“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah
judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok
Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda
Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.
“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal,
yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan
digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’.
(hal.9)
Itulah sebagian gambaran tentang
kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah
kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir
sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu
Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang
bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu
mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu
usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang
yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan.
Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan
‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’.
Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk,
sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh
melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.
Kejahatan Paus Benediktus IX memang
sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga
menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak
baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras
kekayaan Vatikan.
Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam
buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah
memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer
yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat
menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan
seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.
Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun
dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang
kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya
Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
“Mereka berburu dengan menunggang kuda
yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama
para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur
(mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan
sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan
istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah
suci.”
Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku
ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan
kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan
kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi).
Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen
Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa
Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi diterapkan terhadap berbagai
golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan
kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup
terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan
kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M)
melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia,
Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus
yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan
ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi
dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai
mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan
patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.
Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali
dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak
Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang
sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah
bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam
indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo
sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah
tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum
ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun
setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan
kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.
Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus
serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam
lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan,
saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan
pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan
mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu
tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka.
Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat
penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan
tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya
gila.
Pasukan Prancis yang sudah terbiasa
dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan
seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan
selanjutnya meledakaan biara tersebut.
Kejahatan penguasa-penguasa agama ini
akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi
di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan
mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama
sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan
alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas
rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.
Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon
“Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada masa itu, para agamawan (clergy) di
Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka
mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal,
jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta
rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap
keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang
menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat
dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul
sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”.
Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan
agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut
di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah:
“Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda
jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di
depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).
Trauma pada dominasi dan hegemoni
kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme
dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka
selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan
terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama
dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah
publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang
kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Berbagai penyelewengan penguasa agama,
dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang
mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible”
(tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.
Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari
kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak
mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan
semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika
orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk
dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan
amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang
kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama
dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.
Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama
Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh
partai politik Islam tidak dapat memegang amanah — sibuk mengeruk
keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan
konflik dan pertikaian – maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari
mereka dan partai mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat
memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan
sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang
yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi
masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi
mengikuti mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.Sumber
Tulisannya Bagus, Thanks
BalasHapus