelaminannya demikian cemerlang, dilengkapi dengan kain-kain beludru bersulamkan benang emas yang kemilau. Ia juga menyaksikan upacara adat yang agung, mulai malam berinai, yang pada malam ketiga disudahi denga tadarus Al Qur’an Al Karim, dan dimulai oleh merapulai (pengantin wanita). Bathuthah juga menyaksikan upacara tepung tawar, yang dalam bahasa adat Aceh disebut Peusijuk. Pada upacara ini kedua pengantin baru saling menyuapkan nasi kuning, lambang keberkatan.Upacara terakhir adalah pengantin lelaki dibimbing oleh Nyak Pengayo (pendamping wanita setengah baya) untuk menginjak telur mentah, lambang yang mengisyaratkan agar bibit pengantin lelaki segera menetas ke dalam pengantin wanita, yang kemudian menghasilkan keturunan.

MELANJUTKAN PERJALANAN

Lalu  ia melanjutkan perjalanan lewat Malabar, Bombay, Oman. Kemudian dengan perjalanan darat ia memotong jalur dari Irak ke Suriah menyeberangi padang pasir Palmyra. Pada tahun 1348 M ia menunaikan ibadah hajjinya yang keempat. Sekembalinya dari Makkah, ia melakukan perjalanan lewat Yerussalem, Gaza, Kairo, Tunis, Marakesh untuk mengujungi Dardinia. Akhirnya ia tiba di Fez, ibukota Maroko saat itu, pada tanggal 8 Nopember 1349 M, setelah berkelana hampir 24 tahun.

Pada tahun 1352 M ia menyeberangi gurun pasir sahara untuk menuju Eropa. Ia singgah di Spanyol, Romawi Timur, dan Rusia Selatan (sekarang sekitar Ukraina). Tak lupa ia juga melihat keindahan Laut Tengah dan Laut Hitam. Atas rahmat dan lindungan Allah, sekitar pertengahan tahun 1354 M ia bisa menginjakkan kembali kakinya di bumi tempat dilahirkan dulu, Tangiers. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Sekembalinya ke Maghrib, cerita dan catatan perjalanannya menjadi populer. Karenanya tak mengherankan jika penguasa Marini (Maroko), Abu Inan, tertarik akan hasil penuturan perjalanan tersebut, dan akhirnya memerintahkan penulis terkenal Ibnu Juza’i untuk membukukannya. Untuk pembukuan ini Ibnu Juza’i mendengarkan penuturan Ibnu Bathuthah terutama berdasarkan catatan yang dimilikinya. Namun tidak jarang Ibnu Bathuthah menuturkan beberapa pengamatannya berdasarkan ingatan saja, terutama apabila catatannya mengenai hal itu tercecer atau hilang. Penuturan ini diselesaikan pada 1355 (756 H).

Yang mengherankan, perjalanan dengan medan begitu sulit itu ditempuhnya sendirian. Artinya ia tidak punya rombongan khusus yang mengawalnya dan membantu mengatasi berbagai masalah. Sementara, karena saat itu belum ada mesin uap (kendaraan), perjalanan selain lambat juga beresiko sangat tinggi.
Kisah perjalanan itu di tuangkannya dalam kitab:

تحفة النظار في غرائب الأمصاروعجائب الأسفار

Tuhfatun Nadhdhaar fii Gharaaibul Amshaar wa ‘Ajaaibul Asfaar (Hadiah Pengamat, yang meneliti Keajaiban-Keajaiban kota dan Keanehan-Keanehan Perjalanan). Kini kitab itu telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Latin, Portugis, Jerman, dan Persia.



0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.